BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkembangan era globalisasi menyebabkan profesi akuntan menghadapi
tantangan yang semakin sulit, sehingga dalam menjalankan pekerjaannya akuntan dituntut untuk profesional. Selain itu, akuntan juga harus menjaga harkat dan martabatnya serta menghindari segala tindakan yang mencoreng nama baik profesi. Keahlian maupun keterampilan memang diperlukan oleh suatu profesi agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha dan bekerja secara profesional. Namun, selain keahlian dan keterampilan, suatu profesi juga memerlukan etika yang harus dimiliki oleh pihak yang menjalankan profesi (Julianto, 2013). Akuntan merupakan profesi yang keberadaannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi, seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi etikanya (Lubis, 2010: 334). Tanpa etika, profesi akuntansi tidak akan ada karena fungsi akuntansi adalah penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Di samping itu, profesi akuntansi mendapat sorotan yang cukup tajam dari masyarakat. Hal ini seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh akuntan, baik akuntan publik, akuntan intern perusahaan maupun akuntan pemerintah (Martadi dan Suranta, 2006). Akuntan dalam melaksanakan pekerjaannya, dituntut untuk memiliki obyektifitas yang tinggi supaya dapat bertindak adil. Selain itu, independensi seorang akuntan juga dinilai penting agar
1
akuntan tidak mudah dipengaruhi oleh pihak lain dan tidak berpihak kepada siapapun dalam mengambil keputusan sehingga dapat terhindar dari perbuatan curang. Dengan begitu akuntan akan mendapatkan kepercayaan dari publik yang akan memakai jasanya (Sipayung, 2015). Beberapa kasus skandal perusahaan-perusahaan besar di Amerika, seperti kasus Enron Corp, WorldCom, dan Xerox Corp telah menarik perhatian banyak pihak. Enron Corp merupakan perusahaan terbesar ke tujuh di Amerika Serikat yang bergerak di bidang industri energi, di mana para manajernya memanipulasi angka yang menjadi dasar untuk memperoleh kompensasi moneter yang besar. Kasus ini diperparah dengan praktik akuntansi yang meragukan dan tidak independennya audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersen terhadap Enron. Arthur Anderson tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, tetapi juga telah melakukan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Kasus Enron merupakan kebangkrutan terbesar dalam sejarah Amerika Serikat dan menyebabkan 4000 pegawai kehilangan pekerjaan mereka (Hutahahean, 2015). Widiastuti (2003) mengungkapkan bahwa semenjak merebaknya kasus Bank Duta tahun 1990, kemudian berturut-turut kasus Golden Key, Kanindotex, dan maraknya praktik mark-up seperti disinyalir Menteri Keuangan pada saat pembukaan Kongres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) VII di Bandung tahun 1994, profesi akuntan khususnya akuntan publik banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Kelemahan akuntan lokal dalam hal etika juga diungkapkan oleh
2
Hadibroto (1998) yang menyatakan keraguannya terhadap keteguhan para akuntan Indonesia dalam mempertahankan etika profesi. Hal ini dibuktikan dengan adanya pandangan kurang baik akan reputasi profesi akuntan Indonesia di mata internasional yang tentu merupakan penghambat bagi berkiprahnya akuntan Indonesia di dunia internasional (Media Akuntansi dalam Islahuddin dan Soesi, 2002). Pengamat ekonomi Sri Mulyani juga menyatakan bahwa krisis moneter yang terjadi tidak terlepas dari keterlibatan para akuntan lokal, yang mana para akuntan tersebut sudah terbiasa dengan kondisi hitungan seimbang, mereka dipaksa melindungi perusahan klien dari kebobrokan keuangan (Media Akuntansi dalam Islahuddin dan Soesi, 2002). Kasus-kasus skandal akuntansi yang terjadi telah mencoreng profesi akuntansi sehingga berdampak pada kepercayaan masyarakat. Selain itu, dengan mencuatnya kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh profesi akuntansi, yaitu kasus Gayus Tambunan (2010) dan kasus Dhana Widyatmika (2012) yang merupakan konsultan pajak telah menjadi sorotan dunia pendidikan dan menyadarkan bahwa pendidikan etika pada akuntansi sangatlah penting (Basri, 2015). Ketika kecurangan adalah salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan akan uang, orang-orang cenderung untuk merasionalisasikan dan membenarkan ketidakjujuran mereka dengan mudah. Orang-orang yang tunduk pada segala macam godaan memicu mereka untuk berperilaku etis ataupun tidak etis (Ariely, 2008 dalam Yeltsinta, 2013). Sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam
