BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) berpengaruh pada multi sektor kehidupan bernegara termasuk kebutuhan akan lahirnya sebuah kebijakan yang mampu menjadi benchmark bagi tren telekomunikasi di Indonesia. Pasca digitalisasi, fenomena konvergensi yang dimediasi keberadaan internet menjadi tantangan yang harus disikapi secara rasional. Berdasarkan proyeksi APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), infiltrasi internet di Indonesia tergolong tinggi dimana pengguna yang tercatat berkisar pada jumlah 82 juta orang dengan tren yang terus naik setiap tahunnya1. Nominal tersebut menjadi alarm bahwa konvergensi tidak sekedar isu sekunder yang dapat dikesampingkan. Merunut ke belakang, perkenalan Indonesia dengan jaringan internet telah terjadi mulai dekade 1990an tetapi belum begitu luas penggunaannya oleh masyarakat awam2. Pada awal pemerintahan orde baru, tepatnya tahun 1976, pemerintah telah memprediksi akan terjadinya era ketika kemajuan teknologi informasi mempengaruhi ragam aspek kehidupan publik yang kemudian memunculkan wacana terkait kebutuhan kepemilikan satelit secara mandiri. Visi tersebut kemudian direalisasikan dengan meluncurkan Palapa A1 milik Perumtel (sekarang Telkom) guna mendukung dan menghubungkan aktivitas TIK seluruh kepulauan Indonesia. Setelah peluncuran pertama, berturutturut satelit lain diorbitkan dengan pengaturan alokasi pemakaian transponder satelit nasional sebesar 60 persen untuk lembaga stasiun penyiaran dan
1
“Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information“, dalam
1
komunikasi dalam negeri sedangkan sisanya dapat disewa lembaga stasiun penyiaran dan komunikasi asing3. Visi yang melatarbelakangi pembangunan satelit dapat dinyatakan tepat guna. Buktinya, saat ini telekomunikasi bukan lagi bidang eksklusif yang hanya dipadati oleh para pakar ataupun pihak yang berkepentingan langsung dengan perkembangan TIK semisal regulator dan kaum pebisnis telekomunikasi. Kebutuhan akan kecepatan, ketepatan dan kemudahan akses TIK menjadi begitu krusial bahkan bagi masyarakat awam. Pola one way communication yang merupakan ciri media konvensional akhirnya terus bertransformasi menjadi two way communication dan pada gilirannya mengarah pada bentuk interaktivitas komunikasi (interactivity communication). Kebutuhan terhadap interaktivitas komunikasi yang memungkinkan orang untuk berbagi sesuatu tanpa karakteristik delay inilah yang menjadi titik lemah teknologi konvensional dan sebaliknya menjadi salah satu dasar berkembangnya tren konvergensi. Secara
singkat
dijelaskan
bahwa
konvergensi
memungkinkan
dinikmatinya berbagai layanan seperti layanan penyiaran, telekomunikasi, dan akses data dalam satu perangkat elektronik yang terkoneksi oleh internet. Artinya, jaringan yang dahulu hanya sanggup membawahi masing-masing satu fungsi dari audio dan visual, sekarang telah mampu mengakomodir seluruh fungsi tersebut kedalam satu keterpaduan yang dikenal dengan nama jaringan konvergen4. Contoh sederhananya adalah mobile phone yang saat ini umumnya menyediakan fitur lengkap disamping fungsi utamanya sebagai alat komunikasi. Fitur-fitur yang dimaksud termasuk akses internet, radio, saluran televisi, sharing data, dan seterusnya. Terlebih pada tahun 2012, Indonesia tercatat menduduki peringkat delapan untuk adopsi peranti mobile semisal ponsel cerdas dengan estimasi 27 juta pengguna yang merupakan hasil dari peningkatan pertumbuhan 36 persen dari tahun sebelumnya5. 3
“Satelit Palapa” dalam , diakses 03 Sept 2013, 15:59 WIB 4 Annabel Z. Dodd, The Essential Guide to Telecommunications: Panduan Pokok untuk Telekomunikasi (Terjemahan Budi Sutedjo Dharma Oetomo, dkk) (Yogyakarta: ANDI, 2000), hlm. 333. 5 “Indonesia Pengguna Internet Nomor 3 Dunia”, dalam , diakses 11 April 2013, 14:23 WIB
2
Fakta tersebut menguatkan asumsi bahwa pergeseran cara hidup akibat paparan teknologi dengan platform konvergensi memang tidak terhindarkan. Ketika kaum pebisnis khususnya yang bergerak dalam bidang telekomunikasi dan penyiaran telah melihat peluang bagi penyatuan fungsi-fungsi dari berbagai domain bisnis yang dimiliknya untuk memfasilitasi tren, sangat rawan apabila pemerintah belum menyiapkan kebijakan memadai untuk mengantisipasi pelanggaran yang tidak akan mampu direspon dengan benar tanpa patron yang kuat untuk penindakannya. Namun, kondisi kebijakan komunikasi di Indonesia belum bisa dibilang harmonis kalau tidak mau dikatakan rapuh. Dengan menilik paket regulasi komunikasi yang berbentuk undang-undang maka opini tersebut dapat terjelaskan dengan ringkas. Pertama, regulasi telekomunikasi pasca reformasi yang diwakili oleh UU nomor 36 tahun 1999 disusun dengan berlandaskan semangat pembukaan iklim kompetisi sebagai upaya untuk menanggalkan atribut monopoli sektor telekomunikasi. Regulasi tersebut mungkin cukup memadai pada masanya, namun selama rentang waktu 1999 sampai 2008 dimana penggunaan internet mulai menjadi massal6 dan terbaur dengan bisnis telekomunikasi, baru pada tahun 2008 kembali disahkan kebijakan komunikasi yang mengatur tentang cyberspace yaitu UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) nomor 11 tahun 2008. Artinya, dalam sela waktu sembilan tahun tersebut terjadi chaos kebijakan dimana regulasi lama tidak mampu meraih fenomena terbaru (tren internet) sedangkan regulasi yang dibutuhkan belum mencapai kata sepakat. Kedua, pada tahun 2002 disahkan UU Penyiaran nomor 32/2002 sebagai pengganti UU 24/1997 yang sebelumnya berlaku. Permasalahan kembali muncul sebab regulasi penyiaran ini terbatas pada pengaturan penyiaran radio dan televisi serta pemancarluasan siaran yang bersifat serentak dan bersamaan, sedangkan siaran melalui internet sendiri dapat dilakukan tidak secara serentak dan
Data ini berdasarkan presentasi Mary Meeker, managing director Morgan Stanley yang dikutip dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa, International Telecommunications Union dan Internetworldstats. Peringkat pertama ditempati Cina kemudian USA dengan masing-masing jumlah pengguna ponsel sebanyak 270 juta dan 172 juta. 6 “Internet Usage in Asia”, dalam , diakses 10 April 2013, 10:53 WIB Pada tahun 2000, pengguna internet Indonesia sudah mencapai angka 2 juta dan melonjak menjadi 55 juta users pada 2012 dengan tingkat penetrasi 22,1 % per populasi.
