22
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN KELALAIAN 2.1 Pertanggungjawaban Pidana 2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban
pidana
dalam
istilah
asing
disebut
dengan
teorekenbaarheid atau criminal responbility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas
suatu
tindakan
pidana
yang
terjadi
atau
tidak.1Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakantindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat dari
“mampu
bertanggung
jawab”
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.2
Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri
1 2
Amir Ilyas, op.cit, h. 67 Amir Ilyas, op.cit, h. 69 22
23
pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.3 1. Pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syaratsyarat
faktual
(conditioning
facts)
dari
pemidanaan,
karenanya
mengembangkan aspek preventif. 2. Pertanggungjawaban
pidana
merupakan
akibat
hukum
(legal
consequences) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah
tindak
pidana
yang
dilakukannya.
Dengan
demikan,
terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk mereaksi terhadap pelanggaran atas „kesepakatan menolak‟ suatu pebuatan tertentu4. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam buku ke satu (1) dalam Pasal 36 menyatakan bahwa: “Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”. 3
Chairul Huda, 2013, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan”‟, Kencana, Jakarta, h. 66 4 Ibid, h. 70
24
Bahwa adanya suatu pertanggungjawaban pidana adalah didasari atas adanya kesalahan atau perbuatan pidana yang tercantum terlebih dahulu didalam suatu perundang-undangan hal ini berdasarkan berlakunya asas legalitas. Simons berpendapat bahwa “kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedimikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.5 Bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana yaitu: 1. Adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu. 2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan tadi.6 Dengan demikian bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus: a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) b. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab. c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. d. Tidak adanya alasan pemaaf.
5
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 171 Ibid.
6
25
Berdasarkan
hal
tersebut
maka
diketahui
bahwa
seseorang
dapat
dipetanggungjawabkan perbuatannya apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan tersebut. 2.1.2 Kemampuan Bertanggungjawab Setiap orang dipandang sehat jiwanya dan karena hal tersebut maka setiap orang juga mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan namun apabila kesehatan jiwanya diragukan maka akan diperiksa oleh psikater, psikiater yang akan menentukan atau yang dapat mengetahui apakah jiwanya sehat atau tidak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan secara jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab, namun dalam Pasal 44 KUHP ayat (1) dan ayat (2) diatur mengenai ketidakmampuan bertanggungjawab, yang menyatakan bahwa: “(1)
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.
“(2)
Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit , maka Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan”.7
7
Moeljatno, 2012, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, h. 21
26
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP bahwa jika seseorang jiwanya cacat atau terganggu maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atau adanya kemampuan untuk bertanggungjawab. Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut. 1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk 2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.8 Menurut G.A van Hamel menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan toerekeningsvatbaarheid (kemampuan bertanggungjawab) adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kemahiran, yang membawa tiga macam kemampuan (kecakapan) yaitu: 1. Mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatan sendiri; 2. Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat; 8
Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, h. 172
27
3. Mampu menentukan kehendak berbuat.9 Selanjutnya menurut D. Simons memberikan pendapatnya bahwa mampu bertanggungjawab (toerekeningvatbaarheid) adalah,10 a. Jika orang mampu menginsyafi perbuatannya bersifat melawan hukum; b. Sesuai dengan penginsyafan itu dapat menentukan kehendaknya. Kemudian
menurut
W.P.J.
Pompe
menyatakan
bahwa
unsur-unsur
kemampuan bertanggungjawab adalah: a. Suatu kemampuan berpikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya, b. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat kelakuannya, c. Dan oleh sebab itu pula, pembuat dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makana dan akibat kelakuannya). 11 Dari ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada: 1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum; 2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.12
9
Frans Maramis, 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 117 10 Ibid. 11 Ibid.
28
Berdasarkan
penjelasan
tersebut
diatas
maka
kemampuan
akan
pertanggungjawaban pidana apabila jiwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana cacat dan apabila menderita gangguan jiwa maka seseorang tersebut tidak dapat dipidana untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. 2.1.3 Hal-Hal yang Menyebabkan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Seseorang dalam melakukan suatu perbuatan pidana yang memang sudah masuk rumusan dalam suatu perbuatan pidana dapat tidak mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan alasan-alasan tertentu seperti ketidakmampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.Alasan yang menyebabkan suatu perbuatan pidana tersebut hilang yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Menurut Moeljatno, alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar; sedangkan alasan pemaaf adalah alasan dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.13 Berdasarkan pemaparan diatas maka alasan-alasan untuk menghapus seseorang dalam mempertanggungjawabkan suatu perbuatan pidananya yaitu alasan pemaaf yang digunakan dalam alasan untuk menghapus pertanggungjwaban pidana. 12
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 185 Frans Maramis, op.cit. h.135.
