BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Iklim demokrasi Indonesia memasuki babak baru. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden secara langsung dalam satu putaran dengan hanya dua calon Presiden pada tahun 2014. Perubahan pemerintah di negara terjadi pada masa genting, yaitu saat perpindahan kekuasaan atau kepemimpinan dalam negara. Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembagalembaga yang bekerja dan berjalan saling berhubungan satu sama lain menuju tercapainya tujuan penyelenggaraan negara. Lembaga-lembaga negara dalam suatu sistem politik meliputi empat institusi pokok, yaitu eksekutif, birokratif, legislatif, dan yudikatif. Selain itu, terdapat lembaga lain atau unsur lain seperti parlemen, pemilu, dan dewan menteri. Pengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh. Pengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan pemerintah kurang mendapat perhatian. Konflik yang terjadi dalam dunia pemerintahan banyak disorot media dan mendapat perhatian banyak pihak. Salah satu media adalah surat kabar, surat kabar adalah media cetak yang diterbitkan secara berkala berupa lembaranlembaran kertas yang relatif lebar dan tidak dijilid. Lembaran- lembaran tersebut memuat berita atau iklan (Effendy, 2005: 154)
1
2
Isi materi muatan surat kabar terdiri dari berbagai hal yang dapat dikategorikan dalam bentuk: berita, berita mengandung opini/ tajuk rencana, komik/ kartun, fiksi, iklan, foto berita dan ilustrasi. Dikatakan Nikolaus Georg Edmund Jackob dari Johannes Gutenberg University of Mainz dalam International Journal of Communication 4 (2010: 589) “The major resource of the mass media is news. An informed public is a prerequisite in a democracy in which citizens must cope with complex and ever-changing reality (McQuail, 1983, pp. 82–83). By fulfilling this function more or less comprehensively, mass media have become the most important source of information in modern societies (Lippmann, 1965; Luhmann, 2000). Although many people have access to interpersonal networks or alternative information systems, mass media remain a central element in people’s acquisition of knowledge of areas beyond an individual’s direct experience. In fact, when decisions are pending, at the ballot box for example, citizens who want information have no other choice but to rely on mass media, even if they have doubts about it (Luhmann, 2000, pp. 1–9).”
“Sumber daya utama dari media massa adalah berita. Sebuah masyarakat informasi merupakan prasyarat dalam demokrasi di mana warga negara harus menghadapi realitas yang kompleks dan selalu berubah (McQuail, 1983, hlm 82-83). Dengan memenuhi fungsi ini lebih atau kurang komprehensif, media massa telah menjadi sumber informasi yang paling penting dalam masyarakat modern (Lippmann, 1965; Luhmann, 2000). Meskipun banyak orang memiliki akses ke jaringan interpersonal atau sistem informasi alternatif, media massa tetap menjadi elemen sentral dalam akuisisi masyarakat pengetahuan kawasan di luar pengalaman langsung individu. Bahkan, ketika keputusan yang tertunda, di kotak suara misalnya, warga yang ingin informasi tidak punya pilihan lain selain mengandalkan media massa, bahkan jika mereka memiliki keraguan tentang hal tersebut.”
Nilai berita adalah prosedur standar peristiwa apa saja yang bisa disebarkan kepada khalayak. Nilai berita dianggap sebagai ideologi profesional wartawan, yang memberi prosedur bagaimana peristiwa yang begitu banyak
3
disaring dan ditampilkan kepada khalayak. Secara umum, nilai berita dapat digambarkan sebagai berikut : (Eriyanto, 2002:106-107) 1. Prominance, nilai berita diukur dari besarnya peristiwa atau arti pentingnya. 2. Human Interes, peristiwa lebih memungkinkan disebut berita kalau peristiwa itu lebih banyak mengandung unsur haru, sedih, dan menguras emosi khalayak. 3. Conflict/ Controversy, perisyiwa yang mengandung konflik lebih potensial disebut berita dibandingkan dengan peristiwa yang biasa-biasa saja. 4. Unusual, berita mengandung peristiwa yang tidak biasa atau jarang terjadi. 5. Promoxity, peristiwa yang dekat lebih layak diberitakan dibandingkan dengan peristiwa yang jauh, baik dari fisik maupun emosional dengan khalayak. Di negara Indonesia dapat dikatakan bahwa hubungan antara pers dan pemerintah adalah partnership. Kedua-duanya berkepentingan dalam usaha mewujudkan cita- cita bersama: kesejahteraan rakyat. Kedua-duanya merupakan lembaga-lembaga sosial yang otonom, masing-masing mempunyai fungsinya sendiri dalam upaya mewujudkan cita-cita bersama. Dalam kata-kata biasa itu berarti bahwa pers meneruskan dan menjelaskan kebijaksanaan pemerintah kepada masyarakat. Pers adalah bebas untuk menyuarakan masalah- masalah dan aspirasi-aspirasi masyarakat kepada pemerintah serta pelaksanaannya. Di lain pihak, pers tunduk pada pengawasan pemerintah dan rakyat (Oetama, 1987: 76) Pengawasan pemerintah dan rakyat dapat berupa kegiatan- kegitan ekonomi yang mendapat perhatian pers Indonesia, sejak Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, sehingga berusaha keras untuk membangun perekonomiannya. Menurut ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),
4
pembangunan perekonomian merupakan prioritas pertama bagi negara dan pers seyogyanya terlibat dalam usaha ini (Tap MPR RI,1978). Masyarakat melihat pers Indonesia setelah orde baru adalah munculnya surat kabar/ media informasi yang banyak pilihan. Sebagai khalayak penerima informasi masyarakat dapat mambandingkan satu media dengan media lain dalam menyikapi sebuah peristiwa/berita. Hal ini akan saling melengkapi dan memberikan koreksi terhadap kemasan berita media satu dengan yang lain. Diberlakukannya UU No.4 tahun 1999 tentang pers telah merubah sistem komunikasi politik selama ini, sehingga komunikasi politik dapat berlangsung lebih seimbang terutama relasi antara pemerintah dengan pers, antara pemerintah dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat, maupun antar berbagai komponen masyarakat dengan jembatan media. Suasana ini jauh berlawanan dengan masa pemerintahan sebelumnya yang sangat represif dimana pers semata-mata menjadi alat pemerintah, corong propaganda, dan organ yang harus menyetujui setiap keinginannnya. Pada masa perubahan seperti saat ini peran pers sangatlah penting dalam membangun dan memelihara komunikasi politik demokratik. Peran penting pers ditentukan oleh pers itu sendiri, yaitu dengan ketidakberpihakannya pada golongan tertentu atau independensinya. Kekuatan modal, kualitas dan komitmen orang-orang yang bekerja di dalamnya tentulah sangat berpengaruh. Selain itu peran penting pers dalam memelihara komunikasi politik yang demokratik juga dipengaruhi oleh pemerintah dan juga oleh masyarakat warga (civil society), antara lain melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk media.
5
Perkembangan dan pertumbuhan pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbuhan sistem politik di negara ini. Bahkan sistem pers di Indonesia merupakan sub sistem dari sistem politik yang ada. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pers di Indonesia mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pandangannya atau mengkomunikasikan informasi kepada pembacanya selama pers menyadari bahwa ia tidak bisa lepas dari sistem yang berlaku. Surat kabar Kompas adalah surat kabar yang terbit secara nasional, surat kabar Kompas memainkan peran penting dalam ajang politik di Indonesia khususnya proses penetapan Undang-undang Pilkada di tahun 2014.
Jika kita mencermati media surat kabar dan televisi, sebagai contoh seperti Metro TV dan TV One terlihat sekali ada bias atau kecenderungan yang diperlihatkan dari kedua stasiun televisi tersebut dalam membuat tayangan pemberitaan kedua pasangan kandidat capres-cawapres. Saat ini timbul kesan bagi masyarakat yang mendukung Joko Widodo cukup menonton saluran Metro TV dan bagi yang memfavoritkan Prabowo tinggal pilih saluran TV One. Fenomena ini terjadi karena kedua bos media tersebut berafiliasi dengan masing-masing kandidat. Metro TV yang dimiliki oleh politisi Surya Paloh seperti menjadi corong pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sedangkan TV One yang dimiliki oleh politisi Aburizal Bakrie menunjukan keberpihakannya kepada pasangan Prabowo-Hatta meskipun intensitasnya belakangan ini agak sedikit berkurang dikarenakan adanya siaran Piala dunia Brazil di jaringan TV yang dimilikinya.
