BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam mempengaruhi perilaku seksual berpacaran pada remaja. Hal ini tentu dapat dilihat bahwa hal-hal yang di anggap tabu oleh remaja pada beberapa tahun lalu, seperti berciuman dan bercumbu kini telah dibenarkan oleh remaja sekarang dengan dianggap wajar untuk berperilaku tersebut. Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan ketika mengingat perilaku tersebut dapat menyebabkan terjadinya kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang selanjutnya dapat memicu praktik aborsi yang tidak aman, kemudian dapat mengakibatkan penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS, bahkan sudah termasuk kematian. Data KTD pada tahun 2014 yang masuk ke PKBI Jawa Tengah sebanyak 67 kasus yang terjadi pada remaja usia 14-24 tahun. Sebagian besar yaitu terjadi pada usia remaja yang masih bersekolah di tingkat SLTA dan sebanyak 69% dari mereka memilih untuk melakukan aborsi terhadap kandungannya dengan berbagai alasan. Lebih dari 200 remaja mengaku sudah menikah dan sudah mempunyai anak ketika mereka berusia dibawah 20 tahun. Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) yang terjadi pada remaja dan pernikahan anak berusia dibawah 18 tahun telah menjadi perhatian khususnya pada PKBI Jateng karena kasus-kasus yang diatas turut menyumbang angka kematian ibu
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
(AKI) yang tinggi sebanyak 33 kasus di Kota Semarang yang menempati posisi sebagai peringkat ke 7 di Jawa Tengah (PILAR PKBI Jateng, 2015). Di Indonesia orang yang berciuman adalah suatu hal yang kontroversial baik pada masa kini maupun di masa lalu. Namun, meskipun di Indonesia kita jarang sekali melihat banyak orang berciuman di tempat umum, tetapi ciuman tetap muncul di publik melalui representasinya. Misalnya, di televisi dan film. Melalui film, ciuman mulut sebagai bentuk praktek romantis dan menjadi sangat populer di Indonesia. Kissing lips atau cium bibir/ berciuman dianggap sebagai perilaku seks pranikah yang masih tergolong aman, sehingga dengan dianggapnya perilaku berciuman masih dalam kategori aman maka banyak orang yang berani untuk melakukannya, terutama pada anak muda atau remaja karena rasa penasaran mereka sehingga perlu untuk mencobanya. Kissing lips sudah menjadi bagian dari suatu rahasia umum dan dianggap sebagai suatu hal yang privasi yang tidak boleh banyak orang lain tahu. Karena masyarakat dan budaya di Indonesia masih belum familiar dan belum sepaham jika melakukan kissing lips/ berciuman di depan umum seperti di negara-negara barat (Imani & Pinasti, 2016). Ada beberapa hal yang melatarbelakangi alasan mengapa mereka melakukan kissing lips/ berciuman, pertama bagi mahasiswa adalah alasan perasaan atau rasa cinta terhadap pasangan yang berlebih, kemudian dorongan seksual dan perilaku yang menjadi suatu kebiasaan. Dan pembuktian cinta kepada pasangan serta kebiasaan yang sulit untuk dilepaskan saat pacaran menjadi suatu tantangan tersendiri bagi mahasiswa yang berpacaran (Imani & Pinasti, 2016).
2 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Menurut Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang telah dilakukan oleh BPS (2007), dalam kegiatan berpacaran remaja tidak hanya berusaha mengenal lawan jenisnya, tetapi remaja juga sudah sampai melakukan berciuman dan juga saling meraba bagian tubuh mereka. Lebih dari 50 persen remaja laki-laki sudah pernah meraba-raba pada saat berpacaran dan lebih dari 40 persen remaja sudah pernah melakukan perilaku berciuman. Bahkan 6 persen remaja laki-laki yang sudah pernah melakukan hubungan seksual itu dilakukan sebelum mereka menikah dan 1 persen remaja perempuan mengaku sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum mereka menikah. Kemudian alasan remaja yang sudah pernah melakukan hubungan seksual dikarenakan rasa ingin tahu dan penasaran yang berlebih terhadap perilaku tersebut. Namun bagi remaja perempuan yang sudah pernah melakukan hubungan seksual menganggap hubungan seksual terjadi begitu saja tanpa ada rencana untuk melakukannya. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dengan kondisi dan suasana yang mendukung sehingga memungkinkan remaja untuk melakukan hal tersebut. Di satu sisi remaja saat ini juga sudah jarang sekali yang tertarik terhadap nilai budaya yang dianut oleh masyarakat umum. Kalau dilihat dari tempat remaja melakukan hubungan seksual, maka sebanyak 41 persen remaja telah melakukan hubungan seksual di rumah sendiri atau rumah pacar, juga di tempat kost (boarding house) sebesar 15 persen. Kemudian sebanyak 6 persen remaja telah melakukan hubungan seksual di tempat-tempat prostitusi. Kondisi seperti ini perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak, karena risiko penularan PMS dan HIV/AIDS dapat terjadi pada remaja (BPS, 2007).
