1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sastra lisan kian lama kian memudar, tidak terkecuali di Yogyakarta yang dikenal dengan kota yang kental akan budaya. Gerusan perkembangan zaman, modernitas, dan kesenian-kesenian modern yang dikatakan lebih menarik menjadi beberapa pemicunya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa sastra lisan yang hidup bahkan semakin mampu bertahan dengan bantuan beberapa pihak. Kesetiaan para penampil menjadi salah satu faktor paling penting dalam hal ini. Satu dari sekian kesenian tradisional di Yogyakarta yang sekaligus disebut sebagai sastra lisan yang masih mampu bertahan adalah srandul. Srandul dikenal sebagai kesenian tradisional yang konon katanya merupakan kreatifitas dari para wali1 dalam menunaikan tugasnya. Dalam misi penyebaran agama Islam, para wali seringkali menggunakan kebudayaan, terutama kesenian sebagai pendekatan, tidak terkecuali kesenian tradisional srandul. Meskipun sebagian kecil pihak tidak sependapat dengan pernyataan tersebut, tetapi jika melihat dari cerita yang beisi ajakan untuk taat beribadah dan bacaan shalawat yang digunakan sebagai pengiring, diasumsikan bahwa hal tersebut merupakan bentuk pengajaran agama Islam agar lebih diterima di masyarakat. Kesenian ini menggabungkan tiga komponen utama yang dipadukan 1
Wawancara dengan bapak Jadul Maula oleh komunitas Matahati
1
2
sehingga menjadi tontonan dan hiburan yang menarik perhatian masyarakat. Ketiga komponen itu adalah tembung, tembang, dan joged. Terdapat beberapa variasi kesenian srandul di berbagai daerah di Yogyakarta, bahkan beberapa daerah di Jawa. Srandul adalah kesenian asli masyarakat Jawa, terutama Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah persebaran kesenian srandul tidaklah merata dan hanya terdapat di daerah paling selatan Kabupaten Kendal, di lereng Gunung Menoreh di Magelang, dan di daerah lereng Gunung Sumbing. Fakta menarik dari srandul di beberapa daerah tersebut, yaitu masingmasing menonjolkan corak daerah masing-masing dan fakta lainnya adalah bahwa masyarakat pemilik kesenian srandul ini semuanya berada di lereng atau lembah sebuah gunung2. Menurut berbagai sumber termasuk Bapak Sugeng3, kesenian srandul di sekitar Yogyakarta memiliki jalan cerita yang sama, hanya dalam hal performance selalu disesuaikan dengan keadaan di tempat kesenian dilahirkan. Akan tetapi, srandul yang berada dari luar Yogyakarta memiliki jalan cerita dan nama tokoh yang berbeda. Inspirasi utama dari cerita srandul adalah Babad Demak, sedangkan tokoh dan cerita tambahan merupakan pengaruh dari cerita maupun legenda di daerah serta masyarakat setempat4, sehingga tidak heran adanya perbedaan dan ciri khas cerita srandul dari daerah-daerah lain. Namun literature lain menyebutkan bahwa beberapa srandul juga menggunakan Cerita Menak sebagai sumber inspirasi cerita. 2
http://en.wikipedia.org/wiki/User:Sunahrowi pada tanggal 26 November 2014 pukul 12.32 Salah satu penampil kesenian srandul. Wawancara Kamis, 01 Oktober 2014 di Situs Ratu Boko 4 Bapak Bidah, tokoh pelestari srandul Dusun Plempoh. Wawancara Jumat, 17 April 2015 3
3
Di Yogyakarta terdapat beberapa kawasan yang memiliki komunitas srandul, di antaranya adalah kawasan Prambanan dan Kalasan. Kedua desa tersebut memiliki komunitas srandul hampir di setiap dukuh yang berada di bawahnya, terutama Bokoharjo. Berdasarkan wawancara yang dilakukan di tahun 2009, hampir setiap dukuh di Bokoharjo memiliki komunitas srandul yang digiatkan oleh masing-masing masyarakatnya. Akan tetapi, saat ini, komunitaskomunitas tersebut perlahan hilang karena kehabisan anggota dan tidak berjalannya regenerasi. Srandul di daerah Bokoharjo merupakan kesenian tradisional yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Kesenian ini hampir saja punah jika saja tidak ada pihak yang mengulurkan tangan dan semangat para penampil untuk terus melestarikan kesenian srandul. Sebelumnya telah dilakukan penelitian mengenai kesenian tradisi di daerah Boko oleh kelompok dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan bertujuan mendata dan mencoba memberikan solusi terhadap tradisi lisan yang hampir terlupakan tetapi masih mampu untuk angkat kembali. Srandul merupakan salah satu dari tiga tradisi lisan yang masuk dalam data penelitian. Kesenian ini dikategorikan sebagai salah satu yang hampir punah. Beberapa alasan termasuk alasan paling utama, tidak adanya generasi penerus yang mau melestarikan kesenian ini menjadi kesimpulan dari prediksi yang diberikan. Akan tetapi, sejak penelitian dan solusi yang diberikan coba diterapkan, sejak tahun 2009 hingga kini, 2015, srandul mampu bertahan dan membuktikan eksistensinya di masyarakat luas. Hal ini yang menjadikan kesenian srandul
4
tetap lestari dan menjadi salah satu tontonan tradisional dari dukuh Plempoh, Bokoharjo. Bahkan kini, kesenian srandul secara rutin dipentaskan di Situs Ratu Boko setiap hari Sabtu jam 16.00 WIB. Pentas terbuka untuk umum, siapapun yang ingin menyaksikan kesenian Srandul sambil menikmati panorama sore serta sunset di panggung terbuka Situs Ratu Boko. Bapak Sugeng sebagai salah satu penampil yang sekaligus sebagai orang yang turut kembali “nguri-uri” kesenian srandul, menyatakan bahwa kesenian srandul tidak memiliki naskah pakem5 yang tersimpan dan diwariskan turun temurun. Hafalan merupakan satu-satunya sarana pengingat. Meskipun kadang dibuat coretan-coretan yang digunakan untuk mempermudah hafalan (khusus untuk lirik lagu pengiring). Hal ini yang mengakibatkan perubahan maupun pengembangan dialog rentan terjadi sewaktu-waktu di dalam pertunjukkan sastra lisan. Perubahan yang dilakukan penampil ketika di atas panggung merupakan salah satu ciri dari sastra lisan yang nampak pada kesenian Srandul. Berbeda dengan pemahaman orang kebanyakan, penggagas srandul di kecamatan Kalasan mengartikan frase “nguri-uri kabudayan” lebih bersifat produktif. Pak Kusumo6 menyatakan bahwa nguri-uri tidak serta merta melestarikan keaslian maupun bentuk lama dari sebuah kesenian saja. Beliau berpendapat dan berprinsip bahwa nguri-uri merupakan tindakan yang berusaha mencari cara kemudian merealisasikan demi mengembangkan kesenian tradisional sehingga mampu diterima oleh masyarakat. Kalasan merupakan salah satu desa yang
5 6
Wawancara hari Kamis, 1 Oktober 2014 di Situs Ratu Boko, Prambanan. Ketua Srandul Suketeki Dukuh Karangmojo, Kalasan. Wawancara hari Selasa, 07 Juli 2015
5
subur akan kesenian Srandul, hingga saat inipun masih terdapat tiga komunitas srandul yang masih eksis. Semuanya terdapat di desa Tamanmartani. Satu dari komunitas tersebut dari dukuh Karangmojo. Lahirnya komunitas srandul di Dukuh Karangmojo dari awal sengaja ditujukan sebagai wahana kritik, penyampai aspirasi rakyat. Tujuan tersebut memberikan imbas berupa perubahan dan pengembangan dalam sisi narasi cerita. Selain di Bokoharjo, srandul yang lahir di dukuh Karangmojo, Kalasan dinilai telah mengalami revitalisasi. Penggubahan besar-besaran atau dekonstruksi cerita yang berbeda dari biasanya membuat Srandul Suketeki memiki karakter sendiri. Prambanan dan Kalasan menjadi pilihan penelitian karena berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Soedarsono (1976), kedua kecamatan ini sebelumnya telah memiliki cikal bakal kesenian srandul. Lebih spesifik lagi, penelitian dilakukan di desa Bokoharjo dan desa Tamanmartani. Sebelumnya hampir setiap padukuhan di kedua desa ini memiliki komunitas sastra lisan srandul, tetapi saat ini hanya beberapa yang masih bertahan bahkan beberapa kali bubar dan membentuk kembali komunitaskomunitas baru. Kedua komunitas tersebut merupakan dua dari empat komunitas (termasuk Dukuh Randugunting dan Dukuh Tegalrejo di Tamanmartani, Kalasan yang hingga saat ini masih memiliki kelompok kesenian srandul) yang diduga telah melakukan revitalisasi dalam sebuah kesenian srandul. Komunitas ini lahir dan berkembang dengan dorongan salah satu penggiat srandul dari dukuh Plempoh, Pak Bidah. Awalnya penelitian hanya memfokuskan pada srandul di dukuh Plempoh yang dahulu hampir punah, tetapi hingga saat ini terbukti masih eksis bahkan telah mengalami perubahan sebagai bentuk revitalisasi. Akan
6
