BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, Indonesia sekarang masih memikul banyak beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan kesehatan di masyarakat indonesia juga tak kunjung hentinya terkhusus untuk gizi anak dan balita. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang lainnya masih didominasi oleh masalah malnutrisi. Malnutrisi merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus, karena merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita (Krisnansari, 2010). Salah satu masalah gizi cukup besar dan belum terselesaikan adalah Stunting. Stunting merupakan bentuk dari proses pertumbuhan anak yang terhambat sehingga anak terlihat pendek. Cara mengetahui stunting yaitu dengan melakukan
pengukuran
indikator
TB/U
(Tinggi
badan/Umur).
Stunting
menggambarkan kekurangan energi kronis dengan rendahnya keadaan ekonomi, pola asuh, pola makan, asupan zat gizi dalam kurun waktu yang lama. Konsekuensi jangka pendek yang diakibatkan stunting yaitu meningkatnya risiko mortalitas dan morbiditas, terganggunya fungsi kognitif, motorik, terganggunya proses metabolisme dan meningkatkan pengeluaran untuk biaya kesehatan saat anak sakit. Sedangkan efek jengka panjangnya adalah menurunkan prestasi sekolah, menurunkan kapasitas belajar, perawakan pendek ketika dewasa, obesitas, penurunan kapasitas kerja dan penurunan produktivitas (Stewart et al, 2013).
1
2
Sampai saat ini stunting merupakan salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian. Di Indonesia, diperkirakan 7,5 juta anak mengalami stunting, data ini berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia masuk ke dalam 5 besar negara penyumbang balita stunting terbanyak sedunia (UNICEF, 2013). Prevalensi nasional untuk kurang gizi kronis (stunting) pada usia balita berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 sebesar 37,2% yang memperlihatkan terjadinya peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi stunting terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat. Prevalensi balita stunting di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) lebih rendah daripada angka nasional yakni 27% (Riskesdas DIY, 2013). Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak merupakan suatu hal yang perlu mendapat perhatian besar. Pada masa balita terjadi pertumbuhan yang sangat pesat dan kritis, biasanya dikenal dengan istilah masa emas atau golden age. Hal ini didasarkan fakta bahwa kurang gizi serta gangguan pertumbuhan yang terjadi pada masa emas bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Nurlinda, 2013). Zeitlin (2000) dan Jus’at (2000) menyatakan bahwa kelompok umur 6-24 bulan merupakan periode kritis pertumbuhan anak karena pada kondisi ini gagal tumbuh (growth failure) mulai tampak. Penyebab langsung dari stunting adalah ketidakcukupan intake zat gizi dan infeksi dalam jangka waktu lama atau kronik. Namun faktor secara tidak langsung penyebabnya sangat kompleks dan multifaktor, yaitu faktor pribadi, sosial, budaya, psikologis, ekonomi, politik, dan pendidikan. Jika faktor ini tidak diubah dan terus berlangsung maka risiko terjadinya stunting akan lebih besar (Syafiq, 2012).
