perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Kata tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata straafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Dalam kata tersebut mengandung dua unsur pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit. Kata feit dalam bahasa belanda diartikan “sebagian dari kenyataan” sedangkan “straafbaar” berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum. Oleh karena itu, tentu saja yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan (Evi Hartanti,2005 : 5). Beberapa sarjana telah berusaha memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana: a. D.Simons Menurut Simons peristiwa pidana itu adalah “Een Straftbaargestelde,onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya : Perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. b. Van Hamel Perumusan sarjana ini sebenarnya sama dengan perumusan Simons, hanya Van Hamel menambah satu isyarat lagi yaitu perbuatan itu harus pula patut dipidana (welk handeling een strafwaardig karakter heeft ). c. Vos Menurut Vos peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (Een straftbaar feit is een door de weet straftbaar gesteld feit) (Kansil, 2007 : 38).
commit to user
17
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Halim menyatakan delik adalah(Adami Chazawi, 2002 : 72) : “Suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana)”. Menurut Adami Chazawi, mengemukakan bahwa (Adami Chazawi, 2002 : 67) : “Tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh undang-undang
dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”. R.
Tresna
menggunakan
istilah
peristiwa
pidana,
walaupun
menyatakan sulit untuk merumuskan atau memberikan definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, namun juga menarik suatu definisi yang mengatakan bahwa: “Peristiwa pidana itu merupakan suatu peristiwa pidana yang kemudian diartikan olehnya sebagai sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-undang dan atau peraturan perundang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman ” (Adami Chazawi, 2002 : 72). Jonkers juga merumuskan Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai: “Suatu perbuatan yang melawan hukum (Wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan” (Zainal Abidin, 1962 : 43). Straafbaarfeit atau tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro adalah: “Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana” (Zainal Abidin, 1962 :43).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
19 digilib.uns.ac.id
Van Schravendijk, merumuskan strafbaarfeit sebagai perbuatan yang boleh dihukum yang kemudian diartikannya sebagai: “Suatu kelakuan orang begitu bertentangan dengan hukum sehingga kelakuan itu, diancam dengan hukuman asal dilakukan oleh orang yang karena itu dapat dipersalahkan” (Andi Hamzah, 1994 : 23). Adapun Simons merumuskan strafbaarfeit adalah (R. Soesilo, 1989 : 29) : “Suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat hukum” . Hazewinkel-Suringa mengartikan strafbaarfeit sebagai: “Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan saranasarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya‟‟ (PAF. Lamintang, 1997 : 34). Menurut Pompe mengartikan Strafbaarfeit sebagai: “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum” (Moeljatno, 1987 : 55). Pompe juga mengatakan bahwa: “suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum” (Adami Chazawi, 2002 : i). Definisi tindak pidana menurut Prof. Sudarto ialah : „„Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah „„perbuatan jahat‟‟ atau „„kejahatan‟‟ (crime atau Vebrechen atau misdad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara user kriminologis‟‟ (Sudarto,commit 1990 : to 40).
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
Menurut Prof. Sudarto istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan istilah tindak pidana. Menurut Prof. Sudarto pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut: a. Pembalasan, pengimbalan atau retribusi; Pembalasan sebagai tujuan pemidanaan kita jumpai pada apa yang dinamakan teori hukum pidana yang absolut. Didalam kejahatan itu sendiri terletak pembenaran dari pemidanaan, terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Ada pemidanaan, karena ada pelanggaran hukum; ini merupakan tuntutan keadilan b. Mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat; Pidana tidak dikenakan demi pidana itu sendiri, melainkan untuk suatu tujuan yang bermanfaat, ialah untuk melindungi masyarakat atau untuk pengayoman. Pidana mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Pengaruh yang disebut pertama biasanya dinamakan prevensi special (khusus) dan yang kedua dinamakan prevensi general (umum) (Sudarto, 1986 : 81-83). Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yakni perbuatan pidana adalah (Moeljatno, 1987 : 54) : ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut (Bambang Poernomo, 1992 : 130) : “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat aturan hukum pidana dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan commit to user terlarang dengan diancam pidana (Bambang Poernomo, 1992 : 130).
