BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Eric Dunning dalam artikelnya di Jurnal Europan Journal on Criminal Policy and Researh yang berjudul Towards Sociological Understanding of Football Holiganism as A Word Phenomenon (2000) menyebutkan bahwa holiganisme adalah fenomena perilaku kekerasan yang sedikit banyak berkaitan dengan ranah sepak bola. Ini bisa meliputi konflik fisik antar kelompok suporter, menyerang pemain lawan, vandalisme terhadap klub lawan dan sejenisnya. Holiganisme dilekatkan pada perilaku suporter sepak bola yang berasal dari Inggris yang terkenal dengan aksi kekerasannya (Dunning dalam Junaedi, 2012:4). Hooliganisme di Eropa telah menjadi wabah dalam pertandingan sepak bola, salah satu puncak dari holiganisme di Eropa terjadi ketika suporter Liverpool secara brutal menyerang suporter Juventus dalam pertandingan Piala Champion pada tahun 1985. Tragedi itu terjadi di Stadion Heysel, Brussel, Belgia bulan Mei 1985, ini menjadi contoh kebrutalan suporter Eropa dan dikenal sebagai tragedy Heysel. Kemenangan 1 – 0 Juventus harus dibayar mahal dengan tewasnya 39 orang Juventini, dan mencederai puluhan penonton lainnya (Junaedi, 2012:12).
1
2
Sepak bola juga menjadi identitas ekspresi identitas perlawanan nasional. Perang Balkan dimana Kroasia berusaha meraih kemerdekaan dari Yugoslavia yang didominasi oleh Serbia pada awal pertengahan dekade 1990-an adalah sebuah fakta bersejarah tentang relasi sepak bola dengan gerakan perlawanan politik. Adalah partai big match antara Dinamo Zagreb yang dianggap sebagai representasi Kroasia dan Red Star Beograd yang dianggap representasi dari Serbia yang dianggap sebagai salah satu bagian penting yang mematik perang kemerdekaan Kroasia. Pertandingan dalam Liga Yugoslavia antara kedua klub pada tahun 1990 ini berakhir dengan kerusuhan saat pemain Kroasia Zvonimir Boban menendang polisi Yugoslavia yang berasal dari Serbia. Tendangan Boban ibarat ”proklamasi” kemerdekaan Kroasia yang mematik perang brutal di semenanjung Balkan (Junaedi, 2012:4) Keterlibatan sepak bola dalam gerakan perlawanan semakin terlihat ketika suporter dari dua klub besar di Kroasia, Bad Blue Boys suporter Dinamo Zagreb dan Torcida suporter dari Hanjulk Split bergabung dalam milisi Kroasia dalam perang melawan kekuatan Serbia yang mewarisi sebagian besar persenjataan Yugoslavia. Militasi kedua kelompok suporter ini diabadikan dalam monumen yang berisi daftar anggota milisi mereka yang gugur di medan perang Balkan. Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu
3
fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna. Dalam perkembangannya banyak film yang menggambarkan kegilaan serta identitas dan perilaku suporter. Salah satunya Green Street Hooligan yang merupakan kisah kehidupan kelompok suporter sebuah klub di dataran Inggris. Film ini mengisahkan dinamika kelompok suporter yang rela memberikan apa saja bagi tim kesayangannya. Meskipun bukan sebagai tim papan atas,tapi kelompok ini tak segan – segan dan terus mendukung dan mengorbankan apa saja, termasuk nyawa mereka. Beberapa tahun belakangan ini kelompok suporter di Indonesia mulai mengadopsi istilah dan perilaku dari suporter yang berasal dari luar negeri. Istilah hooligan dan Ultras mulai menjamur di kalangan suporter Indonesia. Dengan menyebut diri mereka hooligan mereka ingin menunjukan bahwa mereka juga loyal terhadap klub layaknya suporter hooligan di Inggris. Beberapa kelompok suporter di Indonesia juga menyebut diri mereka sebagai Ultras, dengan menirukan perilaku seorang Ultras, terutama Ultras Italia. Dengan kemegahan dan kesuramannya, Ultras adalah fenomena luar biasa di Italia. Ultras merupakan representasi masyarakat Italia sekaligus identitas calcio. Seperti halnya kualitas Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, juga strategi permainan ala catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di
4
dunia, maka Ultras kemudian menjadi rujukan dan refrensi bagi suporter di negara – negara lain. Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri seperti Barras Bravas (Argentina dan sebagian Amerika Latin), Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras. Meski pada perjalanannya terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Aristoteles di abad ke – 4 SM menyebutkan bahwa manusia sebagai zoon politicon. Ia menganggap bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang tidak pernah bias lepas dari masyarakatnya. Manusia adalah makhluk kompleks yang senantiasa mengarahkan kediriannya kepada ikatan kelompok ataupun kepada individu dalam ikatan kelompok (Aristoteles dalam Sema, 2008:2). Menurut Festinger keterpaduan kelompok diawali oleh ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan interaksi sosial dan tujuan-tujuan pribadi yang menuntut adanya saling ketergantungan. Pada gilirannya kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaan dan penyesuaian terhadap standar kelompok (Festinger dalam Sarwono,2005:7). Berdasarkan hal di atas dalam hal ini kelompok suporter sepak bola tetap konsisten dengan kelompoknya untuk memberikan dukungan terhadap tim kesayangannya.
