BAB I PENDAHULUAN
1.1. ALASAN PEMILIHAN JUDUL 1.1.1. Aktualitas Fenomena yang ada di dalam melihat keberadaan Pekerja Rumah Tangga (PRT) awalnya dengan memberi label bahwa mereka hanya seorang pembantu. Bergesernya makna dari kegiatan yang dikerjakan, yaitu dari sekedar membantu menjadi melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga maka istilah PRT dirasa pas untuk menyebut tenaga kerja domestik tersebut. Didukung dengan adanya upaya penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT semakin meyakinkan bahwa keberadaan PRT tidak boleh dianggap sebelah mata. Hal ini tentunya sejalan dengan anggapan rendah yang melekat apabila seorang PRT hanya dipanggil sebagai pembantu. Budaya tidak lepas dari keberadaan PRT di Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Tidak diketahui persisnya tahun berapa keberadaan pembantu yang kini disebut PRT mulai ada. Banyak sekali sebutan untuk PRT di zaman dahulu. Diawali dengan sejarah mengenai perbudakan yang berasal dari rampasan perang. Sebutan abdi yang identik dengan masa kerajaan. Pada masa itu memang sudah ada bagian peran kerja untuk para abdi, termasuk pekerjaan yang terkait dengan pekerjaan domestik. Hingga kini pada perkembangannya, gaya hidup modern dengan jam kerja yang tinggi seakan
1
melestarikan kebutuhan terhadap orang lain untuk membantu pekerjaan domestik. Sejarah PRT yang terkait dengan budaya tersebut semakin meyakinkan bahwa budaya juga masuk di dalamnya. Budaya untuk patuh terhadap yang berkuasa seakan menimbulkan sikap untuk mengabdi. Di budaya Jawa, sikap mengabdi tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Baik kepada orang yang dituakan atau orang yang dianggap berkuasa. Adanya status yang berbedabeda di masyarakat membuat munculnya perbedaan antara si kuat dan si lemah, si kaya dan si miskin. Tak khayal dengan adanya perbedaan tersebut, mengakibatkan adanya keinginan bagi mereka yang berada di status rendah untuk bisa mengubah keadaan menjadi bagian dari kelompok status yang tinggi. Keadaan tersebut ada yang ditempuh dengan cara ekonomi, seperti bekerja keras untuk menaikkan taraf ekonomi. Ada juga yang melalui cara sosial, berguru kepada orang yang memiliki nilai lebih, baik dalam hal materi maupun keterampilan. Menurut Sudadi (2006) di dalam jurnal “ Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Anak dalam Budaya Ngenger” (2011) derajat dan pangkat merupakan suatu posisi penting dalam struktur sosial pada masyarakat Jawa, karena kekuasaan itu adalah suatu hal yang agung. Istilah ngenger muncul ketika adanya mitos untuk meraih derajat dan pangkat dapat ditempuh dengan berguru kepada orang lain. Berguru di sini bukan dalam artian sempit yaitu melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun lebih kepada mencari pengalaman hidup kepada orang lain.
2
Fenomena budaya ngenger ini terus dipelihara dan berkembang. Meskipun keberadannya sudah semakin tertutupi dengan keberadaan PRT. Tetapi tidak begitu saja dapat melenyapkan keberadaan ngenger. Di daerah perkotaan dan pinggiran memang identik dengan PRT, namun tidak menutup kemungkinan bahwa keberadaan ngenger juga dapat ditemukan dalam keseharian. Tetap menjaga keutuhan nilai di dalam ngenger, ataupun dengan mengubah makna di dalam ngenger tersebut. Keberadaan budaya ngenger yang diiringi dengan perkembangan zaman, harus dipastikan adanya kesesuaian dengan tujuan sebenarnya dari budaya tersebut yang secara tidak langsung dapat berkaitan dengan memberikan penghidupan yang layak. Pada dasarnya ngenger dapat dianggap sebagai sebuah perlindungan yang dilakukan oleh sesama masyarakat. Sehingga penelitian ini melihat hubungan dari penerima ngenger dan anak ngenger dalam hubungan patron client pada masa yang sudah modern ini.