6
Keberpihakan pemberitaan dua stasiun televisi tersebut tentunya juga akan berlaku di media yang lain seperti surat kabar, pemihakan ini dimaksudkan guna pembentukan opini politik tertentu atau media framing didasarkan oleh jumlah durasi, jumlah frekuensi serta kecenderungan obyek pemberitaan yang dirasakan seperti alat propaganda kandidat yang didukungnya. Hal ini sudah sangat melenceng dari peranannya sebagai media informasi dan sebagai pengontrol sosial. Media framing atau pembentukan opini tertentu dalam media adalah hal yang tidak dapat dihindari dan natural karena merupakan bagian dari komunikasi dalam pembuatan suatu berita, khusunya pada event tertentu seperti Pemilu. Namun demikian, sebuah studi yang dilakukan oleh Robert M. Entman, Profesor pada George Washington University, menunjukan bahwa media framing terhadap politik meningkatkan ketidakpercayaan publik dan sinisme politik atau memiliki efek negatif dalam mengakuisisi pengetahuan masyarakat, meskipun dalam studi tersebut juga menunjukan bahwa framing yang dilakukan oleh media juga dipercaya meningkatkan minat masyarakat dalam politik dikarenakan media menawarkan informasi yang berguna dan mungkin belum diketahui masyarakat yang membuat masyarakat penasaran mengenai kebenaran atas pemberitaan tersebut (Hendrawardhana, 2006: 1). Menurut Entman pembentukan opini melalui media framing memiliki konsekuensi negatif bagi demokrasi kita, karena ketika stasiun televisi yang menayangkan isi siaran yang tidak netral dan hanya fokus terhadap pemberitaan mengenai isu-isu yang tidak substantif, kepentingan pribadi politisi yang ditonjolkan serta hanya fokus pada strategi pencitraan belaka bukannya fokus
7
terhadap informasi politik yang lebih substansial seperti kebijakan para capres atau bagaimana strategi dalam mengesekusi program para masing-masing kandidat, hal ini dapat melemahkan informasi politik yang sebenarnya lebih dibutuhkan masyarakat dan menimbulkan sinisme politik serta mengurangi hak masyarakat atas informasi yang benar dan mendidik (Hendrawardhana, 2006: 1). Indonesia mengalami babak baru demokrasi dengan hanya adanya dua calon presiden 2014 Yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Masing-masing dari dua Calon Presiden diusung oleh dua koalisi besar yaitu Koalisi Merah Putih yang mendukung Prabowo Subianto dari partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) dengan wakilnya Hatta Rajasa dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Joko Widodo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan wakilnya Jusuf Kalla dari partai Golongan Karya (GOLKAR). Koalisi Merah Putih terdiri dari partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA), Golongan Karya (GOLKAR), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sedangkan Koalisi Indonesia Hebat terdiri dari Partai demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP, partai Nasional Demokrat NASDEM, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Pasca terpilihnya Joko Widodo sebagai Pemenang Pemilihan Presiden 2014, persaingan Ke dua koalisi masih berlanjut di dalam parlemen. Tanggal 26 September terjadi pengesahan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU PILKADA) yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah yang kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan dipilih secara langsung
8
oleh rakyat. Koalisi Merah Putih mendukung pengesahan UU Pilkada sedangkan Koalisi Indonesia Hebat mendukung pemilihan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Tahapan menjelang penetapan UU Pilkada ini menarik untuk disimak dan diikuti karena tahapam ini turut menentukan bagaimana karakter, sikap, dan strategi koalisi dalam mempengaruhi anggota DPR dalam meraih dukungan untuk penetapan UU Pilkada. Dalam situasi ini pers memiliki posisi strategis dalam perannya untuk membentuk opini yang berkembang di masyarakat. Pers berperan aktif mengikuti aktifitas politik para anggota DPR, dan selanjutnya melalui konstruksi berita yang mereka bentuk kemudian menuangkannya dalam media yang dibaca oleh para pembacanya. Pers turut mewarnai dan menentukan “hitam-putihnya” karakter dan kepribadian para anggota DPR. Berbagai peristiwa dan kegiatan terkait penetapan UU Pilkada merupakan berita yang menarik untuk diangkat oleh media. Isu-isu yang bergulir dalam penetapan UU pilkada mempunyai nilai berita yang layak dimuat dalam media. Hal ini karena tidak semua peristiwa layak disebut berita. Hanya berita-berita yang mempunyai nilai yang dimuat dalam media. Isu ini dipilih karena penetapan UU PILKADA 2014 menjadi pro dan kontra di negara kita, dan menjadi bahan pembicaraan publik dari level masyarakat biasa hingga elite politik. Tidak sedikit dari masyarakat maupun elite politik yang menentang kebijakan-kebijakan tersebut.
9
Koalisi Merah Putih mendapatkan porsi suara lebih banyak di DPR yaitu 353 kursi sedangkan Koalisi Indonesia Hebat hanya berjumlah 201 kursi. Terjadi persaingan antara para elit partai untuk memperebutkan kekuasaan mulai dari kursi presiden, parlemen, maupun kebijakan yang akan menguntungkan salah satu kubu politik. Persaingan ke dua koalisi ini tidak berakhir pada pemilihan presiden saja, tetapi persaingan berlanjut di dalam parlemen yang mayoritas diisi oleh koalisi merah putih. Hal yang terbaru dan menjadi pembicaraan di setiap lini masa adalah penetapan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang berisi tentang Kepala Daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bukan dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini mengakibatkan kontroversi ditengah masyarakat dengan pemberitaanpemberitaan yang ada. Peneliti akan melihat bagaimana pemberitaan kebijakan DPR pada Penetapan UU PILKADA 2014 menggunakan metode analisis isi. Berangkat dari latar belakang di atas, penulis terdorong untuk meneliti masalah ini, dan atas dasar media massa yang memiliki kekuatan untuk memilih sikapnya, baik menentang kebijakan pemerintah, mendukung atau justru berdiri di antara keduanya, maka dengan menggunakan content analisis atau analisis isi dapat melihat netralitas media dalam pemberitaan surat kabat harian Kompas dan Suara Merdeka menanggapi permasalahan kebijakan DPR. Dalam menggunakan metode analisis isi, peneliti memberikan kategorisasi penelitian menjadi jenis berita, sumber berita, penempatan halaman berita dan frekuensi arah pemberitaan. Peneliti mengambil obyek penelitian mengenai Studi Analisis Isi tentang Netralitas Media dalam Pemberitaan kebijakan Pemerintah mengenai Penetapan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah 2014 pada surat kabar harian Kompas
10
dan Suara Merdeka edisi 26 september 2014- 26 oktober 2014 karena penetapan UU PILKADA 2014 mulai ditetapkan 26 september 2014.
B. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan dalam Harian Kompas dan Suara Merdeka dalam menyajikan berita seputar Penetapan Undang-Undang Pilkada 2014 dilihat dari kategori netralitas oleh McQuail (sensasionalisme, stereotype, juntaposition, dan linkage)?
C. Tujuan Penelitian
11
Untuk mengetahui tingkat netralitas pada Harian Kompas dan Suara Merdeka dalam menyajikan berita tentang penetapan Undang-Undang Pilkada 2014 dilihat dari kategori sensasionalism, stereotype, junxtaposition, dan linkage.
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang komunikasi terkait netralitas pemberitaan yang ditulis dalam surat kabar harian Kompas dan Suara Merdeka 2. Penelitian ini diharapkan juga bisa digunakan untuk bahan penelitian lanjutan bagi yang akan meneliti masalah serupa secara lebih mendalam.