13
29
Dalam alasan pemaaf terdiri dari beberapa bagian yaitu: 1. Gangguan jiwa Dalam Pasal 44 tersebut telah dijelsakan bahwa: a. Tidak dapat dipertanggungkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan Dikatakan oleh Kanter dan Sianturi bahwa yang dimaksud dengan keadaan jiwanya yang cacat karena pertumbuhan ialah seseorang yang sudah dewasa, tetapi perangainya seperti anak-anak.Keadaan seperti ini disebut sebagai “dungu”, setengah matang atau idiotisme, imbeciliteit, yang diakibatkan oleh keterlambatan pertumbuhan jiwa seseorang. b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya terganggu karena penyakit Menurut Kanter dan Sianturi memberikan penjelasan bahwa yang dimaksudkan dengan jiwa yang terganggu karena penyakit, ialah yang jiwanya semula adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi penyakit jiwa yang sering disebut sebagai “gila” atau “pathologische ziektetoestand”. Ada atau tidaknya gangguan jiwa karena penyakit sehingga perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, haruslah dibuktikan dengan suatu visum et repertum seorang dokter (psikiater). 2. Daya Paksa (overmacht) Dalam Pasal 48 KUHP dinyatakan bahwa: “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”
30
Menurut J.E. Jonkers, yaitu bahwa daya paksa (overmacht) meliputi: a. Yang bersifat absolut Dalam hal ini orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat mengelakkannya, ia tidak mungkin memilih jalan lain b. Yang bersifat relatif Disni kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh, orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan untuk memilih akan berbuat yang mana. c. Yang berupa suatu keadaan darurat Bedanya dengan kekuasaan yang bersifat relative ialah bahwa pada keadaan darurat itu ini orang yang dipaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu, sedang pada kekuasaan bersifat relative orang itu tidak memilih dalam hal ini yang mengambil inisiatif ialah orang yang memaksa.14 3. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditentukan bahwa: (1) barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eebaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.
14
Frans Maramis, Op. Cit, h. 187.
31
(2) pembelaanterpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan ataau ancaman serangan itu, tidak boleh dipidana.15 Dalam Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini diatur mengenai pembelaan yang diakibatkan oleh serangan atau ancaman yang juga diakibatkan oleh keguncangan jiwa yang hebat serangan atau ancaman maka perbuatan pembelaan yang dilakukan oleh seseorang sekalipun melawan hukum tidak dipidana. 4. Perintah Jabatan Mengenai perintah jabatan tanpa wewenang yang diatur dalam Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mneyatakan bahwa: (1) Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk melakasanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana (2) Perintah tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.16 Oleh Jan Remmelink dikatakan bahwa suatu perintah yang diberikan secara tidak sah tidak meniadakan sifat dapat dipidananya perbuatan, demikian bunyi bagian pertama ayat kedua Pasal 43 Sr. (Pasal 51 KUHP). Ini sudah semestinya: Apa yang melawan hukum tidak berubah menjadi sejalan dengan hukum sekadar karena dilakukan atsas dasar perintah. Dengan demikian, suatu perintah
15
Moeljatno, op.cit, h. 23 Moeljatno,op.cit, h. 24
16
32
jabatan yang tanpa wewenang, atau suatu perintah jabatan yang tidak sah, pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah dari pidana.17 Tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diberikan pengecualian terhadap pandangan umum itu apabila memenuhi syrat-syarat tertentu. Dengan kata lain, sekalipun perintah yang diberikan itu bukan dari pejabat yang berwenang, dengan kata lain merupakan perintah jabatan yang tidak sah, orang yang melaksanakan perintah itu tidak akan dipidana jika memenuhi syaratsyarat tertentu yaitu: 1. Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang; dan 2. Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah.