5
Sembilan Februari tahun 2000 lahirlah kelompok suporter klub Pelita, bernama Pasukan Soeporter Pelita Sejati atau yang disingkat dengan sebutan Pasoepati. Sinergi Pelita dan Pasoepati saat itu menjadi gairah baru yang mempersatukan publik bola Solo dan sekitarnya. Pasoepati adalah hasil akal budi seorang praktisi periklanan Solo, Mayor Haristanto. Pasoepati Ultras adalah salah satu kelompok dalam keluarga besar Pasoepati yang memiliki jiwa atau semangat Ultras layaknya Ultras di Italia. Pasoepati Ultras, sebelumnya hanyalah sekumpulan beberapa orang yang mengikrarkan kesetiaan pada satu klub asli kota Solo yaitu Persis Solo. Mengawali tahun 2011, digulirkannya kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) dan juga lahirnya klub sepak bola Solo FC, membuat Pasoepati turut serta menjadi suporter bagi klub Solo FC yang berkompetisi di Liga Primer. Namun, karena pada pertengahan tahun 2011 klub Solo FC melakukan merger dengan klub Persis Solo, maka Pasoepati kini hanya menjadi suporter bagi satu-satunya klub sepak bola asal kota bengawan, Persis Solo. Dalam perjalanannya Pasoepati Ultras membentuk dirinya menjadi kelompok dengan anggota yang mencapai ratusan, secara resmi mengikrarkan kelahirannya pada 2 November 2009. Banyak halangan dan rintangan dari dalam dan dari luar tubuh Pasoepati yang menjadikan Pasoepati Ultras kini lebih kompak. Menamakan diri Pasoepati Ultras tidak hanya karena memberikan
6
dukungan dengan cara ala Ultras, namun mereka memiliki ideologi seorang ultra yang kuat. Solid, militan, dan loyal kepada satu klub. Dalam hal memberikan dukungannya Pasoepati Ultras ingin seperti layaknya Ultras di Italia, namun tidak meninggalkan budayanya sebagai orang Indonesia. Bisa dikatakan Pasoepati ingin menjadi Ultras dengan cita rasa Indonesia. Mulai dengan pakaian ala Ultras yang dominasi hitam dengan selalu menggukan penutup kepala atau hoodi hingga penutup muka, dengan melakukan atraksi flares dan smoke dengan kibaran bendera – bendera raksasa. Tidak hanya sebatas itu, Pasoepati Ultras juga menggunakan mural sebagai ajang untuk menunjukan kreatifitas dalam memberikan dukungan kepada Persis Solo. Gambar 1. Gambar Mural yang dibuat oleh anggota Pasoepati Ultras
Mural sebagai salah satu media yang digunakan oleh Pasoepati Ultras untuk mem”Persis”kan kota Solo yang selama ini nama besar Persis Solo tenggelam di belakang kebesaran nama Pasoepati. (Sumber: Fans Page
Pasoepati Ultras)
Dalam perjalanannya banyak pro dan kontra terkait Pasoepati Ultras, pada awal kelahirannya Pasoepati Ultras selalu dituding bukan anggota dari keluarga besar Pasoepati, banyak tekanan yang di terima oleh Pasoepati Ultras
7
termasuk dari rekan – rekan Pasoepati yang lain. Pasoepati Ultras juga ikut berkontribusi dalam proses perdamaian kelompok suporter Pasoepati dengan Bonek, yang notabene pernah menjadi musuh. Solo Unity Curva Sud (SUCS), adalah buah karya pemikiran Pasoepati Ultras, SUCS adalah sebuah wadah atau tempat saling interaksi beberapa kelompok suporter yang berada di tribun sebelah selatan,WAM, Ultras 1923, Street Boys, Boys 1923, Dajjal Merah, dan lain – lain . SUCS adalah bagian dari keluarga besar Pasoepati, seperti layaknya Curva Nord Familia (CNF). Dalam awal perjalanannya SUCS memiliki banyak ganjalan, SUCS selalu dianggap oleh sebagian orang akan menimbulkan perpecahan di tubuh keluarga besar Pasoepati, sama seperti yang terjadi pada saat Ultras 1923 (kini - Pasoepati Ultras) mulai berdiri, banyak pihak yang selalu berpikiran bahwa Ultras 1923 adalah bibit perpecahan di tubuh Pasoepati, namun pada kenyataannya saat ini Pasoepati Ultras dan SUCS adalah adalah dua hal yang saling beriringan di dalam tubuh keluarga besar Pasoepati untuk memajukan Persis Solo dan Pasoepati. Dari sinilah peneliti mulai tertarik untuk melakukan studi tentang kelompok suporter Ultras yang dianggap baru sebagai sebuah fenomena, Ultras tentulah sangat menarik untuk dikaji bukan saja menyoal bagaimana Ultras berperilaku di dalam stadion serta atribut yang dipakai, tetapi juga bagaimana konstruksi identitasnya. Konstruksi identitas inilah yang nantinya membedakan antara kelompok suporter Ultras dengan kelompok suporter lainnya. Identitas ini
8
mengandung adanya perasaan memiliki suatu kelompok sosial bersama, melibatkan emosi dan nilai-nilai pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Individu akan berlomba meraih identitas positif dalam kelompoknya, yang secara tidak langsung ini akan mendobrak harga diri (self esteem) individu tersebut dalam statusnya sebagai anggota kelompok. Akan sangat menarik bila peneliti mampu memahami dan menjelaskan permasalahan yang akan diangkat. Mengingat secara pribadi, peneliti juga seorang yang sangat mencintai sepakbola. Dengan adanya penjelasan mengenai latar belakang yang telah diuraikan panjang lebar tersebut di atas, penulis memberikan judul skripsi ini “Konstruksi Identitas Suporter Ultras di Kota Solo : Studi Fenomenologi terhadap kelompok suporter Pasoepati Ultras”
B. RUMUSAN MASALAH Dengan melihat latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan masalah bagaimana konstruksi identitas suporter Ultras di Kota Solo ?
C. TUJUAN PENELITIAN Dari rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, mempunyai tujuan penelitian untuk mendeskripsikan bagaimana konstruksi identitas suporter Ultras di Kota Solo.
9
D. MANFAAT PENELITIAN 1.
Manfaat Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kajian sport communication tentang budaya Ultras yang ada di Kota Solo.
2.
Manfaat Secara Praktis Penelitian ini masyarakat akan
dapat diharapkan memberikan wawasan pada
konstruksi identitas suporter Ultras di Kota Solo
terhadap masyarakat luas, serta dapat menjadi bahan masukan kelompok suporter sepak bola tersebut.
E. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Penelitian Terdahulu Antonio Roversi dan Carlo Balestri dalam penelitiannya yang berjudul Italian Ultras Today : Change or Decline mengemukakan bahwa Ultras di Italia sangat berbeda dengan hooliganisme sepakbola.
Tabel 1.
Kajian Penelitian Terdahulu tentang Ultras
Judul Penelitian Italian Ultras Today : Change or Decline Inti Kajian
Meneliti sejarah dah karakter Ultras Italia dan perbandingan Ultras dengan Hooligan
Dimuat dalam
European Journal on Criminal Policy and Research
Hasil
Di Italia, fenomena ini muncul antara tahun 1960-
10
an dan awal 1970-an dan menyebar ke seluruh stadion dari kota – kota utama di utara, kemudian ke selatan. selama tahun 1980, itu diperluas hingga ke divisi amatir kecil. Di Italia, sebaliknya, hubungan antara sepak bola dan kelas pekerja dan antusiasme sepakbola selalu melibatkan sejumlah besar orang dari semua kelas sosial. Oleh karena itu, meskipun kelompok Ultras awalnya dipengaruhi oleh model hooligan Inggris, komposisi sosial yang cenderung lebih lintaskelas (juga terdiri dari komponen penting perempuan) dan khas dengan sistem politik bersama dengan kelompok ekstremis politik yang di Italia tahun 1960an dan 1970-an yang terlibat dalam demonstrasi dan memberikan contoh yang sangat baik dan kelompok, semangat dan kekompakan Ciri khusus gerakan Ultras dengan aksi dan bentuk organisasi dari bidang politik, dan memberkati diri dengan stabil, struktur organisasi yang kompleks mampu mebolisasi terhadap kegiatan internal (produksi spanduk dan bendera) maupun eksternal (produksi dan penjualan
gadget,
kartu
keanggotaan
langganan,
11
hubungan dengan klub, dan sebagainya). Perbedaanperbedaan ini
berhubungan dengan dua model
dukungan. Model Inggris, hooligan lebih meninggikan arti kelompok tetapi tidak ada komitmen dan konsistensi di luar pertandingan itu sendiri. Dan model Italia, kelompok Ultras lebih berorientasi dan mampu, berkat organisasi yang terstruktur untuk mengatur koreografi dan model dukungan yang melibatkan seluruh stadion dan membutuhkan pengeluaran uang yang cukup besar, tenaga dan koordinasi.
Pada penelitian terdahulu tentang fenomenologi suporter beberapa penulis seperti Ahmad Mukhlis (2008) dalam skripsinya yang berjudul Identitas Sosial Aremania : Representasi Dukungan Yang Sportif Dalam Sepakbola (Kajian Fenomenologi Terhadap Suporter Arema Malang) yang mengkaji tentang konstruksi identitas sosial Aremania dalam konteks sejarah kemunculannya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahuai bagaimana Aremania merepresentasikan dukungan yang sportif dalam sepak bola. Dan dari hasil penelitian ini Muklis
12
mendapatkan hasil penelitian Aremania merupakan sebuah fenomena komunitas yang sangat kompleks. Tabel 2.