1.1.2. Orisinalitas Pekerjaan PRT maupun Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) sudah sering kali dilakukan penelitian untuk menelaah lebih jauh fenomena apa yang berada di dalam pekerjaan tersebut. Seperti penelitian dengan judul BungaBunga di atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia yang dilakukan oleh ILO bekerja sama dengan berbagai kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan jurusan Kesejahteraan Sosial UI pada tahun
3
2004. Penelitian ini menggambarkan bagaimana kondisi pekerjaan dan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh PRTA. Realita-realita yang dialami oleh PRTA dijabarkan di dalam penelitian. Penelitian dilakukan dengan tujuan menggambarkan secara nyata keadaan sebenarnya di dalam dunia kerja PRTA. Di dalam penelitian ini tidak selalu bayangan PRTA menjadi momok yang menyeramkan karena ada beberapa fakta yang menyampaikan bahwa PRTA dapat memiliki kehidupan yang lebih baik. Sehingga dari penelitian ini dapat diambil pelajaran untuk melahirkan kebijakan-kebijakan demi memberikan perlindungan kepada PRTA. Terkait budaya ngenger dan kaitannya dengan PRTA, sejauh ini peneliti hanya menemukan adanya tulisan singkat dengan bahasan tersebut. Tulisan yang ada yaitu berkisar kepada pendapat maupun kajian singkat. Wicaksono (2011) membahas ngenger dengan judul Dilema Perlindungan Hak Pekerja Rumah Tangga Anak dalam Budaya “Ngenger”. Wicaksono membahas mengenai kegamangan di dalam mewujudkan hak-hak yang harus diperoleh PRTA. Adanya budaya ngenger menjadi dilema yang membingungkan. Ketika seorang anak yang ngenger melakukan pekerjaan yang sama dengan yang dilakukan oleh PRTA, di situ kebingungan terjadi. Di dalam tulisan tersebut juga digambarkan beberapa penolakan yang dilakukan ketika ngenger disebut sebagai PRT. Dari tulisan tersebut dapat menjadi pertimbangan hendaknya tidak secara prematur mengatakan ngenger sebagai sebuah tindakan menyalahgunakan tenaga kerja anak. Diperlukan penelitian lebih
4
lanjut untuk melihat bagaimana sebenarnya keberadaan budaya ngenger di kehidupan masa kini, karena dari sejarah awalnya, ngenger tidak muncul dengan tujuan menjadikan anak yang ngenger sebagai PRTA. Untuk pembahasan mengenai relasi patron client, peneliti menemukan sebuah tulisan Ahimsa (1988) membahas Relasi Patron Client di dalam masyarakat Sulawesi Selatan dengan judul Minawang, Hubungan Patron – Klien di Sulawesi Selatan. Dalam penelitian tersebut, Ahimsa menggunakan konsep patron client yang dimiliki oleh Scott. Ahimsa menggambarkan di dalam Minawang sangat terlihat jelas hubungan patron client di dalamnya. Cerita mengenai bagaimana hubungan antara karaeng dengan anakaraeng di dalam Minawang menggambarkan bahwa hubungan di antara mereka saling membutuhkan. Hubungan karaeng dengan anakaraeng bukanlah hubungan yang kaku dan bersifat seumur hidup. Hubungan yang disebut Minawang tersebut pada akhirnya terlihat bahwa kedua belah pihak baik patron dan client dapat menghentikan hubungan keduanya, apabila dirasa sudah tidak lagi saling memberi manfaat. Budaya ngenger yang dikatakan erat kaitannya dengan PRTA. Kemudian budaya ngenger yang dikatakan sebagai dilema perlindungan di dalam dunia PRTA menjadi sebuah tantangan bagi peneliti untuk melihat langsung di lapangan bagaimana sebenarnya hubungan yang ada di dalam budaya ngenger. Hubungan patron client menjadi hubungan yang bagi peneliti terlihat di dalam budaya ngenger, antara anak ngenger dan orang tua
5
penerima ngenger. Sehingga penelitian dengan judul Cerita Dua Keluarga di dalam Budaya Ngenger yang dilakukan oleh peneliti merupakan penelitian baru.
1.1.3. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Kelayakan kerja menjadi salah satu perhatian utama bagi jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Perkembangan dalam melakukan kajian terhadap fokus kelayakan kerja terus digiatkan. Masih banyak pekerjaan bersama dalam mewujudkan konsep kelayakan kerja, baik berupa perlindungan sosial, peluang kerja, kebebasan di dalam bekerja, bekerja secara produktif, kesetaraan dalam bekerja maupun pengakuan di dalam bekerja. Pada kenyatannya konsep kelayakan kerja yang ada, belum tentu bisa dipraktikkan di seluruh wilayah Indonesia. Dalam penelitian ini fokus terhadap hubungan yang terjalin pada ngenger yang ada di dusun Babadan dan muncul sebagai hubungan patron client. Pada akhirnya akan merujuk kepada kebijakan yang dilahirkan dari kacamata negara industri belum tentu dapat diterapkan pada negara lain, terutama yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga konsep kelayakan kerja, menjadi salah satu contoh dari konteks yang menjadikan ngenger sebagai fenomena yang menarik. Pembantu kini sudah bergeser istilahnya menjadi Pekerja Rumah Tangga. Dengan kebijakan tersebut, beberapa budaya yang ada di Indonesia dianggap menjadi penghambat di dalam mewujudkan hak PRT, terdapat
6
ketidaksesuaian pemahaman budaya yang ada. Menganggap hanya dari satu sudut pandang salah satu pihak yang terlibat di dalam budaya yang ada sebagai seorang pekerja. Dapat menimbulkan anggapan yang sangat berbahaya jika selanjutnya dijadikan sebagai bahan acuan untuk merumuskan suatu kebijakan. Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, masalah sosial yang ada dibahas dari berbagai sudut pandang. Tidak hanya dengan pandangan-pandangan normatif saja, tapi dapat dengan cara menguak kenyataan yang sebenarnya di dalam suatu budaya. Sehingga tidak langsung memberi label realita tersebut sebagai sebuah masalah yang harus dihapus. Studi dengan kajian penelitian ini sejalan dengan fokus yang juga dilakukan oleh jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.