3
menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik (Lubis, 2010: 334). Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan profesinya di masyarakat. Etika profesional bagi praktik akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan. Dalam kongresnya tahun 1973 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan di Indonesia. Kode etik ini kemudian disempurnakan dalam kongres IAI tahun 1981 dan tahun 1986, dan kemudian diubah lagi dalam kongres IAI tahun 1990, 1994, 1998. Pembahasan mengenai kode etik profesi akuntan didasarkan pada Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia yang ditetapkan dalam Kongres VIII tahun 1998 (Mulyadi, 2014: 50). Prinsip etika profesi IAI yang diputuskan dalam Kongres VIII tahun 1998, yaitu meliputi tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis. Delapan prinsip etika tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman kerja seorang akuntan profesional (Mulyadi, 2014: 53-60). Machfoedz (1997) dalam Winarna dan Retnowati (2004) menjelaskan bahwa profesional akuntansi mengandalkan kode etik untuk menyampaikan tanggung jawab mereka kepada masyarakat. Karakter menunjukkan personalitas seorang profesionalisme yang diwujudkan dalam sikap profesional dan tindakan etisnya. Menurut Fine et al. (1988) dalam Husein (2004), analisis terhadap sikap etis dalam profesi akuntansi menunjukkan bahwa akuntan mempunyai
4
kesempatan untuk melakukan tindakan tidak etis dalam profesi mereka. Selanjutnya, Chan dan Leung (2006) menyatakan bahwa profesi akuntansi rentan terhadap pelanggaran etika, oleh karena itu, etika harus dimiliki oleh seorang akuntan. Perilaku etis seorang akuntan profesional sangatlah penting dalam penentuan status dan kredibilitas profesi di bidang akuntansi. Accounting Education Change Commission (AECC, 1990) menyebutkan bahwa salah satu keahlian intelektual yang harus dimiliki oleh lulusan akuntansi adalah
kemampuan
untuk
mengidentifikasi
masalah-masalah
etika
dan
mengaplikasikan value-based reasoning system pada pertanyaan-pertanyaan etis yang berkaitan dengan profesi akuntansi (Charismawati, 2011). Profesi akuntansi menekankan pentingnya para profesional dalam mengembangkan perilaku etis yang dimulai dari awal karirnya, bahkan sebelum mereka menggeluti profesi tersebut (Elias, 2008). Penelitian Hunt dan Vitell (1986) menyebutkan kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan sensitif akan adanya masalah-masalah etika dalam profesinya dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat di mana profesi itu berada, lingkungan profesi, lingkungan organisasi dan pengalaman pribadi. Di samping lingkungan bisnis, hal yang dapat mempengaruhi seseorang berperilaku etis adalah lingkungan dunia pendidikan (Sudibyo, 1995 dalam Murtanto dan Marini, 2003). Pendidikan akuntan yang profesional tidak hanya menekankan pada skills dan knowledge saja, akan tetapi juga memerlukan adanya standar etis dan komitmen profesional (Mintz, 1995 dalam Indarto, 2011).
5
Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak akan terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman, dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo, 1999). Oleh karena itu, terjadinya berbagai kasus sebagaimana disebutkan di atas, seharusnya memberi kesadaran untuk lebih memperhatikan etika dalam melaksanakan pekerjaan profesi akuntansi. Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998) mengemukakan bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa sikap dan perilaku moral auditor dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga pendidikan akuntansi, di mana mahasiswa sebagai input, sedikit banyaknya akan memiliki keterkaitan dengan akuntan yang dihasilkan sebagai output. Penelitian terhadap perilaku etis dalam akuntansi telah mendapatkan perhatian. Pada tahun 1986, American Accounting Association (AAA) melalui The Bedford Committee telah menekankan tentang pentingnya technical expertise dan moral expertise bagi akuntan untuk memenuhi peranannya terhadap masyarakat (Indarto, 2011). Huss dan Patterson (1993) dalam Ludigdo dan Machfoedz (1999) mengungkapkan bahwa the National Commission on Fraudulent Financial Reporting
melalui Treadway Commission (1987)
merekomendasikan untuk lebih diperluasnya cakupan etika dalam pendidikan akuntansi. Selanjutnya, pada tahun 1988, AAA membentuk “Project on Professionalism and Ethics”, yang bertujuan untuk mempromosikan pendidikan etika akuntansi (Loeb dan Rockness, 1992 dalam Ludigdo dan Machfoedz, 1999).
