“Kebutaan” TKW-PRT: Relasi Kekuasaan Antara Majikan dan TKW Pembantu Rumah Tangga (TKW-PRT) di Malaysia Halimah Afiffah, Dra. Sulastri, M.Si Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Relasi kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT di Malaysia dapat dilihat dari dua hal. Pertama, hubungan kontraktual (formal) menyangkut hak dan kewajiban TKW-PRT. Peraturan perundang-undangan serta MoU pemerintah Indonesia dan Malaysia belum mampu melindungi TKW-PRT. Kontrak kerja yang dimanipulasi oleh agen PJTKI cenderung tidak adil bagi TKW-PRT dan menguntungkan majikan. Kedua, hubungan sosial-budaya (informal) melalui interaksi, stereotipe, budaya, dan pengalaman kerja memunculkan “zona nyaman” TKW-PRT dengan keluarga majikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua hubungan ini tanpa disadari mengeksploitasi TKW-PRT sehingga adanya kecenderungan terjadinya kesadaran palsu dengan mengorbankan pemenuhan kebutuhan dirinya. Rumah majikan merupakan area bekerja yang menyebabkan terjadinya eksploitasi dan kekerasan kepada TKW-PRT. Kondisi tereksploitasi ini dapat menimbulkan konflik antara TKW-PRT dan majikan. Akan tetapi, hubungan emosional dengan keluarga majikan dan ketergantungan terhadap gaji dari majikan menghambat TKW-PRT menuntut haknya. Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji relasi kekuasaan ini adalalah metode kualitatif dengan wawancara mendalam kepada dua orang majikan asal Malaysia dan dua orang TKW-PRT Indonesia, bertempat di Malaysia. Kata kunci: relasi kekuasaan, hubungan kontraktual, hubungan sosial-budaya, eksploitasi, kesadaran palsu, konflik
“The Blindness”: Power Relations Between The Employee and Indonesian Domestic Workers in Malaysia Abstract The power relations that occur between employee and Indonesian domestic workers in Malaysia can be seen from two aspect. First, formal relation concerning on rights and obligation of the Indonesian domestic workers. Legislative regulation and MoU of Indonesian government and Malaysia still not capable to protect the Indonesian domestic workers. Job contract which is manipulated by those agents (PJTKI) tend to be not fair for the Indonesian domestic workers and seems to be profitable for employee. Second, socio-culture (informal) relation through interaction, stereotype, culture and job experience bring out the “comfort zone” of Indonesian domestic workers with the employees’ family. This research found this two relations without realized are exploiting those maids until occurs the false consciousness and sacrifices their own desire/needs. Employees’ house is the working areas that cause the exploitation and violence occurs towards Indonesian domestic workers. This condition could raise the conflict between employee and Indonesian domestic workers. However, emotional relations with emplolyees’ family and dependency towards salary from employee seem to obstruct those Indonesian domestic workers to ask for their rights. The method of this research is being used to reviewing this power relation is qualitative methods by in-depth interviews on two employees from Malaysia and two Indonesian domestic workers from Indonesia placed in Malaysia. Keywords: power relations, contractual relations, socio-culture relations, exploitation, false consciousness, conflict
1
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Pendahuluan Kesepakatan kerja antara pemerintah Indonesia dan Malaysia melalui UU No. 39 Tahun 2004, Akta Tenaga Kerja, dan MoU perlindungan TKW-PRT belum mampu memberikan perlindungan bagi TKW-PRT di Malaysia. Data yang diperoleh dari Atase Tenaga Kerja KBRI Malaysia memperlihatkan bahwa kasus TKI sektor informal di Malaysia pada tahun 2012 yang dominan terjadi adalah gaji tidak dibayar (321 kasus). Eskploitasi (203 kasus), disharmoni (155 kasus) PHK sepihak (208 kasus), terlantar/illegal (163 kasus), dan keimigrasian (394 kasus). Kondisi ini menunjukkan adanya hak-hak TKW-PRT yang tidak dipenuhi oleh majikan dengan baik. Dampaknya, TKW-PRT memiliki beban psikologis dimana mereka tidak mendapatkan hak kerja seperti gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga terpaksa menanggung beban kerja yang berat. Oleh itu tidak heran jika adanya kasus TKW-PRT yang melakukan tindak kriminal terhadap keluarga majikan sebagai bentuk melampiaskan kemarahannya. Tingkat pendidikan TKW-PRT yang rendah menjadi “daya tarik” bagi agen PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) sekaligus mengakibatkan rendahnya posisi tawar mereka kepada majikan dengan gaji minimal, RM700 (Rp. 2.100.000,00). Disamping permasalahan menyangkut hubungan kontraktual (formal) seperti hak dan kewajiban, relasi kekuasaan majikan dan TKW-PRT perlu dilihat dari sisi hubungan sosial-budaya (informal). Hubungan majikan dan TKW-PRT tidak selalu berujung pada perselisihan atau relasi negatif tetapi juga relasi positif. Relasi positif ini dapat mengarah pada hubungan patron-klien dengan adanya hubungan emosional seperti afeksi dan loyalitas antara TKW-PRT dan majikan. Baik TKW-PRT maupun majikan akan saling mempertahankan relasi diantara mereka dengan menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Penerimaan sosial dari majikan membuat TKW-PRT cenderung memperoleh penghargaan, rasa hormat, dan kepercayaan. Perilaku positif majikan ini mampu memperkuat komitmen TKW-PRT untuk memperpanjang kontrak kerjanya selama beberapa tahun. Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan utama yang diajukan adalah bagaimana kondisi relasi kekuasaan yang terjadi antara majikan dan TKW-PRT di Malaysia? dan dilengkapi dengan sub-pertanyaan, yaitu: 2
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
(1) Bagaimana kondisi relasi kekuasaan yang terjadi antara majikan dan TKW-PRT secara kontraktual (formal)? (2) Bagaimana kondisi relasi kekuasaan yang terjadi antara majikan dan TKW-PRT secara sosial-budaya (informal)? Relasi kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT bersifat kontraktual (formal) dan sosial budaya (informal). Hubungan kontraktual (formal) meliputi hak dan kewajiban yang tercantum di dalam kontrak kerja. Kontrak kerja yang dibuat oleh agen PJTKI harus bersesuaian dengan aturan perundang-undangan dan MoU antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia. Hubungan sosialbudaya (informal) mencakup interaksi, stereotipe, budaya, dan pengalaman kerja TKW-PRT.
