BAB II TINJAUAN UMUM
1.1 Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai “toereken-baareid,”
“criminal
rensposibility,”
“criminal
liability”.
Pertanggungjawaban pidana di sini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu.1 Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.2 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. 3 Dengan demikian, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu pertama harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan
1
S.R Sianturi,Op.Cit, Hal.245 Djoko Prakoso, Op.Cit, Hal.75 3 Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT Pradnya Paramita, Jakarta, Hal. 31 2
49
kata lain, harus ada unsur melawan hukum. Kedua, terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Unsur melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana. Bilamana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum? Sesorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebgaimana dirumuskan dalam undangundang. Sifat melawan hukum menurut para ahli hukum pada umumya dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Sifat melawan hukum formil; dan b. Sifat melawan hukum materiil. Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, yang disebut melawan hukum adalah apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Jadi menurut ajaran sifat melawan hukum formil, melawan hukum sama dengan melawan undang-undang atau hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu sesuai dengan semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik dan perbuatan tersebut harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau
50
tercela. Ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Kedua ajaran ini dapat disimpulkan bahwa, apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka perbuatan itu dapat diindikasikan bersifat melawan hukum. Namun sifat melawan hukum tersebut dapat pula dihapus dengan adanya alasan pembenar. Seperti halnya tidak disengaja menghilangkan nyawa orang lain dikarenakan berusaha melindungi diri. Hal ini dapat dijadikan alasan pembenar karena apabila pelaku tidak melindungi diri maka pelakulah yang akan kehilangan nyawanya. Tindakan ini dapat terjadi apabila pelaku memang dalam posisi melindungi diri dari ancaman sesorang sehingga pelaku terpaksa untuk melawan. Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana. Seseorang baru dikatakan memenuhi syarat untuk dipidana apabila mempunyai kesalahan atau bersalah. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah asas keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Asas ini memang tidak tercantum dalam KUHP Indonesia, namun berlakunya asas ini adalah berdasarkan tujuan dari pemidanaan yaitu untuk keadilan. Untuk itu harus
51
diingat bahwa untuk adanya kesalahann dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Selain sifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana juga dapat dilihat dari unsur kesengajaan dan karena kealpaan. Apabila dicermati dalam rumusan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, terutama buku kedua, tampak dengan jelas disebutkan istilah kesengajaan atau kealpaan. Adapun pasal-pasal tersebut adalah: 1. Dengan
sengaja.
Misalnya,
Pasal
338
KUHP
yang
berbunyi:“barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” 2. Karena
kealpaan.
berbunyi:“barang
Misalnya, siapa
karena
Pasal
359
kesalahannya
KUHP
yang
(kealpaanya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang.” Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
52
Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian, dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).4 Sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia dianggal lalai melakukan perbuatan tersebut jadi dalam kealpaan terdakwa kurang berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan sehingga menimbulkan keadaan yang dilarang. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat bahwa pertumbuhan dari hukum pidana menitik beratkan kepada perbuatan orang berserta akibatnya. Apabila perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian baik kerugian materiil dan kerugian moril, maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Untuk adanya pertanggungjawaban
pidana
diperlukan
syarat
bahwa
pelaku
mampu
bertanggungjawab. Mengenai kemampuan seseorang untuk bertanggungjawab, menurut KUHP diatur dalam Pasal 44 KUHP. Dalam penjabaran Pasal 44 KUHP tidak dijelaskan langsung mengenai kemampuan seseorang untuk dapat bertanggungjawab melainkan menjabarkan keadaan bagaimana seseorang tidak mampu bertanggungjawab. Adapun bunyi Pasal 44 KUHP adalah sebagai berikut:“Barang