tetapi, berdasarkan informasi yang diberikan oleh Pak Bidah bahwa terdapat komunitas yang juga sedang menggeliat dan mengalami perubahan bahkan pengembangan cerita, maka komunitas Srandul Suketeki di Karangmojo, Kalasan menjadi pembanding dalam penelitian ini. Keduanya sama-sama melakukan perubahan dan pengembangan dalam beberapa aspek sehingga mampu menarik perhatian penonton untuk tetap eksis di tengah maraknya persaingan dengan berbagai kesenian modern saat ini. Keduanya memiliki latar belakang masyarakat yang berbeda, Dukuh Plempoh telah menjadi desa wisata, Dukuh Karangmojo justru sedang berusaha untuk menjadi desa wisata karena lokasi keduanya juga strategis sebagai tempat wisata. Jika, srandul di dukuh Plempoh, Bokoharjo masih mempertahankan eksistensinya sebagai sastra lisan primer yang menggunakan hafalan sebagai kunci berlangsungnya kesenian, komunitas Srandul Suketeki secara terangterangan menggunakan naskah untuk menuliskan dialog. Ong (dalam Amir, 2013: 12) menyatakan bahwa hal ini termasuk dalam kelisanan sekunder, yaitu kelisanan yang dibantu dengan tulisan. Meskipun tradisi tersebut ditulis tetapi tidak menghapuskan yang lisan. Lisan dan tulisan hidup bersama-sama. Jika dalam era komunikasi elektronik, sastra lisan disampaikan melalui radio atau TV. Beberapa media sosialpun turut difungsikan untuk membantu promosi dari kesenian srandul ini, salah satunya adalah youtube. Para penampil di komunitas Srandul Sedya Budaya Rukun telah melakukan diskusi sebelum pertunjukkan digelar untuk pembagian peran dan pemaparan secara lisan mengenai cerita, sedangkan Pak Kusumo mengaku bahwa hal
7
tersebut tidak berani diberlakukan di komunitas Srandul Suketeki. Hal ini dimaksudkan sebagai kontrol penampil sekaligus menghindari kesalahpahaman dengan penonton. Pak Kusumo menyatakan bahwa cerita yang dibawakan berbeda jauh dengan cerita srandul pada umumnya. Srandul Suketeki lebih menyoroti masalah sosial politik yang berbau dengan kebijakan pemerintah yang mayoritas merugikan rakyat. Diperlukan pemaparan fakta dan kehati-hatian dalam menyampaikan di dalam dialog. Oleh karena itu, Pak Kusumo mengantisipasinya dengan membuat naskah, meskipun nantinya pada saat melakukan pertunjukkan tidak dipungkiri akan terjadi improvisasi oleh para penampil. Bahasa yang digunakan kedua komunitas srandul tetap dan masih mempertahankan bahasa Jawa, meskipun kesenian ini bersifat fleksibel, dapat disesuaikan dengan permintaan mengenai tema cerita dan waktu. Para penampil menolak untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam dialognya (sastra lisan). Hal ini disebabkan karena ketika bahasa Jawa yang digunakan diubah menjadi bahasa Indonesia, maka nilai yang terkandung dalam cerita srandul akan berbeda dan terasa kurang nilai estetiknya. Meskipun demikian, kesenian srandul telah mengalami revitalisasi walaupun hanya dalam beberapa bagian. Revitalisasi merupakan upaya penghidupan kembali, dipertunjukkan, diberi nuansa baru yang sesuai dengan kehidupan zamannya. Dapat dilakukan dengan cara dibawa ke festival, diajarkan di sekolah atau di lembaga-lembaga pelatihan seni, dijelaskan/disosialisasikan kepada publik (Amir, 2013: 14). Menurut Finnegan (1979: 7), hal inipun menjadi hal yang sedang menarik, the current interest in
8
oral literature is augmented by the common connection between a ‘left wing’ or ‘progressive’ stance and concern with ‘popular culture’ or ‘protest songs’ and (in some cases) the productios of modern radio and television. Sastra lisan tidak lagi menjadi sebuah tradisi yang kaku tetapi mampu menerima perubahan teknologi. Tawaran penerapan solusi atas penelitian
yang dilakukan,
memberikan dampak terhadap perubahan dalam berbagai aspek pada kesenian srandul. Beberapa perubahan tersebut nampak secara fisik maupun substansi atau isi yang terkemas dalam sastra lisan (dialog/narasi) yang dibawakan. Sastra lisan merupakan satu dari sekian banyak budaya yang harus dilestarikan, mengingat salah satu pernyataan yang menyatakan bahwa sastra lisan turut menjadi salah satu sumber karakter bangsa dapat dibenarkan. Kandungan pesan dalam sastra lisan di masing-masing daerah mayoritas mengajak masyarakatnya untuk berperilaku baik, tidak melupakan asal usul, dan menjunjung tinggi kerukunan. Fungsi pertama dan utama dari sastra lisan adalah sebagai hiburan (Amir, 2013: 34). Fungsi ini membuat masyarakat terhibur dengan penampilan kesenian itu, bahkan –setidaknya secara historis– adalah satu-satunya hiburan bagi mereka sehingga masyarakat menghidupkan dan menghidupinya. Sastra lisan dihidupkan karena masyarakat tetap menghendaki sastra itu dipertunjukkan. Dengan dipertunjukkan, suatu genre sastra lisan akan hidup, sedangkan untuk pertunjukannya masyarakat bersedia memenuhi persyaratan, baik perlengkapan maupun imbalan. Melalui cara tersebut, sastra lisan dapat tetap hidup. Selain fungsi utama, sastra lisan memiliki banyak fungsi lainnya yang turut mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap sastra lisan.
9
Pandangan masyarakat menentukan tindakan masyarakat terhadap sastra lisan. Jika masyarakat menganggap sastra lisan masih memiliki relevansi dan fungsi dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sastra lisan akan tetap dipertahankan. Pandangan tersebut tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di sekitar masyarakat, termasuk tujuh unsur kebudayaan yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Milman Parry, Albert B. Lord, Amin Sweeney. dan Walter J. Ong, Teeuw (2013: 232-237) menyimpulkan bahwa baik dari sejarah maupun tipologi sastra tidaklah baik diadakan pemisahan antara sastra tulis dengan sastra lisan. Menurut Teeuw, penggabungan antara sastra lisan dan sastra tulis dalam suatu kerangka teori merupakan hal penting dalam sejarah sastra Indonesia. Adanya pendapat di atas menegaskan bahwa sastra lisan juga dapat diteliti dengan pendekatan maupun teori yang diterapkan dalam sastra tulis. Meskipun demikian, mengingat adanya perbedaan yang tipis antara penelitian sastra lisan, tradisi lisan, foklor, dan antropologi membuat peneliti tetap harus berhati-hati terhadap pemilihan dan pelaksanaan pendekatan sastra lisan. Pendekatan terhadap sastra lisan tidak melulu meletakkan fokus pada struktur, formula, maupun transmisi, tetapi dapat menggunakan berbagai pendekatan sastra lainnya. Finnegan menawarkan teori sastra yang berbasis sosial masyarakat, teori sosiologi sastra. Kecenderungan dari penelitian sosiologi lebih mencari penarikan kesimpulan secara umum mengenai hubungan dan tipe daripada berpuas diri dengan kasus yang unik (Finnegan, 1997: 246). Sastra lisan dilihat
10
berdasarkan kedudukannya di lingkungan masyarakat, baik masyarakat yang melahirkannya maupun masyarakat luas. Sosiologi sastra yang diajukan oleh Finnegan menyoroti berbagai aspek antara sastra lisan dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyataan tentang sastra lisan yang menyimpan dokumentasi kebudayaan suatu daerah memang benar adanya. Sastra lisan hidup dan dihidupi oleh masyarakat, sehingga melakukan penelitian terhadap sastra lisan tidak dapat dipisahkan dari penelitian terhadap masyarakatnya. Jika melihat kondisi masyarakat yang berubah-ubah tidak dapat dipungkiri akan mengubah dan mempengaruhi keberadaan sastra lisan maupun keseniankesenian tradisional yang ada di berbagai daerah. Tanpa adanya tindakan maka sastra lisan maupun kesenian tersebut akan mengalami kepunahan. Oleh karena itu, butuh suatu tindakan baik berupa perubahan atau pengembangan di dalam sastra lisan maupun kesenian tradisional tersebut sebagai bentuk pengaktifan kembali. Tidak terkecuali srandul yang turut serta melakukan revitalisasi agar tetap diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini, sosiologi sastra baik yang dikemukakan oleh Finnegan dan beberapa tokoh sosiologi sastra lainnya dirasa mampu untuk menjawab permasalahan yang ada, baik bentuk revitalisasi, perubahan fungsi, maupun perubahan konteks sosial yang ada di masyarakat. Dalam pendekatan ini, sosiologi sastra yang digunakan akan difokuskan untuk mencari bentuk revitalisasi sastra lisan srandul, perubahan fungsi dan perubahan konteks sosial masyarakat sekitarnya.