Kajian Penelitian Terdahulu tentang Suporter Arema
Penelitian dan Identitas Sosial Aremania: Representasi Dukungan Judul Penelitian Yang Sportif Dalam Sepak Bola (Kajian Fenomenologi Terhadap Suporter Arema Malang) Inti Kajian
Berupaya meneliti konstruksi identitas sosial Aremania dalam konteks sejarah kemunculannya. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahuai bagaimana Aremania merepresentasikan dukungan yang sportif dalam sepak bola.
Pendekatan
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan jenis metode fenomenologis.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan konstruksi identitas sosial Aremania ditinjau dari sejarah kemunculannya. 2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam tubuh Aremania 3. Dengan adanya poin 1 dan 2, peneliti ingin mengetahui bagaimana Aremania mempresentasikan nilai sportivitas dalam memberikan dukungan.
Hasil
Aremania sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pembentukan identitas Aremania adalah watak masyarakat “Malang-an” yang terkenal dengan kekerasan dan kegigihan untuk pantang menyerah dalam keadaan apapun. Masyarakat “Malang-an” juga terkenal dengan kreatifitasnya dalam menanggapi sesuatu yang baru. Mereka juga memiliki keyakinan dan ketaatan yang tinggi
13
terhadap kebiasaan sebelumnya.
(nilai) yang ada generasi
Sementara faktor eksternal yang membentuk identitas sosial Aremania adalah keadaan budaya, politik, ekonomi serta keberadaan kelompok suporter lain (baik di dalam maupun luar negeri). Budaya kekerasan dalam sepak bola waktu itu, menjadi salah satu indikator mayarakat Malang lebih memilih menjadi Aremania ketimbang Ngalamania, meskipun keadaan itu bertentangan dengan keadaan politik dan ekonomi saat itu dimana kebanyakan masyarakat di Indonesia memilih klub yang dikelola oleh pemerintah kota/daerah. Lahirnya nilai (prototype) baru inilah yang kemudian menjadi bukti bahwa Aremania mampu mengkombinasikan faktor internal dengan eksternal yang ada. Ini juga sekaligus menjadi cara yang ditempuh Aremania untuk mempresentasikan identitas sosialnya. Proses representasi berjalan sesuai dengan fenomena yang melatarbelakangi. Dari waktu ke waktu Aremania senantiasa merekreasi cara mereka untuk merepresentasikan identitas sosialnya. Usaha representasi ini tidak hanya dilakukan oleh kelompok suporter secara bersama-sama. Akan tetapi juga pada tataran personal. Setiap Aremania memiliki cara dan usaha tersendiri untuk merepresentasikan identitas sosialnya.
14
2.
Kajian Teori a. Konstruksi Sosial Teori konstruksi sosial (social construction) yang dikemukakan oleh Peter Berger dan Thomas Luckmann merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger dan Luckmann, 2012:1). Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern campur-aduk, itulah
kenyataannya
yang
ada
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Masyarakat modern berarti masyarakat yang mengalami modernitas. Modernitas merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial. Sebagai
15
fenomena sosial, modernitas memang tidak terelakkan. Bagi Berger, modernitas dipengaruhi oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu yang lama (Berger dan Luckmann, 2012:11-19). Berger menjelaskan bahwa realitas itu bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk secara ilmah. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing (Berger dan Luckmann dalam Bungin, 2008:14-15). Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam hal ini komunikasi dilihat sebagai faktor konstruksi itu sendiri. Ketika manusia coba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada
16
hakikatnya manusia dalam proses komunikasi. Eksternalisasi, adalah suatu pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Dalam pembangunan
dunia,
manusia
karena
aktifitas-aktifitasnya
menspesialisasikan dorongan-dorongannya dan memberikan stabilitas pada dirinya sendiri. Karena secara biologis manusia tidak memiliki dunia-manusia maka dia membangun suatu dunia manusia. Manusia menciptakan berbagai jenis alat untuk mengubah lingkungan fisik dan alam dalam kehendaknya. Manusia juga menciptakan bahasa dimana melalui bahasa manusia membangun suatu dunia simbol yang meresapi semua aspek kehidupannya. Sama seperti kehidupan materialnya,
masyarakat
juga
sepenuhnya
produk
manusia.
Pemahaman atas masysrakat sebagai suatu produk aktifitas manusia sebagaimana berakar pada eksternalisasi menjadi penting mengingat kenyataan bahwa masyarakat tampak dalam pengertian sehari-hari sebagai sesuatu yang berbeda dari aktifitas manusia. Transformasi produk-produk manusia kedalam suatu dunia tidak saja berasal dari manusia tetapi juga kemudian mengahadapi manusia sebagai suatu faktisitas diluar dirinya sebagaimana diletakkan dalam konsep objektivasi (Berger dalam Bungin, 2008 : 16). Walau eksternalisasi dilaksanakan manusia terus – menerus, tidak berarti bahwa aktivitas
17
manusia mengalami perubahan. Manusia cenderung mengulangi aktivitas yang pernah dilakukannya (Samuel, 2012:28). Objektivasi adalah disandangnya produk-produk aktifitas itu (baik fisik maupun mental), suatu realitas yang berhadapan dengan para produsennya semula, dalam bentuk suatu kefaktaan (faktisitas) yang eksternal terhadap dan lain dari produsen itu sendiri. Dunia yang diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu ”yang berada di luar sana”. Dunia ini terdiri dari benda-benda, baik materiil maupun non materiil yang mampu menentang kehendak produsennya. Sekali sudah tercipta maka dunia ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Objektivitas dari masyarakat tersebut terlihat jelas dalam prosedur-prosedur kontrol sosial, yaitu prosedur-prosedur yang khusus dimaksudkan untuk memasyarakatkan kembali individu-individu atau kelompok pembangkang. Lembaga-lembaga politik dan hukum dapat memberi contoh jelas mengenai hal ini. Objektivitas masyarakat mencakup semua unsur pembentuknya. Lembaga-lembaga, peranperan dan identitas –identitas eksis sebagai fenomena-fenomena nyata secara objektif dalam dunia sosial meskipun semua itu tidak lain adalah produk-produk manusia. Internalisasi adalah peresapan kembali ralitas tersebut oleh manusia, dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur
18
dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif. Melalui objektivasi maka masyarakat menjadi suatu realitas sui generis, unik. Melalui internalisasi, maka manusia merupakan produk masyarakat (Berger dalam Bungin, 2008 : 17). Jadi internalisasi dapat diartikan sebagai proses manusia menyerap dunia yang dihuninya dalam hal ini adalah dunia dalam kelompoknya, namun internalisasi tidak berarti menghilangkan kedudukan objektif kelompok tersebut. Internalisasi berlangsung seumur hidup manusia baik ketika ia mengalami sosialisasi primer maupun sekunder. Berdasarkan gagasan George Herbert Mead, Berger dan Luckmann mengatakan bahwa sosialisasi primer sebagai sosialisasi yang dialami manusia sejak lahir hingga tumbuh menjadi individu yang memiliki sikap – sikap yang lazim dalam masyarakat. Sementara sosialisasi sekunder dapat dikatakan sebagai sosialisasi yang dialami individu yang pernah mengalami sosialisasi primer (Samuel, 2012:35-36). Jadi dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial adalah sesuatu hal yang di bentuk atau di konstruksikan dalam masyarakat yang berupa suatu kebiasaan dan berlangsung secara terus menerus dan sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini proses konstruksi sosial juga terjadi dalam beberapa tahap, tahap eksternalisasi adalah ketika seseorang tidak tahu