2.2 Kelalaian 2.2.1 Pengertian Kelalaian Kelalaian (Negligence) adalah suatu kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya seseorang yang wajar dan hati-hati akan melakukan didalam keadaan tersebut, ia merupakan suatu tindakan yang seorang dengan hati-hati yang wajar tidak akan melakukan didalam keadaan yang sama atau kegagalan untuk melakukan apa yang seseorang lain secara hati-hati yang wajar justru akan melakukan didalam 17
Frans Maramis, Op. Cit, h. 194
33
keadaan yang sama, dengan kata lain bahwa suatu keagagalan untuk bersikap hatihati dan kurang waspada yang mana pada umumnya seseorang akan melakukannya dalam keadaan tersebut.18 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada yang menjelaskan secara jelas mengenai pengertian tentang kelalaian tersebut dalam Bahasa Belanda kelalaian disebut dengan culpa.Memori Penjelasan (memorie van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terleteak antara sengaja dan kebetulan. Van Hamel membagi culpa atas dua jenis: a. Kurang melihat kedepan yang perlu Hal ini terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama sekali tidak membayangkan akibat yang terjadi b. Kurang hati-hati yang perlu Hal ini terjadi apabila kekurang hati-hatian dalam melakukan suatu perbuatan, misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidakada isinya (padahal ada).19 Vos membedakan antara dua unsur (element) culpa itu: 1. Terdakwa dapat melihat kedepan yang akan terjadi
18
Cecep Triwibowo, 2014, Etika & Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, h. 284 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 125
19
34
2. Ketidak hati-hatian (tidak dapat dipertanggungjawabkan) perbuatan yang dilakukan (atau pengabaian) atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau tidak dengan cara demikian dilakukan.20 Selanjutnya, delik kelalaian itu dalam rumusan undang-undang ada dua macam yaitu: 1. Delik kelalaian (culpa) yang menimbulkan akibat (culpose gevolgsmisdrijven) Dalam delik kelalaian yang menimbulkan akibat ini sudah tentu dengan terjadinya akibat itu akan menimbulkan kelalaian 2. Delik kelalaian (culpa) yang tidak menimbulkan akibat Dalam delik kelalaian ini yang dilihat adalah perbuatan yang kurang kehatihatian itu sendiri dan sudah tentu perbuatan tersebut diancam dengan pidana.21 Menurut hukum pidana kelalaian terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu: 1. “Kealpaan perbuatan” ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2. “Kealpaan akibat” ialah akibat yang tibul merupakan suatu peristiwa pidana bila akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang timbu; dari suatu perbuatan, seperti yang
20
Ibid Ibid, 129
21
35
tercantum didalam Pasal 359, 360, dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).22 Harus diperhatikan dalam kelalaian adalah standar kehati-hatian supaya kealpaan tersebut terhindar dari sikap tindaknya, hal ini sudah lazim dalam suatu sistem hukum dimana setiap orang diharapkan mengendalikan sikap tindaknya sendiri sehingga tidak akan menimbulkan kerugian bagi orang lain23 2.2.2 Unsur-Unsur Kelalaian Kelalaian
baru
terkena
sanksi
sebagai
akibat
hukum
yang
harus
dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang. Bila kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana, maka Jonkers mengemukakan 4 (empat) unsur kelalaian sebagai berikut: a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid); b. Akibat dari perbuatan itu bisa dibayangkan (voorzienbaarheid); c. Akibat dari perbuatan sebenarnya dapat dihindari (vermijdbaarheid); d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahakan kepadanya (vermijdbaarheid);, karena
sebenarnya
pelaku
sudah
dapat
membayangkan
dan
dapat
mengindarinya24
22
Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku 1, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 223 23 Cecep Triwibowo, loc.cit. 24 Cecep Triwibowo, op.cit,h. 222
36
Ada 4 (empat) unsur kelalaian sebagai tolak ukur didalam hukum pidana, yaitu: a. Bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid) b. Akibatnya dapat dibayangkan (voorzienbaarheid) c. Akibatnya dapat dihindarkan (vermijdbaarheid) d. Sehingga perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid)25
2.3. Malpraktik 2.3.1 Pengertian Malpraktik Malpraktik berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan “praktik” adalah proses penangan kasus (pasien) dari seseorang professional yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga malpraktik dapat diartikan mealakukan tindakan atau praktik yang salah satu menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah keshatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi penderita atu pasien.26 Berdasarakan Coughlin’s Law Dictionary, malpraktik adalah sikap tindak professional yang salah dari seseorang yang berprofesi, seperti dokter, perawat, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Malpraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurang25
Cecep Triwibowo, op.cit, h. 283 Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika & Hukum Kesehatan, Renika Cipta, Jakarta, h. 167.