4
siapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, Hal. 174-
175
53
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tidak dipidana” Moeljatno
menyebutkan
bahwa
untuk
adanya
kemampuan
bertanggungjawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.5
2.2 Koperasi Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi, maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam memupuk modal.6 Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang kurang mampu.Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama.7
5
Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, Hal.54
6
Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, dan Nadia Maulisa Benemay, Op.Cit, Hal. 14 Ibid, Hal. 15
7
54
Dalam Undang-Undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Frank Robotka dalam tulisannya yang berjudul A Theory of Cooperative, mengemukakan bahwa kebanyakan ekonom-ekonom Amerika Serikat yang telah menulis tentang teori koperasi, pada umumnya menerima ide-ide umum tentang perkumpulan koperasi (cooperative business association) sebagai berikut: a. Suatu perkumpulan koperasi adalah suatu bentuk badan usaha atau persekutuan ekonomi, yakni suatu perkumpulan yang anggota-anggotanya adalah para langganannya (patrons). Koperasi diorganisasikan oleh mereka dan pada dasarnya dimiliki dan diawasi oleh para anggota dan bekerja untuk kemanfaatan mereka. b. Mengenai teknik organisasi dan teknik operasional, pembagian, dan praktik usahanya terdapat kesesuaian pendapat dengan apa yang disebut Rochdale Principle. Misalnya berdagang harga umum, pembagian sisa hasil usaha menurut jasa anggota, menolak pemberian suara yang diwakili (proxy voting), pengawasan hanya dilakukan oleh anggota yang aktif (active patrons members), pembayaran yang rendah oleh para anggotanya untuk keanggotaanya, netral dalam politik dan agama, dan seterusnya. c. Koperasi sebagai struktur ekonomi merupakan suatu kombinasi horizontal dari unit-unit yang dikoordinasikan, yang melayani berbagai tujuan dari unit-unit itu. Akan tetapi, bila integrasi vertical dipertimbangkan baik ke depan terhadap para konsumen atau ke belakang terhadap sumber yang tersedia, kombinasi horizontal adalah perlu diantara unit-unit yang terlalu kecil untuk melaksanakan integrasi vertical secara individual. d. Mengenai hubungan ekonomi yang terjadi diantara anggota suatu koperasi, Black mengatakan bahwa koperasi merupakan antitesis dari persaingan, yakni bahwa anggota-anggota lebih bersifat bekerjasama daripada bersaing di antara mereka sendiri. e. Pengakuan atas implikasi dari bentuk bukan kumpulan modal dan bukan mengejar keuntungan dari koperasi yang bertitik tolak dari prinsip-prinsip
55
f.
g.
h.
i.
Rochdale di mana Nourse telah menunjukkan bentuk organisasi demikian yaitu suatu bentuk yang sangat berbeda dengan sebuah perseroan yang mengejar keuntungan dan bekerja dengan suatu rencana atau skema khusus untuk memperoleh keuntungan. Keanggotaan di dalam koperasi lebih mendasarkan kepada anggota secara perseorangan daripada atas dasar yang bersifat finansial bukan perorangan (impersonal financial basis). Orang akan secara sukarela bergabung atas dasar keinginan mereka sendiri, penilaian perseorangan dan kesanggupan serta kemauan untuk menepati janji termasuk di dalamnya pelaksanaan timbale balik terutama terhadap resiko dan biaya-biaya. Koperasi merupakan suatu wadah di mana para anggotanya secara lebih efektif menunjukkan fungsi-fungsinya yang tertentu, proses atau aktivitasaktivitas yang berhubungan secara integraldengan kegiatan-kegiatan ekonomi dari para anggota. Koperasi semacam ini bukan suatu unit ekonomi yang mengejar karier ekonomi yang berifat bebas. Keanggotaan dalam koperasi yang sungguh-sungguh tidak ditentukan oleh pengikutsertaan modalnya, akan tetapi oleh partisipasinya dalam kegiatankegiatan koperasi yang bersangkutan. Modal koperasi yang demikian terlepas sama sekali dari konotasi entrepreneur yang tradisional (traditional entrepreneurial connotation) dan didasarkan atas dasar pinjaman. Karena suatu kegiatan yang dilaksanakan secara kooperatif adalah suatu usaha yang timbal balik, maka anggota-anggota koperasi itu setuju untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam usaha memperoleh keuntungan timbal balik dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu yang biasa berlaku dalam mencapai tujuan ekonomi mereka, yang bukan anggota adalah bukan bagian dari perkumpulan semacam ini. oleh karena itu tidak konsisten koperasi melayani mereka.8