3
bersamaan, contohnya video on demand. Di sisi lain, UU Pers 40/1999 meski terkesan menjangkau urusan elektronik tetapi masih dikuasai paradigma cetak melalui Dewan Persnya. Lagipula, pers dalam penjelasan regulasi tersebut masih diartikan sebagai wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia (belum ada paradigma tentang penyatuan saluran telematika). Berdasarkan review sekilas tersebut, tidak berlebihan jika menyatakan bahwa paket kebijakan komunikasi di Indonesia terkesan defensif alih-alih preventif. Penyusunan kebijakan memang perlu disesuaikan dengan konstruksi sosial yang ada, tetapi hal tersebut tidak mensahkan keadaan dimana regulasi dapat jauh tertinggal dari fenomena sebab esensi dari regulasi adalah mengatur suatu fenomena agar tidak melenceng dari sistem yang sudah disepakati bersama. Menilik dinamika kebijakan komunikasi yang sedemikian adanya, maka ketika fenomena konvergensi merebak sudah seharusnya kebijakan konvergensi dikawal penyusunannya, tidak hanya oleh para regulator dan lembaga yang berkepentingan tetapi juga oleh publik bahkan masing-masing individu sebagai warga negara. Ide perumusan kebijakan konvergensi sendiri sebetulnya mulai banyak dibahas bahkan sebelum tahun 2009 namun belum mencapai titik temu7. Misalnya saja, pada tahun 2007, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi mengeluarkan pernyataan bahwa Undang-Undang nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi sepertinya sudah perlu direvisi. Sutadi memprediksi bahwa fenomena konvergensi akan segera terwujud sehingga perlu ada kajian mendalam untuk memastikan perlu atau tidaknya penyatuan regulasi telekomunikasi, penyiaran, informatika, dan transaksi elektronik8. Setelah
dilakukan
penggodokan
pasca
2009,
rencana
kebijakan
konvergensi sempat masuk dalam agenda review Kemenkumham (Kementerian 7
“Prolegnas 2011”, dalam , diakses 29 Maret 2013, 16:56 WIB RUU Konvergensi Telematika termasuk salah satu Prolegnas (Program Legislasi Nasional) RUU prioritas tahun 2011 dengan Kemenkominfo sebagai Kementerian yang berkewajiban menyiapakan draft RUU dan Naskah Akademik, namun kemudian RUU ini tidak tercantum lagi di tahun 2012 dan 2013. 8 Dian Yuliastuti, “Anggota BRTI Usul Revisi UU Telekomunikasi”, dalam , diakses 3 April 2013, 01:00 WIB
4
Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk diharmonisasi namun dikembalikan lagi kepada inisiator kebijakan yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika karena masih membutuhkan peninjauan ulang. Regulasi konvergensi penting adanya, seperti juga diungkapkan oleh Menteri Kominfo (Komunikasi dan Informatika), Tifatul Sembiring, bahwa kebijakan konvergensi perlu segera disusun untuk paling tidak memastikan domain masing-masing kebijakan komunikasi agar tidak tumpang tindih atau bahkan berseberangan untuk menghadapi era konvergensi yang sangat terbuka terhadap kemungkinan monopoli pasar9. Selain berkaitan dengan urusan nasional, konvergensi sesungguhnya merupakan konsekuensi dari komitmen Indonesia untuk terbuka pada globalisasi10 yang menjadikan negara ini sebagai bagian dari network society atau masyarakat global11. Artinya, kebijakan konvergensi merupakan regulasi vital dalam ranah telekomunikasi menilik dari urgensi keberadaan pengaturan fenomena jaringan konvergen yang berkembang pesat ditengah masyarakat sehingga patut diketahui mengapa proses formulasi kebijakan ini berlangsung lamban bahkan cenderung stagnan di Indonesia. Proposisi ini disandingkan pula dengan fakta bahwa terjadi dualisme pilihan regulator (torn between two focus) terhadap bentuk kebijakan yaitu harmonisasi peraturan yang sudah ada ataukah penyusunan kebijakan baru yang dimaksudkan untuk melebur seluruh Undang-Undang terkait. Dinamika perumusan kebijakan konvergensi inilah yang akan disoroti dalam penelitian termasuk pilihan atas sikap dan tindakan yang diambil para aktor perumus kebijakan konvergensi.
9
Ahmad Fikri, “Menteri Kominfo Rancang RUU Konvergensi”, dalam , diakses 3 April 2013, 23:14 WIB 10 Bergabungnya Indonesia dengan organisasi kerjasama bilateral maupun multilateral menunjukkan itikad Indonesia untuk menjalin kerjasama dalam tataran internasional. Selain itu beberapa komitmen yang dijalin Indonesia dengan United Nations seperti MDGs (Millenium Development Goals) membuka kontak langsung antara Indonesia dengan negara luar dan sebaliknya. Meskipun hakikatnya harus tetap menghargai kedaulatan masing-masing negara namun infiltrasi nilai-nilai global akan cepat masuk dan sulit dicegah perkembangannya. 11 Jan Van Dijk, The Network Society: Social Aspect of New Media (Second Edition, Sage Publication, 2006) Konsep masyakarat dunia atau masyarakat global semakin berkembang seiring perkembangan tekhnologi. Didorong oleh hubungan baru yang terjalin didalam batas-batas geografis yang menjadi bias, masyarakat global berbagi isu bahkan kepentingan bersama. Saat ini, konsep masyarakat global dipandang lebih kompleks karena melebur dengan konsep network society.
5
Sebagai upaya merekam sebuah perjalanan, maka penelitian ini paling tidak harus mampu menjelaskan kejadian masa lampau dan dinamika masa sekarang sehingga data yang terkumpul dapat digunakan untuk memprediksi masa depan. Untuk itu, penelitian ini mengambil data perjalanan kebijakan konvergensi semenjak tahun 2010 (ketika ide kebijakan konvergensi mulai dibahas secara resmi oleh regulator) sampai dengan 2013 (pelacakan hingga tahun 2013 dimaksudkan agar data yang terkumpul dapat memungkinkan peneliti untuk menyusun sebuah prediksi terkait prospek keberlanjutan kebijakan konvergensi ini di masa mendatang). Selain itu, disebabkan kebijakan ini masih berupa RUU, maka penelitian jelas tidak akan difokuskan untuk mengawal konten kebijakan sebab akan menjadi tidak relevan dengan masih banyaknya kemungkinan perubahan setelah beberapa pembahasan kedepannya. Meskipun begitu, isu konten tentu akan terangkat selama memotret perjalanan kebijakan. Penelitian ini juga terbatas sebagai studi terkait perumusan kebijakan pada tahap awal inisiasi yang belum mencapai tahap legislasi di DPR RI sebab RUU Konvergensi Telematika nyatanya ditinjau ulang sebelum sempat masuk pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) ataupun Komisi I DPR RI. Kemudian, apabila sepanjang penelitian ditemukan fakta dan isu baru yang dominan maka hal tersebut akan menjadi bagian dari kedinamisan penelitian yang memang tidak terbatas dan atau dibatasi dalam sebuah penelitian kualitatif.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia selama tahun 2010-2013?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Memahami perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia antara tahun 2010-2013. 2. Menganalisis perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia selama tahun 2010-2013.
6
3. Memprediksi perjalanan kebijakan konvergensi Indonesia pada masa mendatang.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Untuk kepentingan akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi ilmiah dalam studi perjalanan kebijakan komunikasi khususnya kebijakan konvergensi di Indonesia. 2. Untuk kepentingan pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam upaya proses formulasi kebijakan konvergensi di Indonesia.
E. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretif. Menurut Schwandt, pendekatan jenis ini menekankan pada dunia pengalaman yang dihidupi, dirasakan, dan dialami oleh para aktor sosial12 sehingga memungkinkan peneliti melihat proses interaksi antar pihak dengan latar belakangnya
masing-masing
untuk
mendapatkan
interpretasi
menyeluruh
mengenai satu arti. Arti disini adalah tindakan yang melatarbelakangi para aktor kebijakan dalam proses formulasi kebijakan konvergensi yang pada akhirnya mempengaruhi peristiwa kebijakan pada masa lalu, masa sekarang dan prediksi masa depan.
F. Kerangka Pemikiran 1. Aktor Kebijakan Ketika mengetengahkan proses perjalanan kebijakan konvergensi maka satu aspek penting yang tidak bisa dikecualikan adalah mengelompokkan aktoraktor yang terlibat sebagai regulator (pembuat dan penyusun) konvergensi sebab peran mereka sangat menentukan dalam dinamika perjalanan kebijakan. Kebijakan disusun dan dirumuskan beberapa pihak yang memiliki otoritas atau kewenangan tertentu dalam suatu negara. Dalam negara demokrasi, idealnya 12
Norman K. Denzin and Yvonna S, Lincoln, Handbook of Qualitative Research (UC Santa Cruz: Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 125.
7
kebijakan dapat diakses oleh seluruh pihak meskipun porsi kekuasaan dan dominasinya tetap saja berlainan. Pihak-pihak yang berkuasa untuk menentukan isu dan tahapan dalam proses kebijakan disebut aktor kebijakan. Berdasarkan pendapat Lester dan Stewart, yang tergolong sebagai aktoraktor perumus kebijakan adalah13: •
Agensi pemerintah, dengan kata lain eksekutif dan para birokrat karier.
•
Kantor kepresidenan. Komisi kepresidenan bahkan presiden sendiri seringkali turun tangan dalam perumusan isu kebijakan tertentu. Di Indonesia, lembaga kepresidenan sangat dominan pada masa orde baru.
•
Lembaga legislatif. Lembaga yang memang difungsikan untuk membuat dan merevisi kebijakan. Pasca orde baru yaitu masa reformasi hingga saat ini, lembaga legislatif berperan besar dalam proses legislasi nasional dan daerah.
•
Kelompok kepentingan. Seringkali disebut juga sebagai kelompok penekan yakni kelompok yang tertarik dan fokus pada isu tertentu. Peran kelompok ini cukup signifikan apabila ide kebijakan berasal dari publik, namun akan kurang diperhitungkan saat ide kebijakan berasal dari birokrat ataupun legislatif. Dengan menggunakan pengkategorian tersebut secara garis besar, maka
berikut identifikasi aktor yang terlibat langsung dalam proses perumusan kebijakan konvergensi di Indonesia: •
Agensi Pemerintah Agensi pemerintah adalah badan atau lembaga tertentu yang dibentuk
untuk membantu tugas pemerintahan. Kementerian termasuk agensi pemerintah. Kementerian yang terlibat langsung dalam perumusan kebijakan konvergensi
ini
adalah
Kementerian
Komunikasi
dan
Informatika
(Kemenkominfo) a. Kemenkominfo
sendiri
berada
dibawah
koordinasi
Kementerian
Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan dengan tugas penyelenggaraan urusan di bidang komunikasi dan informatika yang salah
13
Solahuddin Kusumanegara, Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2010), hlm. 88-89.