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
Usman Simanjuntak, dalam bukunya “Teknik Pemeliharaan dan Upaya Hukum” mengatakan bahwa (Usman Simanjuntak 1994 : 95) : “Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan phisik yang termasuk kedalam perbuatan pidana”. Pendapat Usman Simanjuntak ini cenderung menggunakan istilah perbuatan pidana dalam mengartikan straff baar feit, karena istilah perbuatan pidana itu lebih kongkrit yang mengarah kedalam perbuatan phisik perbuatan pidana, karena tidak semua perbuatan phisik itu perbuatan pidana, dan begitu juga sebaliknya dengan suatu perbuatan phisik dapat menimbulkan beberapa perbuatan pidana. Mengenai unsur-unsur tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif sebagaimanaa dikemukakan oleh Lamintang: Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan (Lamintang, 1997 : 193). Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa para ahli hukum dalam memakai istilah strafbaarfeit menggunakan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah peristiwa pidana, tindak pidana maupun perbuatan pidana. Sehubungan dengan definisi-definisi di atas, Prof. Moeljatno menegaskan dua hal; a. Bahwa hukum pidana adalah bagian dari hukum pada umumnya, yang berdiri sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti apabila ditentukan suatu aturan hukum pidana yang melarang suatu perbuatan, perbuatan mana sebelumnya tidaklah merupakan suatu perbuatan yang di larang; b. Bahwa harus terlebih dahulu ditetapkan apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana atau tidak, ketentuan mana kemudian dihubungkan dengan pertanggungjawaban pidana dari si pelaku tersebut. Dengan commit tokata userlain, bahwa hukum pidana itu
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
berisikan perbuatan pidana, pertanggungjawan pidana dan acara pidana (Moch. Faisal Salam, 2006 : 10). Menurut penulis, tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu: a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III; b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten); c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana dengan tidak disengaja (culpose delicten); d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis); e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus; f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus; g. dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu); h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten); i. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eencoudige delicten), commit to (gequalificeerde user tindak pidana yang diperberat delicten) dan tindak
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pidana yang diperingan (gequalifeceerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten); j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya; Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (ekelovoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten) (Adami Chazawi, 2002 : 120). Terkait dengan pembedaan tersebut, Adami Chazawi mengemukakan bahwa: Walaupun dasar pembedaan itu terdapat titik lemah, karena tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu semuanya itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat terlarang kerana dimuatnya dalam undang-undang. Contohnya sebagaimana yang dikemukakan Hazewinkel Suringa, Pasal 489 KUHP, Pasal 490 KUHP atau Pasal 506 KUHP yang masuk pelanggaran pada dasarnya sudah merupakan sifat tercela dan patut dipidana sebelum dimuatnya dalam undang-undang. Sebaliknya ada kejahatan misalnya Pasal 198, Pasal 344 yang dinilai menjadi serius dan mempunyai sifat terlarang setelah dimuat dalam undang-undang (Adami Chazawi, 2002 : 120). B. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif Indonesia. Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu
yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh
Benveniste dalam Suyatno. Korupsi didefinisikan 4 jenis: a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan commit to user regulasi tertentu;
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
c. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok (Suyatno, 2005 : 17-18). Pengertian atau asal korupsi menurut Fockema Andreae dalam Andi Hamzah: Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt, Perancis yaitu corruption dan Belanda yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi” (Andi Hamzah, 2006: 4-6). Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi (Andi Hamzah, 2002 : 77). “Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M. Echols dan Hasan Shadaly berarti jahat atau busuk” (John M. Echols dan Hassan Shadaly, 1997 : 149). “Sedangkan menurut A.I.N Kramer SR mengartikan kata korupsi sebagai busuk, rusak, atau dapat disuap” (A.I.N. Kramer, 1997 : 62). Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal dalam bukunya berjudul Asian Drama, korupsi adalah (Gurnar Myrdal, 1968 : 973) : “To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers.” Terjemahan bebas penulis: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
“Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan.” Jika Gurnar Myrdal tampaknya menggunakan istilah korupsi dalam arti luas yang meliputi juga kolusi dan nepotisme, maka Herbert Edelherz suka menggunakan istilah white collar untuk perbuatan pidana korupsi, perbuatan pidana korupsi disebutkan sebagai berikut (Helbert Edelherz, 1977 : 4). “White collar crime: an illegal act or services of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guille, to obtain or property, to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage.” Terjemahan bebas penulis: “Kejahatan kerah putih: suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik tetapi dengan akal bulus/terselubung untuk mendapatkan uamg atau kekayaan serta menghindari pemayaran/pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis/keuntungan pribadi.” Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, disimpulkan oleh Poerwadarminta (Poerwadarminta, 1976 : 468) : “Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.” Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab UndangUndang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918, KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752, tanggal 15 Oktober 1915. commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk lebih detail dan rinci mengenai keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia, dapat dibaca dalam uraian berikut: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; b. Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957; c. Peraturan
Penguasa
Perang
Pusat
Angkatan
Darat
Nomor:
Prt/Peperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana, dan Pemilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958); d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor 72 Tahun 1960); e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; f. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; g. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negra yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; h. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncyo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; i. Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; j. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 UU PTPK menjelaskan: 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK menyebutkan: Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa: “Tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat” (Himpunan Peraturan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2004 : 51-52). Menurut Andi Hamzah: Dengan adanya kata-kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan dan seterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Mencantumkan kata-kata “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas zaman Jerman Nazi dengan kata-kata yang sama yaitu “rasa keadilan masyarakat” (the sound sense of justice of the people) menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harus dipidana walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah commit to user melakukan korupsi (Andi Hamzah, 2006 : 123-124).
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
Rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 2 ayat (2) UUPTPK yang mengandung unsur-unsur sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK ditambah unsur yang dilakukan dalam keadaan tertentu, sehingga bila dirincikan, terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Secara melawan hukum atau wederrechtelijk; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 4. Dilakukan dalam keadaan tertentu (Ermansjah Djaja, 2008 : 39). Penjelasan secara rinci unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal yaitu: 1. Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi. 2. Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakantindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut. 3. Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 Undang-Undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan. 4. Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentukbentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang commit to user yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
5. Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara (Syed Husein Alatas, www.putracenter.com). Unsur dilakukan dalam keadaan tertentu ini merupakan unsur yang menjadi syarat tambahan untuk memperberat sanksi pidana yaitu berupa sanksi pidana mati. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK menyebutkan: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Tentang penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PTPK ini menurut Adami Chazawi menyebutkan bahwa: Apa yang dimaksud dengan “dalam keadaan keretntu” telah diberikan pada penjelasan mengenai ayat 2 pasal 2 yang bersangkutan, yang disebutkan secara limitative ialah apabila tindak pidana tersebut dilakukan: 1. Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undangundang yang berlaku; 2. Pada waktu terjadinya bencana alam nasional; 3. Sebagai pengulagan tindak pidana korupsi; atau 4. Pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Oleh karena keadaan-keadaan tertentu yang dijadikan alasan memperbesar pidana ini telah disebutkan secara limitative maka tidak diperkenankan hakim menjatuhkan pidana yag diperberat dengan alasan selain yang telah disebutkan. Dari keempat keadaan yang memperberat pidana tersebut, kiranya alasan keempat yang tidak terukur secara objektif, sedangkan lainnya lebih mudah diukur. Alasan pertama diukur berdasarkan undang-undang, yang kedua diukur dengan keputusan pemerintah, dan yang ketiga dengan telah jatuhnya putusan pengadilan yang bersifat tetap dalam perkara tindak pidana yang sama dan putusan telah dijalankan (Adami Chazawi, 2006 : 205) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