26
37
ketrampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang berifat tidak etis.27 Pengertian Malpraktik secara umum menyebutkan adanya kesembronoan (professional miscounduct) atau ketidakcakapan yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill) yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setiap situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata.28 Dengan demikian malpraktik itu sebenarnya mempunyai suatu pengertian yang luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Dalam arti umum: suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi 2. Dalam arti khsus malpraktik dapat diterjemahkan dalam: a. Menentukan diagnosis, misalnya: diagnosisnya sakit maag, tetapi ternyata sakit liver. b. Menjalankan informasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan, tetapi dilakukan pada mata yang kiri. c. Selama menjalankan perawatan; d. Sesudah perawatan, tetntu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.29
27
Ibid, h. 261. Ibid. 29 Ibid. 28
38
Dengan demikian malpraktik dapat terjadi tidak saja lama waktu menjalankan operasi, tetapi dapat terjadi sejak dimulainya pemberian diagnosis sampai dengan sesudah dilakukannya perawatan sampai sembuhnya pasien.30
2.3.1 Malpraktik Administrasi Malpraktik administrasi ini dapat dilihat dalam izin dibukanya suatu praktik profesi pekerjaan, dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 23 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah”. Dalam konteks tersebut diambil dalam konteks kesehatan, bahwa seorang yang menjalani profesi yang termasuk sebagai tenaga kesehatan wajib terlebih dahulu memiliki izin dari pihak berwenang untuk melakukan suatu praktik. Bahwa praktik kesehatan tanpa izin atau tanpa diatur dalam undang-undang maka kemungkinan akan adanya malpraktik sangat besar. Pelanggaran hukum administrasi adalah sebagai jalan menuju malpraktik. Dari aspek hukum administrasi, pelanggaran hukum administrasi akan dikenai sanksi administrasi, sanksi administrasi ini dapat berupa pencabutan izin praktik dan denda administrasi.31 Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 188 ayat (1) menyatakan bahwa: 30
Ibid. Cecep Triwibowo, op.cit, h. 264.
31
39
“menteri dapat mengambil tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Dalam pasal ini bahwa menteri dapat memberikan sanksi bagi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan jika praktik yang dilakukan melanggar ketentuan yang terdapat dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan berupa peringatan secara tertulis dan pencabutan izin praktik sementara atau izin tetap seperti yang terdapat dalam Pasal 188 ayat (3) itu sendiri. Pencabutan izin biasanya dilakukan pada individu tenaga kesehatan yang telah menyalahgunakan wewenang, gagal mempertahankan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan ketentuan tahun atau periode praktik tenaga kesehatan, menjadi tertuduh dalam tindak kriminal, dan melakukan tindakan tidak profesional. Pencabutan dikeluarkan dengan mengeluarkan suatu ketetapan baru yang isinya menarik kembali dan/atau menyatakan tidak berlaku lagi ketetapan yang terdahulu. Pencabutan ini berarti meniadakan hak-hak yang terdapat dalam ketetapan itu oleh organ pemerintah. Hak-hak dan kewajiban yang timbul setelah terbitnya ketetapan tersebut menjadi hapus atau tidak ada sebagaimana sebelum terbitnya ketetapan tersebut dan sanksi ini dilakukan sebagi reaksi terhadap tindakan yang bertentangan dengan hukum (onrecgtmatiggedrag). Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori malpraktik dalam bidang hukum administrasi dapat ditemukan dalam: a. Berpraktek tanpa izin
40
b. Melanggar wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak dikenakan Pasal 322 atau Pasal 112 KUHP
2.3.2 Malpraktik Perdata Bahwa terjadinya suatu malpraktik perdata didasari oleh adanya hubungan perikatan. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.32 Malpraktik ini terjadi jika antara satu pihak merasa dirugikan, misalnya dalam hubungan pasien dengan tenaga kesehatan bahwa dalam melaksanakan kewajibannya tenaga kesehatan melakukan suatu kelalaian kepada pasien yang mengakibatkan cacat sehingga pasien merasa dirugikan dan akibtnya adanya wanprestasi yang tidak dipenuhinya hak pasien yang dilihat dari hal tersebut menimbulkan adanya malpraktik. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undangundang”.
Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori malpraktik perdata dapat ditemukan dalam: 32
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.