19
apa itu Ultras dan tidak bergabung ke dalam sebuah komunitas Ultras. Tahap objektivikasi adalah tahap dimana seseorang sudah mulai paham apa itu Ultras, namun belum melibatkan dirinya sebagai seorang Ultras. Tahap yang terakhir adalah internalisasi,
tahap
dimana seseorang telah paham apa itu Ultras dan menganggap bahwa dirinya adalah seorang Ultras. b. Identitas Masing-masing orang dibentuk oleh suatu proses yang reflektif, dimana persepsi tentang bagaimana kita melihat orang lain merupakan bagian yang terpenting. Bahwa kesan tentang individu (self-image) dengan kesan kelompoknya (group we-image) merupakan dua hal yang tidak terpisah. Pengertian identitas sosial didasarkan atas sebuah keyakinan bahwa tindakan sosial manusia harus dipahami dalam konteks sosialnya. Michael Hecht menyatakan identitas adalah penghubung utama antara individu dengan masyarakat dimana komunikasi adalah mata rantai dari hubungan tersebut. Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanismenya, baik menurut diri sendiri maupun orang lain. Hecht juga menguraikan identitas dalam empat tingkatan, pertama adalah personal layer adalah bagaimana kita menggambarkan keadaan diri kita dalam sebuah situasi
20
sosial. Tingkatan kedua enactment layer, adalah apa yang orang lain ketahui tentang diri kita berdasarkan apa yang kita miliki, kita lakukan, dan bagaimana kita bertindak. Tingkatan ketiga relational, adalah interaksi hubungan antara diri seseorang dengan orang lain. Tingkatan keempat communal, adalah identitas diri seseorang yang dihubungkan dengan sebuah kelompok atau budaya yang lebuh besar. (Hecht dalam LittleJohn, 2009:131). Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang
dimiliki secara bersama-sama dengan
beberapa orang dan apa yang membedakannya dengan orang lain. Identitas sebagai kategori yang stabil, lengkap , sebagian besar bukti diri yang didasarkan pada penanda, seperti jenis kelamin, ras, dan kelas dimensi yang terdapat didalam individu. Bukan hanya identitas yang dilihat sebagai sesuatu yang teratur, masih terdapat pemahaman implisit yang salah satu aspek dari identitas merupakan yang paling penting bagi seorang individu. Identitas manusia terbentuk atau dibangun dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam artian meliputi berbagai aspek seperti budaya, politik danjuga ekonomi. Mereka yang dilahirkan dan dibesarkan dalam konteks budaya, politik dan ekonomi di negara Indonesia tentunya memiliki identitas yang berbeda dengan di Amerika ataupun
21
Eropa. Toomey mengeksplorasikan cara – cara dimana identitas di negosiasikan dalam interaksi dengan orang lain, terutama dalam berbagai budaya. Identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas dibentuk melalui negosiasi ketika kita menyatakan, memodifikasi, dan menantang identifikasi-identifikasi diri kita atau orang lain. Hal ini bermula dalam kehidupan keluarga ketika kita memperoleh berbagai identitas pribadi dan sosial. Identitas pribadi merupakan karakteristik yang lebih unik yang kita hubungkan dengan diri kita masing-masing yang pada awalnyajuga dipelajari dalam interaksi keluarga (Toomey dalam Littlejohn,2009:132). Toomey memfokuskan pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negosiasi yang terjadi ketika kita berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok – kelompok kebudayaan. Identitas dibentuk di dalam komunikasi dalam berbagai latar kebudayaan. Ketika anda berkomunikasi dalam kelompok kebudayaan yang sama, anda akan mengalami pengalaman yang lebih dalam hal kerentanan, persamaan, kejelasan, keterikatan, dan konsistensi. Tetapi, ketika anda beinteraksi dengan budaya, anda dapat mengalami kebalikannya, ketidakrentanan, perbedaan, ketidakjelasan, otonomi, dan perubahan yang mengarah pada kurang stabilnyadan bahkan kemungkinan akan transformasi (Toomey dalam Littlejohn, 2009: 132). Freud mengemukakan bahwa
22
identitas merupakan proses yang terjadi secara bertahap pada individu dan meskipun juga dalam inti kelompok kebudayaannya (Freud dalam Isaacs,1993:41). Identitas tentu tidak dapat dilepaskan dengan konstruksi sosial, dalam teori kritik identitas menyatakan bahwa identitas ada didalam konstruksi sosial karena budaya yang lebih luas. Kita memperoleh identitas dalam bagian yang lebih luas dari konstruksi yang menawarkan identitas itu dari berbagai kelompok sosial dimana kita menjadi bagian keluarga, masyarakat, subkelompok budaya, dan ideologi dominan. Dengan mengabaikan dimensi identitas gender, kelas, ras, seksualitas, identitas juga ditampilkan sesuai atau berlawanan dengan norma dan ekspetasi (Littlejohn, 2009: 136-137). Perspektif identitas sosial adalah kesadaran diri yang fokus utamanya secara khusus lebih diberikan pada hubungan antar kelompok, atau hubungan antar individu anggota kelompok kecil. Identitas sosial sedikit berbeda dengan identitas diri. Identitas diri atau konsep diri adalah pemahaman tentang diri yang berkaitan dengan atribut kepribadian ideosyncretic yang tidak dimiliki secara bersama dengan orang lain (Aku) atau hubungan personal yang akrab diikat sepenuhnya padaorang lain dalam bentuk hubungan yang dyadic (aku dan kamu). Secara harfiah, orang akan berpusat pada dirinya
23
sendiri (akan selalu ada aktivitas untuk berpikir mengenai dirinya sendiri),sehingga self adalah pusat dari dunia social setiap orang. Konsep diri dibangun dengan skema diri yang mungkin jauh lebih kompleks dan detil. Skema diri memainkan peran dalam memandu tingkah laku, ini karena skema diri merupakan rangkuman dari semua yang
dapat
diingat
seseorang
tentang
pengetahuannya
dan
imajinasinya tentang diri sendiri. Konsep diri dapat sendiri dapat relatif sentral (central self-conception) atau peripheral (peripheral selfconception). Identitas merupakan satu unsur kunci kenyataan subjektif dan berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu ia memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk-ulang oleh hubunganhubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Masyarakat mempunyai sejarah dan di dalam perjalanan sejarah itu muncul identitas-identitas khusus; tetapi sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu (Berger dan Luckmann, 2012:248). Pada dasarnya setiap individu ingin dan selalu berlomba memiliki identitas yang positif dimata kelompoknya dalam rangka
24
mendapatkan pengakuan dari pihak yang lain sehingga nantinya mereka akan mendapatkan suatu persamaan sosial. Bahkan menurut Laker dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan
muncul
fenomena
misidentification,
yaitu
upaya
mengidentifikasi pada identitas atau kelompok lain yang dipandang lebih baik. c. Sepak Bola sebagai Kajian Ilmiah Sebuah catatan tua ditemukan di China dari masa Dinasti Tsin (255-206 SM) menurut manuskrip itu, pada zaman Tsin, permainan yang diberi nama tsu chu awalnya dipakai untuk melatih fisik para prajurit kerajaan, kemudian berkembang menjadi sebuah permainan yang menyenangkan kendati sulit berkembang. Legenda menyebutkan bahwa para anggota kerajaan sangat menggemari permainan ini, raja – raja sengaja membangun lapangan untuk bermain tsu chu dan mewajibkan sekolah mengajarkan olahraga ini (Wahyudi, 2009:12). Pada masa Dinasti Han (206 SM – 200 M), ketenaran tsu chu mencapai puncaknya. Dokumen dari tahun 50 SM melaporkan adanya pertandingan tim China melawan Jepang di Kyoto (Wahyudi, 2009:13).
