1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Di dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini suatu perjanjian tertulis merupakan hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, hal ini dikarenakan suatu perjanjian yang dilakukan secara tertulis bisa memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang menyepakatinya. Perjanjian secara tertulis bisa dibuat dalam bentuk di bawah tangan maupun dapat dibuat dalam bentuk otentik. Suatu perjanjian yang dibuat dalam bentuk otentik tentulah memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat di bawah tangan. Salah satu pejabat umum di Indonesia yang dapat membuat perjanjian secara tertulis dalam bentuk otentik adalah Notaris. Notaris merupakan salah satu dari beberapa elemen dalam pelaksanaan hukum yang sebagian wewenangnya adalah menerbitkan suatu dokuman yang berupa akta dengan kekuatan hukum sebagai akta otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna hal ini diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yaitu akta otentik merupakan alat
1
2
pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta otentik merupakan bukti yang sempurna, maksudnya bahwa kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut dianggap benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Suatu perjanjian yang dibuat di bawah tangan dapat dimintakan legalisasi oleh notaris, sehingga akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lebih baik dari pada akta di bawah tangan yang dibuat tanpa adanya legalisasi dari notaris. Notaris yang telah memberikan legalisasi dalam akta tersebut akan bertanggungjawab secara penuh terhadap tanggal pembuatan akta dan menjamin bahwa tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta merupakan tanda tangan dari para penghadap sendiri. Kewenangan notaris dalam memberikan legalisasi terhadap perjanjian di bawah tangan salah satunya adalah surat kuasa menjual. Surat kuasa menjual biasanya sering dibuat dalam ranah perjanjian jual-beli, surat kuasa menjual sendiri adalah kuasa untuk menjual yang diberikan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli atau pihak lain karena tidak dapat hadir sendiri pada saat jual beli dilaksanakan karena alasan-alasan tertentu.1 Pada prakteknya kuasa menjual ini sering dibuat apabila pihak penjual sedang 1 Alwesius Berbicara Segalanya Tentang Notaris Dan PPAT, “ Masalah penggunaan kuasa untuk menjual dalam pembuatan akta jual beli ”, alwesius.blogspot.co.id/2011/08/masalah-penggunaankuasa-untuk-menjual.htlm?m=1 diakses pada tanggal 8 Maret 2016.
3
berada di luar kota karena suatu pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan olehnya sehingga tidak dapt hadir dalam pelaksanaan jual-beli dihadapan notaris, kemudian ada juga surat kuasa menjual ini dibuat karena dimana pihak pembeli telah membayar lunas seluruh harga jual-beli akan tetapi jualbeli tersebut belum dapat dilaksanakan, misalnya karena sertipikat sedang dalam proses di kantor pertanahan. Surat kuasa menjual bisa dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan dapat juga dibuat dalam bentuk akta otentik, namun dalam prakteknya surat kuasa menjual lebih sering dibuat dalam bentuk akta otentik atau setidak-tidaknya kuasa yang dibuat di bawah tangan kemudian dilegalisasi dihadapan notaris. Surat kuasa menjual yang dibuat di bawah tangan sangat jarang dibuat karena mempunyai risiko yang sangat besar dan berpotensi besar juga akan menimbulkan suatu permasalahan dikemudian hari. Surat kuasa menjual ini dalam prakteknya sering sekali ditemui dalam ranah kenotariatan, karena dengan adanya surat kuasa menjual sendiri sangat membantu dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang hendak melakukan transaksi jual-beli, namun dalam Putusan Nomor 180/pdt.G/2013/PN.Slmn, penulis menemukan dalam pokok perkaranya pada bagian menimbang. Di sini hakim menyatakan bahwa suatu surat kuasa menjual yang dilakukan oleh si penerima kuasa yang mana pembelinya adalah si penerima kuasa itu sendiri, hal tersebut tidak perbolehkan karena bertentangan dengan Pasal 1470 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :
4