11
1.2. Rumusan Masalah Sastra lisan penting diikaji karena ada dan terus hidup di tengah masyarakat, terutama masyarakat yang melahirkannya; sastra lisan menyimpan kearifan lokal, kecendikiaan tradisional, pesan-pesan moral, dan nilai sosial dan budaya (Amir, 2013:19-21). Salah satu sastra lisan yang ditemukan masih mampu bertahan di Yogyakarta adalah srandul. Kemampuannya bertahan dalam modernitas dan perkembangan teknologi yang semakin canggih memungkinkan adanya perubahan fungsi maupun bentuk dari sastra lisan. Konteks sosial masyarakat turut menjadi salah satu pemicu lahirnya perubahan maupun pengembangan dalam sastra lisan atau revitalisasi. Revitalisasi dilakukan selain untuk mempertahankan keberadaan sastra lisan sekaligus untuk menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Hal ini mengakibatkan beberapa hal yang terkandung di dalam sastra lisan, baik bentuk fisik dari pertunjukan maupun isi (teks/narasi) memungkinkan adanya perubahan pula. Dari permasalahan yang muncul itulah, rumusan masalah dalam penelitian ini mengerucut menjadi; bagaimana bentuk revitalisasi sastra lisan srandul, bagaimana perubahan fungsi, dan pengaruh yang ditimbulkan dari
perubahan konteks sosial masyarakat dalam sastra lisan
srandul Dukuh Plempoh dan Dukuh Karangmojo?. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian sastra lisan srandul memiliki dua tujuan, baik secara teoretis, yang berhubungan dengan ilmu, maupun tujuan praktis yang dapat bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat.
12
1.3.1. Tujuan Teoretis Secara teoretis penelitian ini dilakukan dengan berbagai tujuan, yaitu: a. mengaplikasikan berbagai teori sastra, khususnya sastra lisan (Ruth Finnegan) yang terdapat dalam sastra lisan srandul dengan cara mendeskripsikan bentuk revitalisasi dan perubahan fungsi yang terjadi pada sastra lisan Srandul di Dukuh Plempoh, Bokoharjo dan Dukuh Karangmojo, Kalasan, Sleman, Yogyakarta; dan b. mengaitkan dan menganalisis konteks sosial masyarakat, hubungan masyarakat dan sastra lisan srandul, serta mengamati perubahan kondisi sosial masyarakat di Dukuh Plempoh, Bokoharjo dan Dukuh Karangmojo, Kalasan, sehingga mengetahui penyebab munculnya revitalisasi, fungsi awal dan perubahan fungsi dalam sastra lisan srandul. 1.3.2. Tujuan Praktis Secara praktis penelitian terhadap sastra lisan srandul ini bertujuan untuk: a. dokumentasi teks kesenian sastra lisan srandul sebagai salah satu aset budaya Jawa sekaligus membantu promosi para penampil seni srandul agar kesenian srandul lebih diterima oleh masyarakat kembali, b. memberikan motivasi, referensi, sekaligus dorongan kepada para pelaku seni tradisi untuk senantiasa melestarikan kesenian tradisional salah satunya dengan melakukan revitalisasi,
13
c. menjadikan sastra lisan srandul Dukuh Plempoh dan Dukuh Karangmojo sebagai model pengembangan kesenian-kesenian tradisi lain dalam upaya pelestarian kesenian melalui upaya revitalisasi. d. menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya dalam mengkaji sastra lisan khususnya sastra lisan sekunder yang berkembang di masyarakat. 1.4. Tinjauan Pustaka Penelitian dengan srandul sebagai objeknya telah beberapa kali dilakukan. Akan tetapi, mayoritas penelitian yang dilakukan lebih berfokus pada bentuk kesenian dari srandul. Belum ditemukan satu penelitian yang berfokus pada sastra lisan atau narasi dari srandul, terlebih mengenai fungsi yang diberikan dari narasi atau dialog dalam pertunjukkan srandul yang tergolong sebagai sastra lisan. Berikut ini merupakan beberapa penelitian yang membahas mengenai srandul dalam beberapa sudut pandang dan berbagai macam kajian teori. Penelusuran pustaka terhadap sastra lisan srandul pun akan dikemukakan untuk membedakan kajian tesis ini dengan penelitian lainnya. a. Seni Pertunjukan dan Tradisi Lisan di Kawasan Candi Ratu Boko, Sleman, Yogyakarta (Zulfi Hendri, Sri Harti Widyastuti, Siti Mulyani, Herlina). Dalam penelitian ini, Zulfi dan kawan-kawan melakukan sebuah penelitian studi kasus mengenai berbagai pertunjukan dan tradisi lisan yang ada di kawasan Situs Ratu Boko yang dianggap hampir punah tetapi memiliki potensi untuk dihidupkan kembali. Salah satu dari tradisi lisan tersebut adalah srandul. Pada awalnya hampir setiap dukuh di Bokoharjo memiliki komunitas
14
srandul, tetapi semakin lama kesenian ini semakin ditinggalkan. Dugaan kuat disebabkan oleh tidak adanya generasi yang mau dan berminat untuk melanjutkan kesenian tradisi ini. Penelitian yang dilakukan Zulfi bersama rekannya sekaligus memberikan sebuah solusi untuk kesenian tradisional tersebut, yaitu memberikan saran untuk memanfaatkan Situs Ratu Boko sebagai tempat pementasan. b. Pemanfaatan Srandul sebagai Salah Satu Alternatif Pendukung Dakwah Islam melalui Karya Seni (Jabrohim, 2012). Penelitian yang ditulis Jabrohim dalam jurnal Tsaqafa (Jurnal Kajian Seni Budaya Islam) mengangkat Srandul yang berada di Kotagede yang dianggap sebagai salah satu kesenian tradisional bernafaskan Islam. Melalui pengemasannya dan bentuknya yang visual sehingga dirasa srandul dapat kembali digiatkan sebagai media dakwah Islam di era modern ini. Penelitian ini menitikberatkan pada bentuk dan kemasan srandul yang dianggap mampu menjadi alternatif dalam berdakwah. Proses internalisasi nilai dan sosialisasi nilai-nilai Islam berlangsung secara alami dan berlangsung secara tidak formal atau verbal selama pertunjukan srandul berlangsung7. Melalui kesenian yang mampu menarik minat masyarakat itulah, srandul dirasa merupakan media yang tepat untuk melakukan dakwah Islam. Kelompok srandul Kotagede ini megambil sumber cerita dari babad Arab, babad Menak dengan lakon Sayidina Ali dan Wong Agung Jayengrono, babad Jenggala dengan lakon Ketek Ogleng, babad Demak dengan Lakon
7
Jurnal Tsaqafa, Jurnal Kajian Seni Budaya Islam, Vol. 1 No. 1, Juni 2012
15
Perawan Sunti ditambah dengan dongeng rakyat semacam Joko Bodo dan Joko Wasis. c. Seni Pertunjukan Tradisional Srandul sebagai Alternatif Pembelajaran Seni di Sekolah Menengah (Zulfi Hendri, 2011). Penelitian ini dilakukan oleh salah satu dosen di UNY. Berdasarkan penelitian ini, srandul adalah salah satu kesenian
tradisional
keorisinilannya.
Fokus
yang
sederhana
utama
dan
penelitian
masih
adalah
mempertahankan menemukan
serta
mendeskripsikan wujud kesenian dan mencari nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam srandul. Kelompok kesenian srandul yang diteliti bertempat di dukuh Gatak, Bokoharjo, Prambanan, Yogyakarta. Selain itu, disimpulkan bahwa dengan mempelajari kesenian srandul secara langsung siswa telah membantu untuk melestarikan budaya daerah milik bangsa. Dari deskripsi singkat penelitian-penelitian di atas, sejauh penelusuran peneliti, dapat disimpulkan bahwa belum ada satupun penelitian yang berfokus pada dialog, narasi, maupun lirik tembang yang dikategorikan sebagai sastra lisan dalam kesenian srandul. Meskipun objek material penelitian adalah srandul dari berbagai daerah, pola cerita dan inti cerita memiliki kemiripan, yaitu mengenai dakwah Islam dan mengajarkan kepada kebaikan. Penelitianpenelitian sebelumya lebih melihat pada srandul secara umum atau melihat sisi srandul sebagai sebuah kesenian tradisional. Perbedaan mencolok antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah pada fokus penelitian, yaitu pada sastra lisan, verbal (dialog) dan non-verbal (kostum, musik, instrumen pengiring, tarian, dan lain sebagainya).