1.2. LATAR BELAKANG MASALAH Pekerja Rumah Tangga (PRT) awalnya dikenal dengan istilah pembantu, helper not worker. Menurut penelitian ILO, PRT membuat pekerja lain (majikan yang mempekerjakan PRT) dan keluarganya mampu meningkatkan standar hidup mereka dengan melakukan perawatan terhadap rumah-rumah mereka dan para anggota rumah tangga (anak-anak, orang lanjut usia, orang sakit dan orang cacat). PRT melaksanakan perawatan rumah tangga yang banyak dibutuhkan sehingga memungkinkan kaum perempuan di dalam rumah tangga menjadi atau terus aktif secara ekonomi. Mengingat jika tidak ada peran PRT, memungkinkan biaya-biaya
7
yang berlipat karena dibutuhkannya jasa yang disewa untuk perawatan rumah tangga (laundry, catering, penitipan anak, panti jompo dan lain-lain). Pekerja rumah tangga di Indonesia seringkali dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga sehingga masih aneh untuk mengatakan mereka sebagai pekerja. Di sini menimbulkan keengganan untuk membawa hubungan antara PRT dengan majikan tersebut ke arah yang formal. Berdasarkan dengan hubungan paternalisme, yaitu hubungan yang mendasari dengan sikap melindungi, memberi kecukupan hidup di dalamnya termasuk makan, tempat tinggal, pendidikan dan uang saku. Masyarakat Jawa mengenal PRT dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Jawa ngoko, PRT dikenal dengan istilah batur atau rewang. Sedangkan dalam bahasa Jawa krama inggil dikenal dengan sebutan abdi. Batur dan rewang sendiri dapat diartikan sebagai teman (sahabat). Sedangkan abdi lebih merujuk kepada hamba atau bawahan. Keberadaan PRT dianggap sebagai teman yang membantu dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga, konteks hubungan yang ada adalah dominan, terdapat semacam ikatan kekeluargaan yang melandasi. Biasanya sebelum diterima, seorang batur, rewang ataupun abdi dinilai terlebih dahulu bagaimana sikap dan sifat yang dimiliki, karena akan menjadi bagian atau dianggap sebagai anggota keluarga. Istilah lain juga muncul apabila PRT bekerja di keluarga non pribumi, mereka biasa disebut sebagai babu atau bedinde. Dahulu nilai PRT dilihat dari status atau tingkat sosial-ekonomi dan derajat dari keluarga yang mempekerjakannya, (Santosa, 1999). Fenomena pekerja rumah tangga anak (PRTA) muncul di dalam permasalahan keberadaan pekerja rumah tangga (PRT). PRTA masuk ke dalam sektor pekerjaan
8
domestik. Tahun 2002 ILO dan FISIP UI (jurusan Kesejahteraan Sosial) melakukan survei, jumlah PRTA mencapai 688.132 jiwa atau 34,82% dari jumlah total 2.593.399 jiwa PRT yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari penelitian tersebut dapat terlihat bahwa keberadaan PRTA pada umumnya hanya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, yaitu SD (Sekolah Dasar). Anak-anak tersebut berasal dari daerah pedesaan dan berlatar belakang keluarga miskin. Sehingga mereka diharuskan berperan sebagai penyumbang dalam pembiayaan kebutuhan keluarga. Pekerjaan menjadi PRTA, menjadi pilihan yang tepat karena pada pekerjaan ini tidak memerlukan kualifikasi tingkat pendidikan yang tinggi. Selain itu pekerjaan yang dilakukan berkisar pada pekerjaan rumahan (domestik), mencuci, memasak, membersihkan rumah dan lainlain. Anggapan pekerjaan yang bersifat rumahan ini, bisa saja menimbulkan pelanggaran hak asasi kepada para pekerja rumah tangga anak yang ada. Jam kerja yang tidak jelas, tidak adanya kontrak kerja yang rinci, tidak ada standar upah yang pasti dan tidak adanya hari libur, memungkinkan PRTA dapat merasakan eksploitasi. Hal ini tentunya bisa saja membayangi kehidupan para PRTA dalam kesehariannya, namun tetap tidak menutup kemungkinan seorang PRTA dapat memiliki majikan yang baik dan bertanggung jawab. Sehinga dirasa tidak bermasalah menjadi PRTA. Dengan tekanan ekonomi yang tinggi, sedikit banyak dapat mempengaruhi seorang PRTA dalam menentukan dimana dia akan bekerja. Mungkin saja ketika keadaan mendesak, maka seorang PRTA mau tidak mau harus menerima ditempatkan di tempat yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginannya.