8
satu fungsi utamanya adalah perumusan; penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi dan informatika. Pada tahun 2009, Kemenkominfo yang saat itu dipimpin oleh Mohammad Nuh telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika
Nomor
145/KEP/M.KOMINFO/05/2009
tentang
Tim
Penyiapan dan Materi RUU Konvergensi Telekomunikasi dan Penyiaran dengan penanggung jawab yang berasal dari staf khusus, staf ahli dan kepala badan Kemenkominfo. Dalam perkembangannya, Kemenkominfo pada bulan Januari 2012 dengan kepemimpinan yang baru yaitu Tifatul Sembiring sebagai Menteri Kominfo melalui Siaran Pers No. 1/PIH/Kominfo/1/2012 tentang Catatan Strategis dan Prestasi Kementerian Kominfo, menuliskan bahwa: “Setelah cukup lama dibahas internal dan ekternal, Kementerian Kominfo masih memfinalisasi RUU Multimedia (Konvergensi Telematika) sebagai pengganti UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Posisi saat ini, terhadap RUU
tersebut
akan
segera
dilakukan harmonisasi di
Kementerian Hukum dan HAM”. •
Kantor Kepresidenan Dalam proses perumusan kebijakan konvergensi, kantor kepresidenan tidak atau belum teridentifikasi terlibat secara langsung. Kebijakan ini lebih ditangani oleh kementerian yang bersangkutan.
•
Lembaga Legislatif Lembaga legislatif (DPR RI) memiliki alat kelengkapan yang salah
satunya adalah komisi. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Komisi I adalah komisi DPR RI yang membawahi bidang tugas pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi dan informatika. Artinya Komisi I adalah komisi yang secara spesifik terlibat dalam proses perumusan kebijakan konvergensi. Hal tersebut salah satunya terlihat dari Laporan Singkat Komisi I DPR RI tentang rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Kementerian
9
Komunikasi dan Informatika, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) dan Edmon Makarim, pada tahun sidang 2009-2010 yang diselenggarakan dalam rangka mendapatkan masukan bagi penyusunan RUU tentang Konvergensi Telematika. Pada tahun 2011, RUU Konvergensi termasuk RUU prioritas dan masuk kedalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dibawah bidang kerja Komisi I namun sampai akhir periode 2011, belum ada pembahasan lebih lanjut terkait RUU tersebut di DPR RI. Untuk itu pada tanggal 30 Januari 2013, Komisi I DPR RI mengundang Menteri Kominfo Tifatul Sembiring beserta pejabat Kemenkominfo lainnya untuk menghadiri rapat Dengar Pendapat (RPD) yang salah satunya menghasilkan kesimpulan bahwa: “Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah agar segera menyelesaikan DIM sandingan terhadap RUU tentang Penyiaran untuk segera disampaikan kepada DPR RI, serta menyelesaikan perumusan terhadap RUU tentang Konvergensi Telematika (RUU Telekomunikasi) dan draft RUU Revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebelum berakhirnya masa sidang III tahun Sidang 2012/2013 pada bulan April 2013”14 •
Kelompok Kepentingan Peran kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan konvergensi
bisa dikatakan tidak terlalu signifikan. Salah satu lembaga nirlaba sejenis NGO (Non Governmental Organization) yang fokus dalam mengawal kebijakan ini adalah Yayasan SatuDunia Indonesia yang berdiri atas prakarsa HIVOS, Yayasan Jaring dan Oneworld UK. Beberapa brief paper telah diluncurkan oleh SatuDunia terkait perumusan kebijakan konvergensi. Dari beberapa publikasi tulisan tersebut, Yayasan ini berpendapat bahwa pembahasan RUU Konvergensi sebaiknya dihentikan dengan alasan: dilatarbelakangi oleh desakan liberalisasi pasar, adanya pereduksian hak warga negara menjadi hanya hak konsumen, terdapat pasal-
14
“Siaran Pers No.11/PIH/KOMINFO/1/2013 tentang Rapat Dengar Pendapat Menteri Kominfo Tifatul Sembiring dengan Komisi I DPR RI” dalam , diakses 3 April 2013, 23:27 WIB
10
pasal karet yang mengancam HAM dan ketidakjelasan harmonisasi dengan UU lainnya15. Aktor kebijakan tersebut masing-masing akan melakukan tindakan yang sesuai dengan ukuran atau nilai-nilai tertentu untuk mempengaruhi keputusan politik. Anderson mengelompokkan nilai-nilai yang dapat mempengaruhi perilaku aktor kebijakan, sebagai berikut16: •
Nilai politik
Para aktor kebijakan mungkin mengeliminasi dan atau menambahkan alternatif kebijakan tertentu yang dipandang sesuai dengan kepentingan partai politik atau kelompok kepentingannya sehingga pilihan kebijakan didasarkan pada hitung-hitungan keuntungan politik yang dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuam partai atau tujuan kelompok kepentingannya. Hal ini khususnya menimpa lembaga legislatif yang anggota-anggotanya pada umumnya merupakan bagian dari perwakilan kelompok politik tertentu. •
Nilai Organisasi
Agensi pemerintah adalah kelompok yang paling utama terpapar nilai organisasi dalam mengambil setiap langkah terkait kebijakan. Organisasi seperti badan adminstratif umumnya memiliki berbagai prosedur termasuk soal imbalan dan sanksi dalam upayanya untuk mempengaruhi anggotaanggotanya agar bertindak sesuai dengan nilai organisasi yang telah ditetapkan. •
Nilai Pribadi
Upaya pribadi untuk mendapatkan beberapa keuntungan seperti meningkatkan status sosial, menambah kepemilikan material, bahkan menjaga reputasi merupakan contoh nilai pribadi yang dapat mempengaruhi cara aktor tertentu memilih tindakan. Nilai pribadi ini bisa bersifat positif namun banyak pula yang negatif. Nilai ini didorong oleh pertimbangan rasionalitas ego individu untuk melakukan sesuatu yang benar untuk kepentingan eksistensi dirinya. •
Nilai Kebijakan
15
Untuk lebih jelasnya silahkan dilihat Brief Paper SatuDunia berjudul ‘Kenapa pembahasan RUU Konvergensi Telematika Harus Dihentikan? Dapat diakses melalui portal 16 Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: MedPress (Anggota IKAPI), 2008), hlm. 133-135.
11
Beberapa aktor juga akan terpengaruh oleh nilai kebijakan. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa nilai kebijakan adalah nilai paling objektif sebab terkait langsung dengan kriteria penilaian apakah satu kebijakan dirasa benar dan pantas untuk dipilih dalam konteks dan kebutuhan masyarakat tertentu. Namun, dorongan untuk secara objektif mempertimbangkan nilai kebijakan memiliki kemungkinan besar untuk bersilangan dengan nilai-nilai yang lain. •
Nilai Ideologi
Ideologi adalah seperangkat nilai dan kepercayaan tertentu yang berhubungan secara logis sebagai pedoman tingkah laku dan tindakan tertentu. Ideologi dalam satu negara tentu akan berpengaruh terhadap pola tindakan yang diambil oleh para aktornya. Misalnya, ideologi komunis akan menghantarkan tindakan kebijakan yang sentralistik dari pemerintah terhadap rakyatnya sedangkan ideologi demokrasi sepatutnya memperjuangkan nilai-nilai kerakyatan dari oleh dan untuk rakyat.
2. Kebijakan Konvergensi Esensi konvergensi adalah penyatuan, dalam hal ini merupakan penyatuan antara teknologi informasi dan komunikasi. Konvergensi memungkinkan dinikmatinya berbagai macam layanan seperti layanan penyiaran, telekomunikasi, dan Internet dalam satu perangkat terpadu. Menurut Mc Chesney dan Herman, konvergensi penting dilihat dari dua sisi: pertama, pertumbuhan dan perkembangan sektor informasi komunikasi pada level global dimana banyak perusahaan besar dunia yang menguasai pasar jatuh ke model konvergensi dimana sebagian dari jumlah tersebut memilih sektor komunikasi untuk dikembangkan. Kedua, munculnya ketidakpastian pasar akibat trend konvergensi. ketidakpastian tersebut didorong oleh banyaknya proses akuisisi dan merger, usaha patungan dan aliansi yang ditempuh sebagai cara untuk bertahan dalam kompetisi dan untuk meningkatkan penghasilan di sektor baru17.
17
Edward S. Herman and Robert W.McChesney, The Global Media: The New Missionaries of Global Capitalism (London: Cassell, 1997), hlm. 108. Alasan perusahaan melakukan akuisisi, merger, aliansi, dsb adalah karena perkembangan teknologi sulit untuk diprediksi sehingga cara teraman adalah menjalin kerjasama sehingga memiliki banyak kesempatan untuk bertahan dari serangan kompetitor.