E. Kerangka Teori 1. Media Massa Dalam masyarakat modern, media massa mempunyai peran yang signifikan sebagai bagian dari kehidupan manusia sehari-hari. Hampir pada setiap aspek kegiatan manusia, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama selalu mempunyai hubungan dengan aktivitas komunikasi
12
massa. Komunikasi massa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan tekhnologi media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Komunikasi massa merupakan proses dimana organisasi-organisasi media memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak dan proses dimana pesanpesan dicari, digunakan dipahami, dan dipengaruhi oleh khalayak. (Littlejohn, 2002: 303) Definisi diatas menjelaskan komunikasi massa melalui media cetak maupun elektronik bahwa proses penyampaian pesan dalam komunikasi bertujuan agar komunikasi tersebut dimengerti oleh khalayak luas, sehingga komunikasi yang dilakukan oleh komunikator kepada komunikan menjadi komunikasi yang efektif. Media massa baik cetak maupun elektronik tersebut, akan menyebarluaskan pesan-pesannya, dengan pola mempengaruhi dan mencerminkan sebuah kebudayaan suatu masyarakat. Informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas beragam dan berkesinambungan. Faktor ini yang membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang dipercaya oleh masyarakat. Media massa seperti surat kabar, majalah, buku, radio, film, dan televisi pada umumnya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu media cetak dan media elektronik. Nyaris tak ada peristiwa penting yang menyangkut kepentingan publik yang luput dari perhatian media massa. Media massa hadir pada setiap peristiwa penting,
13
mengamati, mencatat, merekam, dan kemudian melaporkannya kepada publik dengan frame atau sudut pandang tertentu. (Pawito, 2009: 10). Media massa menurut Herman dan Chomsky terlibat dalam suatu interaksi simbiosis (a symbiotic relationship), bahwa penyediaan informasi media massa digerakkan oleh kebutuhan ekonomi (economic necessity) dan pertukaran kepentingan (reciprocity of interest). Media membutuhkan keberlangsungan media yang menjadi “bahan dagangannya”. Sumber berita membutuhkan media massa guna memaparkan ide dan dirinya pada khalayak. Sementara di sisi lain khalayak membutuhkan berita tentang kejadian dilingkungan yang “mengitarinya”. Pada titik inilah wartawan menjadi mediator utama sebagai penghubung a symbiotic relationship tersebut. (Sulhan,
2006: 330)
Hal yang sama akan berlaku ketika surat kabar akan meliput pemilihan Gubernur. Para Calon Pasangan Gubernur akan membutuhkan media massa untuk menyampaikan ide-ide atau visi misinya kepada khalayak. Di sisi yang lain media massa juga membutuhkan politikus sebagai sumber berita yang akan menghiasi surat kabar atau media elektronik dan new media yang berbasis internet tersebut. A symbiotic relationship ini akan berlangsung secara berkesinambungan karena keduaya merasakan saling membutuhkan. Dengan demikian kedua belah pihak juga akan berusaha agar hubungan yang baik terus terjalin.
14
Fungsi media massa, mengidentifikasikan tiga fungsi pokok media: pertama, the surveillance of the environment (pengawasan terhadap keadaan lingkungan). Kedua, the correlation of the parts of society in responding to the environment (menghubungkan bagian-bagian masyarakat dalam lingkungan). Dan terakhir, the transmission of the social heritage from one generation to the next (mentransmisikan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. (Pawito, 2009: 92) Fungsi pengawasan merujuk pada aktivitas media massa dalam mencermati dan melaporkan peristiwa-peristiwa penting kepada publik. Dari sinilah, publik mengetahui dan kemudian memberikan respon peristiwaperistiwa tersebut. Dalam pengertian ini, fungsi pengawasan tidak sekedar pemberitaan, akan tetapi mencakup upaya menyingkap ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun kehidupan bermasyarakat. Fungsi penghubung lebih berkenaan dengan kiprah media massa dalam menyediakan diri sebagai forum untuk adanya diskusi, saling memperdengarkan pendapat, tuntutan dan aspirasi-aspirasi bagi semua kelompok masyarakat. Fungsi media sebagai transmisi warisan sosial adalah peran media massa dalam proses sosialisasi dan edukasi bagi masyarakat luas. Isi dari sosialisasi ini adalah nilai-nilai, norma-norma, dan kesepakatan-kesepakatan yang berkembang di masyarakat demi keutuhan dan terpeliharanya aturan sosial.
15
Kajian mengenai isi media dapat menimbulkan kerangka interpretasi yang beragam. Pemberitaan media atas sejumlah isu memperlihatkan kembali keberanian dan kejujuran dalam menentukan sikap dan pandangan. Media dalam upaya mendefinisikan suatu realitas sosial tidak selalu melakukannya secara eksplisit dan vulgar, melainkan melalui penyajian yang mengesankan objektivitas, keseimbangan dan sikap non partisan. Memahami media bukan hanya sebatas bagaimana menanggapi pesan yang di sampaikannya, melainkan juga mengerti bagaimana cara mereka bekerja, bagaimana mereka berbeda pengalaman secara personal, dan bagaimana mereka berbeda antara satu dengan yang lain. 2. Surat Kabar Berbicara tentang media massa tak lepas dari aktivitas jurnalistik. Jurnalistik atau journalisme adalah kegiatan penghimpunan berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.( Kusumaningrat, 2005: 15) Dalam kamus, jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah dan berkala lainnya. Bill Kovach dan Tom Rosensial menyebutkan sembilan prinsip atau elemen jurnalisme yakni: (Kovach & Rosenstial, 2003: 67)
a. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. b. Loyalitas pertama jurnalisme kepada warga. c. Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
16
d. Pada praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita. e. Jurnalisme harus berlaku sebagai pamantauan kekuasaan. f. Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. g. Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik dan relevan. h. Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. i. Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti hati nurani mereka. Kovach mengingatkan bahwa tujuan paling penting bagi jurnalisme adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Untuk itu independensi media sangatlah penting. Dalam penelitian ini, media yang dipilih adalah surat kabar. Menurut Harimurti Kridalaksana memberikan definisi surat kabar sebagai terbitan berkala yang memuat berita, risalah, karangan, iklan, dan sebagainya (Muchlis, 2000: 102) Sebagai medium komunikasi, surat kabar memiliki tiga fungsi mendasar, yaitu: (Muchlis, 2000: 102) a. Memberikan infromasi yang objektif kepada pembaca mengenai apa yang terjadi dalam lingkngannya. Negara dan apa yang terjadi di dunia. b. Mengulas berita-beritanya dalam tajuk rencana dan membawa perkembangannya menjadi fokus atau sorotan.
17
c. Menyediakan jalan bagi orang yang ingin menjual barang dan jasa untuk memasang iklan. Selain itu Edwin Emery menambahan fungsi surat kabar sebagai berikut: (Muchlis, 2000: 103) a. Memperjuangkan kepentingan masyarakat dan membantu meniadakan kondisi yang tidak diinginkan. b. Menyajikan hiburan kepada pembacanya dalam vbentuk cerita bergambar, cerita pendek, dan cerita bersambung. c. Melayani pembaca dengan menyediakan penasehat, biro informasi dan pembela hak-hak pembaca. Karakteristik yang dimiliki surat kabar, yaitu: (Winarni, 2003: 32-33).