9
“ Saya bangun pukul 4 pagi. Kemudian saya memasak sarapan, bersih-bersih dan mencuci mobil,’’ Kartika (bukan nama sebenarnya), 17 tahun. (sumber: ILO Jakarta.Edisi Khusus tentang Pekerja Rumah Tangga. Pekerja Rumah Tangga Anak. April 2010)
Kartika merupakan salah satu contoh pekerja rumah tangga anak yang juga harus bekerja keras setiap harinya demi melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain melakukan pekerjaan rumah tangga, Kartika juga harus menghadapi pelecehan seksual dari majikan laki-laki di tempat dia bekerja. Sayangnya pekerja rumah tangga anak yang dalam hal ini dilihat dari kasus Kartika, dia menemukan keadaan yang sulit untuk melawan majikan atau bahkan pergi meskipun berada di bawah ketakutan akan terjadinya pelecehan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menunjukkan pekerjaan rumah tangga anak bisa saja menjadi sebuah bidang pekerjaan yang berbahaya bagi anak-anak (ILO, 2010). Berbeda dengan pengalaman Sumi, seorang anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat lebih lanjut (SLTA) karena keterbatasan ekonomi orang tua. Ayahnya seorang penjual buah-buahan dan ibunya menjadi ibu rumah tangga. Orang tua Sumi harus menghidupi tujuh orang anak termasuk Sumi. Dengan keadaan seperti itu, Sumi akhirnya menerima tawaran kakaknya untuk menjadi pekerja rumah tangga di usianya yang masih 15 tahun. Setelah dua kali berpindah tempat kerja, Sumi sampai kepada majikan yang pada akhirnya berperan sebagai pengubah keadaan dia menjadi lebih baik. Di keluarga ini, pekerjaan yang dilakukan Sumi dirasa tidak terlalu berat. Meskipun dia juga pernah dimarahi apabila pekerjaannya tidak beres
10
atau tidak memperhatikan anak majikan dengan benar. Kedatangan pekerja sosial dari Sanggar Puri memberi angin segar untuk Sumi bisa mengikuti kursus menjahit. Berbekal dari ijin sang majikan, Sumi mengikuti kursus dengan lancar. “ Sumi masih muda dan mempunyai masa depan yang panjang. Jangan sampai dia selamanya menjadipembantu terus. Satu hari, Sumi harus punya kehidupan sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain.” Majikan Sumi. (sumber: Bunga-bunga di atas Padas: Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia, 2012)
Dukungan dari keluarga majikan dan berbekal sertifikat dari Sanggar Puri, Sumi mendaftar menjadi helper di salah satu perusahaan konveksi untuk mengerjakan pembuatan pola. Majikan Sumi tidak serta merta langsung memecatnya. Bahkan memberikan keleluasaan untuk tetap bekerja di rumahnya dengan menyesuaikan jam kerja Sumi di perusahaan konveksi. Sehingga Sumi dapat lebih membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini Sumi mendapatkan majikan yang baik dan mendukungnya untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kasus Sumi menjadi salah satu bukti bahwa pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga memang tidak selalu identik dengan kasus eksploitasi (ILO, 2012). Tidak dapat dikatakan bekerja selalu merusak kehidupan seorang anak. Satu sisi dengan bekerja maka waktu bermain dan belajar seorang anak dapat berkurang. Di sisi lain dengan bekerja seorang anak tersebut dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga mampu bertahan atau memperbaiki kondisi kehidupannya. Salah satu alasan keberadaan PRTA secara tidak langsung muncul dengan alasan yang
11
rasional, yaitu keadaan ekonomi yang mendesak. Rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh orang tua, menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak tersebut menjadi seorang PRTA. Keadaan dimana ada majikan yang menyambut keberadaan mereka seakan menjadi sebuah jawaban. Anak-anak tersebut membantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Alasan yang umum di tengah keadaan negara yang masih belum mampu memberikan penghidupan yang seutuhnya kepada rakyatnya. Memberi perlindungan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Perlindungan juga tidak harus dilakukan secara formal dan terlembaga. Jika menengok ke beberapa daerah yang ada di Indonesia. Budaya-budaya di setiap daerah memiliki payung sendiri untuk memberikan pelindungan kepada masyarakatnya. Seperti contoh kebudayaan Minangkabau dengan istilah anak dipangku kamanakan dibimbiang. Dalam budaya Minang dikenal dengan istilah Mamak. Mamak disini adalah saudara laki-laki dari ibu, baik kandung maupun saudara laki-laki yang memiliki hubungan darah yang jauh. Adat Minang memberikan kedudukan dan sekaligus kewajiban yang lebih berat kepada mamak dari pada kewajiban ibu. Adat mewajibkan mamak harus membimbing kemenakan, mengatur dan mengawasi pemanfaatan harta pusaka. Secara tradisional tanggung jawab ayah terbatas, karena urusan rumah tangga dan anak dilakukan oleh ibu dan pengaturan harta pusaka dan pembimbingan serta pengawasan anak-anak dilakukan oleh mamak. Tolong menolong erat kaitannya dengan pemberian (Mauss, 1992). Tidak ada pemberian yang cuma-cuma. Pemberian bukanlah sekedar pemberian oleh seseorang
12