25
Di Yunani, bermain bola sudah dikenal pada tahun 800 SM dengan nama episkyro dan harpatrum. Pasukan Romawi yang menyerbu Yunani pada 146 SM kemudian mengadopsi permainan ini dan menyebarkan seiring penaklukan wilayah – wilayah Eropa (Wahyudi, 2009:14). Sepak bola mulai modern dan tertib setelah Giovani Bardi dari Itali membukukan serentetan aturan ini pada 1580. Di Italia, sepak bola di sebut calcio (Wahyudi, 2009:15). Banyak cerita menarik bila kita berbicara tentang sepakbola. Sepakbola yang begitu digemari oleh manusia dari berbagai penjuru dunia, seakan telah menjadi “agama baru” di era modernisasi seperti saat ini. Sepak bola bukan hanya telah menjadi olahraga rakyat, melainkan hiburan umat manusia. Sepak bola juga dunia para pahlawan. Dalam sepak bola, penonton diajak untuk menikmati para pemain yang berupaya mengarahkan kehebatannya melampaui batas – batas kemampuan kemanusiaannya. Lapangan hijau, teknik, taktik, kostum, dan berbagai aksesori telah menyulap para pahlawan itu menjadi lebih mempesona. Oleh karena itu, sepak bola lebih dari sekedar olahraga biasa, melainkan pertunjukan yang disukai semua orang. Dalam sepak bola pula, para pemain menjadi manusia yang selalu bergulat dengan kerasnya kehidupan. Pergulatan itu tidak selalu
26
berakhir dengan kemenangan. Akan tetapi, tidak jarang pergulatan itu hanya mengantarkan pemain dan penonton yang terlibat dengan mereka pada kegagalan. Itulah sebabnya, didalam permainan ini kita selalu melihat dan merasakan komedi, tragedi, serta ketabahan untuk menerima
kekalahan
dan
keberanian
untuk
bangkit
meraih
kemenangan. Sepak bola adalah permainan yang tidak hanya membawa tawa, tetapi juga tragika (Wahyudi, 2009: 11). Sepak bola bukan sekedar olahraga, sepak bola menjadi alat untuk memahami seluk beluk dunia dengan segala masalahnya. Ajang kejuaraan tingkat dunia (World Cup) diadakan untuk meredam nafsu politik perang sejumlah negara dan diwujudkan dalam pertandingan sepak bola. Tak heran secara emosional pertandingan sepak bola di World Cup sering berlangsung panas. Hingga saat ini, pertemuan Jerman dan Inggris selalu dipenuhi retorika Perang Dunia II. Begitu pula pertemuan Argentina dan Inggris, dua negara yang berperang gara – gara berebut Pulau Falklands (Wahyudi, 2009 : 21). Klub sepak bola juga menjadi ekspresi identitas perlawanan nasional. Warga Catalan yang sudah lama ingin melepaskan diri dari Spanyol menjadikan tim Barcelona sebagai identitas dan harapan perlawanan terhadap pemerintah. Barcelona boleh kalah dari siapapun, asal tidak kalah dari Real Madrid, klub yang dulu sangat didukung
27
oleh rezim fasis Franco. Sedangkan di Skotlandia, persaingan sepak bola menjadi simbol persaingan antar agama. Polisi selalu bersiaga penuh jika klun Glasgow Rangers yang didukung warga Protestan berhadapan dengan Glasgow Celtics yang didukung warga Katolik. Kini, sepak bola menjadi semacam sebuah keyakinan religius. Praktek realisasinya juga dilakukan mirip sebuah agama dan bentuk kepercayaan. Praktek ini menjadi bentuk ritual yang secara perlahan membentuk sistem emosional dan fanatisme (Wahyudi, 2009:28). Melihat fanatisme para pendukung dan jangkauan pengaruhnya, tak heran jika sejumlah orang mengatakan sepak bola telah menjadi agama di Amerika Latin. “Nabi – nabinya bernama Pele dan Maradona. Bahkan, di Argentina terdapat Iglesia Maradoniana (Gereja Maradona), sebuah agama parodi yang mendewakan sang bintang tersebut. Pengikut kultus ini berjumlah sekitar 15 ribu orang (Wahyudi, 2009:27). Di Ukraina, sepak bola adalah bagian dari apresiasi dari religiusitas masyarakat. Ketika tim nasional Ukraina hendak bertanding, misalnya pemerintah secara khusus menggiring para pemain untuk berdoa khusuk di altar selama beberapa jam, meminta kepada Tuhan agar diberi kemenangan. Di Iran, sepak bola dianggap sebagai gerak sekularisme. Imam Khoemeni adalah
28
penguasa yang bersikeras melarang perempuan masuk stadion, apalagi bermain bola (Wahyudi, 2009:27). Sepak bola telah mempertemukan manusia dari berbagai penjuru dunia. Sepak bola menjadi media pemersatu bagi manusia. Liga – liga sepak bola lebih sukses dibandingkan serangkaian konfrensi yang telah dilakukan untuk menyatukan seluruh umat beragama di dunia. Tidak ada lagi sekat etnis, suku, agama, maupun warna kulit di dalam permainan sepak bola. Suporter menjadi kekuatan yang tidak bisa dipisahkan dari sepak bola, di Inggris, suporter sepak bola kerap berlaku selayaknya pemilik klub, presiden klub, direktur, manajemen, atau pemain bisa kalah dengan mereka dalam hal “kepemilikan”. Begitu pula di Italia dan negara – negara lainnya. Sepak
bola
bukan
perkara
kalah
dan
menang
dalam
pertandingan, melainkan mengandung berbagai macam politik diluar lapangan. Itulah sebabnya kaum Protestan di Jerman sering mengolok – olok klub Bayern Munchen karena dianggap sebagai klub warisan Yahudi. Sama halnya dengan otoritas gereja di Inggris yang pernah berfatwa agar pertandingan sepok bola tidak dilangsungkan pada hari Minggu supaya gereja tetap dikunjungi warga (Wahyudi, 2009:57).