Margono Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa Koperasi ialah perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendirian hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Adapun unsur-unsur yang tersirat dalam definisi tersebut adalah 1. Unsur kesukarelaan dalam berkoperasi
8
Ibid, Hal 17-18
56
2. Bahwa dengan bekerjasama manusia akan lebih mudah mencapai apa yang diinginkan 3. Bahwa pendirian dari suatu koperasi mempunyai pertimbanganpertimbangan ekonomis. R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama. Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah: 1. Unsur demokrasi; 2. Unsur sosial; 3. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan. Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu: 1. Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan usaha. 2. Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya. 3. Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan. 4. Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. 5. Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar,
57
sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal yang diberikan. 6. Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan mengelola diri sendiri.9
Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in Indonesia.10 Beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan. Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga
9
H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.3 10 Andjar Pachta W, Op.Cit, Hal.19
58
bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38 UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu perekonomian
disusun
sebagai
usaha
bersama
berdasarkan
atas
asas
kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia. Sejarah Koperasi di Indonesia sesungguhnya berawal dari masa penjajahan
dimana
pada
saat
itu
diberlakukan
“culturstelsel”
yang
mengakibatkan penderitaan bagi rakyat terutama petani dan golongan bawah. Peristiwa ini menimbulkan gagasan dari seorang Patih Purwokerto, Raden Ario Wiraatmadja untuk membantu mengatasi kemelaratan rakyat. Kegiatannya diawali dengan menolong pegawai dan orang kecil dengan mendirikan Hulpen Spaaren Landbouwcredit, didirikan juga rumah gadai, lumbung desa, dan bank desa. Perkumpulan Budi Utomo yang dalam programnya memanfaatkan sektor perkoperasian untuk mensejahterakan rakyat miskin dimulai dengan koperasi industri kecil dan kerajinan. Ketetapan kongres Budi Utomo di Yogyakarta adalah antara lain memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui pendidikan, serta mewujudkan dan mengembangkan gerakan berkoperasi.
59
Tahun 1915 lahir UU Koperasi yang pertama “Verordening op de Cooperative Vereeniging” dengan Koninklijk Besluit 7 April 1912 stbl 431 yang bunyinya sama dengan UU Koperasi di Negara Belanda (tahun 1876) yang kemudian diubah tahun 1925. Selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang, usahausaha koperasi dikoordinasikan/dipusatkan dalam badan-badan koperasi yang disebut Kumiai yang berfungsi sebagai pengumpul barang-barang logistik untuk kepentingan perang. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, usaha pengembangan Koperasi mengalami pasang surut mengikuti perkembangan politik. Kongreskongres koperasi, munas-munas dan lain-lain untuk pengembangan koperasi terus berlanjut. Puncaknya, pada tahun 1985 akhirnya Indonesia berhasil melahirkan UU No 70/1985 tentang Koperasi yang pada dasarnya berisi tentang tata cara pembentukan, pengelolaan koperasi (seperti prinsip-prinsip Rochdale). UU Koperasi mengalami 2 kali perubahan, yaitu yang pertama adalah UU No.12/1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, yang kemudian disempurnakan dengan UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai-nilai moral yang mendasarinya harus merupakan realita-realita hidup dalam kegiatan maupun
60
tingkah laku orang-orang koperasi.11 Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi dan anggotanya. Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut: a. Tujuan Koperasi Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponenkomponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersamasama berfungsi mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon 11
Ibid, Hal.21
61
anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri sendiri. 12 b. Sifat Koperasi Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar-benar memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut. c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi Koperasi
melandaskan
nilai-nilai
menolong
diri
sendiri,
bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.