a. Publisitas, penyebaran pada publik dan khalayak. b. Priodesasi, keteraturan terbit. c. Universitas, kesemestaan isinya, aneka ragam dari seluruh dunia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. d. Aktualitas, menunjuk pada kekinian atau terbaru dan “masih hangat” 2. Berita Isi media massa adalah berita, Para wartawan atau jurnalis akan mengumpulkan berbagai informasi tentang kejadian-kejadian yang berlangsung dan menuliskannya dalam bentuk berita. Berita, menurut Siregar
18
adalah cerita tentang fakta sosial yang direkonstruksikan untuk kemudian diceritakan. (Siregar, 2006: 250) Cerita tentang fakta sosial inilah yang kemudian ditampilkan di media massa. Motif khalayak dalam menghadapi media massa khususnya media jurnalisme pada dasarnya adalah untuk mendapatkan fakta sosial. Berita (newstory) menurut Brook dadapat dibicarakan dalam berbagai definisi bertolak dari nilai suatu fakta. Rumusan inilah yang menjadi standar kelayakan berita (newsworthy). Dalam pengertian ini nilai suatu berita bersifat intrinsik sesuai dengan pemaknaan yang dilakukan oleh khalayak. Menurut Siregar, suatu fakta terikat dalam ruang dan waktu spesifik yang dianggap memiliki nilai lebi dari proses sosial yang berlangsung. Nilai atau pemaknaan ini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu penting dan menarik. Fakta dianggap penting sebagai informasi karena memenuhi kepentingan pragmatis sosial khalayak, membawa implikasi dalam peran dan keberadaan sosial dan khalayak.( Siregar, 2006: 264) Berita harus memperhatikan obyektifitas dari setiap peristiwa. Jhon Zaller mengatakan news should provide citizens with the basic information necessary to form and update opinions on al the major issues of the day, including the performance of top public officials ( berita harus mampu menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat dengan informasi-informasi mendasar serta mampu memberikan kebaruan informasi mengenai opini publik tentang semua isu-isu penting dan utama yang terjadi di sepanjang hari, termasuk mengenai opini publik).(Zaller, 2003: 237) Selain itu Scholars, mengatakan bahwa sumber berita juga bisa mempengaruhi berita. Oleh karena
19
itu media harus menerima informasi dari sumber-sumber berita penting. Misalnya, wartawan sering perlu untuk memenuhi sumber berita mereka dengan membuat berita yang menguntungkan bagi mereka. (Han Soo Lee: 264) Media dalam membuat berita harus mempertimbangkan apa kebutuhan publik untuk mengetaui tentang isu-isu sosial dan menyarankan langkahlangkah yang tepat untuk mengatasi masalah sosial. Syarat-syarat untuk mencapai kualitas berita menurut Mitchell V. Charnley dalam bukunya reporting: a. News is Accurate ( berita itu harus akurat, tepat, teliti, atau seksama) Ketepatan atau ketelitian itu meliputi: Ketelitian fakta itu sendiri artinya bahwa setiap pernyataan dalam berita, nama orang, jabatan, gelar, tempat peristiwa, hari dan tanggal peristiwa, setiap kata atau kalimat definitif, setiap angka atau data statistik,
harus
dsajikan
secara
tepat
dan
tidak
menimbulkan
kesalahpahaman, baik bagi orang-orang yang diberitakan, maupun bagi khalayak pembaca. Kesan ketelitian berita secara umum merupakan ketepatan atau ketelitian berita di sini tidak hanya terbatas kepada ketelitian mengenai rincian fakta yang spesifik tetapi ketelitian mengenai keseluruhan berita secara umum, yaitu cara-cara ketelitian tersebut dikatakan bersama-sama dan tekanan yang diberikan. b. News is Balanced ( berita itu harus seimbang). Aspek keseimbangan di sini meliputi:
20
Penekanan dan kelengkapan artinya bahwa setiap faktaumumnya mempunyai hubungan yang erat dengan fakta-fakta lain dan membangun hubungan yang penting dengan urutan peristiwa secara keseluruhan. Kelengkapan yaitu bahwa kelengkapan pada umumnya adalah masalah keseimbangan fakta-fakta terpilih dan menyuguhkan suatu gambaran lengkap mengenai keseluruhan peristiwa yang dapat dimengerti pembaca. Memilih dan menyusun artinya agar berita itu lengkap, reporter tidak hanya meliputi kesempatan akhir dari suatu peristiwa secara rinci, melainkan reporter tersebut mampu memilih dan menyusn fakta-fakta sehingga ia dapat memberikan suatu keseimbangan pandangan dari seluruh situasi berita. c. News is Objektive ( berita itu harus objektif). Maksud objektif di sini ialah: Ditulis apa adanya artinya reporter dalam memilih dan menyusun berita tidak memasukkan prasangka-prasangka pribadinya atau pesan dari pihak lain. Berita harus jujur merupakan erat kaitannya dengan berita interpretasi. Seringkali masalah yang diberitakan itu sangat kompleks, sehingga dengan sendirinya memaksa reporter mengadakan interpetasi. Dalam berita atau laporan interpretasi reporte harus dapat mengungkapkan latar belakang yang relevan untuk menjelaskan berita yang kompleks tersebut
21
sehingga dapat menolong pembaca untuk dapat lebih memahami suatu permasalahan yang diberitakan. Objektivitas dalam kaitannya dengan peliputan berita sebetulnya merupakan suatu variabel yang sulit diuur, karena dua hal: Pertama, karena reporter adalah manusia, dan manusia tidak pernah mampu melepaskan diri secara keseluruhan dari pengaruh opini dan perasaan dari emosi mereka. Kedua, karena dalam peristiwa yang kompleks, reporter tidak mungkin bisa melihat seluruh situasi kejadian secara keseluruhan. Berita secara objektif ialah laporan mengenai suatu fakta yang mereka amati tanpa pandangan berat sebelah (bias). d. News is Concise and Clear (berita harus singkat dan jelas) Penyajian berita pada hakekatnya harus sejalan dengan bentuk berita. Berita harus merupakan satukesatuan, singkat, jelas, dan sederhana. Sebuah berita yang hambar, yang ngambang, tidak terorganisir, atau memiliki dua makna dalam tujuan isinya, tidaklah memiliki kualitas berita. e. News is Recent ( Berita itu harus baru) Tekanan pada unsur waktu dari suatu berita adalah penting karena pada masyarakat pada umumnya menyadari tentang eksistensi alam yang bersifat sementara, segala hal selalu berubah, dan konsumen berita atau pembaca biasanya menginginkan informasi paling baru, paling aktual, mengenai pokok berita yang berhubungan dengan perubahan tersebut. ( Romli, 2003: 35-38)
22
Sekarang dapat dilihat, bagaimana pembuatan berita dilihat dari sudut pers, pers mempunyai pertimbangannya sendiri ketika secara aktif menggali bahan bertita dari pemerintah atau pun menerima berita dari pemerintah. Dalam sistem politik apapun dan dalam kebudayan politik manapun, dalam setiap negara, posisi dan peranan pemerintah bersifat dominan. Berdasar International Journal of Communication 4(2010) ditulis Andrea Czepek and Ulrike Klinger dari Jade University of Applied Sciences, Wilhelmshaven: “ ... Diversity of news, it may relax the media fusion control laws. Thus, the pluralismparadigm might be neglected, with the likely result that print media ownership concentration will beaccelerated as a result of political decisions.” “Keragaman isi berita, mungkin bersantai hukum fusi kontrol media. Dengan demikian, pluralismparadigm mungkin akan diabaikan, dengan hasil kemungkinan bahwa konsentrasi kepemilikan media cetak akan beaccelerated sebagai akibat dari keputusan politik.”
3. Objektivitas Media Obyektivitas merupakan bentuk profesionalitas yang ideal untuk mencapai sebuah tujuan, menghendaki skill yang merata, dimana segala usaha tidak hanya dilakukan oleh perorangan, tetapi oleh keseluruhan organisasi media massa tersebut. (McQuail, 1992: 184)
Dengan kata lain, untuk
mencapai penyajian informasi yang berkualitas, insan media seperti wartawan tidak dapat melakukan upaya tersebut sendirian, tetapi harus didukung oleh organisasi media seperti editor, juga staf pimpinan media yang bersangkutan.
23
Obyektivitas sendiri merupakan bentuk khusus dari praktisi media dan juga sikap khusus dari tugas pengumpulan, proses dan penyebaran informasi. Yang utama adalah pengadopsian sebuah posisi tidak dipengaruhi siapapun dan tidak memihak salah satu pihak yang menjadi obyek dalam pemberitaan. Hal ini berarti sungguh lepas dari unsur subyektivitas atau adanya unsur individu yang melingkupinya. Yang kedua adalah mengurangi partisanship, tidak memihak atau tidak menunjukkkan bias. Ketiga, obyektivitas menghendaki strict attachment agar akurat dan kriteria kebenaran yang lainnya
(seperti
relevance
dan
completeness).
