1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1.
Permasalahan Kehidupan yang harmonis dan nyaman menjadi tujuan setiap individu. Realitas dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat dewasa ini menunjukkan adanya fenomena-fenomena yang jauh dari nilai kemanusiaan, misalnya kasuskasus kekerasan. Individu tertentu memiliki kecenderungan bahwa penyelesaian persoalan dengan kekerasan adalah sah-sah saja. Joko Suryo melihat kekerasan sebagai sesuatu yang ironis karena manusia telah mencapai peradaban yang tinggi seperti sekarang ini, namun realitasnya masih harus bergumul dengan kekerasan yang dapat mengancam kelestarian kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara struktural, gejala seperti kekerasan, kebiadaban, kekejaman, dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan yang muncul dalam kehidupan manusia adalah ciri dari kehidupan manusia yang belum beradab atau yang masih hidup pada masa jahiliyah (kegelapan) menurut perspektif sejarah kebudayaan Islam. Manusia modern telah memiliki peradaban yang tinggi mestinya kehidupan berorientasi pada landasan kemanusiaan, keamanan, kedamaian, toleransi, dan cinta kasih antarsesama (Suryo, 2000: 31-33).
2
Krisis yang terjadi dalam masyarakat merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Manusia memiliki kecenderungan memandang individu lain sebagai musuh, padahal mestinya hubungan baik antarindividu harus dijaga agar terjadi hubungan yang harmonis. Leenshouwers (1988:209) menjelaskan mestinya setiap individu menyadari bahwa dirinya tidaklah sempurna, sehingga memerlukan kehadiran orang lain di dalam hidupnya. Widisuseno menjelaskan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai persoalan kebangsaan, di antaranya adalah disorientasi nilai dan krisis moral. Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat kini menghadapi masa transisi dan transformasi dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dari masyarakat paternalistik ke arah masyarakat demokratis, dari masyarakat feodal ke masyarakat egaliter, dari makhluk sosial ke makhluk ekonomi. Keseluruhan proses ini menyebabkan sebagian masyarakat dalam mengadaptasikan dirinya mengalami kegamangan, kegoyahan konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupan yang selama ini diyakini, kemudian menjadi ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi. Kemudian krisis moral ditandai berkembangnya suasana di kalangan masyarakat semakin merendahnya apresiasi nilai-nilai moral (demoralization) yang memanifestasikan cara berfikir, sikap, dan tingkah laku di sebagian kelompok masyarakat keluar dari batas kepatutan nilai etis dan agama serta pranata budaya (Widisuseno, 2010:2). Wibisono menegaskan bahwa masyarakat kehilangan orientasi nilai. Kehidupan menjadi hambar, kejam, kasar, dan gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Nilai-nilai luhur budaya yang dibangun oleh nenek moyang telah luntur dan kehilangan dasar dan arahnya (Wibisono, 2004:19).
3
Manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berbudaya mestinya menjadikan nilai-nilai luhur sebagai dasar dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan. Sastrapratedja menegaskan bahwa nilai menjadi pegangan hidup seseorang. Nilai yang secara bebas dipilih akan diinternalisasi, dipelihara, dan dijadikan landasan hidup seseorang (Sastrapratedja (1993:4-8). Realitasnya nilai-nilai hakiki yang mestinya dijunjung tinggi dan dipegang teguh sebagai dasar dalam bersikap dan bertingkah
laku
dalam
kehidupan
sehari-hari
justru
seringkali
malah
ditinggalkan. Fenomena ini dapat dimaknai bahwa krisis yang dialami bangsa Indonesia sudah merambah di setiap lini kehidupan. Krisis yang terjadi di Indonesia merupakan krisis multidimensional yang berakar dari adanya krisis moral. Benarkah hal ini merupakan konsekuensi logis dari pemahaman sempit tentang kemajuan? Kemajuan dari berbagai segi mestinya dipahami dari sisi yang hakiki, sehingga tidak menimbulkan banyak persoalan seperti tampak pada fenomena sosial di atas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak memberikan banyak kemudahan justru menjadi bumerang sebagai akibat dari pemahaman mengenai kemajuan dipandang dari sisi yang sempit. Akhirnya manusia terjebak ke dalam hal-hal yang sifatnya materi. Manusia beranggapan bahwa kemajuan identik dengan materi. Materilah yang berkuasa atas diri manusia. Materi adalah
4
segala-galanya
dalam
kehidupan
manusia.