6
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sangatlah beralasan apabila pendidikan tinggi akuntansi merespon dengan berusaha memasukkan atau mengintegrasikan etika dalam kurikulum. Di Indonesia, keberadaan mata kuliah yang mengandung muatan etika tidak terlepas dari misi yang diemban oleh pendidikan tinggi akuntansi sebagai subsistem pendidikan tinggi, yang tidak saja bertanggungjawab pada pengajaran ilmu pengetahuan bisnis dan akuntansi, tetapi juga bertanggungjawab mendidik mahasiswa agar mempunyai kepribadian (personality) yang utuh sebagai manusia (Ludigdo dan Machfoedz, 1999). Sudibyo (1995) dalam Khomsiyah dan Indriantoro (1998), menyatakan bahwa dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor. Borkowski dan Ugras (1998) juga menyatakan bahwa penelitian empiris tentang pengembangan etika dalam komunitas bisnis ditujukan kepada tiga sektor yaitu: mahasiswa (students), akademisi (academics), dan profesional (professionals). Perilaku etis yang dilakukan oleh mahasiswa terkadang bukan berasal dari kesadaran mereka sendiri, namun karena adanya keterpaksaan demi mematuhi peraturan hukum yang berlaku (O'leary dan Cotter, 2000). Penelitian lain menemukan hasil bahwa motivasi mendasar bagi mahasiswa ataupun profesional dalam mengikuti kode etik ialah ketakutannya akan ketahuan melakukan tindakan tidak etis, bukan dari kesadarannya akan pentingnya berperilaku etis (O’leary dan Pangemanan, 2007). Oleh karena itu, masih banyak ditemukan kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa ataupun profesional.
7
The Bedford Committee menyebutkan dalam pernyataannya bahwa salah satu tujuan dari pendidikan akuntansi adalah untuk mengenalkan mahasiswa kepada nilai-nilai dan standar-standar etik dalam profesi akuntan (Clikemen dan Henning, 2000). Mastracchio (2005) menyatakan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi akuntansi. Salah satu esensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan akuntansi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi isu-isu seputar pertanyaan-pertanyaan etis. Untuk itu dibutuhkan pendidikan etika sejak dini bagi mahasiswa akuntansi fungsinya adalah untuk tindakan antisipatif atas kemungkinan pelanggaran etika yang akan terjadi. Elias (2006) menemukan bahwa mahasiswa akuntansi dengan komitmen profesional yang lebih tinggi dan sosialisasi antisipasi lebih mungkin untuk mempertanyakan tindakan tidak etis dibandingkan dengan mahasiswa lain. Madison (2002) dalam Elias (2010) berpendapat bahwa mahasiswa akuntansi adalah para profesional di masa depan dan dengan pendidikan etika yang baik diharapkan dapat menguntungkan profesinya dalam jangka panjang. Karena begitu pentingnya etika dalam suatu profesi, membuat profesi akuntansi memfokuskan perhatiannya pada persepsi etis para mahasiswa akuntansi sebagai titik awal dalam meningkatkan persepsi etis terhadap profesi akuntansi. Elias (2007) menyatakan bahwa masih sangat dibutuhkan penelitian mengenai sosialisasi mengenai etika pada mahasiswa akuntansi. Persepsi yang dimiliki seseorang berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan karena setiap individu memiliki penafsiran yang berbeda satu sama
8
lain dari sesuatu yang diterimanya (Sipayung, 2015). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, di antaranya aspek demografi yang dimiliki setiap individu, seperti jenis kelamin atau gender, usia, tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Penelitian mengenai etika dari perspektif gender menunjukkan hasil yang beragam. Hasil penelitian Arlow (1991) dan Crow et al. (1991) menemukan bahwa wanita lebih etis dibanding pria. Selanjutnya,
pada penelitian Henry
(2013) menyatakan bahwa dosen akuntansi perempuan lebih memiliki orientasi etis yang tinggi dibandingkan dosen akuntansi laki-laki. Sedangkan, pada penelitian Hidayat dan Handayani (2010), menyatakan bahwa dalam menghadapi situasi konflik audit, auditor pria mempunyai sikap dan perilaku yang lebih etis dengan tetap mengedepankan pemikiran-pemikiran yang rasional serta proses pengambilan keputusan melibatkan logika dan pertimbangan etis mereka. Namun, pada penelitian Derry (1987, 1989), Kidwell et al. (1987), dan Trevino (1992) dalam Gadjali (2014), menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan terhadap persepsi etis mereka, kemudian selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) menyatakan bahwa gender tidak berpengaruh terhadap persepsi mahasiswa atas perilaku tidak etis akuntan. Hofstede (1983) dalam Putri (2011), membedakan secara umum dimensi budaya yang berpengaruh pada nilai-nilai kerja suatu organisasi, salah satunya adalah masculinity-feminity, di mana dimensi ini berkaitan dengan perbedaan peran gender. Budaya yang cenderung bersifat maskulin memiliki ciri lebih mementingkan harta milik, kompetisi, dan kinerja, sedangkan budaya yang
9