16
1.5. Landasan Teori Penelitian mengenai kesenian srandul yang membicarakan sastra lisan kaitannya dengan konteks sosial masyarakat dirasa lebih tepat menggunakan teori yang dikemukakan oleh Ruth Finnegan. Hal ini dikarenakan bahwa sastra lisan srandul merupakan salah satu contoh sastra lisan sekunder yang telah menggunakan bahan bantu catatan dan memanfaatkan teknologi baik saat persiapan maupun ketika pertunjukkan. Berbeda dengan teori sastra lisan pada umumnya yang lebih melihat sastra lisan sebagai sastra atau karya tradisional yang dimiliki hanya orang-orang primitif yang belum mengenal tulisan. Finnegan mendasarkan konsepnya bahwa sastra lisan tidak hanya milik masyarakat tradisional, tetapi juga dimiliki oleh masyarakat modern yang beradab. Finnegan (1977: 9) menyatakan bahwa oral poetry can take many different forms, and occurs in many cultural situations; it does not manifest itself only in the one unitary model envisaged by some scholar. Hal tersebut memberikan makna bahwa sastra lisan memiliki banyak bentuk, tidak hanya merupakan kebudayaan masa lampau, cerminan atau gambaran atas satu model saja. Jadi, sastra lisan tidak melulu diciptakan oleh masyarakat primitif dan oleh orang pintar atau tokoh yang dihormati saja. Berbicara mengenai sastra lisan bukan berarti berbicara mengenai peninggalan purbakala masa lampau, tetapi mengenai kekayaan budaya yang patut diperhatikan karena mengandung banyak nilai. Oral poetry is not just something of far away and long ago. In a sense it is all around us still (Finnegan, 1977: 4). Selain itu, perubahan yang terjadi dalam srandul
17
diperkirakan adalah salah satu akibat dari perkembangan teknologi maupun zaman yang secara otomatis mempengaruhi pola pikir masyarakat. Srandulpun diasumsikan turut terkena pengaruh tersebut, sehingga perlu diadakan penelitian terhadap masyarakat sebagai salah satu faktor yang dapat merubah pola dari sebuah kesenian, termasuk sastra lisan srandul. Albert B. Lord lebih berfokus pada unsur intrinsik sastra lisan, sedangkan Finnegan memberikan penawaran baru. Penelitian maupun teori yang diberikan Finnegan adalah pendekatan yang turut mengikutsertakan masyarakat dalam hubungannya dengan sastra lisan. Hal ini dikarenakan bahwa masyarakat diasumsikan sebagai salah satu aspek yang memiliki andil besar dalam lahir, bertahan, berkembang, bahkan punahnya sebuah tradisi atau kesenian, dalam hal ini sastra lisan. Teori Finnegan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi ciri sastra lisan, teori fungsi, dan konteks sosial masyarakat. Selain itu, akan dibantu dengan teori revitalisasi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh sekaligus dipadukan dengan teori Finnegan yang berbicara mengenai perkembangan dalam sastra lisan. 15.1. Revitalisasi dalam Sastra Lisan In such statements, the ‘primitive’ context is seen as the most common and, as it were ‘natural’ context of oral poetry. Like the society in which it occurs, oral poetry can be assumed without further inquiry to be unselfconscious, communally rather than individually oriented, and produced in a homogeneous setting with little or no specialization by poets or audience. Similarly, oral poetry in such societies can be assumed to be ‘natural’ and artless, arising from spontaneous emotion rather than conscious art (Finnegan, 1977: 47).
18
Banyak teori mengenai sastra lisan yang menyatakan bahwa sastra lisan dimiliki dan lahir dari masyarakat primitif, bersifat komunal dan nir aksara. Akan tetapi, Finnegan memberikan sebuah pernyataan bertolak belakang bahwa sastra lisan kini tidak hanya dimiliki oleh masyarakat primitif saja. Furthermore, oral literary forms occurring in other contexts, in societies with partial or mass literacy, can be assumed to be not the ‘natural’ form, but an aberrant an unusual type. This can be ignored as untypical or explained away as merely ‘transitional’, perhaps a ‘survival’ from the ‘primitive’ oral type of society, its ‘natural’ setting (Finnegan, 1977: 47). Dalam beberapa konteks sosial masyarakat, menurut Finnegan muncul bentuk sastra lisan yang berbeda, yang dirasa menyimpang dari kebiasaan. Bentuk tersebut tidak biasa dan tidak sama dengan biasanya. Perubahan yang terjadi bukanlah sebuah bentuk transisi yang disengaja untuk mengubah sebuah sastra lisan, tetapi merupakan sebuah usaha untuk tetap mempertahankan kelangsungan hidup dari sebuah sastra lisan. Dalam kondisi teknologi dan berbagai kemajuan dihampir seluruh sisi seperti sekarang, sangat mungkin terjadi perubahan bentuk tradisi, dari kelisanan ke keberaksaraan. Tidak sedikit sastra lisan yang ditulis, dibahas, dikaji, dibukukan, dan dimuat di media massa. Hal inilah yang menurut Suwardi (2004:150) mau tidak mau memicu terjadinya transformasi sastra lisan. Dari berbagai genre sastra lisan akan terus bermunculan fenomena di dalamnya, ada yang memudar, hampir punah, bahkan sudah punah. Amir (2013: 6) menyebutkan bahwa genre sastra lisan yang akan terus hidup harus
19
memiliki salah satu atau gabungan unsur di dalamnya, yaitu adanya ruang untuk berimprovisasi, keterbukaan untuk menerima kekinian masyarakatnya. Keterbukaan itu dapat berupa hal-hal yang ada dalam sastra lisan tersebut, tidak hanya berupa dialog (sastra lisan) tetapi aspek lain semisal intrumen, kostum, lirik dari lagu pengiring. Penambahan dan penyesuaian terhadap halhal berbau kekinian dapat menjadikan sebuah kesenian tradisional mengalami inovasi. Sejak penghujung abad ke-20 ada kesadaran untuk menghidupkan kembali kesenian tradisional dengan memperkenalkannya kepada masyarakat termasuk anak-anak. Srandul merupakan salah satunya. Pak Bidah dan Pak Kusumo beserta kawan-kawan, komunitas Srandul Sedya Budaya Rukun di dukuh Plempoh, Bokoharjo dan komunitas Srandul Suketeki di dukuh Karangmojo, Kalasan, menggubah srandul sedemikian rupa dan disesuaikan dengan kekinian. Kemudian muncul gagasan revitalisasi. Kebudayaan lama dan sastra lisan direvitalisasi, dihidupkan, dipertunjukkan, diberi nuansa baru yang sesuai dengan zamannya (Amir, 2013:13-14). Meskipun Finnegan tidak menggunakan istilah revitalisasi secara tersurat, tetapi konsep mengenai revitalisasi didukung oleh Finnegan (1991: 112) melalui pernyataannya dalam sebuah jurnal sastra lisan, “A tradition, furthermore, has to be used by people for it to continue to exist. And whether in artistic, personal, or political contexts, this actual usage may be as liable to exploit, to modify, or to play with tradition as to follow it blindly”. Perubahan dalam sebuah kesenian, termasuk sastra lisan sah saja dilakukan, dengan catatan tidak mengubah yang inti dan merusak ciri dari kesenian
20
tersebut. Perubahan ke arah perkembangan yang bernilai positif digunakan sebagai penjagaan terhadap kepunahan dan untuk tetap memepertahankan keeksisan dari kesenian tersebut. Revitalisasi yang dialami oleh srandul tidak hanya terjadi dalam dialog (sastra lisan)-nya saja, tetapi aspek-aspek pendukung lainnyapun turut mendapatkan perubahan dan pengembangan dari bentuk awalnya. Kesenian srandul dari Dukuh Plempoh secara rutin melakukan pertunjukkan di Situs Ratu Boko, Bokoharjo, sedangkan srandul dari Dukuh Karangmojo secara berkala maupun dalam event-event sastra maupun kesenian kerap mengisi acara, baik di Rumah Budaya Tembi, Bantul, Taman Budaya Yogyakarta, maupun gedung atau acara lainnya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 954), revitalisasi diartikan sebagai sebuah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Keesing (1999: 257) menyatakan revitalisasi sebagai perubahan kesenian dan berkesenian karena kesadaran baru untuk mencapai cita-cita atau menempuh suatu cara berkesenian dengan sesuatu yang baru ataupun cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Beberapa improvisasi dilakukan agar sastra lisan dapat diteruskan, disajikan, dan dinikmati, serta dapat diterima oleh masyarakat sampai saat ini. Sebaliknya, sastra lisan yang tidak mempunyai ruang keterbukaan, sehingga bersifat kaku dan tidak mampu menerima perubaan dan perkembangan teknologi maupun pola pikir masyarakat perlahan akan mati lalu musnah.