Manusia
juga
memiliki
kecenderungan individualis. Pemahaman bahwa materi adalah segalanya bagi kehidupan manusia menyebabkan perubahan gaya hidup. Manusia akhirnya memiliki kecenderungan menjadi pribadi yang konsumtif. Materi dianggap dapat memberikan kenikmatan. Pribadi yang konsumtif beranggapan bahwa tanpa dorongan materi maka hidupnya akan mengalami kegelisahan. Dampak sosial yang lebih besar adalah menyebabkan praktek-praktek korupsi tumbuh subur dalam masyarakat (Dahler, 1984:133). Jacob menegaskan bahwa kenyataan dalam kehidupan sekarang berkembang
pola-pola
hidup
yang
mendewakan
materi.
Materialisme,
hedonisme, konsumerisme, dan budaya instan telah menggejala secara global. Keempatnya memiliki kesamaan, yakni mengedepankan hal-hal yang sifatnya materi. Manusia telah terjebak pada pemahaman hedonisme yang sempit. Sikap hedonistik menurut pengamatan Jacob telah menggejala di seluruh dunia, gejala universal ini sangat mencemaskan. Hedonisme menurut anggapan umum identik dengan hidup enak dan foya-foya tanpa memedulikan lagi dampak dan bencana pada masa depan. Hedonisme dalam pemahaman ini dapat mengancam masa depan umat manusia dan lingkungannya. Hedonisme menggejala sebagai sikap hidup yang memuja kenikmatan dan kebahagiaan dari sisi materi saja. Kenikmatan selalu diartikan dengan materi. Sikap hedonistik yang identik dengan hidup enak tersebut berpangkal pada tidak adanya kepastian. Hari ini
5
adalah segala-galanya. Hedonisme disebabkan rasa terancam yang kemudian berbalik menjadi ancaman. Sikap hidup hedonistik mengandung nilai-nilai yang selain buruk juga bersifat destruktif, misal: individualisme menggejala semakin radikal, juga ambisi merebut peluang untuk memperoleh keuntungan materi yang sebesar-besarnya. Hedonisme melahirkan suasana kompetitif tidak sehat (http://majalah.tempointeraktif.com/arsip/1988/11/05/mbn.19881105.PRK28589. id.html). Berbagai fenomena di atas menunjukkan bahwa manusia mulai meninggalkan nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar dalam kehidupan seharihari baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Proses kehidupan mestinya dipahami dari berbagai segi. Teilhard de Chardin, seorang pemikir Perancis dalam teori evolusinya menyatakan bahwa kehidupan merupakan suatu proses perkembangan dari yang sederhana menuju pada sesuatu yang kompleks menuju pada keadaan unifikasi definitif bukan sebaliknya. Chardin adalah seorang rohaniwan sekaligus ilmuwan. Pergulatannya dengan dunia membuatnya tidak pernah merasa lelah untuk selalu melakukan penyelidikan-penyelidikan ilmiah. Chardin mengembangkan ilmunya bukan hanya berdasarkan kebenaran wahyu, namun juga didasarkan pada penyelidikan-penyelidikan ilmiah di lapangan. Chardin menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak mampu menembus hal-hal yang bersifat transenden (Chardin, 1965: 314-315). Pemikiran Chardin ini mengingatkan manusia yang terjebak pada persoalan-persoalan yang sifatnya kekinian. Persoalan-persoalan tersebut nampak
6
jelas pada sikap mementingkan diri sendiri tanpa memedulikan lingkungan sosialnya. Sifat mementingkan diri sendiri atau egoisme ini justru akan mempersulit individu mencapai kesempurnaan dirinya. Chardin menegaskan bahwa egoisme adalah suatu sikap menutupi diri sendiri terhadap eksitensi orang lain (Chardin, 1972:11). Leahy menegaskan bahwa egoisme adalah sikap mementingkan diri sendiri, yakni hanya memperhitungkan keuntungan diri sendiri tanpa mau memberikan sesuatu kepada orang lain. Sikap ini disebut Leahy sebagai profiteur. Profiteur adalah sikap tidak mau menghormati dan menghargai martabat dan kepentingan-kepentingan