Tinjauan Teoritis Pekerjaan merupakan hasil pertentangan kelas sosial yang disebut borjuasi dan proletariat. Borjuasi adalah kelas yang terdiri dari kapitalis modern yang memiliki sarana produksi sosial dan menjadi majikan (Giddens 1987). Menurut Marx, hubungan borjuis dan proletar bukan merupakan hubungan antar benda atau pertukaran antar-benda tetapi hubungan antar manusia. Kelas berkuasa memiliki kekuatan materil sekaligus kekuatan intelektual untuk menggerakkan sumber daya yang ada. Salah satu bentuk hasil kekuasaan adalah pembagian kerja yang membedakan antara tenaga kerja pemikir (borjuis) dan yang melaksanakan gagasan-gagasan (proletariat). Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh kaum borjuis tidak hanya kapital tetapi juga jaringan atau aksesibilitas untuk mempermudah perampasan hak-hak milik rakyat termasuk hak fundamentalnya (Giddens 1987). Bagi kaum borjuis, motivasi dan tujuan utama dari sistem masyarakat adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya. Keuntungan kaum borjuis diperoleh dengan membeli tenaga buruh yang murah untuk menekan biaya produksi dan menjual hasil produksi dengan harga mahal (akumulasi modal). Sistem akumulasi modal ini berdampak pada penindasan yang terjadi pada kaum proletar. Sedangkan proletariat merupakan kelas yang terdiri dari pekerja yang tidak memiliki sarana produksi dan menjual tenaganya kepada kapitalis untuk mempertahankan hidupnya. Pekerjaan bagi kaum proletar memiliki dua makna; (1) memperoleh upah untuk menutup biaya hidupnya dan keluarga, dan (2) mendatangkan keuntungan atau nilai lebih bagi kaum borjuis. Pada poin pertama, dengan kata lain nilai tenaga proletar merupakan jumlah pengeluaran biaya hidupnya. 3
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Nilai lebih ini merupakan sumber keuntungan dan kemakmuran bagi kelas borjuis. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja manusia merupakan bagian dari komoditi kaum borjuis yang memiliki proporsi sama dengan barang-barang produksi. Kehadiran uang dalam hubungan proletar-borjuis ini semakin mengeratkan hubungan antar borjuis dan proletar yang tidak terpisahkan dan menyatu dalam kehidupan ekonomi. Sama halnya dengan kaum borjuis yang memiliki kapital, kaum proletar juga memiliki kekuatan tersendiri, yakni tenaga proletar. Marx (1958) berpendapat bahwa pada dasarnya proletar tidak menjual tenaga saja tetapi juga labour power atau kapasitas bekerja yang dimilikinya. Kaum proletar sendiri merupakan salah satu bagian dari kelas yang ada di masyarakat, tetapi mereka tidak bertindak seperti sebuah kelas karena terbelenggu dengan kondisi tereksplotasi dan mengakibatkan terjadinya kesadaran palsu. Kesadaran palsu (false consciousness) ini membuat kelas-kelas di dalam masyarakat penguasa atau kapitalis tidak menyadari kepentingan kelas mereka dan hak-hak individual mereka sebagai manusia. Marx berpendapat, “Tujuan bekerja proletar ini merupakan produk dari kondisi moral yang diciptakan oleh kaum borjuis sehingga pekerjaan tersebut adalah “false” dan merupakan kebutuhan atifisial, bukan alami atas kehendak diri proletar”, (Sayers 1998:48). Artinya, ia merupakan produk sosial dan historis di dalam ekonomi masyarakat yang telah terlebih dahulu dibuat oleh kaum kapitalis. Hasilnya, relasi sosial antara borjuis dan proletar merupakan relasi fundamental terjadinya konflik karena hakikatnya relasi satu arah diantara mereka membuat satu pihak tereksploitasi (proletar) oleh pihak lain (borjuis) (Watson 1997). Kondisi ini tidak dapat dihindari karena pada dasarnya di dalam masyarakat kapitalis, individu tidak memiliki pilihan lain selain mengeksploitasi atau dieksploitasi (Rossiter 960). Marx mengatakan bahwa eksploitasi ini merupakan bentuk disekuilibrium antara pekerjaan dan upah yang menyebabkan wujudnya ketimpangan kesejahteraan antara pekerja (buruh) dan majikannya (Grint 1991). Eksploitasi dan dominasi ini disebabkan oleh adanya praktik nilai lebih sehingga borjuis memperoleh keuntungan yang lebih dibandingkan proletar. Tetapi ketika proletar telah mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kesadaran palsu yang sebenarnya, dan memperjuangkan hak kelasnya (class struggle), maka borjuis terpaksa berada pada posisi mempertahankan diri.
4
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Marx berpendapat bahwa konflik terjadi akibat adanya ketimpangan distribusi sumber daya yang dikuasai oleh pihak dominan (Turner 1998). Konflik-konflik yang terjadi diantara borjuis dan proletar ini mengakibatkan rusaknya relasi diantara mereka. Kaum proletar telah menyadari kepentingan mereka dan mulai melakukan pemberontakan terhadap borjuis. Sebaliknya, Coser (1998) mengatakan semakin dekat suatu hubungan, semakin besar juga kecenderungan subordinat untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Tetapi semakin lama perasaan tersebut ditekan, maka semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri karena mungkin akan terjadi konflik yang keras ketika terlalu lama dibiarkan. Konflik-konflik ini dapat dimediasi dengan membangun komunikasi antara borjuis dan proletar.