Obyektivitas
juga
mengasumsikan sedikitnya maksud tersembunyi atau melayani sebuah partai politik tertentu. Proses
pengamatan dan reporting sebaiknya tidak
terkontaminasi oleh unsur subyektivitas atau tidak terpengaruh oleh realitas yang dilaporkan. Pada dasarnya apa yang disajikan media massa adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan dan Stephen D. Reese di kutip Agus Sudibyo, menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan diantaranya: (Sudibyo, 2001: 7) a. Faktor individual. Berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, agama, pendidikan, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media atau aspek personalitas dari wartawan akan mempengaruhi pemberitaan.
24
b. Level rutinitas media. Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, ciri-ciri berita yang baik, kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah ritinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya.( Sudibyo, 2001: 8) Setiap media memiliki kebijakan redaksional yang berbeda dalam menentukan mana yang layak di muat dan mana yang tidak, mana yang perlu ditonjolkan sebagai sajian utama (headline) dan mana saja yang dianggap tidak penting sehingga ditulis singkat dan diletakkan pada halaman dalam, hal ini tidak terlepas dari keinginan media untuk membangun citra jurnalismenya. (Panuju, 2001, 130) Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita. c. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan, mereka mempunyai tujuan dan target masingmasing. Sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. (Sudibyo,
2001: 9)
25
d. Level ekstramedia berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada diluar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan diluar media, diantaranya: a) Sumber berita. Kepentingan sumber berita ini seringkali tidak disadari oleh media. Pengelola media tidak sadar, lewat teknik yang canggih, sebetulnya orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan sumber berita. Media tidak sadar, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang di rasakan oleh sumber berita tersebut. (Sudibyo, 2001: 10.) b) Sumber penghasilan media. Masuknya faktor ekonomi ke dalam pembuatan berita yang paling jelas ialah melalu kenyataan bahwa organisasi berita adalah usaha ekonomi yang menghidupi diri terutama melalui penjualan produk dan periklanan. Misalnya, media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan.
Pihak
pengiklan
juga
mempunyai
strategi
untuk
memaksakan versinya pada media. Pelanggan juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.(Sudibyo, 2001: 11.) c) Sumber eksternal, seperti pemerintah dan dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita
26
yang akan disajikan. Media hanya menjadi alat bagi kekuasaan untuk memperoleh apa yang di inginkan. Berbeda dengan negara demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.(Panuju, 2001: 43.) d) Level ideologi. Ideologi disini diartikan sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkrit, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan. (Sudibyo, 2001: 12.) Model yang paling mendekati obyektivitas yang ideal adalah model yang dibuat oleh Westersthal, yang mengadopsi peraturan penyiaran di Swedia, meski menghindari istilah obyektivitas yang menghendaki ketidakberpihakan. Secara umum Rosenger membagi model tersebut kedalam dua dimensi, yakni dimensi kognitif dan dimensi evaluatif. Garis besar model Westerthal adalah: Model yang paling mendekati obyektivitas yang ideal adalah model yang dibuat oleh Westersthal, yang mengadopsi peraturan penyiaran di Swedia, meski menghindari istilah obyektivitas yang menghendaki ketidakberpihakan. Secara umum Rosenger membagi model tersebut kedalam
27
dua dimensi, yakni dimensi kognitif dan dimensi evaluatif. Garis besar model Westerthal adalah: Objektifitas Kefaktualan Kebenaran
Relevansi
Impartialitas Keberimbangan
Netralitas
Informatif Gambar 1.1 : Model Westerhal (McQuail, 1992: 196.) Yang meliputi dimensi kognitif adalah aspek faktuality, sementara dimensi evaluatif adalah aspek impartiality. (McQuail, 1992: 197.) McQuail menjabarkan bahwa aspek kognitif berita sangat terkait dengan faktualitas (factuality). Faktualitas diartikan sebagai kualitas informasi yang dikandung oleh suatu berita, sedangkan kriteria kualitas informasi adalah potensial bagi audiens untuk belajar tentang realitas. Faktualitas memiliki tiga aspek utama yaitu truth (kebenaran), informativeness dan relevance. McQuail membagi kebenaran menjadi tiga subaspek yaitu factualness, accurate dan completeness. Informativness berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kualitas pemahaman dan pembelajaran tentang peristiwa yang terjadi, manusia ataupun benda, sedangkan aspek relevance berkaitan dengan standar kualitas proses seleksi berita. McQuail memberikan empat acuan
28
untuk menentukan standar aspek relevance yaitu teori normatif, praktik jurnalistik, audience dan dunia nyata. McQuail membedakan aspek evaluatif menjadi dua, yaitu balance dan neutrality. Balance berhubungan dengan seleksi atau penghilangan fakta-fakta yang mengandung nilai atau expression point of view. Sedangkan neutrality berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri, yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata-kata, citra dan frame of reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi yang berbeda. Neutrality sering disamakan dengan ketidakberpihakan dalam pemberitaan namun perbedaannya dengan balance, netralitas lebih berkaitan dengan aspek presentasi penempatan suatu berita, keutamaan relatif, headlining, dan pilihan kata. Secara umum obyektivitas mensyaratkan pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali dan berhati-hati. Dengan demikian penggunaan kata-kata ambigu, emosional atau warna dalam presentasi hanya akan menjauhkan netralitas dan obyektivitas. Salah satu masalah jurnalisme berakar pada pemikiran tradisional tentang objektivitas. Objektivitas adalah hal yang didasarkan pada asumsi yang salah tentang jenis-jenis kebenaran bahwa jurnalisme dimaksudkan untuk mengejar kelengkapan sebuah berita. Akibatnya, jurnalisme tersebut mengandalkan sebuah metode karena waktu yang terbatas dan jurnalisme tidak dapat menerapkan ilmu pengetahuan karena menghadapi tugas yang sangat berbeda dengan yang dihadapi dalam perkuliahan atau menuntut ilmu. Christie Blatchford dan Stephen Ward, Kedua praktisi dan teoretisi
29
mengatakan ketidaksempurnaan itu bukan alasan untuk subjektivitas yang tidak bertanggung jawab. Wartawan harus tetap mendorong prinsip kebenaran. (Turner. Kearns, 2010: 78) Ward juga berpendapat, bahwa reporter tidak bekerja sendiri atau secara individu, misalnya ada rekan-rekan dikorannya atau outlet media terutama editornya. Namun untuk menghindari bias yang dilakukan seorang wartawan atau koran oleh industri yang besar maka dapat dilakukan pemantauan dengan memberikan kesempatan pembaca dengan menyediakan banyak account dari acara yang sama. (Turner. Kearns, 2010: 79.) 4. Netralitas Media Media massa dalam setiap pemberitaannya haruslah bersifat netral terutama berita politik karena pemberitaan yang bersifat tidak netral akan memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat, di mana masyarakat dapat menentukan sikap politiknya. Maka dalam hal ini media harus bersifat netral dalam pemberitaannya tidak memihak pada salah satu pihak yang berkuasa maupun yang tidak. Sehingga media lebih mengutamakan fungsinya sebagai sumber informasi bagi masyarakat. Berita yang netral adalah berita yang tidak memihak.(Mursito, 2012: 16) Netralitas lebih diorientasikan pada fakta. Yang pertama, adalah kelengkapan fakta. Berita yang netral adalah berita yang mengungkapkan peristiwa dengan fakta-fakta yang lengkap, tidak ada penambahan dan pengurangan. Yang ke dua, adalah akurasi fakta. Berita harus bisa menggambarkan peristiwa dengan bahasa yang jelas. (Mursito, 2012: 17) Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media massa pada
30
dasarnya tidak bebas nilai. Ujian terberat bagi media massa, yakni menyeimbangkan kebeeasan pers dalam memberikan informasi atau pemberitaan dengan porsi tanggung jawab yang diembannya. Ia harus memposisikan netral. Keputusannya tidak boleh mau diintervensi penguasa, walaupun diberikan imbalan. Karena etika kebijaksanaan pers bertujuan melakukan pendidikan terhadap rakyat. Maka pers tidak boleh tergoda oleh imbalan dan etika aturan moral. Berasal dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain. Definisi etika ini juga berlaku untuk kelompok media sebagai subjek etis yang ada. Setiap arahan dan aturan moral mempunyai nilai dan level kontekstualisasi. Bisa pada tingkat individu, kelompok, komunitas atau sistem sosial yang ada. Dapat dikatakan bahwa etika pada level tertentu sangat ditentukan oleh arahan sistem sosial yang disepakati. Keseimbangan dalam pemberitaan (balance) dan netralitas (neutrality) sering disamakan dengan ketidakberpihakan. Keseimbangan berhubungan dengan seleksi dan substansi sebuah berita, yakni seleksi fakta yang ingin ditampilkan dalam berita. Keseimbangan dalam berita dapat dilihat dari elemen keseimbangan representasi sumber berita yang dikutip dalam peliputan, kecenderungan pernyataan yang berlebihan di dalam pemberitaan, melalui kalimat pujian atau kritikan, dan keseimbangan dalam data dan fakta yang dibutuhkan dalam menyampaikan berita. Bila keseimbangan berita dapat dilihat dengan jelas pada berita, maka aspek netralitas dapat dipahami bila keseluruhan berita telah dimengerti dan seringkali netralitas tidak eksplisit.