orang lain (Leahy, 2001: 31). Chardin berpandangan bahwa hubungan harmonis akan terbentuk dengan kekuatan cinta, karena cinta akan membawa pada eksistensi satu dengan yang lainnya menuju eksistensi yang lebih tinggi. Cinta menjadikan seseorang mengerti orang lain karena masing-masing akan saling membuka diri. Cinta berkaitan dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan. Cinta yang paling dalam adalah dari kebebasan yang luhur. Semakin individu membuka diri bagi orang lain maka semakin matang pula kepribadiannya. Seseorang yang melepaskan diri dan memberikan perhatian terhadap orang lain adalah suatu kemajuan dalam cinta dan kebebasan ( Chardin, 1969: 74-75). Cinta merupakan kekuatan kosmik yang bersifat universal dan misterius (Chardin, 1969: 32). Cinta hadir pada skala sosial yang luas, yaitu kelompok manusia. Cinta berkembang meliputi total manusia dan bumi (Chardin, 1959: 266). Cinta adalah daya pemersatu yang mampu menyatukan individu-individu,
7
yakni merupakan daya tarik menarik (affinity) satu sama lain (Chardin, 1964: 235). Demikian juga dalam sebuah keluarga yang dilandasi oleh cinta menjadikan individu-individu di dalamnya memiliki daya tarik-menarik menuju penyatuan. Konsep cinta yang sifatnya universal ini menjadikan pemikiran Chardin ini sangat penting kaitannya dengan pembentukan keluarga yang harmonis. Chardin Pemikirannya
terkenal
dengan
teori
merupakan
kritik
terhadap
evolusinya
yang
materialisme.
menyeluruh.
Evolusi
dalam
pemahaman Chardin adalah perkembangan dari sesuatu yang sederhana menjadi kompleks. Susunan materi berkembang secara terarah berdasarkan pada kesadaran batin (Chardin, 1959:63). Cinta adalah sesuatu yang mutlak dalam teori evolusinya. Cinta adalah sesuatu yang sifatnya imperatif untuk memahami makna evolusi agar tidak terjebak pada pemahaman kemajuan yang sempit (Dahler, 1984:130). Chardin berupaya menyintesiskan pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Semangatnya tidak pernah surut untuk meneliti tentang rahasiarahasia bumi dan hidup. Pemikirannya sangat cemerlang, yakni keberhasilannya mencapai dimensi terdalam batin manusia kontemporer (Leahy, 2003:36). Berdasarkan pada latar belakang persoalan tersebut maka penelitian mengenai Hakikat Nilai Dalam Teori Evolusi Manusia Menurut Pierre Teilhard de Chardin Bagi Pemahaman Keluarga Harmonis di Indonesia sangat penting.
8
Proses evolusi bagi Chardin tidak pernah terlepas dari peranan cinta. Kemampuan mencintai adalah suatu nilai pada kehidupan manusia. merupakan ukuran terpenting untuk mengukur suatu kemajuan.
2.
Rumusan masalah a.
Apa makna evolusi manusia menurut Pierre Teilhard de Chardin?
b.
Apa hakikat nilai dalam teori evolusi Pierre Teilhard de Chardin?
c.
Apa manfaat nilai evolusi manusia bagi pemahaman keluarga harmonis di Indonesia?
3.
Keaslian penelitian Penelitian tentang Hakikat Nilai Dalam Teori Evolusi Manusia Pierre Teilhard de Chardin Kontribusinya bagi Pemahaman Keluarga Harmonis Di Indonesia belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Objek material dalam penelitian ini adalah evolusi manusia menurut Teihard de Chardin, sedangkan objek formalnya adalah aksiologi (filsafat nilai). Perbedaan mendasar penelitian yang dilakukan peneliti dengan peneliti lain terletak pada objek formal, yaitu aksiologi (filsafat nilai). Judul penelitian yang berkaitan dengan Teilhard de Chardin adalah Sri Sudarsih dengan judul Konsep Cinta Dalam Filsafat Pierre Teilhard de Chardin (2004) berupa tesis. Cinta merupakan energi alam semesta untuk
9
menjelaskan proses evolusi secara lengkap. Objek formal dalam tesis ini adalah Filsafat Moral.