“Begitu pula atas ancaman yang sama, tidaklah boleh menjadi pembeli pada penjualan di bawah tangan baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun melalui perantara : para kuasa, sejauh mengenai barang-barang yang di kuasakan kepada mereka untuk dijual.” selain itu juga hakim menyatakan bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas menurut pendapat Majelis : “Bahwa Surat Kuasa Menjual mutlak yang dibuat oleh Tergugat II tanpa adanya batasan waktu tersebut adalah bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negri Nomor 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.’’ Berdasarkan ke dua pertimbangan tersebut, hakim menyatakan batal demi hukum terhadap surat kuasa menjual tersebut. Mengenai pertimbangan hakim terhadap pemberian keputusan terhadap surat kuasa menjual tersebut, penulis merasa hakim menganggap bahwa surat kuasa menjual tersebut dibuat dalam bentuk di bawah tangan, namun dalam pokok perkaranya penggugat menyatakan membuat surat kuasa menjual tersebut dalam bentuk akta otentik dengan nomor akta : 160, selain itu di dalam pertimbangannya hakim juga menganggap bahwa akta kuasa menjual tersebut mengandung unsur kuasa mutlak dikarenakan dalam kuasa menjual tersebut tidak dicantumkan mengenai adanya batasan waktu. Pertimbangan hakim tersebut berbeda dengan pendapat Herlien Budiono yang berpendapat bahwa perjanjian pemberian kuasa menjual (kepada dirinya sendiri) yang tidak dapat ditarik kembali, diberikan oleh bakal penjual kepada bakal pembeli dalam rangka perjanjian pengikatan jual-beli, bukan merupakan kuasa mutlak yang dilarang berdasarkan Intruksi
5
Mendagri 14 Tahun 1982 yang sekarang telah diatur di dalam Pasal 39 ayat (1) butir d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.2 Herlien Budiono juga berpendapat latar belakang dikeluarkannya intruksi tersebut karena adanya penyalahgunaan kuasa mutlak, diantaranya terhadap ketentuan mengenai penetapan luas tanah pertanian yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960, pemilik atas tanah hak oleh subjek hukum tertentu menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau mengenai pengenaan pajak atas tanah, sehingga adanya janji tidak dapat ditarik kembali tidak serta merta menjadikan kuasa tersebut digolongkan menjadi kuasa mutlak, sepanjang di dalamnya tidak mengandung unsur dari diktum ke 2 Intruksi Mendagri No.14 Tahun 1982,3 bunyi butir ke 2 Intruksi Mendagri, yaitu : “Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada panerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.” Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, dimana hakim menganggap kuasa menjual dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dengan pengenaan Pasal 1470 KUHPerdata, kemudian terdapat perbedaan pendapat mengenai kuasa menjual yang masuk dalam kategori kuasa mutlak antara Hakim PN.Sleman dan salah satu ahli hukum 2 Herlin Budiono, 2012, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 280. 3
Ibid., hlm. 278.
6
sekaligus berprofesi sebagai notaris, Dr. Herlin Budiono, S.H, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai KAJIAN PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM KUASA MENJUAL OTENTIK OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI SLEMAN (Studi kasus : Putusan Nomor 180/Pdt.G/2013/PN.Slmn).
B.
Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumusakan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa hakim mengkategorikan surat kuasa menjual menjadi kuasa mutlak sehingga muncul putusan batal demi hukum? 2. Bagaimanakah tanggungjawab notaris terhadap surat kuasa menjual otentik yang dinyatakan batal demi hukum oleh hakim?
C.
Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
di
Perpustakaan
Fakultas
Hukum
Universitas Gadjah Mada, penulis mengambil beberapa contoh penulisan tesis terdahulu yang dianggap mempunyai kemiripan dalam penelitan. Ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan surat kuasa menjual yang dinyatakan batal demi hukum oleh Hakim PN.Sleman, di antaranya : 1.
Penelitian dengan judul “Penyimpangan Pembuatan Akta Kuasa Menjual Oleh Notaris Dalam Praktek Pembebanan Hak Tanggungan Di
7
Kota Yogyakarta”, oleh Satria Tegar Pribadi.4 Penelitian dilakukan pada tahun 2015, berupa penulisan tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi akta kuasa menjual dalam praktek pemberian kredit oleh bank yang dilakukan pada awal Pembebanan Hak Tanggungan? b. Bagaimanakah akibat hukumnya apabila kuasa menjual tersebut dibuat pada awal Pembebanan Hak Tanggungan atau sebelum debitur menyatakan wanprestasi? Kesimpulan dalam penelitian tersebut, yaitu: a. Fungsi kuasa menjual bagi debitur adalah untuk menjamin pelunasan hutang kepada kreditur, sedangkan bagi kreditur adalah sebagai alat untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanah yang menjadi obyek jaminan untuk mendapatkan pelunasan dari debitur. b. Akibat dari akta kuasa menjual yang dibuat pada awal pembebanan hak tanggungan adalah batal demi hukum, karena melanggar syarat sahnya perjanjian yaitu kalusa yang halal dan juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan.
4 Satria Tegar Pribadi, “Penyimpangan Pembuatan Akta Kuasa Menjual Oleh Notaris Dalam Praktek Pembebanan Hak Tanggungan Di Kota Yogyakarta”, Tesis, Program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2015.