31
Pada dasarnya netralitas menempatkan berita pada posisi seimbang dan tidak melebih- lebihkan fakta. Di dalam aspek netralitas terdapat dua sub dimensi, yakni non- evaluative (berita tidak memberikan penilaian atau judgement) dan non- sensasional (berita tidak melebih- lebihkan fakta yang diberitakan). Dalam Journal of Communication 4 (2010: 721), Yasmine T. Dabbous mengatakan: “Together, fairness and balance constitute one of the main tenets of objectivity (Cohen-Almagor, 208; Mindich, 1998). Others include detachment, nonpartisanship, accuracy, and truthfulness. The two concepts have replaced the unachievable sense of objectivity as scientific neutrality, popular at the beginning of the 20th century (Durham, 1998; Fico & Cote, 1997). Mindich (1998) compares fairness and objectivity to a seesaw. “The idea here is that journalists can find truth by offering two competing truth claims,” he wrote (p. 7). Although journalism reviews and textbooks frequently refer to objectivity, fairness, and balance as standards of quality journalism, the concepts have been strongly questioned in the academic field, especially in the latter part of the 20th century (Durham, 1998). Some scholars questioned the sometimes be distorting or unjust (Cohen-Almagor, 2008; Fuller, 1996; Hackett, 1984; Mindich, 1998; Rosen, 1993). Scholars pointed out that objectivity is an ideological device that serves to protect journalists (Tuchman, 1972), to improve the media’s profit margins by maximizing circulation. Hackett (1984) argued that language is not neutral; the use of words and idioms necessarily implies the presence of bias. Stuart Hall (1982) contended that media were not independent agencies that merely reflected reality. By structuring, selecting, and presenting facts, the press “defined, not merely reproduced, reality,” Hall wrote (p. 64). “Keadilan dan keseimbangan merupakan salah satu prinsip utama objektivitas (Cohen-Almagor, 208; Mindich, 1998). Lainnya termasuk detasemen, nonpartisasi, akurasi, dan kejujuran. Dua konsep telah menggantikan ketidakobjektivitasan sebagai netralitas ilmiah, populer pada awal abad ke-20 (Durham, 1998; Fico & Cote, 1997). Mindich (1998) membandingkan keadilan dan objektivitas untuk jungkat-jungkit. "Idenya di sini adalah bahwa wartawan dapat menemukan kebenaran dengan menawarkan dua klaim kebenaran yang bersaing. Meskipun jurnalisme ulasan dan buku teks sering mengacu kepada objektivitas, keadilan, dan keseimbangan sebagai standar
32
jurnalisme berkualitas, konsep telah sangat dipertanyakan dalam bidang akademik, terutama di bagian akhir abad ke-20 (Durham, 1998). Beberapa ahli mempertanyakan kadang menjadi distorsi atau tidak adil (Cohen-Almagor, 2008; Fuller, 1996; Hackett, 1984; Mindich, 1998; Rosen, 1993). Para ahli menunjukkan objektivitas yang merupakan perangkat ideologis yang berfungsi untuk melindungi wartawan (Tuchman, 1972), untuk meningkatkan margin keuntungan media dengan memaksimalkan sirkulasi. Hackett (1984) berpendapat bahasa yang tidak netral, penggunaan kata-kata dan idiom tentu menyiratkan adanya bias. Stuart Hall (1982) berpendapat bahwa media tidak lembaga independen yang hanya mencerminkan realitas. Dengan fakta penataan, memilih, dan penyajian, pers didefinisikan, bukan hanya direproduksi, kenyataannya.”
Keseimbangan berita dapat dilihat jelas pada berita, maka aspek netralitas dapat dipahami bila keseluruhan berita telah dimengerti, dan seringkali netralitas tidak eksplisit. Pada dasarnya, netralitas menempatkan berita pada posisi yang seimbang dan tidak melebih-lebihkan fakta. Netralitas dapat diamati dari empat elemen yakni sensasionalisme, stereotype, juxtaposition, dan linkage.
Netralitas
Sensationalism
Stereotype
Juxtaposition
Linkages
Gambar1.2: Aspek Netralitas McQuail (McQuail, 1992: 196.)
33
Netralitas dapat diukur berdasarkan emat hal yaitu sensasionalism, stereotype, junxtaposition, linkage. Sensasionalisme diartikan sebagai suka menimbulkan sensasi. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian orang lain. Stereotype berarti pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam menyajikan sebuah berita. Atribut bisa memiliki asosiasi yang negatif ataupun positif, tetapi tidak pernah bersifat netral atau berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Junxtaposition dapat diartikan sebagai menyandingkan dua hal yang berbeda untuk menimbulkan efek kontras yang akhirnya menambah kesan dramatis pada berita yang disajikan, dengan begitu junxtaposition dapat mengubah atau menggeser pemaknaan dua fakta tang sebenarnya berbeda, menjadi berhubungan secara kontras. Linkages menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk memberikan efek asosiatif. Linkages biasanya digunakan untuk menghubungkan dua fakta yang berbeda sehingga dianggap atau diasosiasikan memiliki sebab akibat. (Dewan Pers, 2006: 26) Jika dalam suatu berita mengandung salah satu unsur diatas, dapat menjadikan berita tersebut bernilai tidak netral. Maka jika ditemukan lebih dari satu unsur, maka akan memperkuat penilaian ketidaknetralan berita. 5. Analisis Isi a. Pengertian Analisis Isi Analisis Isi (Content Analysis) menurut Bell (2001:13) secara sederhana diartikan sebagai metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks dapat berupa kata kata,
34
makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis Isi berusaha memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks, dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan (Ekomadyo, 2006 : 2). Menurut Ekomadyo, (2006 : 3), metode Analisis Isi menjadi pilihan untuk diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah teks. Ada beberapa pertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan metode Analisis Isi, yaitu: 1) Pertanyaan tentang prioritas/ hal penting dari isi teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis citra atau cerita dari peristiwa yang direpresentasikan. 2) Pertanyaan tentang “bias” informasi dalam teks, seperti komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan dalam berbagai representasi. 3) Perubahan historis dalam modus representasi. b. Prosedur Analisis Isi Menurut Penelitian Analisis Isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai dibalik teks itu. Metode Analisis Isi menuntut beberapa persyaratan: objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan. Objektif berarti prosedur dan kriteria pemilihan data, pengkodean serta cara
35
interpretasi harus didasarkan pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti inklusi dan ekslusi atau kategori harus berdasarkan aturan yang konsisten. Dapat digeneralisasikan, berarti tiap temuan harus memiliki relevansi teoretis (Ekomadyo, 2006 : 5). Neuman (2000 : 296-298) menyebutkan langkah-langkah dalam meneliti dengan metode Analisis Isi, yaitu (1) menentukan unit analisis (misalnya jumlah teks yang ditetapkan sebagai kode), (2) menentukan sampling, (3) menentukan variabel, (4) menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik kesimpulan. Philip Bell lebih detail menjelaskan proses mengkodekan isi dengan menentukan variabel (variables) dan nilai (values). Sebuah variabel isi adalah macam-macam dimensi (ukuran, jangkauan range warna, posisi dalam sebuah halaman atau dalam sebuah buletin berita). Sebuah variabel terdiri atas nilai-nilai (values) yang dapat disubstitusikan satu sama lain karena mereka mempunyai kelas yang sama. Nilai yang didefinisikan dalam setiap variabel sebaiknya juga saling ekslusif dan mendalam. Hasil kuantitatif dari Analisis Isi berupa perbandingan (comparison) dan tabulasi silang (cross tabulations) dapat digunakan untuk menguji eksplisitas/ ketegasan hipotesis komparatif, serta kualifikasi kategorikategori dari manifestasi wujud/ isi. Prosedur Analisis Isi yang disusun oleh beberapa pakar di atas sebenarnya menunjukkan prinsip-prinsip yang tidak terlalu berbeda satu
36
sama lain, hanya varian yang bisa diterapkan dengan menyesuaikan objek dan lingkup penelitian. Secara umum, penulis mencoba menyimpulkan langkah-langkah umum dalam metode Analisis Isi yang akan dikembangkan dalam penelitian teks arsitektur, yaitu:
a. Tentukan topik penelitian b. Tentukan objek yang akan diteliti dan dan sampel penelitiannya c. Tentukan hipotesis secara jelas agar dapat dibuktikan secara terukur. Hipotesis sebaiknya diturunkan dari sebuah teori yang berlaku. d. Tentukan unit analisisnya (variabel dan nilai yang bisa dikodekan) e. Analisis secara kuantitatif tiap variabel dan nilainya. f. Penyimpulan, interpretasi dari hasil kuantitatif (Ekomadyo, 2006:5).