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif untuk memberikan gambaran relasi kekuasaan majikan dan TKW-PRT di Malaysia. Studi lapangan dilakukan pada bulan Februari hingga April 2013 dengan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam dan observasi di rumah majikan. Wawancara mendalam dilakukan kepada empat informan; 2 orang majikan Malaysia dan 2 orang TKW-PRT Indonesia. Penentuan informan menggunakan teknik snowball sampling dengan mewawancara TKW-PRT dan majikan yang dianggap berpontensi memberikan informasi. Karakteristik majikan yang dipilih, yakni; 1) etnis Cina dan Melayu, 2) perempuan, 3) bekerja di sektor publik, 4) berdomisili di Selangor. Mengingat Malaysia terdiri dari tiga etnis utama (Cina, India, dan Melayu), maka etnis majikan menjadi salah unsur yang penting untuk melihat gambaran relasi kekuasaan antara TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina dan Melayu. Etnis India tidak dijadikan sebagai informan karena peneliti tidak memiliki askses untuk memawancarai etnis ini. TKW-PRT penelitian ini, yaitu; 1) perempuan, 2) berstatus legal, 3) lama kerja 10 tahun, 4) bekerja dengan majikan Cina dan Melayu, 5) rumah majikan di Selangor dan Penang. Lama kerja TKW-PRT minimal dua tahun dijadikan sebagai salah satu ketentuan informan karena penelitian ini ingin mengetahui pandangan subyektif TKW-PRT dan pengalaman selama bekerja dengan majikan Malaysia. Akan tetapi pada penelitian ini, perlu diketahui bahwa majikan Cina dan TKW-PRT tidak berinteraksi langsung dan tidak terikat dengan kontrak kerja. 5
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Hasil Penelitian Hubungan Kontraktuak (Formal) Hubungan kontraktual (formal) mencakup hak dan kewajiban berfungsi untuk mengatur hubungan majikan dan TKW-PRT. Hak dan kewajiban ini tertulis di dalam kontrak kerja antara majikan dan TKW-PRT yang dibuat oleh agen PJTKI.dengan mengacu pada aturan pemerintah Indonesia (BNP2TKI)-Malaysia (Jabatan Tenaga Kerja Malaysia). Dalam praktiknya, pada kasus majikan Melayu, kebutuhan hidup seperti makan-minum dan peralatan untuk kebutuhan diri TKW-PRT tidak terpenuhi dengan baik. Gaji TKW-PRT menjadi masalah utama dalam hubungan kontraktual. Tidak adanya tanggal pembayaran yang tetap mengakibatkan majikan sering terlambat mengirimkan gaji TKW-PRT kepada anak-anaknya. TKW-PRT juga tidak memiliki rekening bank pribadi sehingga ia tidak menyimpan sendiri gajinya. Tetapi TKW-PRT memiliki inisiatif membuat buku tabungan manual yang dicatat sendiri pada buku catatan yang berisi pengeluran dan pemasukan uangnya serta tandatangan majikan. Meskipun majikan memberikan hak libur, TKW-PRT tidak mengambil hak liburnya karena tidak menyukai lingkungan luar yang dianggap tidak baik. Terdapat kemungkinan di hari libur TKW-PRT tidak sepenuhnya beristirahat dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya saja di hari libur pekerjaan TKW-PRT tidak terlalu berat dibandingkan hari-hari kerja karena ia tidak perlu memasak untuk keluarga majikan. TKW-PRT menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukan olehnya dapat membuktikan kepada majikan bahwa ia mampu melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan oleh majikan. Walaupun pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam kontrak kerja, seperti membersihkan mobil majikan. Menurut TKW-PRT, indikator majikan berperilaku baik adalah majikan tidak melakukan tindak kekerasan kepada dirinya. Akan tetpai, TKW-PRT sebaliknya dijadikan sebagai tempat pelampiasan kekesalan majikan dengan sindiran terhadap pekerjaan rumah. Sedangkan anggapan majikan terhadap perilaku baik kepada TKW-PRT dipahami jika majikan memberkan tambahan gaji kepada TKW-PRT. TKW-PRT juga dilibatkan dalam usaha mandiri (produksi coklat) majikan tetapi upah yang diberikan kepada TKW-PRT dari hasil penjualan coklat tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh majikan. Dapat dilihat bahwa upah tenaga TKW-PRT dibayar murah oleh majikan.
6
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Pada hubungan kontraktual majikan Cina dan TKW-PRT, dari sudut pandang TKW-PRT ditemukan bahwa semakin terpenuhinya hak-hak kerja TKW-PRT oleh majikan, TKW-PRT semakin merasa bertanggungjawab terhadap pekerjaannya sehingga berusaha untuk mencapai ekspektasi yang diberikan majikan. TKW-PRT tidak hanya bekerja di rumah majikan tetapi juga rumah orang tua majikan dengan pembayaran gaji yang tidak seimbang dengan beban kerjanya. Majikan juga rutin memberikan uang tambahan makanan sebesar RM3/hari kepada TKW-PRT sehingga semakin besar rasa kewajiban TKW-PRT terhadap pekerjaannya. Kenyamanan yang diberikan majikan mampu membuat TKW-PRT semakin loyal terhadap majikan. Kondisi ini membuat TKW-PRT lupa akan hak yang dimilikinya seperti hak libur dan hak istirahat ketika sakit. Sedangkan hasil wawancara dengan majikan Cina menunjukkan bahwa TKW-PRT cenderung tidak memahami hak-hak dirinya. TKW-PRT tidak diberikan gaji selama 6 bulan pertama bekerja dan tidak mendapatkan hak libur. Kontrak kerja yang dibuat oleh agen PJTKI tidak bersesuaian dengan aturan pemerintah. Majikan pula mempercayai kontrak kerja yang dibuat agen tanpa melakukan cross check pada peraturan yang berlaku menyangkut hak-hak TKW-PRT. Berdasarkan dua kasus ini, terlihat bahwa majikan beretnis Cina cenderung memiliki hubungan yang kuat dengan keluarga luas seperti orang tua sehingga TKW-PRT tidah hanya berelasi dengan majikan tetapi juga keluarga luas majikan. Sebagai contoh, majikan Cina melibatkan ibunya untuk memantau pekerjaan TKW-PRT khususnya penjagaan anak. Hubungan Sosial-budaya (Informal) Persepsi Hubungan sosial-budaya akan ditinjau dari aspek persepsi, interaksi, kepercayaan, dan konflikkompromi majikan dan TKW-PRT. Pada aspek persepsi majikan dan TKW-PRT, hasil penelitian menunjukkan bahwa TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Melayu memiliki stereotipe yang dominan negatif terhadap majikannya. Stereotipe negatif TKW-PRT ini dipengaruhi oleh pengalaman bekerja dengan majikan pertama yang beretnis Melayu, dimana majikan Melayu dianggap memiliki anak yang banyak. Kebiasaan majikan yang tidak suka menawarkan makanan kepada TKW-PRT turut disosialisasi oleh agen PJTKI disaat pelatihan. Persepsi negatif ini turut membentuk pandangan TKW-PRT terhadap etnis Melayu. Sikap majikan suka melampiaskan kemarahan kepada TKW-PRT dengan menyindir pekerjaannya turut memunculkan stereotipe negatif TKW-PRT terhadap majikan Melayu. Anak-anak majikan yang sudah beranjak dewasa 7