4.
Manfaat penelitian a.
Penelitian ini secara kuantitatif menambah jumlah dokumen hasil penelitian filsafat, dan secara kualitatif bermanfaat bagi perkembangan ilmu filsafat terutama dalam memetakan perkembangan pemikiran tentang hakikat manusia, sedangkan bagi filsafat nilai memberikan penegasan konsep nilai khususnya terkait dengan cinta dalam pemahaman yang menyeluruh.
b.
Penelitian ini bermanfaat bagi Negara Indonesia yang sedang membangun berupa sumbangan pemikiran bagi pemahaman keluarga harmonis di Indonesia karena keluarga yang harmonis membawa konsekuensi logis pada keharmonisan dalam masyarakat secara luas.
c.
Penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu khususnya dalam memberikan cakrawala baru dan spirit pendalaman ilmu bagi penelitian selanjutnya dari bidang kajian yang lain.
10
B. Tujuan Penelitian
1.
Penelitian ini bertujuan menemukan hakikat evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin.
2.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis kritis terhadap teori evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin dalam perspektif aksiologi.
3.
Penelitian ini bertujuan melakukan refleksi kritis dalam rangka menemukan manfaat nilai dalam teori evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin bagi pemahaman keluarga harmonis di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Chardin adalah ilmuwan pertama dari Gereja Katolik yang mengajukan secara tegas mengenai teori evolusi. Pengetahuannya didasarkan pada banyak fakta geologis dan paleontologis. Chardin yakin adanya kesatuan fundamental yang menandai kosmos secara keseluruhan, termasuk manusia. Kesatuan dalam pemahaman ini harus dimengerti secara dinamis, yakni dimengerti sebagai suatu proses yang pernah dan sedang berlangsung (Bertens, 2006: 43-44). Chardin menempatkan manusia pada posisi sentral dalam teori evolusinya. Chardin
11
memandang manusia bukan hanya dari sisi lahiriah saja tetapi dalam budi dan jiwanya (Kopp, 1983: 57). Weij (2000 :163) berpandangan bahwa Chardin berupaya menjembatani antara materialisme dan spiritualisme ekstrim. Chardin menjelaskan bahwa evolusi bukan berkembang atas susunan materi belaka dan bukan pula berkembang secara kebetulan tetapi perkembangan selalu terjadi secara kontinyu berdasar atas kesadaran batin (Dahler, 1984: 77). Materi sudah mengandung kehidupan maupun kesadaran (Bertens, 2006:45). Perkembangan terjadi karena adanya hukum kompleksitas kesadaran (Grim, 2006: 62). Hukum kompleksitas kesadaran (La loi de complixiteconscience) merupakan salah satu pemikiran dasar Chardin. Hukum ini menekankan adanya keterkaitan antara kompleksitas struktur materi dengan intensitas kesadaran (Bertens, 2006: 46). Materi menurut Chardin, seperti yang dikutip Bertens (2006:45) selalu mengandung kehidupan atau kesadaran. Materi memiliki segi dalam (le dedans) dan segi luar (le dehors). Kompleksitas segi lahiriah selalu diikuti oleh taraf kesadaran yang lebih memadat juga. Masih berkaitan dengan hal tersebut, Bertens (2006:45) menegaskan: Materi lalu sudah hidup dan sudah sadar, tetapi tidak selalu dalam intensitas yang sama. Kehidupan muncul karena “segi dalam” dari materi mencapai intensitas yang cukup besar dan manusia tampak karena “segi dalam” itu mencapai intensitas yang lebih besar lagi.