kepada yang lainnya, tetapi suatu tukar-menukar pemberian yang dilakukan oleh dua orang atau kelompok yang saling memberi dan mengimbangi. Pada masyarakat dahulu apa yang saling dipertukarkan, dilihat sebagai prestasi yaitu nilai barang menurut sistem-sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukannya nilai harfiah dari barang pemberian tersebut. Ketika masyarakat sudah bergeser dengan menilai dari aspek ekonomi, maka aspek lainnya mulai tergeserkan seperti aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Masyarakat modern melihat pemberian murni merupakan suatu kesatuan kegiatan tukar menukar prestasi yang terpisah dari tukar menukar secara ekonomi. Hal inilah yang bisa dilihat ketika zaman sudah modern. Semua hal hampir selalu dikaitkan dengan nilai uang, maka orang semakin merasa dirinya telah memberikan uang dan mengharapkan pemberian timbal balik yang lebih dari apa yang dia berikan. Dalam kasus pekerja rumah tangga, ada oknum majikan yang merasa sudah memberikan kewajibannya sehingga menuntut hak yang harus didapatkan. Sayangnya penuntutan hak ini kadang menimbulkan masalah bagi pekerja rumah tangga. Mereka seakan merasa dipekerjakan dengan semena-mena atau dengan kata lain dieksploitasi. Inilah yang menjadi permasalahan saat ini. Ketika adanya perasaan memiliki karena sudah memberikan uang namun tidak didukung dengan standar pekerjaan yang jelas maka kasus eksploitasi akan menjadi kasus yang akan selalu mengiringi sektor pekerjaan rumah tangga. Ngenger yang sudah ada sejak lama, didasari dengan rasa ikhlas mengikuti keluarga lain agar mendapatkan penghidupan yang layak dan juga mendapatkan ilmu-
13
ilmu sebagai bekal kehidupan kelak. Ngenger di dalamnya tidak mengenal yang namanya gaji ataupun upah. Anak ngenger secara ikhlas memberikan dirinya kepada orang tua penerima ngenger untuk dididik serta diarahkan sesuai dengan latar belakang yang dimiliki. Apa yang diharapkan oleh seorang anak ngenger, tidak selalu dapat sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Hal tersebut tidak berpengaruh di dalam proses ngenger, karena kembali lagi ke rasa ikhlas dari seorang anak untuk menerima pelajaran dan pengalaman yang akan diberikan nantinya. Pada ngenger pola hubungan yang tergambar dari kedua pihak antara anak ngenger dengan orang tua yang menerima ngenger salah satunya dapat digambarkan secara patron client. Scott menggambarkan bahwa patron client adalah hubungan antara pihak patron dan pihak client yang sama-sama saling membutuhkan. Ketika pihak patron berkuasa dan memiliki kuasa maka dia membutuhkan pihak client sebagai pihak yang dikuasai. Dalam hal ini patron memberikan kuasanya agar client merasa dilindungi dan berada di dalam naungannya. Sedangkan client merasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah diberikan oleh patron sehingga secara sadar dia memberikan timbal balik kepada patron berupa tenaga pribadinya atau pengabdian sebagai sebuah bentuk pemberian. Patron sendiri adalah pihak yang memiliki status sosia-ekonomi yang lebih tinggi atau yang memiliki sumberdaya lebih dibanding orang lain. Client dimaksud dengan pihak yang terbatas mengakses sumber daya dan tidak memiliki status sosia-ekonomi yang tinggi. Di dalam hubungan patron client tergambar dari hubungan yang sama-sama memiliki
14
kesepakatan dasar yang sekiranya dapat diberikan oleh kedua belah pihak, dimana hubungan tersebut berkaitan dengan hubungan sosial masing-masing. Anak ngenger dengan orang tua penerima ngenger, dalam penelitian ini digambarkan sebagai patron client. Orang tua penerima ngenger sebagai patron, sedangkan anak ngenger sebagai client. Orang tua penerima ngenger memiliki status sosia-ekonomi yang lebih tinggi dan memiliki sumber daya yang lebih dibanding dengan anak ngenger. Sehingga hubungan ngenger ini terjalin secara sadar antara keduanya dan memiliki konsekuensi yang akhirnya akan menghasilkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Ketika sedang menjalankan ngenger, anak ngenger memiliki konsekuensi menjalani apa yang diarahkan oleh orang tua penerima ngenger. Sedangkan orang tua penerima ngenger akan memberi balasan dengan pemberian penghidupan maupun dengan cara mengajarkan nilai-nilai yang kelak akan berguna terhadap kehidupan anak ngenger. Menilik kembali kepada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh ILO terkait tenaga kerja. Salah satu kebijakan yang dilahirkan adalah sebuah konsep mengenai kelayakan kerja. Konsep itu sendiri lahir dari latar belakang negara yang identik dengan kegiatan industri dan keberadaan pekerja formal. Sedangkan di Indonesia keberadaan pekerja informal mudah ditemukan. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan tenaga kerja untuk masuk di lapangan kerja formal. Upah yang identik di bawah standar, jam kerja yang tergolong panjang, tidak terdapatnya jaminan untuk dapat terus bekerja menjadi beberapa karakteristik dari pekerja informal. Pekerja yang bekerja di sektor kecil atau biasa disebut usaha rumah tangga
15
tidak selalu menunjukkan penderitaan. Mengingat bekerja di sektor informal dirasa lebih baik dibandingkan apabila sama sekali tidak bekerja. Indonesia dengan latar belakang banyaknya budaya yang dimiliki, mengikutsertakan orang-orang yang berperan di dalamnya masuk ke dalam kelompok pekerja informal. Konteks kelayakan kerja menjadi salah satu contoh dari konteks yang menjadikan ngenger sebagai hal yang menarik. Dalam satu negara saja, seperti Indonesia, masyarakat yang ada memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dari sisi geografi, ekonomi maupun budayanya. Kemudian muncul permasalahan bahwa tidak selamanya apa yang dikeluarkan oleh ILO dengan kacamata yang dianggap merujuk ke negara Barat dapat sesuai dengan budaya Timur seperti yang ada di Indonesia. Berbagai pihak akan memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat konsep kelayakan kerja pada negara yang memiliki latar belakang budaya. Akan ada pandangan bahwa budaya dapat menjadi penghambat di dalam mewujudkan kelayakan kerja, namun ada juga yang melihat bahwa peranan budaya di dalam pekerjaan dapat dikatakan sebagai bentuk kelayakan kerja dengan keunikannya sendiri.