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
dapat mengurangi beban kerja TKW-PRT dan menghasilkan asumsi bahwa semakin banyak waktu luang yang dimiliki TKW-PRT untuk memikirkan perilaku majikan terhadap dirinya. Tetapi, TKW-PRT memiliki stereotipe yang cenderung positif terhadap majikan laki-laki. Suami majikan seorang yang pendiam dan berhati-hati dalam berbicara. Bertatap mata dengan majikan laki-laki dianggap tidak sopan karena majikan perempuan merupakan seorang yang pecemburu. Disisi lain, TKW-PRT berpendapat bahwa majikan mengalami perubahan sikap menjadi lebih sabar dan tidak pemarah setelah menderita sakit pita suara. Sebaliknya majikan Melayu cenderung memiliki persepsi yang positif kepada TKW-PRT. Majikan Melayu menganggap pekerjaan TKW-PRT sebagai pekerjaan professional dan harus diperlakukan dengan dengan baik oleh majikan. TKW-PRT seorang yang sopan, inisiatif, dan tidak pernah menolak perintah kerja. meskipun demikian, majikan turut memiliki ego sebagai orang yang mempekerjakan TKW-PRT sehingga terdapat perbedaan derajat dan batasan-batasan hubungan majikan dan TKW-PRT. Batasan atau border dengan majikan dibuat oleh TKW-PRT melalui panggilan puan (majikan perempuan) dan tuan (majikan laki-laki) yang berasal dari kebiasaan bekerja dengan majikan pertama. Majikan cenderung memiliki persepsi negatif terhadap TKW-PRT dalam aspek pekerjaan rumah TKW-PRT yang dianggap kurang memperhatikan kebersihan ketika bekerja. Pengalaman mempekerjakan 8 orang TKW-PRT memunculkan stereotipe negatif bahwa TKW-PRT yang muda cenderung bermasalah dari aspek sosial, seperti sering berinteraksi dengan kuli bangunan sehingga lupa akan kewajibannya. Berbeda dengan kasus majikan Melayu, TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina memiliki stereotipe yang cenderung positif. Hal ini dikarenakan majikan Cina memperhatikan dan memenuhi hak-hak TKW-PRT seperti pembayaran gaji yang tepat waktu, istirahat ketika sakit, dan kebebasan menonton TV diwaktu istirahat. Selain itu, TKW-PRT juga dibenarkan untuk bercocok tanam dan berhak memperoleh keuntungan hasil penjualan sayuran oleh majikan. Suasana kekeluargaan majikan yang sering mengikutsertakan TKW-PRT untuk menonton bersama berdampak dalam memberikan rasa nyaman kepada TKW-PRT. Perilaku majikan secara tidak langsung menghasilkan persepsi positif TKW-PRT pada etnis Cina. walaupun demikian, TKW-PRT tidak pernah makan bersama dengan keluarga majikan karena dianggap tidak sopan. Berdasarkan pengalaman TKW-PRT bekerja dengan majikan pertama beretnis Cina di Singapura, majikan perempuan merupakan seorang yang cerewet terhadap pekerjaan rumah TKW-PRT. 8
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Majikan cina pula mengaku tidak mengenal TKW-PRT dengan baik karena sibuk bekerja sehingga stereotipe negatif muncul terkait dengan pekerjaan rumah TKW-PRT. standar kebersihan TKW-PRT berbeda dengan Majikan Cina mengakibatkan majikan merasa kurang puas dengan pekerjaan TKW-PRT. TKW-PRT yang berasal dari kampung cenderung tidak terbiasa menggunakan barang-barang elektronik yang modern. Jika dibandingkan dengan dua TKW-PRT sebelumnya, TKW-PRT ketiganya dianggap kurang inisiatif dan sigap dalam bekerja. Faktor usia mempengaruhi kinerja TKW-PRT dalam bekerja. Menurut majikan Cina, TKW-PRT yang lebih muda pintar dalam melakukan pekerjaan rumah. TKW-PRT Karakter suami majikan yang galak dan tegas juga menghasilkan stereotipe negatif terhadap majikan laki-laki beretnis Cina. Interaksi Interaksi majikan Melayu dan TKW-PRT rutin terjadi di siang atau sore hari setelah majikan perempuan pulang dari kantornya. Kegiatan memasak bersama-sama antara majikan dan TKWPRT menjadi wadah terjadinya interaksi dan memungkinkan terbangun hubungan emosional antar kedua pihak. Isi obrolan mereka biasanya membahas terkait anak-anak majikan dan TKWPRT di Indonesia. TKW-PRT juga sudah lancar menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-harinya. Interaksi yang lancar antara TKW-PRT dengan anak-anak memunculkan hubungan emosional diantara mereka. TKW-PRT menyayangi anak-anak majikan layaknya anak sendiri, dimana TKW-PRT berani untuk menegur kesalahan atau menasehati mereka. Meskipun TKW-PRT turut berperan mendidik anak majikan, kadang majikan tidak menyukai apabila TKW-PRT memerintahkan anak-anaknya untuk melakukan pekerjaan rumah. Menurut majikan, anak-anaknya menjadikan TKW-PRT sebagai teman bercerita. Akan tetapi, rasa sayang TKWPRT ini terkadang memanjakan anak-anak majikan sehingga berdampak negatif pada pekermbangan kemandirian anak dimana anak tidak beajar bertanggung jawab. TKW-PRT mengaku sungkan berbicara dengan majikan laki-laki dan majikan perempuan menjadi mediasi diantara mereka. Minimnya interaksi TKW-PRT dengan majikan laki-laki membuahkan rasa hormat serta berkorelasi positif menghasilkan persepsi positif dan tidak adanya konflik. TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina berinteraksi di siang siang atau sore hari ketika TKW-PRT sedang membersihkan bengkel mobil tempat majikan bekerja. TKW-PRT berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu. Baik TKW-PRT maupun majikan perempuan 9
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