Segi jasmani dan rohani tersebut berkembang secara bersamaan dan berkorelasi secara kontinyu dan selaras. Perkembangan semacam itu bersifat
12
universal yang meliputi seluruh dunia sehingga terciptalah yang adi-manusiawi (Weij, 2000:170). Chardin menempatkan dua kekuatan itu dalam kedudukan yang sejajar. Segi jasmani tidak lebih dominan dibandingkan yang sifatnya rohani dan sebaliknya. Manusia adalah poros dan garis depan evolusi. Chardin optimis bahwa evolusi seluruh kosmos termasuk manusia akan berhasil. Chardin yakin krisis yang dialami manusia merupakan krisis pertumbuhan ke arah sesuatu yang lebih tinggi. Proses ini menurut Chardin sebagai planetasi. Perkembangan teknologi memungkinkan proses planetasi ini terjadi, yakni kesatuan dalam hubungan yang erat suatu bangsa dan kebudayaan, oleh karena itu dengan konsentrasi rohani maka tercipta manusia yang sungguh-sungguh bersatu padu (Bertens, 2006: 50). Kemajuan di berbagai bidang kehidupan, kekuatan besar pada tingkat sosial budaya mampu mempersatukan manusia dalam pertalian yang memiliki kecenderungan setiap individu dengan mengikatnya dengan individu lain. Secara sosial, politik, ekonomi, dan mental maka setiap individu sedang menjalin hubungan satu sama lain. Dunia manusia sedang membentuk suatu kesatuan dalam suatu konvergensi (Leahy, 2003: 47). Manusia merupakan bagian alam yang berevolusi. Manusia akan berkembang terus dalam upayanya “memanusiakan” dirinya (Dahler, 1971: 83). Manusia mengembangkan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Manusia akan memperkaya kualitas dirinya dalam relasinya dengan manusia lain. Pada tingkatan ini manusia mengalami personalisasi. Personalisasi hanya dapat dicapai melalui totalisasi. Personalisasi dalam terminologi ini bukan bermakna individualisasi
13
karena individualisasi akan menghambat personalisasi (Sullivan, 1970:277). Personalisasi hanya dapat dicapai dengan cara menjalin komunikasi dengan individu lain. Personalisasi dalam pemahaman bahwa setiap individu tetap menjadi individu yang otonom sekalipun mengembangkan dirinya dengan individu lain di dalam masyarakat. Manusia akan mencapai kesempurnaan dirinya ketika saling memberi dan menerima dengan orang lain, terdapat hubungan timbal balik antara satu dengan yang lainnya. Dahler (1984:83) menjelaskan bahwa manusia akan terus berkembang sehingga kesadaran manusiawinya akan semakin meluas dan kemampuan akal budinya juga akan mengalami peningkatan. Manusia semakin cerdas sehingga mengenal dirinya sendiri, fakta-fakta hidup, dan proes-proses alam. Kemampuan refleksi
manusia
akan
mengalami
perkembangan
sehingga
memungkinkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kraft (1968:155) menjelaskan bahwa evolusi akan mengarah pada suatu titik kesempurnaan. Perkembangan selalu mengarah pada tujuan tertentu, yakni titik kesempurnaan. Titik kesempurnaan ini disebut sebagai Titik Omega. Titik Omega ini adalah Tuhan. Omega juga merupakan Alpha. Tuhan merupakan permulaan dan akhir (Kraft, 1968:155). Allah sebagai Pencipta merupakan awal proses evolusi. Bertens (2006:50) mengutip pandangan Chardin bahwa Allah adalah Alpha dan Omega. Chardin berpandangan seperti yang dikutip Dahler (2004:267) bahwa untuk mencapai itik Omega ini diperlukan suatu daya yang sifatnya universal yang disebut cinta
14
(l’amour). Cinta menurut Chardin adalah daya kosmis yang paling universal dan misterius. Kemampuan mencintai menurut Chardin, seperti yang dikutip Dahler (1984:130-132) merupakan nilai pada kehidupan manusia. Cinta adalah ukuran terpenting dalam menentukan seseorang akan maju atau tidak dalam evolusi pribadinya. Cinta adalah energi, cinta dalam pemahaman Teilhard de Chardin berarti bertindak, berbuat dalam upaya memanusiakan individu lain yang berarti pula memanusiakan diri sendiri. Chardin menegaskan bahwa cinta akan mencapai titik kesempurnaannya jika membuka diri untuk dunia dan umat manusia secara keseluruhan (Dahler, 1971: 130-132). Cinta dalam pemahaman Chardin, seperti yang dikutip Yumartana (1990:91) adalah sesuatu yang mutlak dalam evolusi. Cinta dan kebahagiaan adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Kebahagiaan akan diperoleh dengan adanya cinta. Kebahagiaan yang sesungguhnya menurut Chardin adalah kebahagiaan yang muncul karena pertumbuhan (the happiness of growth). Kebahagiaan dalam pengertian mengikuti arah kemajuan kehidupan. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang diperoleh dengan usaha keras dan optimis dalam proses kehidupan yang selalu berubah dan dinamis ini, oleh karena itu sikap pesimis dan hedonis harus dihindari. Cinta menurut Teilhard de Chardin merupakan energi sebagai aktualisasi kasih sayang. Cinta mengarahkan manusia pada Titik Omega. Untuk mencapai Titik Omega manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan yang diarahkan pada
15
kesejahteraan
manusia.