cenderung bersifat feminin lebih mementingkan kesetaraan, solidaritas, dan kualitas kehidupan kerja. Hastuti (2007) berpendapat bahwa perbedaan nilai dan sifat berdasarkan gender biasanya akan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam membuat keputusan. Penelitian mengenai etika yang dilihat dari perbedaan usia pada penelitian Romawi dan Munuera (2005) dalam Widyaningrum (2014), menyimpulkan bahwa usia memiliki pengaruh yang signifikan dalam etika, sikap orang yang lebih tua didapati lebih etis dari rekan-rekan mereka yang lebih muda. Menurut Kohlberg (1981) usia menyebabkan penalaran etis individu akan menjadi lebih etis. Usia seseorang dinyatakan mempunyai dampak terhadap pertimbangan etisnya (Nugroho, 2008). Penelitian Lopez et al. (2005) dalam Widyaningrum (2014), menguji efek dari tingkat pendidikan dalam sekolah bisnis dan faktor individu lain, seperti kebudayaan internasional, spesialisasi dalam pendidikan, dan jenis kelamin pada persepsi etis. Hasil penelitian menunjukkan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, kebudayaan internasional, dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi etis. Selanjutnya, mereka menemukan bahwa perilaku etis cenderung tinggi pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Menurut Noe et al. (1994) dalam Ginting (2003), setiap individu di dalam melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam bekerja. Namun, motif yang utama adalah imbalan dan status yang lebih tinggi. Kemudian apabila memiliki tujuan yang sama, maka akan melahirkan kompetisi dalam pencapaiannya. Oleh karena itu, kemungkinan seseorang dalam
10
melakukan perilaku yang tidak etis dalam keadaan status sosial ekonomi yang berbeda dapat terjadi. Penelitian ini menganalisis mengenai pengaruh gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. Penekanan penelitian ini adalah pada dimensi aspek demografi yang meliputi gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi sebagai bagian dari aspek individual yang mempengaruhi sikap etis mahasiswa akuntansi. Penelitian ini dilakukan karena adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntansi dan untuk mendeteksi kembali apakah faktor gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi mampu mempengaruhi persepsi etis seseorang, terutama terhadap para mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan profesional.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Apakah gender berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi? 2) Apakah usia berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi? 3) Apakah tingkat pendidikan berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi? 4) Apakah status sosial ekonomi berpengaruh terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi?
11
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab rumusan masalah yang telah
dirumuskan di atas adalah sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui pengaruh gender terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. 2) Untuk mengetahui pengaruh usia terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. 3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi. 4) Untuk mengetahui pengaruh status sosial ekonomi terhadap persepsi etis mahasiswa akuntansi.
1.4
Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh informasi yang
bermanfaat, yaitu sebagai berikut. 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan studi empiris yang membahas pemahaman mengenai etika. Dapat memberikan kontribusi bagi tenaga pendidik, yang diharapkan untuk dapat menambah perhatian lebih mengenai masalah etika yang penting untuk ditanamkan sejak dini, dalam hal ini pada saat duduk di bangku perguruan tinggi. Pendidik
diharapkan
mampu
memantau
proses
pendidikan etika dan pendidikan moral mahasiswa.
12
perkembangan
2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan, referensi, dan wawasan berupa tambahan bukti empiris berkaitan dengan pengaruh gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi terhadap persepsi etis. Selain itu, diharapkan mahasiswa akuntansi yang akan terjun ke dunia profesional dapat memahami lebih jauh mengenai etika. Dengan adanya pemahaman etika yang baik, diharapkan dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran etika dalam akuntansi.
1.5
Sistematika Penulisan Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, di mana antara satu bab dengan bab
lainnya mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Uraian masing-masing bab adalah sebagai berikut. Bab I
: Pendahuluan Bab ini menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
: Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Bab
ini
menguraikan
berbagai
landasan
teori
yang ada
hubungannya dengan pokok permasalahan, yaitu mengenai persepsi etis, gender, usia, tingkat pendidikan, dan status sosial ekonomi. Serta menguraikan mengenai perumusan hipotesis.
13
Bab III
: Metode Penelitian Bab ini terdiri atas desain penelitian, lokasi penelitian, subyek dan obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi, sampel dan metode penentuan sampel, metode pengumpulan data, analisis statistik deskriptif, intervalisasi data, uji kualitas data, uji asumsi klasik, dan teknik analisis data.
Bab IV
: Pembahasan Hasil Penelitian Bab ini menguraikan mengenai deskripsi responden, karakteristik responden, hasil analisis statistik deskriptif, hasil intervalisasi data, hasil uji kualitas data, hasil uji asumsi klasik, hasil uji analisis regresi linier berganda, dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V
: Simpulan dan Saran Bab ini menguraikan tentang simpulan yang dibuat berdasarkan uraian pada bab sebelumnya serta saran-saran yang nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian berikutnya.
14