3
Salah satu hal yang menyebabkan banyaknya keadaan gizi kurang adalah perilaku yang salah di kalangan masyarakat dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama kepada anak-anak. Anak-anak sangat bergantung dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan zat gizinya terutama anak baduta yang cenderung merupakan konsumen pasif. Oleh karena itu konsumsi pangan anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang dilakukan keluarga terutama ibu dalam memberi makan bagi anaknya (Supriatin, 2004). Aspek kunci pola asuh khususnya pola asuh makan untuk anak usia di bawah 2 tahun adalah praktik pemberian ASI dan MPASI (Engle et al, 1997). Lebih lanjut lagi pola asuh makan juga dimanifestasikan dalam perilaku pemberian makan, pemenuhan jumlah, jenis dan frekuensi makan. Anak yang baru masuk ke masa peralihan antara ASI dengan makanan keluarga tidak tahu mana makanan terbaik dan mana makanan yang boleh dimakan. Anak masih membutuhkan bimbingan seorang pengasuh dalam memilih makanan agar pertumbuhan dapat optimal. Menurut penelitian Hafrida (2004), terdapat hubungan antara pola asuh dengan status gizi. Semakin baik pola asuh maka semakin besar proporsi gizi baik pada anak. Dengan kata lain, jika pola asuh anak di dalam keluarga semakin baik tentunya tingkat konsumsi pangan anak juga akan semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi keadaan gizi anak. Penelitian Nabuasa (2012) menyatakan bahwa anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Biboki Utara Provinsi NTT berisiko mengalami stunting 14,53 kali lebih besar pada anak yang memiliki riwayat pola asuh yang kurang. Studi yang dilakukan oleh Nogroho (2014) pada posyandu yang berada di wilayah kerja Puskesmas di Kabupaten Sleman didapatkan hasil wawancara
4
dengan kader posyandu bahwa pemberian makan oleh orang tua kepada anak balitanya belum menunjukkan pemberian makan yang baik, orang tua belum merasa
pentingnya
lingkungan makan,
cara
memberikan makan
yang
menyenangkan, serta meningkatkan nafsu makan anak. Orang tua selama ini sering memberikan makanan sesuai dengan permintaan anak tanpa mengetahui jumlah gizi yang sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan anak. Melihat betapa pentingnya masa pertumbuhan pada anak serta menjadi hak bagi anak untuk mendapatkan pengasuhan yang optimal guna menunjang pertumbuhan dan perkembangannya hingga dewasa maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan pola asuh makan dengan status gizi stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kabupaten Sleman.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi stunting pada anak usia 6-24 bulan di kabupaten Sleman?”
C. Tujuan Penelitian a.
Tujuan Umum : Mengetahui hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi stunting pada anak usia 6-24 bulan di kabupaten Sleman
b. Tujuan Khusus : 1. Mengetahui hubungan antara pola asuh makan berdasarkan praktik pemberian ASI, praktik pemberian MPASI, perilaku pemberian makan,
5
serta jenis dan frekuensi makan dengan status gizi stunting pada anak usia 6-24 bulan di kabupaten Sleman 2. Mengetahui hubungan antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi dan protein 3. Mengetahui hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi stunting
D. Manfaat Penelitian a. Penelitian kali ini bermanfaat untuk masyarakat khusunya ibu agar selalu memperhatikan status gizi anaknya dengan menerapkan pola asuh makan yang tepat b. Sebagai peneliti, penelitian ini merupakan tambahan ilmu dan menjadi pengalaman ilmiah di lapangan. c. Dapat menjadi acuan untuk melakukan penelitian lanjutan khususnya yang berhubungan dengan kejadian stunting.
E. Keaslian Penelitian Penelitian sebelumnya yang mendasari peneliti ingin malakukan penelitian tentang hubungan antara pola asuh makan dengan status gizi stunting pada balita di Kabupaten Sleman yaitu: 1. Susilaningdyah (2013). Pola asuh sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di kota Yogyakarta. Penelitian bertujuan untuk menganalisis besarnya risiko pola asuh terhadap kejadian stunting pada anak usia 6 – 24 bulan di Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah rancangan Case Control. Populasi penelitian adalah anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta. Kesimpulan dari penelitian adalah
6
tidak ada hubungan yang bermakna antara pola asuh baik dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 24 bulan di Kota Yogyakarta. Faktor lain yang lebih berkontribusi terhadap kejadian stunting adalah tinggi badan ibu yang pendek, berat bayi lahir rendah dan adanya penyakit infeksi. Perbedaan : desain penelitian, serta lokasi penelitian. Persamaan : dependen yaitu stunting, variabel independen yaitu pola asuh dan rentang usia anak yang diteliti. 2. Nabusa (2012). Hubungan riwayat pola asuh, pola makan, asupan zat gizi terhadap kejadian stunting pada anak usia 24 – 59 bulan di kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat pola asuh, pola makan, asupan zat gizi terhadap kejadian stunting pada anak usia 24 - 59 bulan di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi NTT. Metode penelitian menggunakan rancangan Case control. Penelitian dilakukan di Kecamatan Biboki Utara dengan jumlah sampel yang terdiri dari 76 anak sebagai kasus dan 76 anak sebagai kontrol. Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh, pola makan, asupan zat gizi, budaya, ekonomi keluarga dan penyakit infeksi terhadap kejadian stunting, tidak terdapat hubungan yang bermakna pada variabel ketahanan pangan terhadap kejadian stunting. Perbedaan : variabel independennya selain pola asuh, rentang umur anak yang diteliti, desain penelitian, serta lokasi penelitian. Persamaan : variabel dependen yaitu stunting dan variabel independen yaitu pola asuh.