Itu
semua
sebenarnya
kembali
dari
persepsi
orang-orang
yang
memandangnya.
1.3. RUMUSAN MASALAH Bagaimana relasi patron client antara anak ngenger dan orang tua penerima ngenger?
16
1.4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: a.
Untuk menggali hal-hal yang ditemukan di dalam praktik budaya ngenger
b.
Untuk mengetahui relasi patron client di dalam praktik budaya ngenger
1.5. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah: a.
Melihat praktik ngenger yang sebenarnya terjadi
b.
Memberikan gambaran bagaimana relasi patron client yang ada di dalam praktik ngenger
c.
Memberikan kontribusi dan referensi pada penelitian selanjutnya dalam kajian ngenger dan patron client.
1.6. KERANGKA PIKIR a. Budaya ngenger Kamus Bahasa Jawa Jilid I, Bausastra Jawa-Indonesia oleh S. Prawiroatmojo mendefinisikan ngenger yaitu mengabdi, menghamba. Kata lain yang bermakna sama dengan kata ngenger yaitu suwita. Suwita di dalam Kamus Bahasa Jawa Jilid 2, didefinisikan menghamba, mengabdi. Nyuwita dalam buku Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau : Studi
17
tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX oleh Soemarsadi Moertono mengatakan bahwa sebelum mendapatkan kedudukan dalam jenjang birokrasi, seorang anak muda harus menempuh pendidikan yaitu yang pertama nyuwita (mengabdi) dan yang berikutnya magang (membantu). “sebagai anak laki-laki yang berumur dua belas sampai lima belas tahun ia harus nyuwita, mengabdi pada satu keluarga, biasanya keluarga yang lebih tinggi kedudukannya. Ia mungkin bisa melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh pelayan seperti menyapu lantai atau mengambil air, tetapi pada hakekatnya nyuwita, selalu pertama-tama belajar dengan cara mengalami sendiri kehinaan dan kesulitan yang terdapat dalam kedudukan rendah dan yang kedua belajar dengan cara mengamati seluk-beluk tata krama di lingkungan yang lebih tinggi. Ia diharapkan juga akan memperoleh ketrampilan profesional (seperti menulis, membaca, menunggang kuda, menggunakan senjata) dan ketrampilan dalam kesenian (terutama kesusastraan, seni tari dan musik)”
Nyuwita dengan ngenger memiliki makna yang sama seperti di dalam kutipan di atas yaitu penerapan sebuah konsep pendidikan dengan cara mengabdi pada suatu keluarga, biasanya pada keluarga yang kedudukan sosialnya lebih tinggi. Keluarga yang disuwitani atau dingengeri bisa dari hubungan kerabat tetapi tidak menutup kemungkinan berasal dari keluarga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sama sekali. Menurut Sulistya (2006) di dalam ngenger, seorang anak sering diakui sebagai saudara, dibantu dan tidur serumah dengan keluarga yang diikutinya tersebut. Seorang anak belajar secara langsung dan melihat, mendengar dan mencoba melakukan apa
18
yang diajarkan pendidik. Ditinjau dari prosesnya, ngenger tidak terdapat pola yang sistematis dalam perencanaan pembelajaran, tidak terdapat tuntutan formal kriteria pendidikan seperti usia, pungutan biaya, ijazah, maupun latar belakang pendidikan para pendidiknya, sehingga terkesan pendidikan ini tidak resmi atau informal. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan yang tepat untuk anak berusia 14-21 tahun adalah dengan cara laku dan nglakoni. Ngenger sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah kata dalam bahasa Jawa yang merujuk pada jasa rumah tangga seorang anak yang dilakukannnya dalam rumah keluarga lain (yang biasanya lebih kaya/memiliki status lebih tinggi); budaya ini berakar pada kebiasaan di zaman feodal (Human Rights Watch, 2012). Ngenger dapat saja diyakini sebagai sesuatu yang tertanam di dalam jiwa raga, akal pikiran dan hatinya, bahwa semua yang dilakukan oleh anak ngenger untuk kebaikan masa depan, sehingga apapun tugas yang diberikan akan diterimanya dengan penuh kesabaran dan dilakukan dengan senang hati. Ngenger dipercaya sebagai sebuah bentuk pembelajaran bagi seorang anak. Ngenger digunakan oleh beberapa masyarakat Jawa untuk meraih derajat dan pangkat. Beberapa tokoh yang dianggap erat dengan ngenger adalah Presiden ke dua Indonesia Soeharto, Prabu Damarwulan (sebelum menjadi Raja Brawijaya) dan tokoh wayang Sumantri Ngenger. Ngenger di dalam Bunga-Bunga di Atas Padas (ILO, 2004), merupakan sebuah tradisi masyarakat Jawa yaitu berupa anak keluarga kurang mampu kemudian dititipkan ke kerabat atau keluarga besar yang lebih mapan,
19