21
Poetry and its performance can also be seen as a way in which a heritage of artistic performance (and social values and ideas) is passed on from one generation to another –with changes and development, no doubt, but providing a basic continuity of artistic form and outlook between generations (Finnegan, 1977: 244). Sastra lisan diakui Finnegan sebagai warisan seni yang artistik, di dalamnya mengandung nilai bahkan ide-ide. Sastra lisan diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dengan diimbangi perubahan dan pengembangan. Akan tetapi, tetap memegang teguh bentuk dasar awal tetapi menyesuaikan dengan keadaan masa kini. Bahkan sejak awal, Finnegan telah menyatakan bahwa sastra lisan tidak hanya ‘saklek’ pada bentuk itu saja, adakalanya sastra lisan memerlukan perubahan dan pengembangan jika itu diperlukan. Hal terpenting adalah tidak merubah yang pokok dari sastra lisan tersebut, sehingga nilai maupun ide di dalamnya tetap terjaga sebagai bentuk warisan budaya. Melalui perubahan dan pengembangan itulah sastra lisan dan tidak menutup kemungkinan, keseniankesenian tradisional lainnya dapat bertahan dari ramainya perkembangan jaman. Finnegan dan beberapa tokoh sastra lisan lain sebenarnya juga menyadari bahwa terdapat kerancuan dalam penggunaan sastra lisan. Jika sastra diartikan sebagai sebuah karya tulis, maka akan memiliki makna yang kontras. Beberapa tokoh termasuk yang tertera dalam sebuah ensiklopedi terkemuka (Finnegan, 1977: 7) menyatakan sastra lisan sebagai puisi yang disusun dalam pertunjukkan lisan oleh seseorang yang tidak dapat menulis
22
dan membaca. Magoun pun menyatakan
hal
yang sama dengan
membandingkan antara sastra lisan dengan sastra tulis, menurutnya sastra lisan disusun sepenuhnya dengan formula, sedangkan sastra tulis tidak pernah memiliki formula. Dengan kata lain, teknik yang digunakan adalah menghafal formula itu karena pelaku tidak bisa menuliskan atau membacanya. Finnegan (1977: 9) pun mengartikan berbeda, bahwa oral poetry can take many different forms, and occurs in many cultural situations; it does not manifest itself only in the one unitary model envisaged by some scholar. Oleh karena itu, menurut Finnegan, sastra lisan tidak terbatas pada masyarakat yang primitif dan nir aksara saja, bahkan sastra lisan pun mampu hadir di tengah masyarakat berpendidikan tinggi dengan teknologi yang maju. Revitalisasi yang dilakukan nantinya akan mengubah atau tetap mempertahankan kesenian tradisi tersebut sebagai sastra lisan atau menghilangkan kategori tersebut dapat dilihat dari tiga kriteria yang diajukan Finnegan (1977: 16) the three ways in which a poem can most readily be called oral are in terms of (1) its composition, (2) its mode of transmission, and (3) related to (2)) its performance. Secara lebih lengkap Finnegan (1977: 18-21) menjelaskan ketiga syarat sebuah puisi (sastra) dikatakan sebagai puisi (sastra) lisan jika memenuhi ketiga kriteria sebagai berikut. a. Composition Composition dapat diartikan sebagai penciptaan dan sebagai sastra lisan, maka dalam penciptaannya harus dilakukan secara lisan pula. This
23
kind of composition-in-performance its not only kind of oral composition. The process of composition can also be prior to, and largely separate from, the act of performance (Finnegan, 1977: 18). Penciptaan dari sastra lisan tidak hanya terjadi saat pertunjukkan berlangsung saja, tetapi penciptaan dapat terjadi secara terpisah yaitu sebelum atau sesudah pertunjukkan berlangsung. Penciptaan saat pertunjukkan terjadi apabila penampil telah memiliki formula cerita sehingga ketika naik ke panggung, penampil dapat mengubah cerita menyesuaikan dengan kondisi penonton dan kondisi ketika pertunjukkan itu berlangsung. Tentu saja dengan tidak mengubah keseluruhan atau inti dari cerita. Akan tetapi, Finnegan tidak kemudian kaku terhadap syarat ini. Pernah terjadi pada seorang penampil sastra lisan (Joe Scott’s) yang menuliskan teks sastra lisan pada saat penciptaan. Hal ini tidak kemudian merubah sastra lisan menjadi sastra tulis. Finnegan menyatakan hal ini boleh dilakukan, asalkan ketika pertunjukkan berlangsung, penampil tidak bergantung dengan tulisan, murni lisan. Batasan dari komposisi lisan adalah agar sastra lisan tidak dengan mudah dirumuskan dan sering berlebihan dalam mencampurkan tulisan atau berinteraksi dengan bentuk tulis. b. Transmission At first sight, the characteristic of being transmitted by oral means seems a straightforward yardstick for differentiating oral from written
24
literature (Finnegan, 1977: 19). Kriteria ini merupakan kriteria yang menjadi penekanan oleh foklor terhadap syarat disebutnya sastra lisan dan menjadi perbedaan yang mencolok dengan sastra tulis. Transmisi atau pewarisan sastra lisan dilakukan secara lisan. Pernyataan tersebut dirasa telah jelas. Dalam hal ini, pewarisan secara lisan seringkali tertukar dengan pertunjukkan secara lisan. Maksudnya, pewarisan dilakukan secara lisan, bukan tertulis yang kemudian dipertunjukan secara lisan. Akan tetapi dalam praktiknya kriteria ini dapat dikatakan cukup susah. Hal ini dikarenakan pada saat ini untuk mendapatkan informasi dari orangorang terdahulu sangat susah dan jumlahnya sedikit. Kaum romantic dan evolusionis serta para ahli menuturkan pendapatnya tentang hal itu, sehingga diperoleh sebuah kesepakatan bahwa, so this aspect too of the oralness of oral poetry turns out to be relative rather than absolute (oral transmission can, after all, be over a long or a short periode), as well as being extremely elusive and difficult to pinpoint in practice (Finnegan, 1977: 20). c. Performance Finnegan menjelaskan jika dibandingakan dengan kriteria lainnya, kriteria ini merupakan kriteria terakhir yang bersifat fleksibel. Kriteria ini mudah untuk dipahami karena sebagai sastra lisan tentunya harus ditampilkan secara lisan, artinya tidak dengan membaca. Aktualisasi melalui pertunjukan secara lisan tidak banyak permasalahan, hanya satu
25
yang perlu diingat, bahwa jika dalam situasi yang tidak disengaja, pencipta menciptakan satu buah ciptaan untuk kemudian dipertunjukkan, dengan cerita yang berbeda. Ketika keduanya melakukan proses tersebut secara lisan itu tidak menjadi masalah. Akan tetapi, jika terdapat kasus dimana pencipta menciptakan cerita tersebut dengan menuliskannya dan hanya pertunjukkannya yang dilakukan secara lisan, bagaimanakah hukumnya?. Ternyata banyak negara yang telah melakukan hal seperti itu. China, Yunani, dan negara-negara Eropa menggunakan pembacaan sebagai metode yang umum. Dalam kasus ini, Finnegan memberikan solusi, if oral performance is the central criterion, such cases must be classified as oral literature (Finnegan, 1977: 21). Jika yang menjadi acuan atau yang terpenting adalah pertunjukan harus dilakukan secara lisan, maka kasus seperti ini sudah dianggap sebagai sastra lisan. 15.2. Teori Fungsi Sastra Lisan Sastra dan masyarakat adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, begitupun dengan sastra lisan. Masyarakatlah yang melahirkan
sebuah
sastra
lisan,
memilikinya,
menghidupkan
dan
menghidupinya. Jika Lord lebih fokus pada formula dan hal bersifat struktural di dalam sastra lisan, Finnegan memperluas dan memberikan alternatif bidang kajian yang dapat diterapkan dalam kajian sastra lisan, salah satunya dengan sosiologi sastra. Dalam bukunya, Finnegan (1977:44) menuliskan; one question for sociologists of literature has long been; just what role does
26
literature play in society? Does it reflect the current culture and social order with more or less directness? And if it does, is this reflection selective, or does it cover ‘the whole’ of society? Or does literature go beyond a passive role like ‘reflection’ and play an active part in the working of society?. Dalam hubungannya dengan masyarakat, sastra selalu dipertanyakan perannya. Kaum fungsionalis melalui Finnegan (1977: 44) menyebutkan mengenai peran aktif sastra dan fungsi di masyarakat sebagai kontrol sosial atau sebagai sosialisasi kepada anak-anak melalui pelajaran yang diajarkan, kekompakan dan keeksisan suatu kelompok, lebih sering, sastra digunakan untuk mempertahankan status quo, sedangkan kaum marxis berpendapat bahwa fungsi sastra adalah sebagai alat untuk menguasai kelas (tool of the ruling class), mempropagandakan dan menafsirkan ide. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial, sastra memiliki sifat sosial dan bukan merupakan fenomena tunggal yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, subjek untuk penelitian yang dirasa relevan adalah menggunakan pendekatan sosial. Finnegan (1977: 45) menyatakan bahwa berdasarkan pendapat sosiolog dan antropolog sosial, sastra lisan lebih cocok jika dianalisis menggunakan pendekatan fungsi. Pendekatan sosiologi sastra dalam sastra lisan dapat difokuskan pada fungsi sebuah genre bagi masyarakatnya dan pandangan masyarakatnya terhadap suatu genre sastra lisan yang mereka miliki. Finnegan (1992: 119) menyampaikan dalam bukunya yang menyatakan berbagai macam fungsi yang terkandung dalam sastra lisan.