41
a. Melakukan wanprestasi (Pasal 1239 KUH Perdata) b. Melakukan perbuatan melanggar hukum ( Pasal 1365 KUH Perdata) c. Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366 KUH Perdata) d. Melalaikan Pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata).33 Dalam dunia kesehatan, seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice (malpraktik perdata) apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikatagorikan civil malpractice antara lain: 1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan 2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya 3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna 4. Melakukan apa yang menurut kesepakatnnya tidak seharusnya dilakukan.34
33
Ninik Mariyanti, op.cit, h. 42. Rismalinda, 2011, Etika dan Hukum Kesehatan, Trans Info Media, Jakarta, h. 76
34
42
2.3 Malpraktik Pidana Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice (malpraktik pidana) manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni: 1. Perlakuan salah Perlakuan atau perbuatan adalah wujud-wujud konkret sebagai bagian dari perlakuan atau pelayanan kesehatan. Semua perbuatan dalam pelayanan kesehatan dapat mengalami kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik, apabila dilakukan secara menyimpang 2. Sikap batin Sikap batin adalah sesuatu yang ada didalam batin sebelum orang berbuat. Sesuatu yang ada dalam batin ini dapat berupa kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan, dan apa pun yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Setiap orang tentunya memiliki sikap batin seperti itu. 3. Adanya akibat kerugian Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori malpraktik, antara malpraktik perdata atau pidana. Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk dalam lapangan pidana apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan menjadi unsur tindak pidana akibat kematian luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360 maka bila kelalaian perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atu luka sesuai jenis yang ditentukan dalm pasal ini maka perlakuan medis
43
yang melanggar Pasal 359 dan 360 berarti melanggar Pasal 210 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai malpraktik pidana, dan menurut Pasal 1365 BW merupakan malpraktik perdata yang dapat pula dituntut penggantian kerugian.35 Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalamkategori criminal malpractice (Malpraktik Pidana) manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni: 1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mensrea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence) 3. Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (Pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (Pasal 322 KUHP), membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi (Pasal 299 KUHP) 4. Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya: melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent36 Menurut Soerjono Soekanto dan Kartono Muhamad bahwa kategori
Malpraktik pidana antara lain karena: 35
Cecep Triwibowo, op.cit, h. 273. Rismalinda, op.cit, h. 75
36
44
a. Menipu penderita atau pasien (Pasal 378 KUHP); b. Membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 dan 267 KUHP); c. Melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka (Pasal 359. 360, dan 361 KUHP) d. Melakukan pelanggaran kespanan (Pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2), 285 dan 286 KUHP); e. Melakukan pengguguran tanpa indikasi medis (Pasal 299, 348, 349, dan 350 KUHP) f. Membocorkan rahasia kedokteran yang dilakukan oleh penderita (Pasal 322 KUHP) g. Kesengajaan membiarkan penderita tak tertolong (Pasal 322 KUHP) h. Tidak memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam keadaan bahaya maut (Pasal 351 KUHP) i. Memberikan atau menjual obat palsu (Pasal 386 KUHP) j. Euthanasia (Pasal 344 KUHP)37 Khusus mengenai masalah mengakibatkan matinya orang atau terluka karena kesalahan terdapat dalam Pasal 359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP), didalam ilmu hukum pidana, kesalahan dapat disebabkan karena kelalaian/kealpaan (culpa). Namun dalam hal ini sehubungan dengan masalah malpraktik kesalahan tersebut adalah dalam arti kelalaian/kealpaan.38
2.4 Tukang Gigi 2.4.1 Pengertian Tukang Gigi Tukang gigi dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 339/MENKES/PER/V/1989 tentang pembinan, pengawasan dan perizinan, pekerjaan tukang gigi dalam Pasal 1 huruf a yang menyatakan bahwa “Tukang gigi adalah
mereka yang melakukan pekerjaan dibidang penyembuhan dan pemulihan kesehatan
37
Ibid, h. 41 Ibid.
38
45
gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran gigi serta telah mempunayi izin Menteri Kesehatan untuk melakukan pekerjaannya”. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) No. 39 tahun 2014 tentang pembinan, pengawasan dan perizinan, pekerjaan tukang gigi dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Tukang Gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan”. Berdasarkan pengertian tersebut maka tugas utama dari tukang gigi adalah membuat dan memasang gigi tiruan lepas, namun tidak dapat dihindari dalam pemasangan dan pembuatan gigi tersebut tidak bisa terlepas dari kesalahan atau kelalaian dalam melakukan pekerjaannya.
46