12
Menilik kondisi di Indonesia, meskipun masih terdapat beberapa blank spot yang membatasi individu atau kelompok tertentu untuk mempergunakan fasilitas telematika modern, hal tersebut tidak menyurutkan tingginya angka ketergantungan terhadap teknologi khususnya bagi penduduk perkotaan yang notabene terpapar produk high-end teknologi ataupun generasi muda yang cenderung menggunakan produk teknologi secara intens salah satunya sebagai cara beradaptasi terhadap lingkungan modern. Dikaitkan dengan negara, melalui Pasal 28f UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 telah disebutkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan akses bagi seluruh warganya tanpa terkecuali guna mendapatkan hak informasi. Saluran yang memediasi hak atas informasi tersebutlah yang terus berkembang seiring inovasi-inovasi baru dalam bidang teknologi. Karena itu, setiap negara harus bergegas menentukan langkah untuk menghadapi hantaman teknologi global yang semakin pesat, termasuk pada bidang teknologi komunikasi yang memunculkan fenomena konvergensi telematika. Perkembangan yang signifikan terkait konvergensi ini tentu saja membutuhkan pengimbang dalam bentuk regulasi. Namun, penyusunan regulasi bukanlah satu hal yang mudah khususnya pada kasus-kasus yang memiliki interseksi mengenai hak-hak perorangan dan publik seperti halnya masalah informasi dan media. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus pintar-pintar menyeimbangkan antara kontrol dan akses18. Penjaminan akan hak publik atas informasi melalui saluran yang berpotensi untuk menjadi efektif dan massal penggunannya di masa mendatang termasuk satu alasan perlunya kebijakan konvergensi19. Studi kebijakan komunikasi pada dasarnya bukanlah pekerjaan
18
Francois Bar and Christian Sandvig, Media, Culture and Society: US communication policy after convergence (Sage Publications, 2008). Disebutkan bahwa dalam setiap pengaturan komunikasi, kebijakan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kontrol dan akses, artinya kontrol pemerintah terhadap konten harus didasarkan pada pertimbangan logis disertai kewajiban bagi pemerataan dan distribusi akses terhadap media konvergen. Biaya yang harus dikeluarkan masyarakat juga sepatutnya proporsional. 19 Paula Chakravartty and Katharine Sarikakis, Media policy and Globalization (Edinburgh: University Press Ltd, 2006), hlm 4-5. Disebutkan bahwa menghindari bahkan menjauhkan unsur-unsur kepentingan politis dalam proses pembuatan kebijakan terkait pelayanan telekomunikasi dan penyiaran serta konten kultural dari perdagangan konten media adalah langkah signifikan yang ditempuh Amerika dalam wacana pembuatan kebijakan.
13
yang bersifat administratif meskipun hasil studi dapat membantu kelancaran administrasi. Studi ini memiliki range kajian yang luas termasuk namun tidak terbatas pada penelusuran kegiatan komunikasi dalam tiap tahapan kebijakan, misalnya pola komunikasi antar aktor dalam proses perumusan kebijakan. Definisi pola mengarah pada hal-hal yang mempengaruhi sikap aktor pada sistem tertentu misalnya budaya komunikasi, bentuk interaksi antar aktor sampai bagaimana mereka melakukan koalisi atau bahkan berkontradiksi satu dengan yang lain. Di lain pihak, apabila kita menelisik dinamika penyiaran di Indonesia khususnya terkait isu kepemilikan, maka kebijakan konvergensi perlu segera diatur. Mengutip hasil riset kerjasama antara CIPG (Centre for Innovation Policy and Government), Hivos dan Manchester Business School, bahwa: Saat ini, dua belas kelompok media besar mengendalikan hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk didalamnya penyiaran, media cetak dan media online. Mereka adalah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Grup MNC memiliki tiga kanal televisi freeto-air – jumlah terbanyak yang dimiliki oleh grup media – juga 20 jaringan televisi lokal dan 22 jaringan radio dibawah anak perusahaan mereka, Sindo Radio. Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak, termasuk didalamnya Radar Grup. KOMPAS, surat kabar paling berpengaruh di Indonesia, telah mengekpansi jaringannya dengan mendirikan penyedia konten yaitu KompasTV, disamping 12 penyiaran radio di bawah anak perusahaan mereka Radio Sonora, dan 89 perusahaan media cetak lainnya. Visi Media Asia telah berkembang menjadi kelompok media yang kuat dengan dua saluran televisi teresterial (ANTV dan tvOne) serta media online yang berkembang dengan pesat vivanews.com. Sebuah perusahaan media di bawah Grup Lippo yakni Berita Satu Media Holding, telah mendirikan Internet Protocol Television (IPTV) BeritaSatuTV, kanal media online beritasatu.com dan juga memiliki sejumlah surat kabar dan majalah20.
Data riset tersebut menunjukkan bahwa konglomerasi penyiaran di Indonesia telah berada di tahap genting baik untuk kepemilikan media konvensional maupun konvergen. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya pengguna internet yang menjadi faktor pendorong populernya media konvergen21. Itu baru fakta dari industri penyiaran, belum lagi jika menelusuri kepemilikan industri telekomunikasi Indonesia yang sebagian besar saham
20
Yanuar Nugroho, Dinita Andriani Putri, Shita Laksmi, Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Jakarta: Centre for Innovation Policy and Government, 2012), hlm. 4. 21 Simon McPhillips and Omar Merlo, “Media convergence and the evolving media business model: An overview and strategic opportunities”, The Marketing Review, 2008, Vol. 8, No. 3, doi: 10.1362/146934708X337663 ISSN1469-347X print / ISSN 1472-1384 online ©Westburn Publishers Ltd, hlm. 237. Konvergensi media adalah kemampuan untuk mendistribusikan jenis media yang berbeda dalam satu platform melalui penggunaan internet.
14
perusahaannya dikuasai oleh investor asing. PT. Telkom Indonesia Tbk tercatat sebagai perusahaan telekomunikasi dengan saham mayoritas dikuasai pemerintah sebesar 51.19%, publik (40.21%) dan The Bank of New York serta investor dalam negeri (8.60%) sedangkan perusahaan telekomunikasi lainnya didominasi oleh kepemilikan saham asing seperti PT.XL Axiata Tbk yang dikuasai Axiata Group Berhad atau Axiata (66,549%), PT Indosat Tbk dengan QTEL Asia / Qatar Telkom Asia (65%), PT AXIS Telekom Indonesia didominasi Saudi Telcom Company (80.1%) serta PT.Hutchinson CP Telecommunications atau 3 yang dikuasai Hutchison Whampoa Hongkong (60%)22. Dengan potensi masalah tersebut (monopoli perusahaan dalam dan luar negeri) maka wajar bila pada mulanya pemerintah berinisiatif membuat sebuah Undang-Undang yang diharapkan mampu memayungi persoalan telematika di Indonesia, yang kemudian disebut kebijakan konvergensi. Namun kenyataannya, proses formulasi kebijakan tersebut tertahan di tengah jalan sehingga belum ada statement kebijakan yang muncul sampai saat ini23. Pengggodokan rumusan kebijakan memang bukan hal yang mudah untuk diselesaikan dalam sekali jalan. Banyak kepentingan yang perlu diakomodir regulator terkait kebijakan tersebut, apalagi untuk kebijakan sejenis konvergensi telekomunikasi yang nantinya akan berdampak pada banyak pihak. Idealnya, seluruh tahapan proses kebijakan mulai dari penyusunan agenda hingga evaluasi kebijakan disusun dengan pengutamaan unsur kepentingan publik. Namun pada prakteknya, tarik menarik kepentingan yang diprakarsai oleh struktur maupun aktor-aktor yang terlibat merupakan hal lumrah yang terjadi dalam setiap pengagendaan kebijakan. Jika dipandang dari analisa ekonomi, negara sebetulnya memiliki kemampuan untuk mengintervensi aktor lain khususnya pasar dalam pembuatan suatu kebijakan meskipun dengan alasan tertentu24. Namun negara melalui
22
“Komposisi Kepemilikan Saham Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia”, dalam , diakses 19 Maret 2013, 12:13 WIB 23 Agus Sudibyo, Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009) hlm. 94. 24 Hoskins Colin, McFadyen Stuart and Finn Adam, Media Economics: Applying Economics to New and Traditional Media (London: Sage, 2004), hlm. 287- 307.