12
Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, Hal. 9
62
Sedangkan prinsip-prinsip koperasi adalah merupakan pedoman bagi koperasi-koperasi dalam melaksanakan nilai-nilai koperasi dalam praktik. Adapun prinsip-prinsip koperasi dibagi menjadi empat yaitu: 1. Prinsip Keanggotaan yang Sukarela dan Terbuka Prinsip ini melihat bahwa koperasi adalah organisasi yang bersifat sukarela, terbuka bagi semua orang yang bersedia menggunakan jasa-jasanya dan bersedia menerima tanggungjawab keanggotaan, tanpa membedakan jenis kelamin (gender) latar belakang sosial, ras, politik dan agama. 2. Prinsip Pengawasan Demokratis oleh Anggota Koperasi adalah organisasi demokratis yang diawasi oleh pada anggotanya, yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Dalam koperasi primer, para anggota memiliki hak suara sama dan koperasi pada tingkat-tingkat lainnya juga dikelola secara demokratis. 3. Prinsip Partisipasi Anggota dalam Kegiatan Ekonomi Anggota memberikan kontribusi permodalan koperasi secara adil dan melakukan pengawasan secara demokratis (terhadap modal tersebut). Setidak-tidaknya sebagian dari modal itu adalah milik bersama koperasi. Apabila ada, para anggota biasanya menerima
63
kompensasi yang terbatas atas modal yang disyaratkan untuk menjadi anggota. 4. Prinsip Otonomi dan Kemandirian (Independence) Koperasi sebagai organisasi yang otonom, menolong diri sendiri serta diawasi oleh para anggotanya. Apabila koperasi melakukan perjanjian dengan organisasi lain, termasuk pemerintah, atau memupuk modal dari sumber luar, koperasi melakukannya berdasarkan persyaratan yang menjamin pengawasan demokratis oleh para anggotanya dan yang mempertahankan otonomi mereka. 5. Prinsip Pendidikan, Pelatihan dan Penerangan Koperasi memberikan pendidikan dan pelatihan bagi para anggota wakil-wakil anggota yang dipilih dari rapat anggota serta para manajer dan karyawan, agar mereka dapat melakukan tugasnya lebih efektif bagi perkembangan koperasinya. Mereka memberikan penerangan kepada masyarakat umum-khususnya pemuda dan para pembentuk opini di masyarakat-tentang hakikat perkoperasian dan manfaat berkoperasi. 6. Prinsip Kerjasama antar Koperasi Koperasi melayani anggotanya secara kolektif dan memperkuat gerakan koperasi dengan bekerjasama melalui organisasi koperasi tingkat lokal, nasional, regional, dan internasional.
64
7. Prinsip Kepedulian terhadap Masyarakat Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan, melalui kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh rapat anggota. d. Jenis-Jenis Koperasi Untuk memisah-misahkan koperasi yang serba heterogen itu satu sama lainnya, Indonesia dalam sejarahnya menggunakan berbagai dasar atau kriteria seperti: lapangan usaha, tempat tinggal para anggota, golongan,
dan
fungsi
ekonominya.
Pemisahan-pemisahan
ini
selanjutnya disebut dengan penjenisan. Dalam Pasal 2 PP No 6/1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, menyatakan bahwa: (1) Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah pembedaan koperasi yang didasarkan golongan dan fungsi ekonomi; (2) Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota sesuatu koperasi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terdapatlah 7 jenis koperasi yang dijabarkan dalam Pasal 3 PP No.6/1959 yaitu: a. Koperasi Desa
65
b. Koperasi Pertanian c. Koperasi Peternakan d. Koperasi Perikanan e. Koperasi Kerajinan/Industri f. Koperasi Simpan Pinjam g. Koperasi Konsumsi.
2.3 Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin Perbankan merupakan suatu lembaga hukum yang dibentuk dalam rangka
menunjang
pelaksanaan
pemerataan
pembangunan
nasional,
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup rakyat. Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, menentukan bahwa Perbankan di Indonesia bertujuan unuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Peran Perbankan sangatlah strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam pembangunan ekonomi, namun seiring dengan peran strategis tersebut terdapat pula tindakan yang merugikan dan dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tersebut, misalnya tindak pidana perbankan.
66
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.13 Selain itu, Munir Fuady juga berpendapat bahwa kejahatan bank makin meningkat dewasa ini, modus operandinya pun makin canggih. Bahkan dalam beberapa kasus, terlibat sindikat mafia, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Di samping itu, lebih dari 90% kejahatan bank di lakukan melalui kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut terdiri dari para young urban profesional (yuppies) Indonesia, dengan ciri-ciri muda, pintar, gesit. workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi. Tindak pidana perbankan dan tindak pidana perbankan memiliki pengertian yang berbeda. Anwar mengemukakan bahwa perbedaan antara pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana dibidang perbankan didasarkan pada perbedaan perlakukan peraturan terhadap perbuatan13
Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.26-27
67
perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatankegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan dalam undang-undang perbankan, pelanggaran mana dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang perbankan. Sedangkan tindak pidana dibidang perbankan terdiri atas perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar undang-undang tentang perbankan, seperti KUHAP, undangundang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan lainnya yang sejenis.14 Kehidupan perbankan merupakan urat nadi kehidupan ekonomi. Dengan demikian dalam membicarakan pelanggaran pada dunia perbankan tidak lepas dari pembicaraan tindak pidana ekonomi. Secara umum tindak pidana ekonomi adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi.15 Tindak pidana ekonomi ini biasanya disebut juga kejahatan kerah putih (white collar crime). Secara umum Conklin merumuskan dan mengidentifikasian unsur-unsur tindak pidana ekonomi sebagai berikut: a. Suatu perbuatan melawan hukum yang diancam dengan sanksi pidana
14
M. Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering), Bayumedia Publishing, Malang, Hal.52 15
Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, Hal.151
68
b. Yang dilakukan ole seseorang, atau korporasi di dalam pekerjaannya yang sah atau di dalam pencarian/usahanya dibidang industri atau perdagangan. c. Untuk tujuan memperoleh uang atau kekayaan, menghindari pembayaran uang atau menghindari kehilangan/kerugian kekayaan, memperoleh keuntungan bisnis atau keuntungan pribadi.16
Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan, perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat era globalisasi.17 Budi Untung mengemukakan bahwa dalam hukum perbankan, terdapat beberapa kategori tindak pidana perbankan.18 Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum (PT, Yayasan, atau Koperasi) yang melakukan praktik perbankan tanpa seijin Menteri Keuangan.