27
Sometimes multi-meanings are deliberate, sometimes implicit only but still a potential resource for hidden negotiations or misunderstandings between performers, hearers or supporters. Furthermore—an obvious but somehow over-looked point—several things may be going on at the same time even for the same people: making money, perhaps, as well as aesthetic expression, satirising in the same breath as praising, propagandising together with entertaining “Beberapa fungsi dari suatu bentuk seni lisan adalah dapat digunakan untuk menegakkan maupun menentang otoritas politik, menyindir, propaganda, memamerkan, ritual, mengungkapkan cinta, mengeluh, mengatakan atau menyembunyikan yang tak bisa disebutkan, penemuan diri, menipu, mediasi jiwa manusia, menghibur wisatawan asing atau kepala adat, mencari nafkah, memparodikan, membuat skandal, memikat, bermimpi, menghibur dan lain-lainnya.” Selain itu, sastra lisan juga dapat berfungsi sebagai jenis piagam seperti mitos, piagam sosiologis. Sastra lisan bisa juga berisi kewibawaan raja, pandangan hidup yang diterima, susunan sosial yang dipertahankan, atau pelaksanaan upacara-upacara adat dalam masyarakat. Finnegan juga mengemukakan bahwa sebaiknya fungsi dan hakikat sastra lisan dilihat dari pandangan lokal, seperti kepercayaan, religi, pengalaman, lambang-lambang khusus. Some oral poetry represent certain moral views or a general ethos which is widely acceptable and followed in a society, and certain kinds of poetry are sometimes, in non literature or in literate contexts, used by elders to inculcate certain values into youth (Finnegan (1977: 264). Pernyataan Finnegan secara tidak langsung menyatakan bahwa puisi lisan sebagai representasi atas norma atau nilai sosial dari sebuah masyarakat, diterima dan diikuti oleh semua masyarakat. Puisi lisan sekaligus mengandung nilai-nilai positif yang layak diturunkan dan ditularkan oleh para tetua kepada generasi penerus. Puisi atau sastra lisan dalam hal ini berfungsi sebagai media
28
masyarakat untuk mendidik dan menyisipkan pendidikan karakter kepada generasi penerus sehingga untuk seterusnya mereka akan menjunjung tinggi adat maupun norma/nilai yang telah dibentuk dan diyakini oleh masyarakat sebelumnya. Sastra lisan memiliki kebutuhan untuk aktualisasi yaitu dengan pertunjukkan, dan untuk memaknai pertunjukkan dibutuhkan penonton. Masyarakat diposisikan sebagai seorang penonton dalam pertunjukkan sastra lisan. Termasuk sastra lisan sekunder yang kini lebih ditujukan kepada khalayak ramai, maka fungsi dari sebuah sastra lisan dapat dilihat dari sudut pandang penonton yang menikmatinya. The audience, even as listeners and spectators – but sometimes in a more active role – are directly involved in the realization of the poem as literature in the moment of its performance. It is never a mere after-thought which can be ignored throughout the major part of a theoretical analysis of the function and context of oral poetry (Finnegan, 1977: 214). Penonton dalam hal ini turut serta memberikan makna dari sebuah sastra lisan. sama halnya dengan sastra tulis yang hanya bisa dikonkretkan oleh pembaca, sastra lisan juga akan terwujud maknanya ketika dipentaskan dan dinikmati oleh penonton. Keikutsertaan penonton dalam sastra lisan dinilai akan menghidupkan sebuah pertunjukkan sastra lisan tersebut. Partisipasi para penonton dapat membuat penonton ikut merasakan dan memaknai sebuah nilai yang ada di dalam sastra lisan tersebut, sehingga Finnegan menyatakan bahwa hal ini akan memberikan dampak bahwa sastra lisan mampu mengkontrol
29
lingkungan sekitarnya dengan kata-kata yang disampaikan melalui sastra lisan. These poems with participatory audiences can enable the performers somehow to control their environment by capturing it in words (1977: 219). Dongeng (sastra lisan) dan bentuk-bentuk seni lain bisa juga berfungsi sebagai paradigma untuk memahami masyarakat dan untuk menentukan serta mengembangkan perilaku individu dan kepribadian dalam komunitas itu, serta mengurangi ketegangan sosial atau mengurangi kesedihan. Fairy tales—and other forms too?—can function as a ‘paradigm for understanding the community and for determining and developing individual behavior and personality in that community (Finnegan, 1992: 121). Di masa sekarang, sastra lisan juga kembali difungsikan sebagai sebuah sarana protes dan penyampai aspirasi. Seperti di masa sebelumnya, kesenian selalu berhasil menjadi wahana penyampai protes maupun permintaan dari rakyat kepada pimpinan. Hal ini kembali berulang atau lebih tepatnya masih senantiasa dilanjutkan, kesenian termasuk sastra lisan difungsikan sebagai media aspirasi rakyat. Oral-like written-poetry can be used to bring about a variety of effects on individuals, social groups and social instituitions with it is involved. It can be used to influence people’s ideas, introduce (or combat) change, uphold or challenge the political order-and a whole range of other position (Finnegan, 1977: 269). Melalui sastra lisan, protes terhadap kebijakan pemerintah yang bersifat sosial politik atau dalam hal apapun dapat tersampaikan dan terkemas dengan apik. Selain itu, fungsi dari sastra lisan ini juga lebih bersifat sebagai protes halus dan mudah mengena.
30
Dari banyaknya uraian mengenai fungsi sastra lisan di atas, seperti yang telah diungkapkan oleh Finnegan, banyaknya fungsi yang muncul dari sastra lisan menyiratkan tersebut bahwa fungsi sastra lisan tergantung pada keadaan masyarakat yang melahirkannya, maupun masyarakat yang ada di sekitarnya. Pandangan terhadap fungsi akan membuat suatu genre sastra lisan dipertunjukan untuk apa, pada kesempatan apa, serta di mana di pertunjukan dan siapa yang hadir. Pandangan masyarakat terhadap suatu genre membuat masyarakat memeliharanya dan mengadakan pertunjukan genre tersebut. Ketika pandangan masyarakat berubah, kesenian itu mungkin saja ditinggalkan. Hal tersebut menegaskan bahwa fungsi dari sebuah sastra lisan dapat berubah. Perubahan tersebut merupakan salah satu dampak dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. 15.3. Konteks Sosial Masyarakat Berhubungan erat dengan teori fungsi yang telah dibahas sebelumnya, bahwa fungsi dari sebuah sastra lisan bergantung dengan konteks sosial masyarakat. Finnegan menawarkan pendekatan sosiologi sastra untuk mencoba melihat hubungan puisi lisan (sastra lisan) dan lembaga sosial atau masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini didasarkan pada sebuah pernyataan yang berbunyi bahwa sebuah tradisi dilahirkan, dikembangkan, bahkan dipunahkan oleh masyarakatnya. Finnegan (1977: 262) menyatakan hal yang sama bahwa poetry following from, and affected by ‘society’, as it were, rather than the way round. Pertanyaan mendasar yang telah disebutkan sebelumnya, mengenai peran yang dimainkan sastra di masyarakat. Apakah
31
sastra merefleksikan kebudayaan masyarakat saat ini dan mencerminkan aspirasi masyarakat yang menghindari ungkapan langsung. Secara otomatis hal tersebut menyatakan bahwa masyarakat memiliki andil besar, bahkan merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah tradisi, tidak terkecuali sastra lisan. Konteks (KBBI, 2005: 591) yang memiliki arti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian (dalam hal ini sastra lisan) di dalam masyarakat turut mempengaruhi lahirnya, berkembangnya, berubahnya, dan punahnya keberadaan sastra lisan. Perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat dalam berbagai sisi kehidupan secara tidak langsung akan mempengaruhi sastra lisan yang berada di dalam masyarakat tersebut. Tuloli (2013: 1) memberikan beberapa kondisi perubahan yang dialami sastra lisan karena pengaruh dari kebutuhan masyarakat berdasarkan hasil penelitiannya, sebagai berikut. a. Sastra lisan yang mulai ditinggalkan karena peranan dan fungsinya telah digantikan dengan alat-alat modern. b. Sastra lisan yang bentuknya dipertahankan tetapi isinya disesuaikan dengan situasi zaman dan perkembangan masyarakat. c. Sastra lisan yang bentuk dan isinya mengalami perubahan sehingga cara penceritaannya masih dipertahankan tetapi ciri-ciri bentuk da nisi tidak lagi mengikuti model yang lama. d. Sastra lisan yang penampilannya berubah, diceritakan menjadi penampilan dinyanyikan.
misalnya penampilan
e. Sastra lisan yang bahasa penyampaiannya berbeda karena pengaruh terjemahan.