dapat pula pada yang tidak ada hubungan keluarga namun memiliki komitmen. Tujuan ngenger sendiri adalah anak ngenger ditanggung seluruh biaya hidupnya dan pendidikannya untuk masa depan yang lebih baik, imbalannya anak tersebut harus membantu pekerjaan rumah tangga. Suwita yang merupakan sistem hubungan antara pelindung dan yang dilindungi dalam budaya Jawa, abdinya seorang priayi, pembesar kerajaan. Suwita ini yang menjadi dasar awalnya ngenger, sebagai perwujudan lembaga pendidikan selain sekolah, didalamnya merupakan proses perwujudan pembelajaran, latihan dan penggemblengan jiwa. Ngenger dianggap bukanlah PRTA, karena didasari dengan alasan untuk ikut belajar dan mencari penghidupan yang layak dari orang yang diikutinya. Tidak ada perjanjian bahwa anak ngenger akan menjadi PRTA. Berdasarkan hanyalah sebuah bakti dari anak ngenger untuk ikut membantu pekerjaan dari keluarga yang dia tumpangi hidup. Perbedaan lainnya adalah adanya rasa komunalisme yaitu berupa rasa suwita yaitu sistem hubungan antara pelindung dan yang dilindungi di dalam budaya Jawa. Selain itu ngenger dianggap bukan PRTA tujuannya bertolak belakang dengan mencari upah dan didasari rasa percaya bahwa setiap orang didasari sikap saling tolong menolong. Ngenger adalah kata dalam Bahasa Jawa yang merujuk kepada praktik-praktik adat di pulau Jawa di mana seorang anak tinggal di rumah seorang saudara jauh atau terkadang seseorang yang bukan keluarga jauh, tetapi dianggap bagian dari keluarga. Secara tradisional, anak ini berasal dari
20
keluarga yang kurang mampu dan keluarga penerima akan membiayai sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Sebagai imbalan dan sebagai ungkapan terima kasih, anak yang bersangkutan akan melakukan beberapa bentuk kerja rumah tangga (Human Rights Watch, 2009). “(Dalam) kebudayaan kami (Jawa), ini disebut ngenger. Kalau (anak-anak) bekerja di sebuah rumah, mereka dianggap oleh majikan-majikan mereka sebagai anak sendiri dan disekolahkan sebagai imbalan mereka bekerja di rumah itu. Kadang mereka tidak mendapatkan gaji karena majikan mereka menyediakan makanan dan akomodasi.” (Sumber: Human Rights Watch, 2004)
Di atas merupakan petikan wawancara yang diperoleh dari tulisan Human Rights Watch. Wawancara tersebut dilakukan pada tahun 2004 bersama dengan Rachmat Sentika yang waktu itu menjabat sebagai Deputi Bidang Perlindungan dan Kesejahteraan Anak, Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dalam budaya Jawa, “ngenger” merupakan suatu cara masyarakat untuk mendidik anaknya menghadapi masa depannya. Hal ini sudah dipercaya dari generasi ke generasi bahkan sampai sekarang kepercayaan akan budaya “ngenger” ini masih melekat dalam masyarakat maupun pemerintah. Praktik ngenger dilihat sebagai sebuah bentuk dari kesadaran kolektif yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Kesadaran untuk membantu sesama dengan menggunakan media budaya di dalamnya. Menganggap seorang anak menjadi saudara sendiri dan berusaha sebisa mungkin mengajarkan serta
21
berbagi pengalaman yang dimiliki. Dalam perjalanannya dapat ditemukan beberapa kondisi yang sekiranya dapat dijadikan sebagai modal untuk kehidupan selanjutnya.
b. Patron Client di dalam Budaya Ngenger Hubungan patron client dalam struktur sosial bagi Scott ditandai dengan adanya perbedaan kepemilikan terhadap penguasaan atas kedudukan (status), kekuasaan dan kekayaan dari sistem stratifikasi yang mendasari pertukaran vertikal yang terjadi. Proses hubungan yang asimetris diantara keduanya kemudian tercipta hubungan timbal balik yang bersifat resiprokal (saling menguntungkan). Patron memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan client dan client harus memberikan kesetiannya kepada patronnya. Orang tua penerima ngenger sebagai patron dan anak ngenger sebagai client. Dalam hal ini, orang tua penerima ngenger memiliki tanggung jawab untuk membantu anak ngenger demi mencapai kehidupan yang baik. Segala kebutuhan anak ngenger sedemikian rupa dipenuhi. Imbalan bagi orang tua penerima ngenger dalam hal ini yang berperan sebagai patron adalah kesetiaan yang diberikan oleh anak ngenger. Rasa bakti ini menjadi timbal balik dari apa yang telah diberikan oleh orang tua penerima ngenger. Harapan untuk saling menguntungkan baik secara ekonomi maupun sosial diantara keduanya dilakukan melalui kesepakatan. Pola kesepakatan menjadi salah satu pengikat hubungan antara patron dan client. Menyepakati apakah yang
22
menjadi kewajiban dan hak baik bagi orang tua penerima ngenger dan anak ngenger. Tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara informal yaitu dengan cara disosialisasikan dalam masyarakat melalui nilai-nilai sosial (Scott, 1993). Hubungan patron client antara orang tua penerima ngenger dan anak ngenger menjadi sebuah hubungan yang berasal secara informal dan nilai ini kemudian tersebar dan tersosialisasikan dalam masyarakat. Pola hubungan patron client merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan client dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior) dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior) (Scott, 1983). Orang tua penerima ngenger berasal dari kedudukan yang lebih tinggi. Baik dinilai dari keadaan ekonomi maupun status sosial. Scott (1972) seperti yang dikutip oleh Ahimsa (1988), patron client merupakan sebuah interaksi yang merupakan kasus khusus dari ikatan dua orang yang bersifat dikotomis dan hierarkis, antara yang lebih tinggi yaitu patron dan yang lebih rendah yaitu client. Karakteristik hubungan patron client didasarkan ketidaksamaan (inequality) dan fleksibilitas yang tersebar sebagai
sistem
pertukaran
pribadi.