15
pemerintah juga harus berhati-hati menentukan langkah karena alih-alih mendatangkan kemajuan, ketidaktepatan langkah intervensi malah dapat menyebabkan kemunduran bahkan chaos. Sebagai contoh, reformasi di Indonesia terjadi karena pemerintah orde baru dicap gagal dengan semakin merebaknya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di jajaran elit yang merupakan dampak dari kompromi politik dan ekonomi yang terjadi dalam cakupan internal maupun eksternal pemerintah. Pada intinya, meski negara dapat melakukan intervensi, tetap diperlukan stand point yang jelas tentang sistem yang dipilih untuk mendasari gerak langkahnya, karena pada akhirnya sistem menentukan relasi dan cara aktor berhubungan yang sedikit banyak mempengaruhi pola kebijakan. Karenanya, untuk membuat kebijakan yang akomodatif, negara harus terlebih dahulu konsisten mengenai sistem yang dianut agar publik tidak bingung dan terombang-ambing di tengah ketidakpastian perilaku negara sehingga tidak terjadi kapitalisme demokrasi25 atau bahkan muncul istilah negara auto pilot (tanpa pengendali). Termasuk dalam menentukan arah kebijakan komunikasi. Mengenai bagaimana melahirkan suatu kebijakan, James Anderson menuliskan tentang tahapan-tahapan kebijakan26. Tahap pertama adalah formulasi masalah sebagai tahap brainstorming tentang apa yang menjadi masalah, apakah hal tersebut dapat digolongkan sebagai masalah kebijakan lalu bagaimana memasukkan masalah tersebut kedalam agenda kegiatan. Tahap kedua adalah formulasi kebijakan yaitu tahap untuk mengembangkan pilihan atau alternatif pemecahan masalah. Disebutkan bahwa tiga alasan prinsip yang bisa menjadi alasan kuat negara mengintervensi adalah kegagalan pasar, dengan indikator: externalities, public goods dan monopoly power. Externalities adalah akibat samping yang ditimbulkan oleh sebuah produksi, yang tidak menimpa produsen maupun sasaran konsumen secara langsung, namun bisa membahayakan pihak ketiga di luar itu, misal: produksi tayangan dewasa yang diputar pada waktu prime time sehingga ditonton anak-anak dan cenderung menimbulkan efek negatif. Kedua, public goods yang memiliki karakteristik bisa diperoleh tanpa kompetisi dan bisa diakses siapapun, masalahnya adalah ketika barang publik ini tidak lagi menjadi bebas karena tingkat pengkomersilan yang tinggi dan perlu modal tertentu untuk mengaksesnya. Ketiga, monopoly power, yang sangat mungkin mengarah pada tekanan pasar atau lebih tepatnya aktor yang menguasai pasar kepada publik, baik penguasaan tersebut terangterangan ataupun terselubung dengan melenakan publik dalam aktivitas pemuasan kebutuhan ekonomi tertentu. 25 Bernard Crick, Democracy: A Very Short Introduction (Oxford: University Press, 2002), hlm. 81. 26 AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005)
16
Dalam tahap kedua akan ditentukan pihak-pihak yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan. Selain negara yang diwakili pemerintah, banyak pihak yang sebetulnya dimungkinkan untuk berpartisipasi dalam formulasi kebijakan semisal akdemisi, swasta terkait, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau nongovernmental organisation (NGO). Selanjutnya, penetapan kebijakan merupakan tahap ketiga. Dalam tahapan ini seharusnya dapat ditilik aktor-aktor utama yang terlibat. Saling silang kepentingan antar aktor menjadi wacana yang rasional terjadi27. Lalu, tahap keempat adalah implementasi. Tahapan ini menyoroti pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan berikut tugasnya, dan bagaimana dampak dari isi kebijakan tersebut. Tahap terakhir adalah evaluasi mengenai bagaimana keberhasilan dan dampak kebijakan diukur, pihak yang bertanggungjawab mengevaluasi kebijakan, perhitungan akibat dari evaluasi kebijakan dan apakah ada tuntutan untuk melakukan perubahan atau pembatalan kebijakan. Dengan merunut lima tahap kebijakan tersebut terlihat bahwa kebijakan sebagai hasil dari perembukan aktor-aktor dalam negara yang dimaksudkan sebagai aturan atas satu hal tertentu sangat bergantung pada perilaku aktor dan sistem yang sedang berjalan. Sebut saja jika relasi aktor negara, pasar dan publik itu terjadi pada sistem kapitalis maka yang terjadi adalah dominasi pasar pada setiap keputusan28, sedangkan pada sistem demokrasi, kebijakan yang diambil haruslah mengena pada prinsip yang pro publik dengan mengedepankan kesejahteraan masyarakat di level pertama. Meskipun kegagapan seringkali terjadi di tahap implementasi dimana ketidaksinkronan antara konsep kebijakan yang disepakati di awal dengan 27
Kaushik Bau, Prelude to Political Economy: A Study of the Social and Political Foundations of Economics (New York: Oxford UP, 2000), hlm.37. Dituliskan bahwa setiap individu memiliki pilihan rasional. Rasional bagi satu orang belum tentu rasional bagi yang lain, karena itu individu bisa dikatakan melakukan pilihan rasional apabila dia memilih aksi yang tepat untuk memaksimalkan pencapaian tujuan dirinya. 28 A. Habibullah, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market dan Civil Society (Malang: Averroes Press, 2009), hlm. 52. Didalam buku ini dikutip pernyataan dari (Miliband, 1969) bahwa dalam masyarakat dengan sistem kapitalis, modal mendominasi peran pemerintah termasuk perannya dalam pembuatan kebijakan publik. Artinya, pengambilan kebijakan tidak lagi ditujukan untuk kepentingan publik melainkan untuk kepentingan sekelompok orang yang memiliki modal finansial terkuat di lingkungannya.
17
perlakuan yang terjadi di lapangan merupakan masalah yang paling banyak disoroti, formulasi adalah satu langkah vital yang dibutuhkan seumpama sebuah proses penggodokan bahan mentah untuk dijadikan bahan baku produksi untuk kemudian dihantarkan menjadi satu barang jadi. Untuk tipe negara demokrasi berkembang yang ‘masih muda’ terkait pengalaman dan kapasitas power yang dimiliki29 seperti Indonesia, tentulah peran negara masih sangat dibutuhkan30 karena faktanya tidak mungkin mengandalkan invisible hand yang menjadi ciri khas dari kapitalisme total. Kembali pada pembahasan kebijakan konvergensi, satu isu lain yang menarik selain formulasi kebijakan itu sendiri adalah persoalan terkait pihak yang akan bertanggungjawab mengatur persoalan konvergensi di Indonesia setelah kebijakan diundangkan. Badan atau lembaga yang akan bertanggungjawab nantinya semestinya berposisi independen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga netralitas dalam ruang lingkup konvergensi khususnya terhadap isu krusial seperti kepemilikan. Dalam konferensi mengenai the future of broadcasting regulatory authorities in South-Eastern Europe, Johanna E. Fell menyampaikan usulan menarik tentang konvergen regulator bagi konvergensi media, dimana beberapa regulator terkait konvergensi media dilebur menjadi satu dengan beberapa pertimbangan
seperti
efektvitas
kerja
dan
efisiensi
biaya,
kejelasan
pertanggungjawaban dan one-stop shop bagi industri. Namun muncul pula reaksi kontra tentang ide tersebut yang disebabkan kekhawatiran tentang sulitnya transparansi pada lembaga yang besar, berkurangnya aksesibilitas bagi konsumen,
29
Ibid., hlm. 53. Friedman (1970) dan Clement (1997) juga merasa bahwa sistem ekonomi kapitalis dengan konsep pasar bebas adalah hal yang cocok untuk diterapkan sebagai bentuk dukungan bagi kebebasan politik dan demokrasi. 30 Edi Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2008), hlm. 3. Francis Fukuyama dalam State Building: Governance and World Order in the 21st Century menuliskan bahwa ketika peran negara dikurangi dalam hal yang memang merupakan fungsinya sebagai negara maka akan menimbulkan problematika baru meskipun pernyataan tersebut pada akhirnya bertentangan dengan dua karya Fukuyama sebelumnya yang dengan yakin menuliskan bahwa perang antara kapitalisme dan komunisme telah dimenangkan oleh kapitalisme karena dianggap nilai yang paling cocok untuk diadopsi di masa modern
18
beragamnya agenda dari tiap media dan potensi dominasi oleh satu media terhadap media yang lain31. Dengan ragam isu dan begitu vitalnya kebijakan konvergensi di masa depan maka lumrah bila terdapat keingintahuan untuk menyelidiki lebih lanjut proses perjalanan kebijakan konvergensi ini. Menggali jawaban dari keingintahuan tersebut paling mungkin dilakukan dengan mendekati pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan melalui pendekatan interpretif sehingga didapat kemampuan untuk menjelaskan objek berdasarkan pengamatan dan pengalaman langsung. Diharapkan dengan melakukan hal tersebut peneliti dapat menjelaskan proses perumusan kebijakan secara lengkap32.