Perubahan konteks sosial masyarakat mampu menjadi pemicu perubahan, perkembanga bahkan hilangnya sebuah sastra lisan. Hal ini
32
disampaikan Finnegan (1977: 265), the general idea that types of literature and of literary activity are likely to follow from the nature of the society in which they occur, and be influenced by it, has also taken the form of trying to draw over-all connections between the general economic and technological development of society and the literature which might be said to ‘result’. Keadaan yang berlangsung di dalam masyarakat akan selalu mempengaruhi keberadaan sastra lisan di masyarakat tersebut. Majunya aspek di berbagai sisi kehidupan melahirkan berbagai pandangan masyarakat terhadap sastra lisan yang ada. Sastra lisan ataupun sebuah tradisi akan dihidupkan dan dihidupi oleh masyarakat yang melahirkannya jika sastra lisan atau tradisi tersebut memiliki posisi bahkan fungsi di dalam masyarakat tersebut. Puisi dan pertunjukkannya dapat dilihat sebagai suatu cara yang di dalamnya merupakan sebuah warisan pertunjukkan artistik (dan dari nilai dan ide sosial) terlewati dari satu generasi ke generasi lainnya –dengan perubahan dan perkembangan– , namun menyediakan dasar kontinuitas bentuk dan pandangan artistik di antara generasi-generasi tersebut (Finnegan: 1977: 244). Selanjutnya, Finnegan mempertimbangkan sastra sebagai refleksi dan konsekuensi dari kondisi sosial. Ia berpendapat bahwa hal-hal yang terjadi di dalam puisi mungkin merefleksikan aspek masyarakat tertentu dan mengekspresikan ide dan reaksi yang terkonsentrasi masyarakat pada masa itu. Namun, untuk mengambil bentuk sastra sebagai penggambaran kembali atau sebuah refleksi yang bersifat langsung dan utuh atau sebagai suatu sumber langsung dan sejarah sosial adalah sebuah kesalahan. Akan tetapi, di
33
sisi lain terdapat beberapa karya sastra yang tidak bisa dipisahkan dari refleksi masyarakat di mana ia berada. Peneliti tidak boleh melupakan bahwa berdasarkan kompleksitas hubungan sastra dan masyarakatnya, seorang penyair merupakan produk dari budayanya, daripada jenius yang ‘lepas’ seperti yang digadang-gadangkan oleh teori romantik. Pada akhirnya, Finnegan menegaskan bahwa sastra tidak lain merupakan tindak sosial masyarakat pemiliknya. Namun, yang signifikan bukanlah semata-mata sastra tersebut, melainkan apa yang masyarakat lakukan, cara mereka bertindak dalam konteks sastra, konvensi sastra yang berhubungan dengan aktivitas sastra yang mereka amati dan perbedaan penggunaan hal-hal yang bisa mereka taruh sebagai formulasi sastra. 1.6. Hipotesis dan Variabel Adanya revitalisasi yang dipengaruhi oleh keadaan masyarakat dan konteks di sekitarnya bertujuan untuk mempertahankan keberadaan sastra lisan srandul. Hal ini memungkinkan adanya perubahan fungsi dari srandul (temasuk fungsi teks/sastra lisan). Perubahan fungsi itupun akan mempengaruhi perubahan pandangan masyarakat terhadap kesenian srandul. Hipotesis dalam penelitian ini adalah revitalisasi sastra lisan dilihat dari tiga kriteria sastra lisan (composition, transmission, dan performance) mengubah fungsi utama sastra lisan sebagai pengaruh dari perubahan konteks sosial masyarakat. Dengan melihat rumusan masalah dan hipotesis, maka variabel yang muncul dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu variabel terikat (dependent) dan
34
variabel bebas (independent). Variabel terikat adalah variabel yang tidak mampu berdiri sendiri dan tergantung dengan variabel lainnya, sedangkan variabel bebas adalah variabel yang mampu berdiri tanpa adanya variabel lain. Dalam penelitian ini terdapat empat variabel yaitu; revitalisasi, perubahan fungsi, perubahan konteks sosial masyarakat, dan sastra lisan srandul. Revitalisasi dan perubahan fungsi sebagai variabel terikat. Hal ini dikarenakan revitalisasi dan perubahan fungsi tidak akan diketahui sebelum variabel lainnya diketahui. Perubahan konteks sosial masyarakat dan sastra lisan srandul merupakan variabel bebas karena untuk mendeskripsikan dan mengumpulkan data dari kedua variabel tersebut tidak terikat pada variabel lainnya. Dengan kata lain, untuk mendeskripsikan perubahan konteks sosial masyarakat dan sastra lisan srandul tidak harus mencari revitalisasi dan perubahan fungsi terlebih dahulu. 1.7. Metode Penelitian Metode penelitian oleh Faruk (2012: 55) diartikan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu. Metode penelitian harus sesuai dengan keadaan objek tersebut berada, karena hampir seluruh bahkan semua penelitian sastra lisan akan dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan metode etnografi dengan teknik langsung dan wawancara dengan informan. Etnografi adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan utama memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk aslinya (Spradley, 2007: 3). Metode ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang khas mengenai penciptaan sastra lisan dalam masyarakat sekitarnya. Spradley (2007:
35
85) menyatakan bahwa wawancara dalam metode etnografi merupakan wawancara bersifat peristiwa percakapan. Dalam penelitian sastra lisan sebagaimana penelitian bagi objek budaya yang lain, peneliti terlibat dalam kehidupan masyarakat di kampung tempat kesenian itu ada. Akan tetapi, teks di dalam penelitian ini merupakan aspek terpenting. Teks adalah pusat penelitian sastra lisan, yang lain adalah penggaya dan pendalaman materi. Peneliti akan mengumpulkan berbagai informasi dari pengaplikasian kedua metode untuk menguatkan dan mendapatkan informasi tambahan mengenai kesenian tradisi srandul. Faruk (2012: 24-25) secara garis besar telah membagi metode penelitian ke dalam dua bagian, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Metode pengumpulan data adalah seperangkat cara atau teknik untuk mendapatkan fakta-fakta empirik terkait masalah penelitian. Adapun metode analisis data yaitu seperangkat cara atau teknik untuk menarik relasi antara satu data dengan data yang lain yang bermuara pada satu pengetahuan ilmiah. Metode pengumpulan data dan metode analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. 1.7.1. Metode Pengumpulan Data Tahap pertama metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menentukan objek penelitian, baik objek material maupun objek formal. Objek material dalam penelitian ini kesenian tradisi srandul, sedangkan objek formal menggunakan teori sastra lisan Ruth Finnegan. Pada bagian latar belakang telah sedikit disinggung mengenai pemilihan objek
36
material, bahwa desa Prambanan dan Kalasan merupakan dua desa aktif yang memiliki komunitas Srandul hampir di setiap dukuhnya. Akan tetapi, saat ini komunitas-komunitas tersebut semakin hilang dan satu persatu bubar karena berbagai faktor. Penelitian ini juga merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kesenian srandul di Bokoharjo, tepatnya di Dukuh Plempoh yang merupakan salah satu kesenian tradisi sastra lisan yang masih bertahan setelah diprediksi mengalami kepunahan. Pada akhirnya srandul di Bokoharjo masih memiliki nafas kehidupan setelah ditengok lebih dalam. Hal yang sama terjadi di srandul Kalasan, tepatnya di desa Tamanmartani, Dukuh Karangmojo. Keduanya diduga telah melakukan revitalisasi untuk tetap mempertahankan sastra lisan srandul dari kepunahan. Konteks
sosial
masyarakat
diasumsikan
menjadi
faktor
yang
menyebabkan munculnya revitalisasi dan perubahan fungsi dalam srandul. Akan tetapi, konteks sosial yang dimaksudkan masih menjadi sebuah tanda tanya, sehingga memerlukan pendekatan dan penelitian lebih lanjut untuk menemukan jawabannya. Bagaimana bentuk konteks sosial masyarakat yang menyebabkan munculnya revitalisasi yang terjadi sehingga hingga saat ini srandul masih tetap eksis, dan apakah terdapat perubahan fungsi, mengingat kesenian srandul merupakan sastra lisan yang tentunya terlahir di tengahtengah masyarakat yang memiliki fungsi khusus pula. Metode pengumpulan data dilakukan dalam dua cara, yang pertama dengan kepustakaan dan yang kedua dengan pengumpulan data lapangan menggunakan
metode
etnografi.