Dari banyak perubahan yang dilakukan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 adalah perubahan penjelasan Pasal 2 ayat (2), perubahan penjelasan tersebut yaitu: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam keadaan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi. Dengan adanya perubahan terhadap penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan telah menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 adalah kedaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana koupsi, yaitu apabila: 1. Tindak pidana korupsi tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi: a. Penanggulangan keadaan bahaya; b. Bencana alam nasional; c. Penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas; d. Penaggulangan krisis ekonomi dan moneter. 2. Pengulangan tindak pidana korupsi Yang dimaksud dengan “keadaan bahaya” dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah sama dengan keadaan bahaya seperti yang ditentukan dalam UndangUndang Nomor 23 Prp Tahun 1960 Tentang Keadaan Bahaya. Sedangkan kapan terjadinya keadaan bencana alam nasionalm kerusuhan sosial yang meluas dan krisis ekonomi dan moneter, hingga saat sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menyatakan keadaankeadaan tersebut, yang selama ini untuk menyatakan kedaankeadaan tersebut cukup dengan pernyataan pemerintah saja. Sementara Pasal 3 UU PTPK menjelaskan: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara commit paling to usersingkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Rumusan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU PTPK ini bila dirincikan mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain ata suatu korporasi; 2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan; 3. Dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara. Maksud dari kata “menguntungkan” dalam etimologi adalah: Memiliki arti mendapatkan keuntungan yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran. Berarti yang dimaksudkan dengan :menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (Ermansjah Djaja, 2008 : 38). Di dalam ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 3 UU PTPK, unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” merupakan tujuan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan” adalah: Menggunakan kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang sedang dijbat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan selain dari maksud diberikannya kewenangan ataupun kekuasaan, kesempatan atau sarana tersebut (Ermansjah Djaja, 2008 : 39). Sebaiknya terlebih dahulu dicari maksud kata “merugikan” sebelum membahas mengenai kalimat “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kata “merugikan” adalah: Berarti menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot, dengan demikian yang dimaksudkan dengan unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” adalah menjadi rugi atau menjadi berkurang atau menjadi susut atau menjadi merosot keuangan negara atau perekonomian negara (Ermansjah Djaja, 2008 : 39). commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada alinea ke-4 penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa: Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di ingkat pusat maupun di daerah; 2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah: Kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masayarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di aerah sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam UU ini dirumuskan sedemikian rupasehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus ditunutu dan dipidana. Dalam UU ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam UU ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana (Himpunan Peraturan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 2004 : 41).
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Sistem Pembuktian dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi. Sistem pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi selain berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana juga berdasarkan kepada hukum pidana formil sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Berdasarkan teori dan alat bukti menurut Hukum Pidana Formal diatur pada Bab XVI bagian keempat pasal 183 sampai pasal 232 KUHP. Pada KUHAP, sistem pembuktian hukum pidana menganut pendekatan Pembuktian Negatif berdasarkan undang-undang atau Negatief Wettelijk Overtuiging. Dengan dasar teori Negatief Wettelijk Overtuiging ini, hakim dapat menjatuhkan suatu pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan (Hakim) dengan alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang dengan didasari minimum 2 (dua) alat bukti. Alat bukti sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya” (Andi Hamzah, 1991: 102). Mengenai alat-alat bukti yang sah telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yaitu terdapat 5 (lima) alat bukti yang sah sebagaimana commit to user diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Untuk lebih jelasnya, maka akan diuraikan setiap macam alat bukti diatas menurut Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : 1. Keterangan saksi “Keterangan saksi ialah kesaksian tentang hal-hal atau peristiwa dan kejadian yang dialami sendiri yaitu apa-apa yang ia alami, dilihat dan didengar sendiri perihal kepastian yang diberikan dipersidangan” (Soeparmono, 2000:99). Keterangan saksi dapat dilihat sebagai alat bukti apabila : a. kesaksian diucapkan secara pribadi; b. dapat menerangkan sesuatu yang didapat atas kesaksiannya; c. terdapat kesesuaian antara kesaksian saksi yang lain; d. kesaksian berasal dari apa yang ia dengar, alami dan ia rasakan, jika kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti;dan e. kesaksian yang berasal dari satu saksi bukan alat bukti (unnus testis nullus testis). Pada
umumnya
semua
orang
dapat
menjadi
saksi.
Pengecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP: a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. saudara dari terdakwa attau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Disamping karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa juga mereka karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberi kesaksian dibawah sumpah ialah : a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam
penjelasan
Pasal
tersebut
mereka
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Pasal 161 ayat (2) KUHAP menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak : “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.” Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR). Ini berarti tidak kesaksian menurut undang-undang, bahkan tidak juga merupakan petunjuk, karena hanya untuk memperkuat keyakinan hakim. commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim. 2. Keterangan ahli Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP. Dalam Pasal 186 menyatakan bahwa keterangan seorang ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tetapi pasal tersebut tidak menjelaskan secara jelas siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli.
3. Alat bukti surat Didalam KUHAP hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187 KUHAP. Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan dalam Pasal tersebut yaitu tentang hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan hukum pidana. Karena KUHAP tidak mengatur hal ini, maka kepada hakimlah akan diserahkan pertimbangan tersebut. Dalam hal ini hanya akte authentiklah yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat di bawah tangan seperti dalam hukum perdata tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana. 4. Alat bukti petunjuk Petunjuk disebut oleh 184 KUHAP sebagai alat bukti yang keempat. Didalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP memberikan pengertian petunjuk sebagai berikut : “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Alat bukti keterangan terdakwa Didalam Pasal 184 butir c KUHAP jelas mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti, berbeda dengan peraturan yang lama yaitu HIR yang menyebut “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295 KUHAP. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat yaitu : a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan; b. Mengaku ia bersalah. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas pengertiannya dari pengakuan terdakwa. Pada sistem hukum pidana formil Indonesia, khususnya KUHAP, sudah dimaklumi bahwa beban pembuktian ada atau tidaknya pidana yang dilakukan terletak pada jaksa penuntut umum. Pasal 137 KUHAP menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadilinya.” Apabila ketentuan ini dihubungkan dengan pasal 183 KUHAP maka penuntutan suatu perkara pidana tetap memiliki limitasi minimum dua alat bukti untuk menentukan apakah seorang terdakwa ini bersalah atau tidak bersalah. Jadi sebagai suatu lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Terkait dengan sistem beban pembuktian, Andi Hamzah mengemukakan bahwa: Sistem beban pembuktian khusus pada kasus korupsi sebelumnya telah kita mengetahui bahwa lex generalis, sistem beban pembuktian (umum) dalam perkara tindak pidana diletakkan pada beban Jaksa Penuntut Umum. Tindak pidana korupsi merupakan pengecualian dan memiliki sifat khusus commit to user yang berkaitan dengan Hakim Pidana Materiil maupun Formil.
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masalah beban pembuktian, sebagai bagian dari hukum pidana formil mengalami perubahaan paradigma sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (Andi Hamzah, 2002:81). Pasal 17 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 ayat (1), (2), (3) dan (4) menunjukkan beban pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi mengalami perubahan paradigma baru. Di sini terjadi pergeseran beban pembuktian atau shifting of burden of proof belum mengarah pada reversal of burden of proof (pembalikan beban pembuktian sebagaimana anggapan masyarakat hukum pidana terdahulu). Memang terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana setelah diperkenankan hakim, namun hal ini tidak bersifat imperatif artinya apabila terdakwa tidak mempergunakan kesempatan ini justru memperkuat dugaan jaksa penuntut umum. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 aturan tentang beban pembuktian terdapat pada pasal 37. Sistem pembalikan beban pembuktian dalam kedua undang-undang ini masih terbatas karena masih menunjuk peran Jaksa penuntut umum memiliki kewajiban membuktikan kesalahannya ( Indriyanto Seno Adji, 2007:118).
commit to user