3. Proses Formulasi Kebijakan Seperti
disebutkan
sebelumnya
bahwa
banyak
hal
yang
harus
33
dipertimbangkan saat memformulasikan sebuah kebijakan . Seiring mendalami perjalanan kebijakan konvergensi yang sampai saat ini masih bergulir, formulasi kebijakan adalah satu tahap paling kritikal karena memuat ide dan kepentingan dari beragam aktor yang terlibat. Hasil penelusuran dalam tahapan ini dapat menjadi bahan untuk memprediksi isu kebijakan konvergensi di Indonesia di masa depan sebab masing-masing aspek mulai dari aspek lingkungan kebijakan hingga formulasi dan legitimasi akan menunjukkan konstruksi berpikir dan tindakan dari para aktor kebijakan. Sebagaimana sempat disinggung sebelumnya bahwa umumnya terdapat dua opsi sebagai solusi bagi penyusunan kebijakan konvergensi di Indonesia: pertama, menyusun Undang-Undang yang betul-betul baru sehingga kebijakan lain yang terkait (UU ITE, UU Penyiaran, dan UU Telekomunikasi) akan dilebur 31
Johanna E. Fell, “Converging Media- Covergent Regulators?”, dalam Conference organised by the Council of Europe and the OSCE Mission to Skopje, 1-2 October 2007 (2007), Skopje 32 Edi Suharto, Loc. Cit. Disebutkan bahwa kebijakan adalah hasil sinergi, kompromi dan kompetisi dari berbagai gagasan dan kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. 33 OECD, “OECD Policy Guidance on Convergence and Next Generation Networks”, dalam OECD Ministerial Meeting on the Future of the Internet Economy, 17-18 June 2008, hlm. 3. Dituliskan dalam paper OECD, paling tidak terdapat dua tujuan utama yang harus dipertimbangkan regulator dalam memonitor sebuah kebijakan: pertama, tujuan ekonomis dimana regulasi dipastikan dapat mengefektifkan pasar yang kompetitif dan mendorong terjadinya inovasi dan investasi. Kedua, tujuan sosial termasuk kewajiban pelayanan universal, akses, kualitas servis, keberagaman media, perlindungan konsumen dan pengguna lainnya, dsb
19
menjadi satu sedangkan opsi kedua adalah mengharmonisasikan kebijakankebijakan komunikasi tersebut diatas yang artinya revisi parsial dari masingmasing undang-undang. Melihat
gelagat
dari
Kemenkominfo
sebagai
inisiator
kebijakan
konvergensi, sepertinya penyusunan draft kebijakan ini masih akan terus dilanjutkan seperti yang tercermin dalam beberapa siaran pers Kemenkominfo dan pernyataan yang seringkali dikeluarkan oleh para pejabat Kominfo. Di sisi lain, revisi kebijakan terkait (revisi UU ITE, revisi UU Penyiaran) juga terus berjalan. Agak membingungkan memang mengingat masing-masing opsi ternyata dijalankan. Hal tersebut tentu akan memperbanyak beban kerja regulator dan menyebabkan mereka kehilangan fokus. Lagipula apabila kebijakan konvergensi ini nantinya resmi dikeluarkan, bagaimana dengan nasib undang-undang lain yang telah direvisi? Andaikan dilebur menjadi satu bukankah pekerjaan revisi sebelumnya menjadi sia-sia. Memprediksi masa depan penyusunan kebijakan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Tidak hanya variasi data dan kedalaman observasi yang dituntut melainkan juga dimungkinkannya sebuah ketepatan penilaian. Menilik secara historis, tanggapan masyarakat Indonesia secara keseluruhan terkait konvergensi dapat dikatakan bagus mengingat tren pemakaian internet dan aplikasi TIK modern terus meningkat seiring tahun berjalan. Pemerintah Indonesia pun terkesan bersifat terbuka dibuktikan dengan program-program pemerintah nasional maupun daerah yang rata-rata memprioritaskan peningkatan penggunaan TIK dan perluasan jaringan internet ke seantero daerah. Pemerintah juga tidak mempermasalahkan webpage dan laman-laman jejaring sosial global yang masuk ke Indonesia, bandingkan dengan Cina yang memiliki konsep Great firewall sebagai sebutan bagi kebijakan dalam negeri Cina terkait pembatasan terhadap internet dan arus informasi yang dibawanya34.
34
James Fallows, Kartu Pos dari Tomorrow Square: Liputan dari China, (PT Elex Media Komputindo, 2009), hlm. xx. Pemerintah memberlakukan sensor terhadap beberapa kata kunci pencarian semisal ‘Tiananmen’ sebab informasi yang tampil akan cenderung menyerang pemerintahlm. Akses publik ke lamanlaman pencarian seperti google dan wikipedia pun dibatasi bahkan pada periode tertentu sempat ditutup. Hubungan ke situs luar negeri juga dibatasi dan dapat dilacak oleh aparat pemerintah melalui IP adress pengguna yang harus didaftarkan. Publik yang menginginkan koneksi internet
20
Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum Indonesia termasuk negara yang bersikap terbuka terhadap perkembangan TIK dan fenomena konvergensi. Semestinya hal itu bisa menjadi dasar bagi ditetapkannya sebuah kebijakan yang relevan mengingat konvergensi mampu mempengaruhi seluruh aspek kehidupan terutama telekomunikasi dan informasi. Para regulator di Indonesia sesungguhnya dapat memetik pembelajaran dari negara tetangga yang telah menyusun kebijakan sejenis seperti Malaysia dan Australia. Malaysia mengadopsi regulasi konvergensi pada bulan November 1998. Dua
peraturan
perundang-undangan
langsung
diberlakukan
yaitu
the
Communications and Multimedia Act 1998 yang menetapkan kerangka peraturan baru bagi industri telekomunikasi dan the Malaysian Communications and Multimedia Commission Act (1998) tentang pembentukan badan pengawas baru yang membawahi seluruh urusan telematika di negara itu yang kemudian dinamakan the Malaysian Communications and Multimedia Commission (MCMC) atau SuruhanJaya Komunikasi dan Multimedia Malaysia (SKMM)35. Sebaliknya, Australia memilih untuk mendahulukan merger regulator tanpa perubahan regulasi. Hasilnya terbentuklah Australian Communication and Media Authority (ACMA) pada pertengahan tahun 2005. Langkah ini dilakukan dengan pertimbangan agar regulator konvergensi dapat beradaptasi terlebih dahulu dengan potensi dan tantangan yang akan dihadapi kedepannya tanpa dipusingkan dengan penyusunan peraturan baru pada saat yang sama. Selain dimaksudkan sebagai strategi bertahap, pembentukan ACMA sendiri sebetulnya agak radikal sebab alih-alih hanya melebur badan-badan yang menjadi regulator media pra konvergensi, diberlakukan pula revisi struktur internal secara keseluruhan termasuk dengan memilih orang-orang baru untuk mengisi jabatan manajerial senior. Pada akhirnya, dua negara tersebut memilih langkah yang berbeda dalam mengadopsi kebijakan konvergensi dengan hasil kebijakan yang terlihat mulai mapan saat ini. Dalam
lingkup
nasional,
sejarah
pengundangan
regulasi
bidang
komunikasi umumnya diwarnai dengan perdebatan yang panjang, salah satunya yang lebih baik harus menggunakan jasa tertentu berbentuk pemasangan alat yang harganya pun tergolong tidak murahlm. 35 Dapat dilihat di
21
regulasi penyiaran pasca reformasi yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Agus Sudibyo dalam bukunya berjudul kebebasan semu36 menuliskan bahwa, semangat awal yang mendasari UU Penyiaran tersebut sebenarnya adalah upaya
mengeliminasi
kolonialisasi
ruang
publik
media
namun
pada
implementasinya justru condong pada reorganisasi kekuatan modal dan birokrasi dalam mengontrol media penyiaran, sebagai contoh adalah pelemahan otoritas KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Judicial Review tahun 2004 dimana MK memutuskan bahwa peran KPI dalam
penyusunan
Peraturan
Pemerintah
(PP)
tentang
Penyiaran
sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 UU Penyiaran bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih lagi dengan diberlakukannya empat PP Penyiaran Nomor 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 yang membawahi perumusan ketentuan tentang kepemilikan media, perizinan, isi siaran yang condong pada pemihakan terhadap industri. Lalu, bagaimana dengan regulasi konvergensi? Pelacakan lebih mendalam terkait kebijakan konvergensi di Indonesia inilah yang dapat dibantu dengan pengunaan model formulasi kebijakan EastonRipley yang juga telah digunakan beberapa akademisi kebijakan internasional maupun nasional dengan tujuan mendapat gambaran proses kebijakan beserta interaksinya yang dirunut berdasarkan tahapan kebijakan Ripley namun dikolaborasikan kedalam model sistem politik David Easton37. Easton menggunakan pendekatan sederhana untuk menggambarkan model sistem politiknya yang sekaligus menggambarkan skema umum proses kebijakan. Berdasarkan pemikiran Easton bahwa dalam sebuah skema sistem, lingkungan (domestik maupun internasional) mempengaruhi input (tuntutan dan dukungan)
36
Agus Sudibyo, Op. Cit., hlm. 14 – 16. Dwiyanto Indiahono, Kebijakan publik: Berbasis Dynamic Policy Analysis (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2009), hlm. 22-27. Termasuk dalam deretan akademisi yang menyinggung soal kolaborasi model Ripley-Easton ini, diantaranya: John P.Stewart, “Public Policy and the Budget Process”, dalam , diakses 30 Maret 2013, 13:20 WIB Augustine Ansah Akrofi, “Using the Policy Cycle as a Format Describe the Policy Process in your Country or Institution”, dalam , diakses 30 Maret 2013, 13:20 WIB 37
22
dimana input atau masukan tersebut kemudian dibahas didalam sistem politik sehingga menghasilkan output (keputusan atau kebijakan) sebagai hasil akhirnya. Selanjutnya output tersebut kembali menjadi umpan balik bagi lingkungan. Secara sederhana, model sistem mungkin dapat mewakili apa yang terjadi terkait proses yang berlangsung didalam sistem namun belum cukup menjelaskan tentang kejadian didalam term ketiga (sistem politik) secara mendasar, padahal apabila yang ingin dianalisa adalah proses pembuatan kebijakan maka term ketiga tersebut adalah fokus dan lokus yang dibicarakan. Dengan alasan itulah maka model formulasi kebijakan dari Ripley dikolaborasikan dengan model sistem dari David Easton semata-mata untuk menghasilkan analisis yang lebih dalam tentang proses perjalanan kebijakan. Tahapan kebijakan menurut Ripley sendiri adalah sebagai berikut38: a. Proses formulasi kebijakan: •
Agenda Setting: persepsi masalah publik, pendefinisian masalah, mobilisasi dukungan untuk masuknya isu/masalah publik menjadi agenda pemerintah.