Kepustakaan
dilakukan
dengan
37
mengumpulkan data maupun informasi mengenai objek melalui buku, artikel, jurnal, maupun berita mengenai konteks sosial masyarakat yang memiliki sastra lisan srandul (Plempoh, Bokoharjo dan Karangmojo, Tamanmartani), sedangkan untuk pengumpulan data lapangan masih terbagi ke dalam beberapa tahap. Tahap awal adalah pengamatan terhadap keadaan lingkungan sosial budaya di dukuh Plempoh, Bokoharjo; dukuh Karangmojo, Kalasan, dan keadaan di Situs Ratu Boko. Kegiatan selanjutnya adalah dengan menentukan informan. Spradley (2007: 68) menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan seorang informan adalah: 1) enkulturasi penuh, 2) keterlibatan langsung, 3) suasana budaya yang tidak dikenal, 4) waktu yang cukup, dan 5) non analitis. Informan yang akan dipilih dalam penelitian ini berasal dari tiga golongan: penampil, khalayak, dan masyarakat yang melahirkan kesenian tradisi srandul. Informan utama adalah bapak Bidah (penggiat srandul), Bapak Sugeng (penampil Srandul Plempoh), Tegak (penampil Srandul Suketeki), Bapak Gino (ketua komunitas Srandul Sedyo Budaya Rukun) dan Bapak Kusumo (ketua sekaligus penggagas komunitas Srandul Suketeki). Data lainnya diperoleh dari wawancara dengan Bapak Didik selaku manager dari Situs Ratu Boko, Bapak Aris Gunardi sebagai Kepala Dukuh Plempoh, Bapak Suratman sebagai Kepala Dukuh Karangmojo, masyarakat Plempoh, penonton di Situs Ratu Boko yang turut menyaksikan kesenian srandul dan masyarakat
Karangmojo.
dilaksanakan wawancara.
Begitu
informan
telah
ditetapkan,
maka
38
Saat melakukan penelitian di lapangan, jenis observasi yang dilakukan adalah observasi nonpartisipan. Maksudnya adalah peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang sedang diobservasi (Basuki, 2010: 151). Peneliti hanya mengamati dan mencatat apa yang terjadi. Peneliti akan mengamati dan mengumpulkan data dari lapangan, menyaksikan secara langsung kesenian tradisi srandul dari mulai persiapan, penampilan dari awal hingga akhir. Dalam observasi yang dilakukan di lapangan, peneliti menganalisa secara menyeluruh terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pertunjukan sastra lisan srandul. Aspek-aspek pertunjukan meliputi: persiapan pertunjukkan, tata rias, kostum, panggung, alat musik (instrumen pengiring), narasi (sastra lisan), audiens, improvisasi yang dilakukan antar penampil maupun dengan audiens. Penelitian ke lapangan dilakukan secara berkala dan berjalan seiring dengan penulisan laporan, sejak bulan Februari 2015. Selain itu, juga diamati konteks sosial masyarakat yang ada di sekitar, termasuk perubahan-perubahannya. Dikarenakan
pertunjukkan
srandul
versi
lama
telah
jarang
dipertunjukkan, maka untuk mendapatkan data tentang pertunjukkan tersebut digunakan rekaman yang disimpan oleh Bapak Gino, ketua komunitas Srandul Sedya Budaya Rukun yang mementaskan pertunjukkan srandul versi lama di tahun 2012. Data rekaman pertunjukan srandul yang lain (srandul Dukuh Plempoh di Situs Candi Ratu Boko dan Srandul Suketeki Dukuh Karangmojo) dilakukan dengan merekam secara langsung pertunjukkan srandul pada saat dipentaskan.
39
1.7.2. Metode Analisis Data Suwardi (2004: 156) menyatakan bahwa kajian sastra lisan, seharusnya tak hanya berhenti pada klasifikasi data di lapangan saja. Namun, peneliti harus sampai pada aspek-aspek makna dan fungsi sastra lisan. Makna dapat dilacak menggunakan penafsiran. Makna juga dapat digali dari informan penelitian, begitu pula fungsinya. Jadi, makna dan fungsi dapat berasal dari informan, jika menggunakan sudut pandang cermin dan berasal dari peneliti manakala menggunakan sudut pandang etik. Data lapangan yang telah terkumpul baik audio maupun visual nantinya tidak hanya dideskripsikan, tetapi akan dianalisis mengenai pemilihan, bentuk, maupun makna yang terkandung di dalamnya. Sebelum menganalisis data yang diperoleh dari lapangan maupun berbagai referensi lainnya, data yang diperoleh dari wawancara, perekaman audio dan visual
akan ditanskripsikan (mengalihkan data dari bunyi ke
bentuk teks). Data-data hasil rekaman meliputi: wawancara informan, kesenian srandul sebelum memasuki Situs Ratu Boko, pertunjukan kesenian srandul Situs Ratu Boko, dan kesenian Srandul Suketeki. Transkripsi tidak mengurangi maupun menambah data, dilakukan dengan menuliskan apa adanya sesuai data atau rekaman yang diperoleh. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan akan mengurangi kevalidan data-data yang didapatkan. Langkah selanjutnya, menerjemahkan transkripsi berbahasa Jawa untuk pengolahan data ke dalam Bahasa Indonesia dengan mempertimbangkan
40
bahasa awal, sehingga tidak merubah isi atau maksud dalam sastra lisan (narasi) yang digunakan dan tidak terlepas dari konteksnya. Setelah data-data telah diterjemahkan dan siap diolah, langkah berikutnya adalah mengolah data-data tersebut menggunakan teori sastra lisan Ruth Finnegan. Analisis dengan teori ini akan mencari perubahan konteks sosial masyarakat yang mempengaruhi munculnya revitalisasi dan perubahan fungsi dalam kesenian tradisi srandul. Adapun langkah-langkah pengolahan dan analisis data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut. a. Membaca seluruh data baik hasil wawancara, pengamatan, maupun narasi (sastra lisan) srandul dari pengamatan langsung, b. Menganalisis perubahan konteks sosial masyarakat Dukuh Plempoh dan Dukuh Karangmojo dengan mencermati kumpulan data dan informasi yang didapatkan baik dari wawancara langsung maupun literatur, c. Menganalisis revitalisasi yang terjadi di dalam sastra lisan srandul, d. Menganalisis perubahan fungsi yang terjadi dalam srandul e. Menarik kesimpulan dari semua proses kerja penelitian, dan f. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian. 1.8. Sistematika Penulisan Penyajian hasil penelitian terhadap sastra lisan srandul disusun dalam beberapa bab, selanjutnya bab-bab terdiri atas beberapa sub bab. Adapun sistematika penyajian dalam penelitian ini adalah:
41
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi transformasi teks sastra lisan srandul, yaitu: srandul versi lama, Srandul Sedya Budaya Rukun dari Dukuh Plempoh, dan Srandul Suketeki dari Dukuh Karangmojo. Bab III berisi tentang gambaran umum masyarakat di dukuh Plempoh, kondisi di Situs Ratu Boko, gambaran umum masyarakat dukuh Karangmojo, dan perubahan konteks sosial yang ada di Dukuh Plempoh dan Dukuh Karangmojo. Bab IV berisi tentang asal usul srandul dan dinamikanya dari masa ke masa. Dalam bab ini akan dijelaskan dari awal kemunculan srandul, posisinya di masyarakat, hingga pasang surut yang terjadi di dalam Srandul sejak kelahirannya hingga saat ini. Bab V berisi tentang hasil penelitian yang menjabarkan bentuk revitalisasi (perubahan akan diamati dengan pembagian berdasarkan kriteria Finnegan yaitu composition, transmission, dan performance) dan perubahan fungsi yang terjadi dalam masyarakat, sekaligus mendeskripsikan perubahan konteks sosial masyarakat yang mempengaruhi revitalisasi sehingga melahirkan penilaian oleh masyarakat, apakah sastra lisan srandul masih layak untuk dipertahankan atau sudah waktunya untuk ditinggalkan. Bab VI berisi Simpulan dan Saran