sering bercerita tentang keluarga masing-masing. Dikarenakan TKW-PRT bertugas merawat ibu majikan, maka interaksi antara mereka terjadi secara rutin. Interaksi antara TKW-PRT dengan majikan laki-laki berlangsung ketika membahas terkait pembayaran gaji. TKW-PRT jarang berkomunikasi dengan anak-anak majikan disebabkan adanya hambatan TKW-PRT berbahasa Cina. Pada kasus majikan Cina, kesibukan majikan berdampak pada minimnya interaksi dengan. Majikan dan TKW-PRT memiliki waktu berkomunikasi di hari libur sahaja. Majikan laki-laki yang berkarakter galak dan tegas membuat TKW-PRT tidak berani untuk berkomunikasi dengannya. Keterlibatan ibu majikan dalam memantau pekerjaan TKW-PRT menghasilkan interaksi yang intens dan memunculkan hubungan emosional antara kedua belah pihak. Kepercayaan Dalam aspek kepercayaan, majikan Melayu menjadikan TKW-PRT sebagai teman bercerita ketika bertengkar dengan suaminya. TKW-PRT juga sering menceritakan masalah anak-anaknya kepada majikan perempuan. Baik majikan maupun TKW-PRT saling menasehati antar satu sama lain. Majikan menyukai tidak sungkan menerima nasehat dari TKW-PRT karena dianggap baik dan berunsur positif. Disisi lain, TKW-PRT tidak sepenuhnya mempercayai majikan dan tidak menceritakan masalah keluarganya secara mendalam, seperti suami dan keluarga luas. Majikan mempercayai TKW-PRT untuk masuk ke dalam kamarnya. Tetapi, jika terdapat barang yang hilang, majikan terkadang berprasangka buruk terhadap TKW-PRT. kebiasaan TKW-PRT yang seringkali lupa mengunci pintu rumah dan meletakkan barang pada tempatnya membuat majikan hanya mempercayai TKW-PRT sebesar 80%. Sikap majikan yang menuduh TKW-PRT tanpa bukti yang jelas menurunkan rasa percaya TKW-PRT terhadap majikan. Pada kasus majikan Cina, TKW-PRT ikut terlibat dalam mengurusi keluarga luas majikan seperti ibu majikan. ibu majikan juga berperan dalam memantau TKW-PRT dalam bekerja. TKW-PRT dan ibu majikan saling mempercayai dan sering berdiskusi mengenai masalah anak-anak mereka. TKW-PRT mengaku merasa beban dirinya berkurang ketika menceritakan masalahnya ibu majikan. TKW-PRT juga diberikan kewenangan dalam urusan rumah tangga seperti pembelian barang-barang kebutuhan pokok. Adanya hubungan emosional TKW-PRT dengan ibu majikan membuahkan rasa percaya antara mereka. sebaliknya, majikan Cina tidak sepenuhnya mempercayai TKW-PRT dalam penjagaan anaknya. Kewaspadaan terhadap TKW-PRT ini
10
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
muncul disebabkan adanya pengaruh negatif media massa terkait TKW-PRT Indonesia. Tetapi secara umum, majikan mempercayai TKW-PRT dalam pekerjaan rumah. Konflik dan Kompromi Hasil penelitian memperlihatkan bahwa TKW-PRT dan majikan Melayu memahami konflik dengan berbeda. TKW-PRT melihat konflik dipicu dengan masalah gaji dan pekerjaan rumah. Hak gaji yang kurang diperhatikan majikan menyebabkan TKW-PRT berprasangka buruk terhadap majikan. Menurut TKW-PRT, Majikan memiliki kebiasaan buruk yaitu menegur pekerjaan TKW-PRT dengan nada sindiran. Sedangkan majikan melihat konflik terjadi dikarenakan timbulnya pemaknaan negatif TKW-PRT dalam menerima teguran majikan. Konflik mengakibatkan TKW-PRT tidak ingin memperpanjang kontrak kerja dan menggugat untuk berhenti bekerja. Semakin lama TKW-PRT bekerja dengan majikan, semakin berani TKW-PRT untuk mempertahankan dirinya dengan membantah pendapat majikan. Beban kerja yang berkurang menyediakan banyak waktu luang TKW-PRT untuk memikirkan konflik yang terjadi dengan majikannya. Majikan merespon konflik dengan mengajak TKW-PRT berdiskusi secara langsung dan meyakinkan bahwa ia masih ingin menggunakan jasa TKW-PRT. Setelah beberapa kali terjadi konflik yang sama, TKW-PRT mulai memahami karakter majikan. Alasan TKW-PRT bertahan bekerja di rumah majikan Melayu disebabkan ia masih ingin menabung untuk membuka usaha di Indonesia. Terjalinnya hubungan emosional antara TKW-PRT dan anak-anak majikan membuat ia mengurungkan niatn untuk berhenti bekerja. Bekerja di rumah majikan yang baru juga tidak menjanjikan bahwa TKW-PRT akan mendapatkan majikan yang lebih baik. Dua kasus, baik majikan Cina maupun TKW-PRT mengaku tidak pernah terjadinya konflik. Walaupun terjadinya konflik, namun ia bukan disebabkan oleh TKW-PRT tetapi berasal dari diri ibu majikan yang mengalami ketidakstabilan emosi ketika pertama kali sakit stroke. Faktor lama kerja mempengaruhi seberapa sering terjadinya konflik. Pada kasus majikan Cina, TKW-PRT ketiga baru bekerja selama enam bulan di Malaysia. Jarangnya interaksi majikan Cina dengan TKW-PRT mampu meminimalisir konflik. Hubungan emosional dan rasa percaya majikan, khususnya ibu majikan dengan TKW-PRT berkorelasi positif mengurangi konflik. Sehingga kompromi pada kasus majikan Cina dan TKW-PRT menyangkut hak kerja seperti hak solat dan istirahat sakit. Majikan Cina juga membiasakan budaya berdiskusi secara berkala dengan TKW11
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
PRT ketika terjadinya masalah dalam pekerjaan TKW-PRT. Baik majikan maupun TKW-PRT akan mengungkapkan pendapat masing-masing. Disamping itu, majikan Cina suka berterus terang dalam menilai pekerjaan TKW-PRT. Majikan Cina tidak hanya berdiskusi dan menjelaskan secara lisan tentang evaluasi pekerjaan TKW-PRT tetapi juga menunjukkan cara kerja yang diinginkan olehnya dan mengajari TKW-PRT.
Pembahasan
Relasi kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT dapat dilihat dari adanya hubungan formal secara kontraktual dan hubungan informal atau sosial. Dalam proses terjadinya relasi ini, baik hubungan formal maupun informal saling bersinggungan antara satu sama lain dan menggambarkan terjadinya relasi kekuasaan majikan dan TKW-PRT. Sumber kekuasaan yang dimiliki oleh kaum borjuis tidak hanya kapital tetapi juga jaringan atau aksesibilitas untuk mempermudah perampasan hak-hak milik rakyat termasuk hak fundamentalnya (Giddens, 1987). Dominasi majikan terhadap TKW-PRT terlihat dari adanya sumber kekuasaan yang dimiliki yaitu uang untuk mempekerjakan TKW-PRT. Dengan kepemilikan materil ini, majikan mampu mengakses sumber-sumber kekuasaan lainnya seperti sumber hukum jika suatu saat terjadinya permasalahan dengan TKW-PRT dan menggunakan jalur hukum sebagai jalan penyelesaiannya. Pihak berkuasa tidak hanya majikan tetapi juga agen PJTKI yang berkontribusi menindas TKWPRT dengan kekuatan informasi yang dimiliki untuk membuat kontrak kerja yang menguntungkan dirinya. Kontrak kerja dibuat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak-hak TKW-PRT oleh majikan. Kontrak kerja yang bersifat manipulatif oleh agen PJTKI dapat ditemukan pada kasus TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina. Meskipun TKW-PRT dengan majikan Melayu tidak bermasalah pada kontrak kerja yang dibuat agen PJTKI tetapi masalah lain yang timbul adalah majikan tidak memahami isi kontrak kerja sehingga terdapat beberapa hak TKWPRT yang diabaikan majikan seperti hak gaji. Gaji TKW-PRT yang dibayar sedikit oleh majikan menunjukkan bagaimana majikan memanfaatkan tenaga TKW-PRT sesuai kehendaknya. Permasalahan yang dialami oleh TKW-PRT ini menunjukkan bahwa relasi kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT cenderung tidak adil atau didominasi oleh majikan sebagai penguasa. 12