Perkembangan
ilmu
pengetahuan
yang
membawa
konsekuensi logis pada perkembangan teknologi harus diletakkan pada nilai-nilai etis dan religius. Gagasan cinta menurut Chardin yang selalu dikaitkan dengan perkembangan sangat tepat sebagai upaya penyadaran dalam merefleksikan setiap persoalan mendasar yang dihadapi manusia, terutama masalah multidimensional di Indonesia (Sri Sudarsih, 2002 : 118-119). Keluarga adalah bentuk kesatuan terkecil di dalam masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu-individu yang saling berkaitan, oleh karena itu penanaman nilai dalam keluarga sangat penting. Keharmonisan keluarga ditentukan oleh adanya hubungan timbal balik sesama anggota keluarga. Setiap anggota keluarga adalah individu yang otonom sehingga sikap-sikap saling menghargai, toleransi, kerjasama perlu dikembangkan dalam suatu keluarga. Keharmonisan dalam suatu keluarga akan berpengaruh juga pada lingkungan sosialnya. John Fiske menegaskan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan dalam suatu keluarga selaras dan serasi dengan nilai-nilai sosial karena keluarga merupakan miniatur masyarakat sebagai dasar bagi pembentukan tatanan sosial. Keluarga bukan hanya menjadi landasan bagi tatanan sosial saat ini, tetapi sebagai tempat persemaian bagi masa depan (Denzin, 2009: 244).
16
D. Landasan Teori
Penelitian disertasi ini menggunakan landasan teori aksiologi. Aliran-aliran dalam aksiologi adalah subjektivisme, objektivisme, dan relasioanlisme nilai. Subjektivisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa nilai eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa pertimbangan psikis ataupun fisik (Frondizi, 1963:15-16). Objektivisme adalah aliran aksiologi yang memandang nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai (Frondizi, 1963:14-15). Relasionalisme nilai merupakan pandangan yang menyatakan bahwa setiap nilai bukan hanya persoalan nilai itu subjektif atau objektif tetapi nilai berkaitan dengan beberapa hal, misalnya inteligensi, ruang, waktu, budaya, norma, masyarakat, dan bangsa. Nilai selalu mengalami perubahan (Dagun, 1997 :954-955). Nilai menurut Scheler (1973:66-67) adalah kualitas a priori yang yang tidak tergantung pada benda. Ketidaktergantungan yang mencakup setiap bentuk empiris. Ketidaktergantungan bukan hanya mengacu pada objek yang ada di dunia, misalnya patung, lukisan, dan tindakan manusia, juga reaksi subjek terhadap benda dan nilai. Pemahaman ini dicontohkan tindakan pembunuhan itu akan terus menjadi jahat walaupun pembunuhan tidak dinilai jahat. Sesuatu yang baik akan tetap menjadi baik meskipun tidak pernah dinilai baik. Nilai tidak tergantung pada pengalaman tetapi sudah ada dan tinggal dilihat. Misalnya: sesuatu itu benar atau indah merupakan sesuatu yang positif, bukan akibat dari pengalaman tetapi mendahului pengalaman.
17
Nilai tidak berbeda dengan benda. Pemahaman ini contohnya warna biru tidak akan berubah menjadi merah ketika objek yang berwarna biru dicat merah. Nilai adalah tetap, artinya perubahan pada suatu objek yang dilekati tidak mempengaruhi sifat tetap suatu nilai. Misalnya nilai persahabatan tidak akan berubah karena adanya pengkhianatan
seseorang
yang
terlibat
di
dalamnya.