29
Namun, sepak bola juga memiliki kisahnya yang berhubungan dengan vandalisme, peristiwa – peristiwa kekerasan dan aksi – aksi hooliganisme. Tragedi Heysel di Brusel membuktikan betapa fanatisme tanpa aturan justru menjadi pengkhianatan terhadap sasaran utama. Fanatisme pendukung Liverpool telah mengkhianati sepak bola, juga olahraga pada umumnya. Peristiwa ini terjadi pada 29 Mei 1985 dalam pertandingan perempat final Champions Cup 1985 di Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Ketika itu, pertandingan belum dimulai. Entah siapa yang mengawali, tiba – tiba terjadi kekacauan di sektor Z stadion. Pagar penyekat yang memisahkan pendukung Liverpool dan Juventus ambruk. Penonton pun panik dan berhamburan untuk menyelamatkan diri. Beberapa orang tewas karena terinjak – injak. Menurut sosiolog David Robbins, sepak bola sebenarnya sangat ideal untuk tempat pelepasan kaum muda. Tekanan sosial dan ekonomi
yang
semakin
menghimpit
perlu
katup
untuk
menyalurkannya. Saluran itu tersedia hanya pada sebuah tontonan semacam sepak bola (Wahyudi, 2009:65). Penonton sepak bola bisa melepas unek – uneknya selama pertandingan berlangsung. Berteriak, bersorak, dan bernyanyi. Mereka bebas memaki pemain atau wasit. Hanya saja, saluran pelepasan ini kini bukan tempatnya lagi bagi para
30
pelaku vandalisme. Sepak bola sebagai pertandingan sudah tidak enak lagi ditonton. Bukan karena permainannya, tetapi karena ulah penontonnya yang brutal. Belanda adalah salah satu negara yang memiliki tradisi sepak bola yang kuat. Suporter fanatik Ajax berkali – kali terlibat perkelahian dengan pendukung Feyenoord. Uniknya , walaupun sering bertikai ketika mendukung klub, hooligan Belanda bisa bersatu dalam waktu tertentu. Misalnya, ketika tim nasional Belanda bertemu Jerman, para hooligan itu tiba – tiba bersatu dan bersorak mendukung tim kesayangan mereka (Wahyudi, 2009:77) Dibelahan Amerika Latin hooligan memiliki sebutan lain, Barrabravas. Barrabravas paling ekstrem terdapat di Argentina. Barrabravas Boca terkenal ekstrem. Apalagi jika Boca bertanding melawan rival utama mereka River Plate. (Wahyudi, 2009:79) Argentina memiliki banyak kelompok barrabravas. Mereka terpecah menjadi berbagai faksi dan terkadang saling bentrok. Mereka bahkan sering ikut campur dalam urusan intern klub. Pada september 2003, Liga Argentina nyaris dihentikan karena berbagai kekacauan dan kerusuhan oleh barrabravas di dalam dan di luar stadion (Wahyudi, 2009:82).
31
Di Indonesia, Bonek adalah suporter yang memiliki militansi tinggi dan fanatisme serta loyalitas yang tinggi terhadap Persebaya, namun banyak stigma negatif tentang Bonek dan sangat identik dengan kekerasan yang terjadi pada sepakbola Indonesia, walaupun tidak semua yang diberitakan adalah benar. d. Budaya Ultras Berbicara tentang suporter sepak bola, tentu kita harus mengenal kriteria
dan
perbedaan
dari
macam
–
macam
suporter
(Wahyudi,2009:101). Hooligan, kaum hooligan adalah fans bola yang brutal ketika tim idolanya kalah tanding. Merupakan stereotip suporter bola dari Inggris, tapi kemudian menjadi fenomena global. Sebagian besar
dari
berpengalaman
Hooligan
adalah
dalam
bepergian.
para back-packer yang Mereka
sering
telah
menonton
pertandingan yang resikonya besar. Banyak dari mereka rajin keluarmasuk penjara karena sering terlibat bentrok fisik. Untuk mengantisipasi adanya kerusuhan, gaya berpakaian mereka pun sudah dipersiapkan untuk berkelahi. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pilihannya, dan memilih berpakaian 'asal' agar tak dideteksi oleh polisi. Meski demikian mereka tak mau menggunakan senjata. Para Hooligan biasanya tidak
32
duduk dalam satu tempat bersama-sama melainkan berpencar - pencar (Wahyudi, 2009:101). Ultras, diambil dari bahasa latin yang berarti diluar dari kebiasaan.
Para
mendengungkan
Ultras
ini
tak
pernah
yel-yel
tim
favoritnya
berhenti selama
menyanyi
pertandingan
berlangsung. Mereka juga rela berdiri sepanjang permainan dan menyalakan gas warna warni untuk mencari perhatian. Jika Anda sering melihat pergerakan manusia seperti gelombang di dalam stadion, itulah hasil instruksi dari para Ultras yang sangat kreatif kepada penonton yang lain. Karakter mereka temperamental seperti para Hooligan jika timnya kalah tanding atau diremehkan. Namun berbeda dengan Hooligan, tujuan utama mereka adalah mendukung tim, bukan untuk unjuk kekuatan lewat adu fisik. Anggota Ultras adalah mereka yang sangat setia dan loyal terhadap tim favoritnya cukup lama (Wahyudi, 2009:102). The VIP, bagi mereka, yang penting bukan menonton bola, tapi malah supaya ditonton penonton lain. Sebagian besar kelompok ini adalah para pebisnis tingkat tinggi yang menyaksikan pertandingan di kotak VIP, demi sebuah gengsi untuk pencitraan diri. Dan karena namanya juga bisnis, segalanya dihitung sebagai investasi. Tak heran jika dalam areal VIP, atau yang biasa disebut 'skyboxes', para jutawan
33
ini bisa bertemu dengan rekan bisnis lainnya dan menghasilkan dealdeal penting. Mereka tak peduli dengan hasil skor kecuali itu akan mempengaruhi bisnis yang digelutinya (Wahyudi, 2009:102). Daddy atau Mommy, adalah mereka yang suka melibatkan atau membawa anggota keluarga mereka saat menonton pertandingan. Bagi mereka, menonton pertandingan bola layaknya sebuah rekreasi keluarga untuk mempererat kebersamaan. Karena itu, mereka menonton bola jika tiket tidak terlalu mahal atau hanya pada pertandingan penyisihan saja (Wahyudi, 2009:102). Sebagian dari para Daddy atau Mommy ini adalah karyawan profesional yang gemar sepakbola tapi tidak terlalu fanatik. Letak tempat duduk mereka saat menonton biasanya jauh dari para fans yang ugal-ugalan seperti Hooligan dan Ultras. Mereka tentu khawatir jika anak-anak mereka menjadi sasaran jika terjadi kericuhan massa. Christmas Tree, dipanggil Christmas Tree atau 'Pohon Natal' karena sekujur tubuh dan pakaiannya dipenuhi berbagai atribut tim mulai dari pin, badge, stiker, tato, corat-coret wajah dan rambut dengan aneka gaya. Berbeda dengan Ultra dan Hooligan yang selalu laki-laki, fans Christmas Tree bisa pria maupun wanita, tampil sendirisendiri maupun berpasang-pasangan. Mereka tak hanya menonton bola
34
tapi juga berusaha menunjukkan identitas negara atau tim favoritnya lewat busana tradisional khas negara mereka. Biasanya duduk berkelompok di areal yang jauh dari para Hooligan dan Ultra (Wahyudi, 2009:102). The Expert, sebagian besar adalah bapak-bapak pensiunan yang telah berumur. Mereka tak sayang menggunakan uang pensiunnya untuk nyemplung dalam ajang pertaruhan. Tak heran wajah mereka selalu tegang sepanjang pertandingan. Tak jarang pula nereka meneguk berbotol-botol minuman karena saking tegangnya (Wahyudi, 2009:102). Namun para 'ahli' pertaruhan ini biasanya hanya tertarik pada pertandingan sekelas Piala Dunia dan Piala Eropa saja, bukan pada pertandingan liga atau antarklub. Di tangan mereka selalu tergenggam telepon dan koran untuk memprediksi akhir dari permainan. Letak duduk mereka selalu dekat gawang untuk memudahkan mereka berteriak memberi semangat. Layaknya pelatih, mereka juga mengarahkan strategi apa yang harus dijalankan pemain. Couch Potato, mungkin inilah kelompok terbesar dari fans sepakbola. Mereka ini tidak menonton langsung di stadion, melainkan lewat televisi di rumah. Tipe ini berasumsi bahwa menonton di televisi
35
lebih enak dan nyaman daripada membuang uang untuk sebuah pertandingan yang belum tentu bagus. Prinsip fans jenis ini adalah murah meriah. Sambil menonton, tersedia selalu camilan dan minuman didekatnya. Tak hanya keluarga, agar acara nonton lebih seru, mereka biasa mengundang tetangga dan keluarga besarnya. Di Indonesia dikenal istilah nonton bareng alias Nobar, meski hanya di depan televisi, mereka juga berdandan seolah - olah ada di dalam lapangan. Kaos tim, bendera, dan segala macam atribut ikut meramaikan ajang nonton bareng (Wahyudi, 2009:102). Fenomena Ultras mulai muncul di Italia pada akhir dekade 1960an. Mereka sering mengklaim suatu titik khusus di stadion pertandingan
berlangsung.