•
Formulasi dan legitimasi: tujuan dan program, informasi dan analisis, pembangumam
alternatif,
advokasi
dan
pembangunan
koalisi,
kompromi; negosiasi; keputusan. b. Tindakan kebijakan c. Kinerja dan dampak kebijakan Tersebab kebijakan konvergensi masih berada dalam tahap formulasi kebijakan maka tahap agenda setting dan formulasi/legitimasi yang akan dibahas terkait tahapan yang dikonsepkan oleh Ripley. Tindakan tersebut (penelitian proses pembuatan kebijakan) legal adanya sesuai dengan yang disebutkan Laswell bahwa analisa kebijakan sesungguhnya mencakup: metode penelitian proses kebijakan, hasil dari studi kebijakan, dan hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan intelegensi di era sekarang. Dengan kata lain, titik berat analisa kebijakan terbagi pada usaha menjelaskan proses pembuatan kebijakan, proses pelaksanaan kebijakan, serta
38
Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science (Chicago: Nelson Hall Publisher, 1985), hlm. 49.
23
usaha untuk menemukan data dan menyediakan interpretasi yang relevan dengan persoalan kebijakan pada periode tertentu39. Dengan melekatkan kerangka konseptual antara Easton dan Ripley maka didapat model formulasi kebijakan publik sebagai berikut40:
Tabel 1.1 Model Formulasi Kebijakan Publik Aspek Lingkungan Kebijakan
Agenda Setting
Ruang Lingkup Setting permasalahan dari para aktor dan aktor yang dominan (struktur kekuatan politik: birokrat, lembaga legislatif dan kelompok kepentingan), beberapa identifikasi pertanyaan yang mungkin: Bagaimana struktur politik saat kebijakan diambil, kekuatan politik mana yang paling dominan, seberapa besar kekuatan oposisi, adakah kelompok oposisi non parlemen seperti LSM dan NGO, seberapa kuat tekanan NGO dan atau lembaga lain dari lingkungan internasional • Sikap aktor dan persepsi aktor terhadap masalah publik Bagaimana sikap dan persepsi masingmasing aktor tentang isu tertentu, berikut dinamikanya: respon awal, sikap in process dan pendirian akhir • Pendefinisian dan batasan masalah oleh para aktor Bagaimana aktor mendefinisikan isuisu tertentu dalam suatu kebijakan dan bagaimana mereka memberikan batasan masalah (misal: tentang sesuatu yang perlu diatur atau tidak) • Mobilisasi dukungan terhadap isu tertentu Bagaimana mobilisasi dukungan yang ditempuh masing-masing aktor, bagaimana model mobilisasi paling dominan yang dipakai untuk mencapai tujuan
39
Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar teori dan praktik analisis kebijakan (Terjemahan Tri Wibowo Budi Santoso) (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 19-20. 40 Dwiyanto Indiahono, Op. Cit., hlm. 27-28.
24
Formulasi dan Legitimasi
• Tujuan dan program Bagaimana tujuan dan desain masingmasing aktor sebagai solusi bagi masalah publik tertentu • Pengumpulan informasi, analisis dan penyebaran Bagaimana cara aktor mengumpulkan informasi kebijakan, seberapa lengkap informasi yang diperoleh para aktor, bagaimana mereka menganalisis informasi tersebut, bagaimana mereka menyebarkan informasi yang sudah diolah. • Pembangunan alternatif kebijakan sebagai solusi Bagaimana cara membangun alternatif kebijakan, berapa alternatif yang dikembangkan, perbedaan dan kesamaan alternatif antar aktor • Advokasi dan pembangunan koalisi Bagaimana pembuatan jejaring oleh para aktor untuk memuluskan penerimaan terhadap alternatif kebijakan yang diusulkannya • Kompromi, negosiasi dan keputusan Cara apa yang paling menonjol selama masa pengambilan keputusan. Hal ini memungkinkan untuk mengetahui deal politik tertentu dalam sebuah proses perumusan.
Model formulasi kebijakan ini termasuk cukup mendetail sebagai upaya menganalisa sebuah proses kebijakan. Tersebab dalam upaya memahami, menganalisis, dan memprediksi perjalanan kebijakan konvergensi tidak akan terlepas dari eksistensi para aktor kebijakan maka model formulasi kebijakan publik ini akan diberlakukan untuk menjelaskan posisi kebijakan pada setiap masing-masing periode yang telah dan sedang dilewati oleh kebijakan konvergensi yaitu mulai dari tahun 2010 sampai tahun 2013. Tentu akan banyak dinamika kebijakan sepanjang tahun tersebut yang dipelopori oleh dinamika aktor. Paradigma sistem yang sebelumnya sangat kuat dalam pemikiran Estonian dikolaborasi dengan sikap dan preferensi aktor-aktor di dalam sistem tersebut terkait tahapan formulasi kebijakan. Model teori sistem ini sesungguhnya
25
merupakan bagian pendekatan politik untuk studi kebijakan. Ada pula model serupa yang diawali oleh Grindle dan Thomas khusus untuk melihat aktivitas kebijakan di negara berkembang dengan dua perspektif utama yang dipakai yaitu perspektif yang berpusat pada masyarakat dan perspektif yang berpusat pada negara41. Kebijakan konvergensi yang berasal dari inisiatif pemerintah lebih cenderung merefleksikan model yang berpusat pada negara khususnya melalui pendekatan politik-birokratik. Alasannya, para aktor pembuat keputusan menjadi fokus dalam pendekatan ini khususnya aktor yang berasal dari entitas birokrasi dan politik yang saling menawarkan solusi untuk memecahkan problem isu sehingga terurai menjadi kebijakan. Pendekatan ini sangat membantu untuk mengetahui konflik ataupun bargaining antar lembaga kekuasaan.
G. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian explanatory42. Namun eksplanasi dalam penelitian ini bersifat penafsiran bukan sekedar penamaan atau pendefinisian melainkan pengidentifikasian regularitas di antara variabel43. Karena itu, penelitian ini termasuk dalam metode kualitatif. Pernyataan tentang metode kualitatif diungkapkan Moleong bahwa : Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
41
Solahuddin Kusumanegara, Op.Cit., hlm. 35-43. Pada intinya perspektif yang bepusat pada masyarakat memiliki tiga pendekatan: analisis kelas (sumber dan perubahan kebijakan berlokasi pada hubungan kekuasaan dan dominasi diantara kelas sosial), pendekatan pluralis ((kebijakan adalah hasil dari konflik, bargaining dan formasi koalisi dari organisasi/kelompok yang ada dalam masyarakat), pendekatan pilihan publik (kelompok kepentingan yang semula berasal dari individu yang terorganisir akhirnya mengejar kepentingan tertentu hingga terindikasi negara tidak mampu menekan kelompok lobi tersebut). Sedangkan perspektif yang berpusat pada negara terdiri dari: model aktor rasional (merupakan modifikasi teori pilihan rasional dimana para pembuat kebijakan adalah aktor rasional yang mengumpulkan informasi, menilai alternatif dan memilih keputusan yang paling sesuai dengan kondisi tempat kebijakan dibuat), pendekatan politik-birokratik, pendekatan kepentingan negara (negara adalah aktor yang sangat berkuasa dimana kekuasaan tersebut diwakili oleh lembaga pemerintah sebagai aktor mandiri yang mendefinisikan masalah publik dan mencari solusinya) 42 Ana Nadhya Abrar, Terampil Menulis Proposal Penelitian Komunikasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 41. 43 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 31.