Independensi
nilai
mengimplikasikan bahwa nilai tidak berubah. Nilai itu mutlak tidak dikondisikan oleh perbuatan, nilai bersifat historis, sosial, biologis atau murni individual. Pengetahuan manusia tentang nilai itulah yang relatif bukan nilai itu sendiri. Scheler (1973:90-100) menegaskan bahwa ciri khas suatu nilai adalah penampakannya dalam urutan hirarkhi. Tinggi rendahnya nilai didasarkan pada lima kriteria. Pertama, semakin lama suatu nilai bertahan maka semakin tinggi pula kedudukannya. Misalnya kebahagiaan akan bertahan lebih lama dibandingkan rasa nikmat. Kedua, Semakin tinggi suatu nilai maka makin tidak dapat dibagi kalau disampaikan kepada orang lain. Misalnya pengetahuan dapat disampaikan utuh kepada banyak orang, berbeda dengan makanan. Ketiga, semakin tinggi suatu nilai maka akan mendasari nilai-nilai lain, tetapi tidak didasari oleh nilai lain. Keempat, semakin dalam kepuasan yang diimplikasikan oleh suatu nilai maka nilai tersebut memiliki kedudukan yang semakin tinggi. Misalnya cinta sejati memiliki kepuasan lebih mendalam daripada kenikmatan seksual. Kelima, semakin relatif sebuah nilai maka kedudukannya semakin rendah, semakin mutlak maka suatu nilai memiliki kedudukan semakin tinggi.
18
Nilai tersusun dalam hubungan hierarkhis a priori. Scheler memerinci, pertama adalah nilai yang paling rendah. Nilai pertama ini adalah segala nilai yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, nilai dipahami dalam arti perasaan badani. Implikasi nilai yang pertama ini dirasakan secara fisik, yakni perasaan nikmat dan sakit. Kedua merupakan nilai yang berhubungan dengan perasaan vital. Nilai vital tidak berkaitan dengan fungsi-fungsi inderawi tertentu tetapi dengan kehidupan dalam keutuhannya. Sesuatu yang luhur, yang kuat, yang kasar dipahami dalam pengertian kesehatan fisik. Nilai ketiga merupakan nilai-nilai spiritual. Nilai bukan lagi dipahami secara jasmani atau ketubuhan. Nilai spiritual ini meliputi a). Nilai estetis. Nilai ini berhubungan dengan yang indah dan yang jelek; b). Nilai benar dan tidak benar, dalam pemahaman dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan, sama halnya dengan nilai adil dan tidak adil; c). Nilai pengetahuan murni. Nilai keempat merupakan nilai kudus. Nilai kudus di dalamnya termasuk kebahagiaan dalam pengertian spiritual (Scheler, 1973, 105-110).
E. Metode Penelitian
1.
Bahan dan materi penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bidang filsafat. Objek material dalam penelitian ini adalah teori evolusi manusia dalam pemikiran Chardin dengan objek formal filsafat nilai (aksiologi).
19
Materi penelitian ini digali dari sumber kepustakaan asli yang ditulis oleh Chardin dan karya penulis lain yang berkaitan dengan Chardin. Materi penelitian dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yakni sumber primer dan sekunder. a.
Sumber Primer, karya Teilhard de Chardin, yakni Le Phenomene Humain (1955) diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Bernard Wall dengan judul Phenomenon of Man. L'Avenir de L'Homme (1959) diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Nortman Denny dengan judul The Future of Man (1964); Sur l’ Amour (1967) diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Bernard Wall dengan judul On Love (1972), L’Energie Humaine (1962) diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh J. M. Cohen dengan judul Human Energy (1969).
b.
Sumber sekunder. Sumber sekunder berkaitan dengan objek formal disertasi ini. Scheler dengan Judul Formalism in Ethics and Non-Formal of Values, A New Attempt towards the Foundation (1973), Frondizi dengan judul What is Value? An Introduction to Axiology (1963).
2.
Jalan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berkaitan dengan dimensi historis, yakni pemikiran filosofis Teilhard de Chardin. Tahap-tahap Penelitian
20
a.
Eksplorasi sumber kepustakaan. Pada tahap ini peneliti menentukan lokasi sumber data, yakni perpustakaan, pusat-pusat studi, ataupun pusat penelitian.
b.