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Disamping penguasaan materil majikan, nilai-norma yang dianut oleh majikan turut berpengaruh terjadinya praktik kekuasaan majikan kepada TKW-PRT. Dapat ditemukan kebiasaan pada majikan Melayu yang tidak pernah menawarkan makanan kepada TKW-PRT. Karakter yang dimiliki majikan turut mempengaruhi munculnya persepsi negatif TKW-PRT yang cenderung takut dengan majikan laki-lakinya yang tegas dan galak. Agen PJTKI juga menjadi pihak yang melanggengkan praktik kekuasaan ini dengan sosialisasi budaya majikan kepada TKW-PRT. Pengalaman kerja TKW-PRT juga tanpa sadar menciptakan relasi kekuasaan yang menindas dirinya sendiri. Sebagai contoh TKW-PRT memanggil majikan perempuan beretnis Melayu dengan panggilan “puan” sehingga majikan merasa superior dibandingkan TKW-PRT. Panggilan ini dapat mewujudkan border atau batasan hubungan antara TKW-PRT dan majikan dimana masing-masing pihak menyadari posisi mereka yang berbeda. Majikan merasa dihormati dengan panggilan tersebut serta merasa lebih berkuasa terhadap TKW-PRT. Dari kesemua faktor seperti karakter pribadi majikan, budaya, stereotipe negatif-positif, dan pengalaman kerja TKW-PRT, stereotipe menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam membentuk relasi kekuasaan TKWPRT baik yang bekerja dengan majikkan Cina maupun Melayu. Ini dikarenakan stereotipe merupakan hasil dari fakta yang diperoleh TKW-PRT melalui riwayat kerja atau pengalaman kerja dengan majikan sehingga sulit dirubah dan berimplikasi pada pola perilaku atau tindakannya terhadap majikan. Pekerjaan bagi kaum proletar memiliki dua makna; (1) memperoleh upah untuk menutup biaya hidupnya dan keluarga, dan (2) mendatangkan keuntungan atau nilai lebih bagi kaum borjuis. Kekuatan materil yang dimiliki majikan membuat TKW-PRT menjadi subordinat yang bekerja semata-mata untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Gaji yang diberikan majikan merupakan akumulasi dari jumlah pengeluaran kebutuhan hidupnya. Hasil wawancara dengan TKW-PRT menunjukkan bahwa keputusan bekerja sebagai TKW-PRT bersumber dari meningkatnya kebutuhan keluarga. TKW-PRT yang tidak memiliki sarana produksi tidak hanya bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga tetapi memberikan keuntungan lebih kepada majikan untuk menggunakan jasanya sesuai kebutuhan kelurga majikan. TKW-PRT turut menjadi komoditi yang dimiliki oleh majikan. Marx (1958) berpendapat bahwa pada dasarnya proletar tidak menjual tenaga saja tetapi juga labour power atau kapasitas bekerja yang dimilikinya. TKW-PRT memiliki kekuatan yang tidak disadarinya, yakni labour power atau kapasitas kerja. 13
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Dengan kemampuan kerja TKW-PRT ini sebenarnya mampu menjadi sumber kekuatannya untuk menuntut hak-hak dirinya dari majikan. Labour power ini hanya dapat dipraktikkan ketika TKWPRT berada dalam kondisi sadar akan haknya dan berani untuk melakukan tuntutatn. Kekuasaan majikan Melayu yang menindas TKW-PRT terkait hak gaji memunculkan keinginan memberontak sehingga sering terjadinya konflik dengan majikan. Konflik biasa dimenangkan oleh majikan Melayu dimana kapasitas intelektual majikan mampu mempersuasi TKW-PRT kembali bekerja di rumahnya. Ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi TKW-PRT menjadi faktor melemahkan posisi tawar dirinya sehingga lebih mengutamakan hak gaji demi keberlangsungan hidupnya. Pada kasus Majikan Cina dan TKW-PRT, kondisi nyaman yang dibuat oleh majikan dengan memenuhi segala hak-hak dirinya menyebabkan ia cenderung tidak menyadari labour power yang ia miliki. Relasi kekuasaan yang dominatif tidak hanya terjadi ditingkat mikro antara majikan dan TKWPRT tetapi juga tingkat makro, yaitu pemerintah Indonesia dengan TKW-PRT. Hal ini dapat dilihat dari adanya pembuatan kontrak kerja yang merugikan TKW-PRT, yaitu hak gaji dan dokumen diri (paspor TKW-PRT). Gaji minimum TKW-PRT yang diserahkan kepada mekanisme pasar seringkali menjadi kunci masalah antara majikan dan TKW-PRT. Praktik dominasi majikan ini ditemukan pada kasus majikan Melayu yang tidak membayar gaji TKWPRT sesuai dengan kontrak kerja. Tidak adanya ketentuan bagi TKW-PRT untuk memegang sendiri paspornya memperlihatkan adanya peran pemerintah Indonesia dalam melegalkan majikan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Paspor menjadi alat majikan untuk membuat TKW-PRT patuh terhadap perintahnya. Ini dapat ditemukan pada kasus baik pada TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Melayu maupun Cina. Lemahnya regulasi yang dibuat pemerintah Indonesia terkait isi kontrak kerja berdampak pada melemahnya bargaining position atau posisi tawarnya dengan pemerintah Malaysia. TKW-PRT yang dikirim ke Malaysia akan terus menerus mengalami ketidakadilan terkait gaji dan tidak dapat menuntut haknya sebagai warganegara Indonesia ketika paspor mereka dipegang oleh majikan. Marx mengatakan bahwa eksploitasi merupakan bentuk disekuilibrium antara pekerjaan dan upah yang menyebabkan wujudnya ketimpangan kesejahteraan antara pekerja (buruh) dan majikannya (Grint, 1991). Pekerjaan-pekerjaan rumah yang dibebankan kepada TKW-PRT cenderung bersifat eksploitatif dimana pembayaran upah tidak sesuai dengan beban kerja yang ditanggung 14
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