3 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Hasil survey BKKBN (2010) sekitar 51 persen remaja di wilayah Jabodetabek, mereka mengaku sudah tidak perawan. Sebanyak 4 persen responden yang sudah mengaku sudah melakukan hubungan seksual sejak usia 16-18 tahun, juga 16 persen sudah melakukan pada usia 13-15 tahun. Kejadian seks pranikah di Surabaya mencapai 47 persen, juga terjadi di Bandung dan Medan sebanyak 52 persen. Perilaku seks bebas dikalangan remaja ini sangat berdampak pada terjadinya kasus infeksi penularan HIV/AIDS yang cenderung berkembang di Indonesia saat ini, sedangkan pada remaja yang melakukan di tempat favorit adalah di rumah mereka sendiri sebanyak 40 persen, juga di tempat kost 30 persen dan di hotel 30 persen (BKKBN, 2010). Menurut Daili (dalam Damanik, 2012) sebuah survey yang telah dilakukan oleh Youth Risk Behavior Survei (YRBS) secara Nasional di Amerika Serikat pada tahun 2006 telah mendapati bahwa sebanyak 47,8 persen pelajar yang duduk di kelas 9-12 sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah, dan sebanyak 35 persen terjadi pada pelajar SMA mereka mengaku sudah sangat aktif secara seksual. Survei kesehatan Nasional terbaru dari 2002-2007 menunjukkan bahwa tingkat kesuburan remaja lebih tinggi di Amerika Tengah untuk anak usia 15-19 tahun yang 137 kelahiran per 1.000 wanita di Honduras, 119 di Nikaragua, 114 di Guatemala dan 104 di El Salvador, sedangkan di Amerika Latin rata-rata adalah 75 kelahiran per 1.000 wanita berusia 15-19. 27-31 Meskipun empat negara tersebut telah mengalami penurunan moderat, dengan total tingkat kesuburan selama dua dekade terakhir. Tingkat melahirkan yang terjadi di kalangan remaja masih sangat tinggi. Tingkat terendah dari status sosial ekonomi dan aksesibilitas 4 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
pelayanan kesehatan di antara populasi ini semakin diperparah (Samandari & Speizer, 2010). Remaja yang berpikir bahwa perilaku seksual (berciuman) merupakan perbuatan yang tidak baik, maka remaja tersebut tidak akan pernah untuk melakukan perilaku seksual seperti berciuman. Sebaliknya, remaja yang berpikir bahwa perilaku seksual (berciuman) merupakan hal yang baik atau wajar maka remaja akan melakukan perilaku seksual itu seperti berciuman. Remaja telah diberi larangan dan harus mentaati peraturan untuk tidak melakukan perilaku seksual sebelum pernikahan, misalnya berciuman atau bersentuhan bagian tubuh sensitif lainnya pada lawan jenis karena hal tersebut dapat merangsang nafsu yang akan menimbulkan terjadinya perilaku seks bebas. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Sarwono (2007) bahwa perilaku ciuman yang dilakukan akan menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Menurut Aristoteles (dalam Sarwono, 2011) remaja punya hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka juga cenderung berkeinginan untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semua tanpa membeda-bedakannya. Dari hasrat-hasrat yang ada pada diri mereka, hasrat seksual yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri. Penyebab internal yang dapat menyebabkan remaja melakukan perilaku seksual (berciuman) yang tidak sehat adalah sikap permisif, kurangnya kontrol diri, dan tidak bisa mengambil keputusan mengenai kehidupan seksual yang sehat
5 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
atau tidak bisa bersikap asertif terhadap ajakan teman-teman atau pasangan (Kartika dan Farida, 2008). Kontrol diri juga dapat diartikan sebagai suatu aktivitas dengan pengendalian diri atau tingkah laku seseorang. Pengendalian tingkah laku mengandung makna, yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum seseorang itu memutuskan segala sesuatu untuk bertindak (Ghfron & Risnawita, 2010). McCullough dkk. (2009) mendefinisikan kontrol diri sebagai situasi dimana seseorang terlibat dalam perilaku yang dirancang untuk mengatasi atau mengesampingkan sebuah respon yang lebih kuat, misalnya, kecenderungan perilaku, emosi atau motivasi. Lazarus
(dalam
Thalib,
2010)
menjelaskan
bahwa
kontrol
diri
menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun guna meningkatkan hasil dan tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Remaja yang memiliki kontrol diri yang baik akan mempertimbangkan apa yang sesuai dengan dirinya tetapi juga mementingkan perasaan orangtua dan teman sebayanya (konformitas). Kemampuan remaja dalam mengontrol diri sangat terkait dengan kepribadian remaja itu sendiri karena kemampuan ini diperoleh melalui proses bertahap sejak seseorang masih bayi hingga dewasa (Phytian, dkk., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Mahyar (2011) di 13 STIKes di daerah Jakarta Timur dengan diperoleh hasil responden yang berperilaku seksual beresiko (kegiatan cium bibir dan mulut, meraba-raba/ petting dan hubungan
6 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