8
2. Penelitian dengan
judul “Analisi Yuridis Terhadap Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah Yang Memuat Kuasa Mutlak”, oleh Matno.5 Penelitian diajukan pada tahun 2014, berupa penulisan tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah yang memuat Klausula Kuasa Mutlak? b. Bagaimanakah
tanggungjawab
notaris
terhadap
Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah yang memuat klausula kuasa mutlak yang dibuatnya? Kesimpulan dalam penelitian tersebut, yaitu : a. PPJB tanah yang memuat klausa kuasa mutlak tersebut tetap sah dan tetap diakui keberadaannya dalam praktek notaris selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan dengan persyaratan bahwa hak dari penjual sudah sepenuhnya terpenuhi dalam hal ini pihak pembeli sudah membayar lunas terhadap obyek tanah yang sudah diperjual belikan. b. Tanggungjawab notaris terhadap PPJB tanah yang memuat klausa kuasa mutlak adalah sudah sesuai dengan salah satu tugas dan kewenangan notaris yang diatur dalam UUJN dan tidak masalah 5 Matno, “Analisi Yuridis Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah Yang Memuat Kuasa Mutlak”, Tesis, Program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2014.
9
selama dalam PPJB itu pihak pembeli telah menunaikan kewajibannya secara penuh kepada penjual dalam arti telah membayar lunas. Penelitian tersebut ada kesamaannya, yaitu penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya samasama meneliti mengenai hal yang berkaitan dengan adanya unsur Kuasa Menjual dan unsur Kuasa Mutlak. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian lain yang telah dipublikasikan sebelumnya dengan yang dilakukan dengan penulis, adalah : 1. Penelitian
yang
penelitiannya
dilakukan
mengenai
oleh
Satria
adanya
suatu
Tegar
Pribadi,
Penyimpangan
Pembuatan Akta Kuasa Menjual Oleh Notaris Dalam Praktek Pembebanan Hak Tanggungan, dimana penelitian tersebut dilakukan Di Kota Yogyakarta. 2. Penelitian yang dilakukan oleh
Matno, penelitiannya lebih
mengalisis suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah yang memuat kuasa mutlak di dalamnya. Perbedannya adalah penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah peneliti lebih menitik beratkan terhadap akta kuasa menjual yang telah dibuat oleh notaris, dinyatakan batal demi hukum oleh Hakim PN. Sleman.
10
Didasarkan pada perbedaan fokus penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan penelitian yang telah dilakukan, baik dari segi tema maupun lokasi penelitian, maka dapat dikatakan penelitian ini memenuhi kaedah keaslian penelitian, walaupun demikian bilamana dikemudian hari ditemukan bahwa permasalahan dalam penelitian ini pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi dengan penelitian lainnya.
D.
Manfaat Penelitian Sebaik-baiknya manusia adalah yang bisa membawa manfaat bagi manusia lainnya, untuk mewujudkan manfaat tersebut, maka segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang idealnya harus bisa membawa suatu kemanfaatan bagi orang lain. Manfaat penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini secara teoritis bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum kenotariatan yang terkait kuasa menjual yang diketegorikan sebagai kuasa mutlak. 2. Manfaat Praktis a) Penelitian ini secara praktis bertujuan untuk memberikan masukan kepada para notaris agar dapat membuat surat kuasa menjual yang benar, agar tidak menjadi kuasa mutlak yang
11
dilarang oleh Mendragi dalam Intruksi Mendari No.14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. b) Penelitian ini secara praktis bertujuan untuk memberikan tambahan pengetahuan bagi para hakim terhadap kuasa menjual yang tidak mengandung unsur kuasa mutlak yang dilarang dalam Intruksi Mendari No.14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. c) Penelitian ini secara praktis bertujuan untuk memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat mengenai kuasa menjual yang benar dan adanya larangan penggunaan kuasa mutlak yang diatur dalam Intruksi Mendari No. 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak. E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a) Tujuan obyektif dari penelitain ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim mengkategorikan surat kuasa menjual menjadi kuasa mutlak sehingga muncul putusan batal demi hukum. b) Tujuan obyektif dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tanggungjawab notaris terhadap surat kuasa menjual yang dibuat olehnya dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. 2. Tujuan Subyektif Tujuan
subyektif
dari
penelitain
ini
bertujuan
untuk
memperoleh data yang konkrit yang berhubungan dengan obyek
12
penelitian, guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana S-2 Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.