Kemudian
karakteristik
tersebut
berdasarkan pada kesepakatan yang terjadi secara informal. Ketika adanya perbedaan di dalam keadaan ekonomi maupun status sosial dari orang tua penerima ngenger dan anak ngenger, menimbulkan adanya hubungan yang tidak setara. Mengingat ada pihak yang berada lebih tinggi dan pihak yang
23
berada di bawahnya. Hubungan tersebut didasari fleksibilitas di dalam hubungan ngenger. Client membutuhkan jaminan sosial dari patron karena keterbatasan yang dia miliki. Bagi client, mendahulukan keselamatan dirinya lebih penting dari apapun. Dengan adanya patron, maka client merasa aman, apabila terjadi suatu ancaman karena keterbatasan sumber daya clientnya, maka pihak client dengan mudah berlindung kepada patron. Anak ngenger yang memiliki kondisi tidak seberuntung orang tua penerima ngenger, membuat anak ngenger tersebut merasa butuh perlindungan. Orang tua penerima ngenger dalam hal ini berperan sebagai pihak yang memberikan perlindungan bagi anak ngenger, mengingat kondisi mereka yang rentan dan masih membutuhkan arahan demi kehidupan yang lebih baik. Masyarakat yang sangat miskin atau merasa sangat miskin ditandai dengan minimnya pendapatan, pilihan-pilihan politiknya sangat tergantung kepada patronnya (Mitlin, 2005). Sebagai masyarakat miskin, mereka menjatuhkan pilihan atau keputusan tentang segala hal berdasarkan pilihan patron agar mendapatkan akses pekerjaan, pemenuhan sarana atau sumber daya lainnya. “ dalam praktek, masalah sosial (ekonomi) sebagai akibat dari proses modernisasi, nampaknya masih bisa diatasi oleh lembaga „bapak-angkat‟ (patronclient) yang berlaku sesuai dengan adat atau kebiasaan setempat. Ada semacam perasaan bagi yang kaya untuk memberikan pekerjaan atau bantuan pada yang miskin. Dan perasaan untuk menolong ini pasti diberikan kepada si miskin yang senang bekerja keras. Semangat
24
sosial dan moral masih cukup menonjol di daerahdaerah yang diteliti, sehingga meskipun keadaan kehidupan cukup „sumpek‟ tokh ia tidak cenderung bersifat eksposif.” (Sumber: Sutrisno et al, 1984)
Kalimat-kalimat kutipan wawancara di atas diambil dari penelitan Studi Pengembangan Desa Pantai di Propinsi Riau (Sutrisno et al,. 1984) menjelaskan bahwa hubungan client ini masih berkisar dalam relasi sosial, namun setelah kapitalisme menggurita pada aspek kehidupan manusia termasuk hubungan patron client ini maka relasi sosial tadi berubah menjadi relasi ekonomi. Relasi ekonomi harus ada untung dan rugi, dengan keuntungan yang harus dicapai, maka upaya eksploitasi menjadi salah satu jalan utama. Selain itu, pola relasi di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, dimana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar (extended family). Bapak harus siap menyebarluaskan tanggung jawab yang dimiliki dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak politis (Jackson, 1981). Adanya sharing kekuasaan yang dilakukan dari patron kepada client. Hal ini dilakukan agar client dapat ikut merasakan apa yang dijalankan oleh patron. Meskipun tetap ada beberapa hal yang tidak bisa dibagi kepada client, namun tidak menutup kemungkinan akan adanya peningkatan sharing yang dilakukan nantinya seiring berjalannya proses ngenger.
25
Pergeseran nilai relasi di dalam hubungan ngenger dapat dilihat dari ambang batas menurut Scott yang menyebabkan seorang client berpikir bahwa hubungan patron client telah berubah menjadi hubungan yang tidak adil dan eksploitatif. Ambang batas tersebut dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi kultural yang melihat dari sisi ritual dan kebutuhan sosial kolektif atau kelompok dan dimensi objektif yang melihat dari pemenuhan kebutuhan dasar minimum yang berdasarkan kepuasan diri seperti lahan yang cukup, pemberian makan dan hal dasar lainnya. Ketika anak ngenger tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan dasar yang baik, namun dia tetap memberikan kesetiannya kepada orang tua penerima ngenger, maka dia kemungkinan berada di ambang batas sebuah hubungan yang tidak adil dan eksploitatif.
26