mereka. Selain itu, tempat bekerja TKW-PRT, yaitu rumah majikan juga bersifat eksploitatif sehingga TKW-PRT tidak hanya dieksploitasi oleh majikan tetapi juga bekerja di sektor yang secara langsung meneksploitasi dirinya sendiri. Eksploitasi dan dominasi ini disebabkan oleh adanya praktik nilai lebih sehingga borjuis memperoleh keuntungan yang lebih dibandingkan proletar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majikan Melayu melibatkan TKW-PRT dalam usaha mandirinya dengan pembayaran upah yang tidak sebanding dengan keuntungan yang diperolehnya. Pada kasus majikan Cina, TKW-PRT bekerja di dua rumah yaitu, rumah majikan dan ibu majikan. Wi juga bertanggungjawab menjaga ibu majikan yang mengalami sakit stroke. Kasus lainnya, TKW-PRT tidak hanya dieksploitasi dengan memanfaatkan tenaganya untuk bekerja tanpa libur tetapi juga tidak memperoleh hak gaji selama enam bulan pertama bekerja. Menurut Marx, tujuan bekerja kaum proletar bukan berasal dari kehendak diri tetapi merupakan produk yang diciptakan oleh kaum borjuis sehingga pekerjaan tersebut adalah “false” (Sayers 1998:48). Selain hak libur, pembayaran upah, dan hak gaji yang tidak terpenuhi, kesadaran palsu juga diperkuat dengan adanya paksaan secara implisit majikan terhadap TKW-PRT, dimana majikan memegang paspor TKW-PRT. Dengan dirampasnya paspor TKW-PRT oleh majikan, maka TKW-PRT dapat dipekerjakan sesuai dengan kebutuhan majikan tanpa menyadari hak-hak dirinya sendiri. Hubungan emosional antara majikan dan TKW-PRT juga mampu menciptakan kesadaran palsu bagi TKW-PRT. Hal ini dapat temukan pada TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina maupun Melayu. Marx berpendapat bahwa konflik terjadi akibat adanya ketimpangan distribusi sumber daya yang dikuasai oleh pihak dominan (Turner, 1998). Konflik-konflik yang terjadi diantara borjuis dan proletar ini mengakibatkan rusaknya relasi diantara mereka. Ketika TKW-PRT mulai menyadari hak dan kepentingannya maka mulai bermunculan konflik dengan majikan. Pada hubungan TKW-PRT dan majikan, kedua belah pihak mengatakan bahwa konflik sering terjadi setelah masa peralihan kerja TKW-PRT yang kini hanya melakukan pekerjaan rumah saja. Coser (1998) mengatakan semakin dekat suatu hubungan, semakin besar juga kecenderungan subordinat untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Meskipun hubungan informal seperti hubungan emosional antara TKW-PRT dengan keluarga majikan berfungsi meredam konflik. Pada kasus majikan Cina dan TKW-PRT, masing-masing pihak mengaku bahwa tidak pernah terjadinya konflik. Kebiasaan diskusi dengan TKW-PRT dalam hal pekerjaan rumah sehingga 15
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
meminimalisir kesalapahaman antar kedua belah pihak. Hubungan emosional yang erat antara majikan Cina dan TKW-PRT juga mampu mengurangi konflik yang terjadi. Adanya hubungan emosional antara TKW-PRT dan Majikan Cina berkorelasi positif pada rasa saling percaya diantara mereka. Persepsi majikan Cina dan TKW-PRT juga cenderung positif. Signifikansi Teoritik Marx menganalisa kekuasaan di tingkat makro dengan melihat relasi negara yang terdiri dari borjuasi-kapitalis dengan kaum proletar. Pemikiran Marx ini dapat menyumbang pada masyarakat industri modern dengan menghubungkan aspek kemanusiaan atau humanis. Oleh itu, kekuasaan Marx ini juga dapat diteliti pada tingkat mikro untuk melihat praktik kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT di Malaysia. Faktor ketimpangan ekonomi yang menjadi dasar Marx melihat kekuasaan ditemukan pada majikan sebagai pemilik materil atau modal untuk membeli jasa TKW-PRT. Faktor ekonomi juga merupakan penentu bagi individu untuk berperilaku seperti tujuan TKW-PRT bekerja adalah ingin memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Peran negara dan kelompok kapitalis seperti agen PJTKI turut terlibat dan menyatu dalam membantu mengeksploitasi
TKW-PRT.
Penekanan
konsep
eksploitasi
Marx
yang
melihat
ketidakseimbangan antara upah dan pekerjaan dalam penelitian ini berfungsi untuk melihat penindasan fisik majikan terhadap TKW dengan memberikan upah yang sedikit. Eksploitasi oleh Marx ini digunakan untuk melihat penyebab terjadinya konflik antara majikan dan TKW-PRT. Sikap atau perilaku TKW-PRT yang patuh terhadap perintah majikan dan melupakan hak dirinya merupakan bagian dari kesadaran palsu, dimana individu bertindak dibawah alam sadar mereka. Jika kondisi eksploitasi ini disadari oleh TKW-PRT, maka dimungkinkan terjadinya konflik di tataran individu. maupun kelompok atau class struggle. Tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi majikan menjadi penghambat utama bagi TKW-PRT untuk melakukan perlawanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa superordinat (negara, kapitalis, dan borjuis) membentuk masyarakat yang berbasis ekonomi sehingga orientasi ekonomi menjadi dasar TKW-PRT bertindak. Dari studi kasus ini, tampak bahwa dalam relasi kekuasaan majikan-TKW, tidak hanya menyangkut aspek ekonomi sebagaimana analisis Marx. Penelitian ini membuktikan bahwa hubungan sosiak dengan adanya interaksi sehari-hari menciptakan hubungan emosional antara TKW-PRT dan keluarga majikan. Relasi ini mengakibatkan TKW-PRT tanpa sadar dieksploitasi 16
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
terus-menerus oleh majikan. Tingkah laku sosial TKW-PRT seringkali melampaui kesadaran dirinya dan uang bukan lagi menjadi faktor utama TKW-PRT bekerja. Menurut Marx, konflik merupakan pertentangan kelas proletar dan borjuis sehingga revolusi proletar menjadi satusatunya cara penyelesaian konflik. Tetapi Marx tidak memperhatikan relasi di tingkat mikro, bahwa persuasi dalam relasi sosial telah mengubah kemungkinan konflik menjadi sebuah bentuk kompromi. Pada kasus TKW-PRT dan majikan, kompromi antara kedua pihak menjadi strategi yang ampuh untuk menyelesaikan konflik. Disamping itu, hubungan sosial yang baik antara majikan dan TKW-PRT dengan adanya interaksi, stereotipe positif, dan hubungan emosional mampu menekan terjadinya benturan konflik yang kuat.