seksual atau senggama) sebanyak 65 orang (29,5 persen) sedangkan pada responden yang berperilaku seksual tidak beresiko sebanyak 155 orang (70,5 persen). Penelitian Karminingsih (dalam Mahyar, 2011) dilaporkan bahwa perilaku seksual remaja di SMA kota Bekasi sebagian besar sudah termasuk dalam kategori ringan (54,5 persen) dan sebesar 45,4 persen berperilaku seksual dalam kategori berat. Sedangkan Penelitian oleh Sekarrini (2011) sebanyak 39,3 persen murid SMK Kesehatan daerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 berperilaku seksual dalam kategori ringan yaitu seperti kegiatan mengobrol, menonton film berdua, jalan berdua, berpegangan tangan dan berpelukan. Sedangkan pada kategori berat sebanyak 60,7 persen mereka berperilaku seksual berisiko berat seperti berciuman bibir, mencium leher, meraba daerah erogen, bersentuhan alat kelamin dan kemudian mereka melakukan hubungan seks. Menurut penelitian Wijayanti (2014) di Sulawesi utara, diketahui 167 (81 persen) remaja yang sudah pernah atau sedang mempunyai pacar dengan perincian laki-laki sebanyak 88 (52,7 persen) orang dan perempuan sebanyak 79 (47,3 persen) orang. Remaja tersebut memulai pacaran ketika mereka berusia 1517 tahun. Sebanyak 95,1 persen juga sudah pernah melakukan kegiatan pegangan tangan, sementara itu pada perilaku ciuman bibir sebanyak 63,2 persen dan terakhir pada kegiatan meraba atau merangsang bagian tubuh sebanyak 24,1 persen. Hasil penelitian ini menggambarkan sebanyak 12,7 persen remaja laki-laki sudah pernah melakukan hubungan seksual sementara yang terjadi pada remaja putri sebanyak 6,5 persen.
7 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 06 maret 2017, dengan melakukan wawancara kepada 6 siswa di SMP Yuppentek 2 Tangerang. 4 siswa mengatakan sudah pernah melakukan perilaku berciuman karena awalnya mendengar cerita dari sahabat dan teman-teman kalau berciuman itu wajar dan bahkan jika pacaran belum melakukan perilaku berciuman itu dikatakan kurang menarik dalam pacarannya. Kemudian selain faktor dari cerita teman yang berpengaruh dalam perilaku berciuman, pasangannya juga tidak canggung untuk mengajak langsung perilaku berciuman tersebut. Dapat disimpulkan bahwa berciuman menurut siswa SMP sudah menjadi hal yang wajar. Pertanyaan yang diajukan oleh peneliti pada saat wawancara siswa diantaranya mengenai perilaku berciuman yaitu apakah kamu pernah berpacaran, apakah kamu pernah berciuman, dan bagaimana kamu melakukan ciuman tersebut. Kemudian mengenai kontrol diri yaitu, apa yang membuat kamu melakukan ciuman, bagaimana perasaanmu ketika melakukan ciuman, dan apakah ada ajakan dari pasangan untuk melakukan ciuman sehingga kamu tidak bisa mengontrol diri. Kemudian alasan peneliti melakukan penelitian di SMP Yuppentek 2 Tangerang karena melihat fenomena yang terjadi di lapangan banyak para siswa atau remaja di SMP Yuppentek 2 Tangerang ini yang sudah berstatus pernah berpacaran dan sedang berpacaran, hal ini dapat dilihat bahwa siswa kelas VIII yang berstatus pernah berpacaran sebanyak 85 orang dan yang berstatus sedang berpacaran sebanyak 38 orang dari jumlah siswa 156. Hal ini tentu dapat memicu terjadinya perilaku berciuman karena dari hasil wawancara pada beberapa siswa
8 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
kelas VIII ini mengaku sudah pernah berciuman baik pada siswa yang sudah pernah berpacaran maupun yang sedang berpacaran. Banyak hal yang terpapar di atas, sehingga penulis tertarik untuk mencermati salah satu penyebab tersebut dan mengadakan penelitian dengan judul “HUBUNGAN
ANTARA
KONTROL
DIRI
DENGAN
PERILAKU
BERCIUMAN PADA REMAJA AWAL (STUDI PADA SISWA KELAS VIII SMP YUPPENTEK 2 TANGERANG)”.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, Apakah ada hubungan antara kontrol
diri dengan perilaku berciuman pada remaja awal (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Yuppentek 2 Tangerang)?.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan
sebagai berikut: “Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kontrol diri dengan perilaku berciuman pada remaja awal (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Yuppentek 2 Tangerang).
9 http://digilib.mercubuana.ac.id/z
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua dan guru bahwa kontrol diri mempunyai andil terjadinya perilaku-perilaku seksual (berciuman) yang dilakukan pada remaja awal. Kemudian penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian lanjutan, serta mampu memperkaya teori-teori psikologi yang berkaitan dengan kontrol diri dan mengenai perilaku seksual pada remaja awal.
1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pihak sekolah, remaja awal/ siswa, orangtua atau keluarga, dan dapat memberikan sumbangan kepada bidang psikologi perkembangan dan pendidikan tentang kontrol diri dan perilaku seksual (berciuman) pada remaja awal.
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/z