Mereka
juga
memiliki
saat
beberapa
karakteristik dalam mendukung timnya, termasuk menyanyikan yelyel dan lagu-lagu dukungan ketika tim pujaan bertanding, tidak duduk selama pertandingan berlangsung, selalu berusaha menonton langsung setiap pertandingan, dan menempati tribun atau area tertentu di stadion. Ultras adalah kelompok suporter yang fanatik dan terkenal militan
dalam
mendukung
tim
kesayangan
mereka.
Ultras
mempelopori suporter yang terorganisir dalam mendukung tim kesayangan dengan aksi-aksi yang teatrikal yang kemudian menjalar
36
ke beberapa Negara seperti Prancis, Denmark, Belanda, dan Skotlandia. Ultras identik dengan kelompok suporter yang sulit diatur. Dalam tradisi sepak bola Italia, Ultras adalah penguasa di dalam stadion. Mereka menganggap polisi adalah musuh, sehingga muncul istilah ACAB (All Cops Are Bastard), Ultras lebih memilih tribun dibelakang garis gawang karena polisi tidak diperkenankan berada di tribun ini (Wahyudi, 2009;157). Tribun belakang gawang ini kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva, Ultras menempati salah satu curva, baik curva nord (utara) maupun curva sud (selatan). Kelompok Ultras yang pertama kali muncul adalah Fossa dei Leoni (AC Milan) didirikan pada tahun 1968. Setahun kemudian para pendukung klub Internazionale Milan mendirikan Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzura). Fenomena Ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an (Wahyudi, 2009:159). Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah Ultras di Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam kehidupannya. Biasanya grup Ultras akan bertempat di suatu
37
tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (bukan anggota Ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang kebetulan ditempati Ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi ketika grup Ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya. Fenomena Ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil ikut melestarikan paham-paham tua seperti fasis dan sosialis komunis. Dalam tradisi Ultras di Italia, terdapat beberapa kode etik yang disebut Ultras Codex. Salah satu fungsi kode etik itu adalah untuk mengatur pertempuran antar Ultras supaya bias berlangsung lebih adil dan berbudaya. Salah satu kode etik itu adalah dalam hal
bukti
38
kemenangan, bendera dari Ultras yang kalah akan diambil oleh Ultras yang menang. Kode etik lainnya adalah seburuk apapun para tifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, tidak diperkenankan untuk melapor ke polisi (Wahyudi, 2009:159). Pola tindak kebrutalan suporter Italia mengalami perubahan, Ultras kini meniru gaya Inggris dengan berhadapan langsung secara frontal. Selama ini bentuk kekerasan di persepakbolaan Italia lebih condong menggunakan petasan atau kembang api yang di lemparkan ke tengah lapangan. Kini pola itu mulai berubah. Seperti di Inggris, Ultras tidak lagi menggunakan atribut klub dan bergerak dalam kelompok kecil (Wahyudi, 2009).
F. KERANGKA PEMIKIRAN Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambar bagaimana konstruksi identitas Ultras bagi kelompok suporter Pasoepati Ultras di Kota Solo. Oleh karenanya diperlukan kerangka berpikir yang akan memberikan suatu gambaran konstruksi identitas itu terbentuk. Berikut ini adalah skema dari kerangka pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian ini :
39
Bagan 1.
Kerangka Pemikiran
Identitas
Identitas Ultras
Personal Layer
Enactment Layer
Relational
Communal
Identitas merupakan hasil dari adanya konstruksi realitas sosial, faktor – faktor yang membentuk identitas Ultras terdiri dari empat tingkatan.Personal Layer, adalah keadaan sesorang dengan identitas sesungguhnya, dalam penelitian ini yang dikatakan seseorang dalam tingkatan Personal Layer adalah seorang suporter yang hanya melihat dan mendukung sepak bola tanpa ada ideologi ataupun nilai – nilai yang mengikat. Enactment layer, adalah saat dimana seseoarang mulai mengenal budaya yang lain, kaitannya dalam penelitian ini seseorang suporter yang hanya datang ke stadion mendukung tim, namun sudah mulai mengetahui dan mengenal ideologi suporter yang dalam hal ini adalah Ultras. Pada tingkatan ketiga, Relational adalah saat seorang suporter sudah mulai mengenal ideologi yang ada, dan ada sebuah ketertarikan untuk menjadi
40
bagian dalam sebuah ideologi tersebut. Pada tingkatan terakhir yaitu communal, kaitannya dalam penelitian ini adalah seseorang yang sudah mengalamu ketiga tahap di atas yang awalnya hanya menjadi seorang suporter biasa, pada akhirnya menjadi bagian dalam suatu ideologi yang memiliki sebuah ikatan dalam mengekspresikan dukungannya terhadap tim kesayangannya, dalam hal ini seseorang telah memiliki ideologi seorang Ultras dan bergabung dalam Pasoepati Ultras. G. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Sebagai
penelitian lapangan, penelitian ini
dirancang dengan
menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan tradisi tertentu dalam dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang lain dalam bahasa dan peristilahannya. Dalam paradigma ini realitas sosial dipandang sebagai suatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis dan penuh makna. David William (1995) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada
suatu latar alamiah,
dengan menggunakan metode alamiah dan dilakukan oleh peneliti yang tertarik secara alamiah. (William dalam Moleong, 2012:5)
41
Metode fenomenologi pada awalnya merupakan suatu aliran filsafat. Menurut Driyakara (1981) secara etimologis, fenomenologi berasal dari akar kata yang berarti sinar, cahaya atau sesuatu yang memancar Akar kata ini kemudian dibentuk menjadi kata kerja yang berarti tampak, dan dapat dilihat karena bercahaya. Berdasarkan hal tersebut muncul kata fenomenon, yang berarti “yang tampak”. Oleh sebab itu kaum fenomenolog tidak sependapat dengan kaum sintis-rasionalis dan materialis yang hanya mengakui bahwa eksistensi realitas hanya apa yang dapat ditangkap oleh indera semata, dan tidak mengakui eksistensi internal dari realitas yang tampak. Mereka juga tidak sependapat dengan kaum idealis yang memandang eksistensi “benda sebenarnya” hanya terdapat dalam fikiran atau ide manusia, karena manusia tidak mampu menangkap atau memahami realita (Driyakarya dalam Mukhlis, 2008:102). Fenomenologi dapat diartikan sebagai: 1) pengalaman subyektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran sebagaimana dikemukakan oleh Edmund Husserl dan
diperbaharui oleh fenomenolog-
fenomenolog lainnya. Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subyektif manusia dan interpretasi- interpretasi dunia. Mengenai pendekatannya, peneliti mencari suatu formasi identitas sosial dari beberapa orang atau kelompok.