37
6. Kerangka Pemikiran
Media Massa (Surat Kabar)
Berita
Obyektivitas Kualitas Masyarakat/ Perusahaan Netralitas
Dampak (Impact) Kerangka berpikir dari penelitian ini pertama adalah media massa atau surat kabar, dimana surat kabar ini merupakan bentuk komunikasi melalui media massa yang ditujukan untuk massa atau khalayak luas. Surat kabar ini mempunyai fungsi untuk memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi. Surat kabar akan dikonsumsi oleh masyarakat atau perusahaan sebagai sarana informasi untuk mengetahui perkembangan yang ada di dunia sekitarnya. Oleh karena itu obyektivitas dan netralitas perlu dikedepankan, dalam arti tidak memihak
38
pada kepentingan individu atau bias agar mencapai penyajian informasi yang berkualitas
39
F. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. (Sugiyono, 2009: 63) Dalam penelitian ini hipotesis yang diangkat yaitu adanya prinsip netralitas media dalam pemberitaan kebijakan pemerintah terkait penetapan UU Pilkada 2014 pada surat kabar harian Kompas dan Suara Merdeka. H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenispenelitian analisis isi. Analisis isi adalah suatu tehnik sistematis untuk menganalisis isi pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisisi isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. (Krisyantono, 2006: 233) Prinsip analisis isi berdasarkan konsep diatas adalah: a. Prinsip Sistematis Ada perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. b. Prinsip Obyektifitas
40
Hasil analisis tergantung pada prosedur riset bukan ada orangnya. Kategori yang sama bila digunakan untuk isi yang sama dengan prosedur yang sama, maka hasilnya harus sama, walaupun risetnya berbeda.
c. Prinsip Kuantitatif Mencatat nilai-nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan. Diartikan juga sebagai prinsip yang digunakannya metode deduktif. d. Prinsip isi yang nyata Yang diriset dan dianalisis adalah isi yang tersurat (tampak) bukan makan yang dirasakan periset. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana netralitas media massa dalam menyajikan pemberitaan mengenai penetapan UU PILKADA 2014 pada harian Kompas. Dengan menggunakan analisis isi diharapkan mampu mendeskripsikan dan membuat perbandingan terhadap isi media, mengetahui fungsi dan efek media, dan mengetahui apakah ada bias media. (Krisyantono, 2006: 234) 2. Populasi dan Sampel Populasi adalah anggota dari objek yang ingin kita ketahui isinya. (Eriyanto: 109) Pengertian populasi menurut Sugiyono yaitu sebagai wilayah generalisasi
41
yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang itetapkan oleh periset untuk dipelajari, kemudian ditarik kesimpulan. (Krisyantono: 156) Populasi adalah konsep yang abstrak. Karena itu, populasi harus didefinisikan secara jelas agar anggota dari populasi dapat ditentukan secara cermat. Dalam penelitian ini, populasinya yaitu seluruh pemberitaan penetapan UU PILKADA 2014 pada Harian Kompas dan Suara Merdeka mulai tanggal 27 September – 23 Oktober 2014.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan periset untuk mengumpulkan data. (Krisyantono: 91) Dalam penelitian ini data pertama diperoleh dari dokumentasi berita dalam Harian Kompas dan Suara Merdeka selama 26 September – 23 Oktober 2014 sedangkan data sekunder diperoleh dari buku, dokumen, situs internet, majalah, atau artikel tentang sejarah, sepak terjang media, profil perusahaan Kompas yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan. 4. Unit Analisis dan Kategori Unit analisis dan kategori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 1
42
Unit Analisis dan Kategori Unit Analisis Berita Penetapan UU PILKADA 2014 di Harian Kompas dan Suara Merdeka
Kategori 1. Sensasionalisme 2. Stereotype 3. Junxtaposition 4. Linkage 5. Netral
Sumber: Data diolah Peneliti
5. Definisi Konsep dan Operasinal 5.1 Definisi Konsep a) Surat Kabar Surat kabar adalah kumpulan berita, artikel, cerita yang dicetak pada lembaran kertas berukuran plano, terbit secara teratur, bisa setiap hari atau seminggu sekali. (Djuroto, 2001: 11) b) Berita
43
Berita merupakan laporan tentang fakta sosial yang direkontruksikan untuk kemudian diceritakan.(Siregar: 250) Cerita tentang fakta sosial inilah yang kemudian ditampilkan di media massa. Berita harus menggunakan 5 W + 1 H dalam pemberitaannya yaitu What, siapa saja yang terlibat didalamnya, Where, di mana peristiwa itu terjadi, When, kapan peristiwa itu terjadi, Why, mengapa peritiwa itu bisa terjadi dan How, bagaimana terjadinya peristiwa itu, penelitian ini dibatasi hanya berita yang bersifat naratif tidak termasuk foto dan capsen. c) Netralitas Netralitas berarti tidak berpihak (tidak ikut membantu salah satu pihak) sedangkan netralitas berarti keadaan dan sikap netral (tidak memihak, bebas). Media massa dalam setiap pemberitaannya haruslah besifat netral dalam arti tidak memihak pada salah satu kelompok atau golongan dengan kata lain tidak bias.