26
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah44 Artinya, peneliti adalah bagian integral dari data yang ikut aktif dalam menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian peneliti menjadi instrumen penelitian yang harus terjun langsung ke lapangan. Strategy of Inquiry yang digunakan adalah studi kasus dimana peneliti berusaha mengeksplorasi kedalaman sebuah program, peristiwa, aktivitas ataupun proses. Sesuai dengan pernyataan Stake bahwa, kasus tersebut hendaknya dibatasi dalam periode waktu dan aktivitas tertentu sehingga peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan berbagai cara pengumpulan data dalam sebuah periode yang sudah ditentukan45. Dalam penelitian ini, konteks khusus yang akan dieksplorasi adalah proses formulasi kebijakan konvergensi dalam periode waktu 2010-2013 dengan mengumpulkan informasi dari para aktor kebijakan yang telah ditentukan. Penelitian ini pun berkarakter unik sebab berusaha mendalami satu proses dimana regulasi telekomunikasi yang sifatnya urgen nyatanya belum bisa disusun secara efektif meskipun telah melibatkan jangka waktu yang lama. Aturan peneliti kualitatif sebagai instrumen penelitian terlibat memberikan kebebasan kepada peneliti untuk membawa nilai-nilai personal berupa interpretasi data setelah informasi digali dari berbagai sumber. Penelitian diadakan dalam konteks dan setting natural yang biasa digunakan oleh narasumber sehingga tidak ada realitas tunggal sebab realitas dipandang sebagai sesuatu yang dinamis dan produk konstruksi sosial. Sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi dengan sumber dimana pembandingan dan pengecekan balik derajat kepercayaan suatu informasi dilakukan antara lain dengan cara: membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan pendapat dan pandangan orang lain, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan46. 44
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi) (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 6. 45 John. W. Creswell, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications Inc, 2009), hlm. 13. 46 Lexy J. Moleong, Op. Cit., hlm. 178.
27
1. Teknik Pengumpulan Data Melalui pertimbangan bahwa penelitian ini harus mampu memberikan data yang dapat membantu peneliti menjelaskan dan menganalisis proses kebijakan konvergensi maka beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: •
Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dengan teknik semi terstruktur dipilih peneliti dalam upaya mengumpulkan data dan informasi dari objek wawancara yang telah ditetapkan. Wawancara ini bersifat terbuka sehingga memungkinkan partisipan menjawab isu-isu penting yang tidak terjadwal47. Beberapa alat bantu dimungkinkan untuk digunakan selama berlangsungnya wawancara langsung seperti tape recorder. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa wawancara dilakukan secara online mengingat perkembangan teknologi dan kemungkinan keterbatasan ruang dan waktu antara peneliti dan partisipan. Partisipan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: a) Gunawan Hutagalung, Kepala Seksi Penerapan Teknologi Direktorat Telekomunikasi, Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia b) Firdaus Cahyadi, Ketua Knowledge Department Yayasan SatuDunia (OneWorld) Indonesia c) Tantowi Yahya, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar d) Rapin Mudiardjo, Head of Policy Study and Advocacy ICT Watch •
Penelusuran Dokumen
Penelusuran dokumen dalam penelitian ini lebih berupa dokumen publik seperti notulensi rapat dan berita di media. Peneliti akan berupaya mengumpulkan bukti-bukti fisik berupa dokumen baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak langsung berarti dengan mengunduh dokumen dari pihak ketiga termasuk media online.
47
Norman. K. Denzin, The Research Act in Sociology (London: Butterworth, 1970), hlm. 125.
28
2. Teknik Analisis Data Penelitian kualitatif menggunakan logika khusus ke umum. Huberman dan Miles dikutip oleh Burhan Bungin, melukiskan siklusnya dalam gambar di bawah ini: Gambar 1.1 Teknis Analisis Data DATA COLLECTION
DATA DISPLAY
DATA REDUCTION
CONCLUSION DRAWING& VERIFIYING
(Sumber: Burhan Bungin, 2007:69) Siklus Huberman dan Miles menggambarkan bahwa hasil pengumpulan data (data colection) yang dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi
memerlukan
reduksi
data
(data
reduction)
dimana
hasil
pengumpulan data dipilah dan dimasukkan ke dalam satuan konsep, kategori atau tema tertentu dibawah cakupan bahasan perjalanan formulasi kebijakan konvergensi di Indonesia tahun 2010 - 2013. Hasil reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam suatu bentuk tertentu (display data) sebagaimana dapat dilihat dalam bagian konteks penelitian, bab 2 dan bab 3 sehingga penyajian data dapat memudahkan upaya pemaparan (bab hasil penelitian) dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and verification) pada bagian akhir penulisan. Adapun mengenai pengujian keabsahan data Moleong mengatakan bahwa “Pengujian keabsahan data didasarkan atas kriteria derajat kepercayaan (kredibilitas), keteralihan, ketergantungan, dan kepastian”48. Dengan demikian data yang diperoleh harus dapat dipercaya dan diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang diteliti. 48
Lexy J. Moleong, Op.Cit, hlm. 88.
29
H. Limitasi Penelitian Penelitian ini menjelaskan perjalanan kebijakan konvergensi di Indonesia. Namun, terdapat beberapa limitasi penelitian yang perlu dijelaskan sehingga pemahaman tidak melebar dan keluar dari konteks permasalahan. Pertama, penelitian ini khusus meneliti perjalanan kebijakan konvergensi selama tahun 2010 sampai dengan 2013. Artinya, meskipun terdapat beberapa perkembangan di luar jangka waktu tahun tersebut adalah tidak termasuk cakupan penelitian. Kedua, penelitian ini tidak terfokus pada konten Rancangan UndangUndang (RUU) konvergensi melainkan proses (perkembangan, stagnasi, ataupun kemunduran) perjalanan kebijakan konvergensi. Bahasan mengenai konten tentu ikut dibahas namun hanya sebagai penambah penjelasan atau detail untuk mendukung penceritaan tentang proses kebijakan konvergensi. Ketiga, penelitian ini dilaksanakan dalam lingkungan dan objek penelitian yang telah ditentukan. Artinya, dinamika objek penelitian diluar limitasi penelitian ini tidak menjadi fokus peneliti.
I. Jadwal Penelitian Penulisan Proposal
Maret – Juni 2013
Pengumpulan Data
Juni – Oktober 2013
Pengolahan Data
Juni – November 2013
Penulisan Tesis
November – Desember 2014
J . Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan Bab
ini
berisikan
penjelasan
mengenai
latar
belakang
permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan penelitian, kerangka pemikiran (aktor kebijakan, kebijakan konvergensi, proses formulasi kebijakan), metodologi penelitian (teknik pengumpulan data, teknik analisis data), limitasi penelitian, jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
30
BAB II
: Direktorat Telekomunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Bab ini menguraikan tentang tugas dan wewenang Direktorat Telekomunikasi Kemenkominfo dan pembentukan Study Group Regulasi Telekomunikasi
BAB III
: Organisasi Masyarakat Sipil Bab ini membahas tentang pemeran serta tidak resmi diluar inisiator kebijakan konvergensi. Pemeran serta tidak resmi tersebut adalah Organisasi Masyarakat Sipil yang dikhususkan pada Yayasan Satu Dunia.
BAB IV
: Hasil Penelitian Bab ini akan menceritakan tentang temuan penelitian yang dianalisis dengan memakai model formulasi kebijakan publik persandingan Easton dan Ripley yang terdiri dari lingkungan kebijakan, agenda setting serta formulasi dan legitimasi. Tersebab proses perumusan kebijakan konvergensi berkaitan erat dengan tindakan para aktor kebijakan, baik pemeran serta resmi maupun pemeran serta tidak resmi dan dikarenakan penulisan tesis ini termasuk kedalam kajian ilmu komunikasi maka titik berat analisis adalah mengenai hubungan antar aktor tersebut dalam proses perumusan kebijakan.
BAB V
: Penutup Bab ini berisikan kesimpulan yang diekstraksi dari temuan-temuan penelitian yang telah dianalisis dengan model formulasi kebijakan publik saran sebagai masukan penelitian yang diharapkan dapat berguna untuk kepentingan akademis maupun kebutuhan praktis. Sebagai pelengkap dari sebuah hasil penelitian, maka pada bagian akhir disertakan lampiran dan daftar pustaka untuk memudahkan melacak data referensi yang digunakan dalam penulisan.
31