Tahap mengumpulkan data kepustakaan berupa buku-buku maupun literatur lain yang berkaitan dengan objek kajian penelitian baik objek formal maupun objek material. Data kepustakaan ini meliputi kepustakaan asli dari Chardin, karya orang lain yang berkaitan dengan Chardin dan filsafat nilai.
c.
Tahap pengolahan data dengan melakukan inventarisasi, sistematisasi, dan klasifikasi data yang berkaitan dengan teori evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin dan filsafat nilai.
d.
Tahap analisis data. Data yang berkaitan dengan filsafat nilai dan pemikiran Chardin yang telah diinventarisasi, disistematisasikan, dan diklasifikasi kemudian dianalisis dengan metode dan unsur-unsur metodis yang relevan yang dipergunakan peneliti dalam rangka membuka cakrawala pemikiran Chardin perspektif filsafat nilai kontribusinya bagi pemahaman keluarga harmonis di Indonesia.
e.
Tahap menyusun hasil analisis penelitian.
f.
Tahap menyusun laporan penelitian.
21
3.
Analisis data Metode yang digunakan peneliti dalam menganalisis data adalah metode hermeneutika dan heuristik. Heuristik merupakan suatu metode untuk menemukan pemahaman untuk menangani suatu masalah secara ilmiah. Heuristik mendahului ilmu (Peursen, 1980:97). Peneliti memahami teori evolusi manusia menurut Chardin dengan pendekatan aksiologi untuk menemukan pemahaman baru. Unsur metodis yang digunakan yaitu: a.
Koherensi intern Peneliti menggunakan unsur metodis koherensi intern memberikan interpretasi yang tepat, setiap konsep dan aspek teori evolusi manusia menurut Chardin dipahami dalam keselarasan satu dengan yang lain.
a.
Holistika Holistika digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai kebenaran yang utuh. Pemikiran Chardin mengenai evolusi manusia dipahami bukan hanya secara atomistis melainkan korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. Pemahaman yang utuh dalam suatu lingkaran hermeneutik terhadap pemikiran Chardin membentuk lingkaran-lingkaran keterkaitan yang semakin luas.
22
b.
Refleksi kritis Peneliti menggunakan unsur metodis refleksi untuk menemukan aspek manfaat pemikiran Chardin kontribusinya bagi pemahaman keluarga harmonis di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan disertasi ini terdiri dari enam bab, yaitu : Bab pertama merupakan bab pendahuluan berisi pemaparan persoalan yang melatarbelakangi pentingnya penelitian ini. Bab ini menjelaskan mengenai tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori yang merupakan objek formal, dan metode yang dipergunakan dalam penelitian ini. Bab kedua, diskursus dalam filsafat nilai. Bab ini berisi pemaparan mengenai pengertian nilai, persoalan dasar filsafat nilai, hirarkhi nilai, dan aliranaliran filsafat nilai. Bab ketiga, hakikat evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin. Bab ini memuat beberapa butir penting yang berkaitan dengan evolusi manusia. Pemaparan diawali dengan latar belakang kehidupan Teilhard de Chardin, kemudian dipaparkan pemikiran beberapa filsuf yang mewarnai pandangan-pandangan Chardin mengenai evolusi manusia. Pemaparan selanjutnya mengenai evolusi manusia berikut poin-poin
23
penting dalam evolusi manusia, yaitu hukum kompleksitas kesadaran, arah evolusi manusia, cinta sebagai energi universal, dan kebahagiaan. Bab keempat, hakikat nilai dalam evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin. Bab ini memaparkan mengenai landasan pemikiran Teilhard de Chardin, yaitu landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Penjelasan selanjutnya mengenai nilai dalam evolusi manusia dengan sudut pandang aksiologi. Nilai dalam evolusi manusia menurut Teilhard de Chardin kemudian dipetakan ke dalam hirarkhi nilai. Bab Kelima, berisi kontribusi penelitian disertasi ini, yaitu keluarga harmonis perspektif Teilhard de Chardin. Bab ini memaparkan secara rinci mengenai pengertian harmonis; pengertian dan peranan keluarga; dan pentingnya penanaman nilai-nilai dalam keluarga yang meliputi nilai vital, nilai spiritual, dan nilai kesucian. Bab keenam, adalah penutup berisi kesimpulan dan saran.