16
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, Hal.138-
139 17
Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, Hal.18
18
Ibid, Hal.156
69
Praktik Perbankan yang dimaksud misalnya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan lain-lain (Pasal 46 UU Perbankan). Kedua, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai bank, komisaris, ataupun direksi yang dengan sengaja ataupun lalai membuat laporan kepada Bank Indonesia mengenai usahanya maupun neraca untung rugi secara berkala sesuai dengan tata cara yang ditentutakn Bank Indonesia (Pasal 48 UU Perbankan). Ketiga, perbuatan pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi ataupun pegawai bank dengan cara merusak, menghilangkan, mengaburkan, memalsukan, mengubah menjadi tidak benar segala sesuatu yang menyangkut “segala dokumen perbankan” (Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan). Keempat, tindak pidana yang dilakukan oleh komisaris, direksi atau pegawai bank yang menguntungkan diri sendiri atau keluarganya (karena menerima komisi/ menerima sogokan) dalam rangka pencairan kredit atau pemberian kredit yang melebihi batas, bank garansi dan segala macam yang menyengkut transaksi perbankan (Pasal 49 ayat (2) UU Perbankan). Sedangkan menurut Sofyan Nasution (analis Bank Madya Senior) Pejabat Bank Indonesia pada Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan (DIMP). Dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, pengaturan mengenai pemidanaan diatur dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
70
50
A.
Dalam
ketentuan
ini
jenis-jenis
tindak
pidana
perbankan
dikelompokkan dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu: 1. Tindak pidana berkaitan dengan perijinan 2. Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha 3. Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank 4. Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank oleh Ban Indonesia 5. Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi Dalam pendirian sebuah bank, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan. Dengan kata lain, untuk dapat mendirikan sebuah bank harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk pendirian sebuah bank tersebut, dalam UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan, mengatur secara jelas mengenai syarat pendirian sebuah bank yaitu dalam Pasal 16, 18, 19, dan Pasal 20. Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut, dapat kita lihat dengan jelas bahwa setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, wajib terlebih dahulu memperoleh ijin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat dari pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat yang dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
71
Pendirian bank yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara tegas dalam UU Perbankan ini dapat dikatakan sebagai bank gelap dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pertama tindak pidana perbankan. Disebut sebagai bank gelap adalah badan (dalam hal ini berbentuk bank) yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat tanpa ijin dari pihak yang berwenang (Bank Indonesia). Ketentuan mengenai tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perijinan ini dapat kita lihat dalam Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa: (1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan, atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakkan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduaduanya.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa yang diancam dengan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) adalah setiap orang (orang pada umumnya) yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (yang meliputi tabungan, deposito berjangka, giro, dan lain
72
sebagainya) namun dilakukan tanpa izin dari pimpinan Bank Indonesia atau dengan perkataan lain, dapat dikatakan telah membuat suatu bank atau suatu badan yang berfungsi atau menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap. Badan hukum yang menjalankan tugas selayaknya atau seolah-olah sebagai sebuah bank namun tidak pernah memperoleh izin usaha dari pimpinan Bank Indonsia sehingga dikategorikan sebagai bank gelap dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 46 UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan.
73