42
Tradisi studi Fenomenologi menurut Creswell adalah : “Whereas a biography report the life of single individual, a phenomenological study describes the meaning of the live experiences for several individuals about a concept or the phenomenon” (Kuswarno,2009:127). Dengan demikian, penelitian dengan pendekatan fenomenologi berupaya untuk menjelaskan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, dalam hal ini adalah suporter Ultras termasuk tentang konstruksi identitasnya. 2. Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok: A. Sumber Data Primer Sumber informan (human resources) yang dipilih berdasarkan kedekatan dan pengetahuan
informan dengan peristiwa konflik yang
berlangusung dari berbagai kalangan. Untuk sebuah studi fenomenologi, kriteria informan yang baik adalah “all individuals studied represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998:118).
B. Sumber Data Sekunder Sumber bahan cetak (kepustakaan) yang tidak diperoleh dari informan maupun dari luarinforman. Data sekunder diperlukan untuk memperkuat,
43
melengkapi, atau menguji kebenaran data yang diperoleh dari informan. Sumber bahan cetak ini meliputi transkripsi atau catatan hasil wawancara mendalam dengan para informan; dokumen tertulis, artikel di Koran, buku, Foto, Video dan semua data yang memuat informasi tentang Pasoepati Ultras. 3. Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling atau sampling bertujuan. Sampling bertujuan adalah suatu “strategi jika seseorang menginginkan agar dapat memahami sesuatu mengenai kasus-kasus terpilih tertentu tanpa membutuhkan (atau berhasrat) untuk
menggeneralisasi
kepada
semua
kasus
seperti
itu”.
Peneliti
menggunakan purposive sampling untuk meningkatkan kegunaan informasi yang diperoleh dari sampel yang sedikit. Sampling bertujuan membutuhkan informasi yang diperoleh atau diketahui itu dalam fase penghimpunan data awal mengenai variasi di antara sub-sub unit sebelum sampel dipilih. Creswell mengemukakan, untuk sebuah studi fenomenologis, kriteria informan yang baik adalah : “all individuals studied represent people who have experienced the phenomenon” (Kuswarno, 2009:132). Jadi lebih tepat memilih informan yang benar – benar seorang Ultras yang karena pengalamannya dia mampu mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya tentang sesuatu yang dipertanyakan. Penentuan informan ini dengan kriteria
44
sebagai anggota Pasoepati Ultras sejak tahun 2009 dan mengetahui awal mula perjalanan Pasoepati Ultras. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dan informasi dalam penelitian inidilakukan dengan berbagai cara dan teknik yang berasal dari berbagaisumber baik manusia maupun bukan manusia. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi wawancara mendalam, studi dokumentasi, studi literatur dan observasi. Untuk menggali informasi dari sumber data yang dipilih digunakan sejumlah teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. a.
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dengan menyaksikan secara langsung realitas sosial, fakta sosial, atau peristiwa sosial yang menjadi objek penelitian. Pengamatan ini dilakukan pada lingkungan Kota Solo dimana anggota Pasoepati Ultras berkumpul, terutama untuk menyaksikan bagaimana anggota Pasoepati Ultras berkumpul dan melakukan aktivitas ketika sendiri maupun secara bersama – sama baik ketika sedang mendukung tim Persis Solo maupun sedang tidak mendukung Persis Solo di lapangan.
45
b.
Wawancara mendalam (indepth inverview) dilakukan dengan para informan baik secara formal maupun informal, interaktif, dan melalui pertanyaan dan jawaban yang terbuka. Walaupun pada awalnya peneliti sudah mempersiapkan daftar pertanyaan, pada pelaksanaannya, tidak kaku
mengikuti daftar pertanyaan yang telah dibuat. Wawancara
mengalir sesuai dengan respon atau jawaban informan. Hal terpenting dari kegiatan wawancara adalah dapat menggali semua data yang dicari.Seperti pada tradisi fenomenologi sebagaimana dikemukakan Creswell (1998:122) “for a phenomenological study, the process of collecting information involves primarily in-depth interviewrs”, maka dalam
penelitian
ini
wawancara
mendalam
merupakan
teknik
pengumpulan data yang diutamakan. c.
Studi Dokumentasi dilakukan untuk mempelajari sumber-sumber tertulis baik berupa laporan penelitian, dokumen, artikel di media massa, dan catatan-catatan pribadi, foto dan film, Studi dokumentasi ini dipilih atas dasar bahwa dalam sumber-sumber tertulis tersebut akan dapat diperoleh data dan pernyataan dari para pakar,informan,dan anggota Pasoepati Ultras, para pihak yang terlibat dalam proses perjalanan Pasoepati Ultras.
46
5. Teknik Keabsahan Data Triangulasi terdiri dari triangulasi sumber, metode, dan teori. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan triangulasi sumber. Menurut Patton, triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2011:330). Hal tersebut dapat dibandingkan dengan cara sebagai berikut : 1.
Membandingkan hasil data pengamatan dengan hasil data wawancara
2.
Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi
3.
Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu
4.
Membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang yang berada, dan pemerintah 5.
Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong,2011:331).
47
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penelitian ini keabsahan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1.
Membandingkan hasil pengamatan di lapangan dengan hasil wawancara terhadap informan yang dilakukan penulis.
2.
Membandingkan hasil wawancara terhadap informan ketika ia berbicara mewakili diri sendiri dengan tanggung jawab yang ada di kelompok
3.
Membandingkan hasil wawancara dengan sumber dokumen terkasit, baik artikel, foto, maupun video.
6. Teknik Analisis Data Creswell dalam bukunya yang berjudul Qualitative Inquiry and Research Design ; Choosing Among Five Traditions, mengemukakan teknik analisis dan representasi data yang agak berbeda untuk penelitian fenomenologi (Kuswarno, 2009:71). Secara rinci analisis data penelitian fenomenologi menurut Creswell, sebagai berikut : 1. Peneliti memulai dengan mendiskripsikan secara menyeluruh pengalamannya. 2. Peneliti kemudian menemukan pernyataan (dalam wawancara) tentang bagaimana orang – orang memahami topik, rinci pernyataan – pernyataan tersebut (horisonalisasi data) dan perlakukan setiap
48
pernyataan memiliki nilai yang setara, serta kembangkan rincian tersebut dengan tidak melakukan pengulangan atau tumpang tindih. 3. Pernyataan – pernyataan tersebut kemudian dikelompokan ke dalam unit – unit bermakna (meaning unit), peneliti merinci unit – unit tersebut
dan
menuliskan
sebuah
penjelasan
teks
(textural
description) tentang pengalamannya, termasuk contoh – contohnya secara seksama. 4. Peneliti kemudian merfleksikan pemikirannya dan menggunakan variasi imajinatif (imaginative variation) atau deskripsi struktural (structural
description),
mencari
keseluruhan
makna
yang
memungkinkan dan melalui perspektif yang divergen (divergent persperctives), mempertimbangkan kerangka rujukan atas gejala (phenomenon), dan mengkonstruksi bagaimana gejala tersebut dialami. 5. Peneliti kemudian mengkonsstruksi seluruh penjelasannya tentang makna dan esensi (essence) pengalamannya. 6. Proses tersebut merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan pengalamannya, dan
kemudian diikuti
pengalaman seluruh
partisipan. Setelah semua itu dilakukan, kemudian menulis diskripsi gabungannya (composite description) (Kuswarno, 2009:72).