7
3. Wahdah (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada anak umur 6-36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Kapuas Hulu Kalimantan Barat Variabel luar pada penelitian ini adalah status sosial ekonomi, pola asuh, pola makan, ASI eksklusif, pemberian ASI, penyakit infeksi, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu. Sedangkan variabel independen adalah kejadian stunting. Variabel luar yang diteliti yaitu umur dan jenis kelamin. Metode penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Hasil penelitian yaitu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah pekerjaan ibu, pola asuh, pendapatan keluarga, jumlah anggota rumah tangga, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu dan pemberian ASI eksklusif. Perbedaan : jumlah variabel independennya, rentang umur anak yang diteliti, serta lokasi penelitian. Persamaan : variabel dependen yaitu stunting dan desain penelitian. 4. Zhou et al. (2012). Relationship between child feeding practices and malnutrition in 7 remote and poor counties, P R China. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh makan terhadap status gizi pada anak balita di Cina. Metode penelitian menggunakan rancangan Cross sectional. Penelitian dilakukan pada 2201 anak dan 1978 pengasuh. Terdapat permasalahan status gizi yaitu stunting (19,3%), underweight (13,1%) dan wasting (5,5%). Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh pemberian MP-ASI terhadap kejadian stunting. Perbedaan : variabel dependennya tidak hanya stunting tetapi juga wasting dan underweight, rentang umur anak yang diteliti, serta lokasi penelitian.
8
Persamaan : variabel independen yaitu pola asuh makan, variabel dependen yaitu stunting dan desain penelitian. 5. Tessema, et al (2013). Feeding patterns and stunting during early childhood in rural communities of Sidama, South Ethiopia Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan pola pemberian makan terhadap status gizi pada anak usia 0-23 bulan di Sidama, South Ethoipia. Metode penelitian menggunakan rancangan Cross sectional. Penelitian dilakukan pada 575 anak. Terdapat permasalahan status gizi yaitu tingginya prevalensi stunting yaitu 37,2%. Kesimpulannya adalah terdapat hubungan yang signifikan antara pola pemberian makan pendamping ASI baik yang terlambat maupun yang terlalu cepat dengan kejadian stunting. Perbedaan : variabel independennya pola pemberian makan, rentang umur anak yang diteliti, lokasi penelitian. Persamaan : variabel dependen yaitu stunting dan desain penelitian. 6. Aridiyah (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. Penelitian
bertujuan
untuk
untuk
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan danperkotaan. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross-sectional dan dilakukan di Puskesmas Patrang dan Puskesmas Mangli untuk perkotaan dan Puskesmas Kalisat untuk pedesaan dengan jumlah sampel sebanyak 50 responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan adalah pendidikan ibu, pendapatan keluarga, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
9
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi serta faktor genetik. Tingkat kecukupan protein dan kalsium di wilayah pedesaan menunjukkan hubungan yang signifikan sedangkan di wilayah perkotaan tidak menunjukkan adanya hubungan. Faktor yang paling mempengaruhi terjadinya stunting padaanak balita di wilayah pedesaan maupun perkotaan yaitu tingkat kecukupan zink. Perbedaan
:
variabel
independennya
beberapa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi stunting, rentang umur anak yang diteliti, lokasi penelitian. Persamaan : variabel dependen yaitu stunting dan desain penelitian.