5.2 Definisi Operasional Dari unit analisis dan kategori maka definisi operasional penelitian ini adalah:
44
Berita Penetapan UU PILKADA 2014 pada Harian Kompas dan Suara Merdeka mulai
27 September- 23 oktober 2014 yang didalamnya
terkandung kategori berikut ini: a. Sensasionalisme Sensasioalisme dapat diartikan sebagai sifat ingin menimbulkan sensasi. Tujuan sensasionalisme adalah untuk menarik perhatian orang lain. Sensasionalisme dapat diketahui melalui tiga elemen yakni personalisasi, emosionalisme, dramatisasi. Personalisasi merupakan pandangan yang melihat individu sebagai aktor utama yang palin berpengaruh dalam sebuah peristiwa. Emosionalisme dapat diartikan sebagai penonjolan aspek emosi (suka, benci, sedih, gembira, marah, dan sebagainya) dibandingkan aspek logis rasional dalam penyajian berita yang bersifat hiperbolik dan melebih-lebihkan sebuah fakta dengan maksud menmbulkan efek dramatis bagi pembacanya.(Rahayu, 2006: 24-25) Sebagai contoh: “SBY banjir kecaman dari berbagai pihak yang menyudutkannya” b. Stereotype Stereotype berarti pemberitaan atribut tertentu terhadap individu, kelompok bangsa tertentu dalam menyajikan sebuah berita. Stereotype dapat menjadikan individu kelompok atau bangsa tersebut memiliki asosiasi yang negatif ataupun positif, tetapi tidak pernah netral pada kenyataan yang sebenarnya. Penggunaan stereotype, baik yang bermakna
45
positif maupun negatif, daam penyajian berita dapat mengandung tuduhan keberpihakan wartawan atau media terhadap salah satu kelompok yang ada dalam masyarakat.( Rahayu, 2006: 26) sebagai contoh: “Pengesahan UU Pilkada itu juga dinilai sebagai bukti warisan buruk demokrasi Indonesia pada akhir rezim Susilo Bambang Yudhoyono.” c. Juxtaposition Juxtaposition diartikan sebagai menyandingkan dua hal yang berbeda untuk menimbulkan efek kontras, yang akhirnya menambah kesan dramatis pada berita yang disajikan. Dalam berita biasanya juxtaposition terjadi karena latar belakang informasi yang tidak memadai, penarikan kesimpulan yang terburu-buru oleh jurnalis, dan keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan efek tertentu dalam pemberitaan sehingga mengabaikan prinsip penghubungan dua fakta yang relevan. (Rahayu, 2006: 76). Tidak ada berita yang termasuk dalam kategori juxtaposition. d. Linkages Linkages adalah menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk menimbulkan efek asosiatif. Wartawan menggunakan linkages untuk menghubungkan dua fakta yang sebenarnya berbeda sehingga kedua fakta tersebut dianggap (diasosiasikan) memiliki hubungan sebab akibat. Linkages mirip denganjuxtaposition, yakni penarikan kesimpulan yang salah antara dua fakta atau lebih. Perbedaannya, linkage terlihat lebih relevan untuk dihubungkan. Penyebab linkage hampir sama dengan
46
juxtaposition, hanya saja linkage biasanya menghubungkan dua fakta yang relatif berkaitan. (Ibid: 77) Tidak ada berita yang termasuk dalam kategori linkages. e. Netral Netral adalah tidak memihak atau bias. Dengan kata lain wartawan dalam menuliskan berita tidak memasukkan unsur sensasionalisme, stereotype, juxtaposition, dan linkage. Sebagai contoh: “KPU Siapkan Pilkada Langsung” 6. Teknik Analisis Data Untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian tentang netralitas media massa terhadap pemberitaan Penetapan UU Pilkada 2014 pertama beritaberita tentang penetapan UU Pilkada di Harian Kompas dan Suara Merdeka periode 26 September-23 Oktober 2014 dianalisis melalui metode kuantitatif dengan teknik analisis isi. Langkah pertama adalah data dimasukkan ke dalam coding sheet yang di dalamnya memuat unit-unit analisis dan kategori, coding merupakan proses data mentah yang disusun secara sistematis. Selanjutnya data akan dianalisis menggunakan Uji Chi Square dua kelompok atau lebih (tabel silang), yang berfungsi untuk menguji perbedaan yang ada dalam sampel. Uji chi square adalah suatu teknik statistik yang dimaksud untuk menguji perbedaan antara dua kelompok atau lebih. (Slamet, 2013: 23)
47
Chi Square ini pada dasarnya untuk mengetahui apakah perbedaan frekuensi itu signifikan atau hanya terjadi secara kebetulan. Untuk uji Chi Square dua kelompok atau lebih digunakan rumus Chi Square berikut:
Dimana: Aij = Jumlah kasus yang diamati yang terkategori pada baris yang ke i di dalam suatu kolom ke j. Hij =Jumlah kasus diharapkan di bawah hipotesis nul yang terkategorikan pada baris yang ke i di dalam suatu kolom yang ke j. Nilai yang di hasilkan dengan rumus di atas tersebar pada Chi Square dengan: df = (B-1) (K-1) B = Banyaknya baris (atribut) K = Banyaknya kolom (kategori)
Kegunaan bagi pengujian suatu hipotesis di dalam suatu sampel (kelompok) menempatkan setiap individu atau objek yang diamati ke dalam salah
48
satu dari kategori-kategori yang ada. Kategori-kategori itu secara teknik kita sebut sel, cell (petak). Jumlah keseluruhan individu yang diamati itu haruslah N, yaitu jumlah kasus di dalam sampel kita. Dengan melihat besarnya frekuensi pada masing-masing sel, dapat kita hitung besarnya nilai dengan cara menggunakan rumus di atas. Cara menguji signifikansi nilai yang diperoleh dapat dicocokkan pada tabel uji nilai kritis . Dengan memperhatikan besarnya df, bila nilai yang diperoleh melebihi atau sama dengan nilai yang ada pada tabel maka pada taraf probabilitas tertentu ditolak. Sebaliknya bila tidak melebihi atau tidak menyamai nilai kritis maka diterima.( Slamet, 2013: 21) Syarat-syarat penggunaan Chi Square (Slamet, 2013: 34-35) 1. Untuk tabel kontingensi 2x2 yang mengandung petak atau petak-petak berfrekuensi kurang dari 5 maka harus pakai Koreksi Yates. 2. Untuk tabel kontingensi yang memiliki df > 1, chi square dapat dipakai asal dapat memenuhi syarat-syarat yang dikemukakan Siegel. 3. Bilamana besarnya n antara 20 dan 40, uji chi square bisa digunakan bila seluruh frekuensi-frekuensi yang diharapkan adalah 5 atau lebih. Bila ada petak frekuensi yang diharapkan kurang dari 5, maka chi square tidak dapat dipakai. Dan disarankan menggunakan uji Fisher. 4. Bilamana N < 20, gunakan uji Fisher untuk seluruh kasus. 7. Reliabilitas
49
Reliabilitas merupakan syarat penting dalam penelitian ilmiah. Uji reliabilitas berfungsi untuk menjaga reliabilitas masing-masing kategori. Hal tersebut merupakan suatu cara untuk mencapai objektivitas penelitian. Untuk memenuhi syarat obyektivitas, hasil perhitungan dari proses pengukuran unit analisis perlu diuji kembali. Untuk menguji reliabilitas dan validitas teknik ini, maka digunakan rumus Holsty sebagai berikut: (Eriyanto: 290) 2M R = ---------------N1 + N2
R : Reliabilitas antar coder M : Jumlah coding yang sama (disetuji oleh masing-masing coder) N1 : Jumlah coding yang dibuat oleh coder 1 N2 : Jumlah coding yang dibuat oleh coder 2 Proses uji reliabilitas dan validitas dilakukan dengan caa, peneliti menunjuk dua orang pengkoding. Sebelum melakukan koding terhadap berita-berita, keduanya harus membaca definisi operasinal dari kategori yang sudah ditentukan. Setelah memahaminya pengkoding membaca berita dan mengisi hasilnya di lembar coding. Hasil dari masing-masing penilaian di lembar koding dimasukkan ke dalam sebuah tabel besar untuk dibandingkan hasilnya pada judul berita yang sama hasil penilaian peneliti. Hasil penilaian dari kategori yang cocok adalah M. Dalam formula Holsti, angka reliabilitas minimum yang ditoleransi adalah 0,7 atau 70 %. Artinya, kalau
50
hasil perhitungan menunjukan angka reliabilitas di atas 0,7 berartialat ukur ini benarbenar reliabel. Tetapi, jika di bawah angka 0,7 berarti alat ukur (coding sheet) bukan alat yang reliabel. Dalam melakukan uji reliabilitas peneliti bertindak sebagai coder 1. Bertindak sebagai coder 2 adalah Rudhiyanto Cahyo yaitu mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2009 yang cukup memahami bidang jurnalistik dan paham dalam bidang komunikasi.
51