Kesimpulan Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat perbedaan relasi kekuasaan antara TKW-PRT yang bekerja dengan majikan Cina dan Melayu. Pada relasi kekuasaan antara majikan Melayu dan TKW-PRT, Masalah sering terjadi terkait pemenuhan kebutuhan TKW-PRT menyangkut hak kerja (hubungan formal) dan perbedaan budaya kerja (hubungan informal). Perilaku majikan Melayu yang terbiasa menggunakan bahasa sindiran untuk menegur cara kerja TKW-PRT dan adanya rasa was-was majikan menghasilkan persepsi negatif yang dominan oleh TKW-PRT kepada majikan. Hubungan yang tidak harmonis ini dapat memicu terjadinya konflik antara kedua belah pihak. Konflik dapat diminimalisir dengan adanya hubungan informal, yaitu hubungan emosional TKW-PRT dengan keluarga majikan, khususnya anak-anak majikan. Sedangkan pada majikan Cina dan TKW-PRT, relasi kekuasaan pada hubungan informal cenderung berlangsung baik. Budaya majikan Cina yang suka berterus terang (hubungan informal) dan memperhatikan hak gaji serta kebutuhan hidup (hubungan formal) membuat TKWPRT bertahan bekerja di rumah majikan. Temuan lain pada penelitian adalah lama kerja berpengaruh pada kuat atau tidaknya hubungan informal majikan dan TKW-PRT. Kasus ini terjadi pada Majikan Cina dan dan TKW-PRT, dimana lama kerja TKW-PRT yang baru bekerja selama enam bulan dan baik kedua belah pihak merasa belum memiliki hubungan emosional yang erat. Walau demikian, adanya keterlibatan keluarga luas majikan Cina mampu menguatkan hubungan informal, yaitu adanya persepsi positif yang dominan oleh TKW-PRT serta terjalinnya hubungan emosional dengan keluarga luas majikan. Kesamaan relasi kekuasaan antara TKW17
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
PRT dengan majikan Cina dan Melayu adalah hubungan informal mampu meredam terjadinya konflik antara kedua belah pihak. Konsep Marx yang digunakan untuk mengkaji relasi kekuasaan majikan dan TKW-PRT berfungsi untuk melihat orientasi tindakan atau perilaku TKW-PRT untuk bekerja. Hasil penelitian menunjkkan bahwa TKW-PRT bekerja didasari oleh keinginan untuk memperoleh gaji untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Kelemahan Max terletak pada hubungan sosial yang dilupakan dalam hubungan proletar dan borjuis. interaksi sehari-hari TKW-PRT dan keluarga majikan memunculkan adanya rasa afeksi sehingga TKW-PRT tanpa sadar berada dalam kondisi tereksploitasi. Ditemukan bahwa hubungan informal majikan dan keluarga majikan mampu meredam terjadinya konflik. Konflik juga dapat diselesaikan dengan adanya kompromi antara majikan dan TKW-PRT.
Saran Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini maka terdapat beberapa rekomendasi yang peneliti ajukan bagi penelitian lanjutan, diharapkan agar dapat melengkapi penelitian ini dengan melihat relasi kekuasaan antara majikan dan TKW-PRT yang berstatus illegal. Selain itu, perlu untuk dilakukan penelitian mengenai kondisi perburuhan TKI yang bekerja di sektor informal lainnya seperti buruh bangunan, buruh perkebunan, dan bidang pekerjaan lainnya. Bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia; (1) KBRI Malaysia perlu meningkatkan efektivitas kerja Satuan Tugas Perlindungan dan Pelayanan (Satgas PP TKI) untuk memberikan upaya perlindungan kepada TKW-PRT, (2) Pemerintah Malaysia terutama Jabatan Tenaga Kerja (JTK) dan Imigrasi Malaysia seharusnya membuat kebijakan khusus yang mengatur mengenai perlindungan dan hakhak kerja TKW Indonesia khusunya di sektor informal seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT), (3) Baik Pemerintah Malaysia dan Indonesia perlu bekerjasama untuk memantau kerja agen PJTKI yang ada untuk memastikan tidak terjadinya penyimpangan dalam pembuatan kontrak kerja yang bersifat merugikan TKW-PRT, (4) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) perlu memperbaiki sistem pendataan TKW-PRT Indonesia sebagai upaya perlindungan jika terjadi masalah pada TKW-PRT, (5) BNP2TKI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia perlu bekerja sama untuk melakukan pendataan agen PJTKI untuk mempermudah proses penyelesaian masalah yang berkaitan dengan kontrak kerja 18
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
dan melacak agen-agen PJTKI yang berstatus legal, (6) BNP2TKI dan KBRI Malaysia harus memperbaharui isi kontrak kerja yang dapat merugikan TKW-PRT sebagai anggota warganegara Indonesia, terutama aspek gaji dan dokumen diri TKW-PRT, (7) Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia perlu untuk memberikan sosialisasi dan internalisasi terkait hak dan kewajiban kepada TKW-PRT, (8) Jabatan Tenaga Kerja (JTK) Malaysia perlu untuk mensosialisasikan hak-kewajiban TKW-PRT dan majikan kepada seluruh majikan yang ingin menggunakan jasa TKW-PRT. Bagi Agen PJKTI pula tidak hanya berperan sebagai agen penyaluran jasa TKW-PRT tetapi juga ikut membantu dalam memantau kondisi TKW-PRT selama bekerja di rumah majikan untuk memastikan proses bekerja disesuaikan dengan kontrak kerja terkait hak dan kewajiban kerja. Selain itu, perlu adanya kerjasama antara LSM seperti Migrant Care, Tenaganita, dan lembagalembaga lainnya dengan pihak akademisi universitas untuk turut membantu memberikan pemahaman hak dan kewajiban yang dimiliki TKW-PRT serta pemantauan terhadap pelaksaanaan kebijakan Pemerintah menyangkut TKW-PRT. Kerjasama antara Pemerintah dan LSM ini juga diharapakan mampu menciptakan pencitraan yang positif terhadap TKW-PRT untuk meminimalisir media massa yang cenderung memberikan gambaran negatif terhadap TKW-PRT. Bagi TKW-PRT Indonesia perlu berwaspada terhadap informasi kerja di luar negara dengan terlebih dahulu mencari agen PJTKI yang terdaftar secara legal. TKW-PRT juga wajib menyimpan nomor KBRI Malaysia maupun LSM untuk memperoleh bantuan jika terjadinya masalah dengan majikan.
Daftar Pustaka Anggraeini, Dewi. (2006). Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia. Giddens, Anthony. (2009). Sociology Sixth Edition. UK: Polity Press. Human Rights Watch. (2004, Juli). Help Wanted: Abuses Against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia. Human Rights Watch Report, Vol. 16, No. 9 (B). International Organization for Migration. (2010). Migrasi Tenaga Kerja dari Indonesia: Gambaran Umum Migrasi Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan di Asia dan Timur Tengah. Jakarta: IOM. 19
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013
Jabatan Tenaga Kerja Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia. Garis Panduan Penggajian Pembantu Rumah Asing. Putrajaya. Marx, K., & Engels, F. (1958). Karl Marx and Frederick Engels: Selected Work in Two Volumes. Moscow: Foreign Language Publishing House. Migrant Care. (Mei 30, 2011). MoU TKI Dengan Malaysia Tidak Tetapkan Minimum Gaji. Diakses pada Desember 7, 2012. http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=8&artid=1228 Prabaningrum, D. (2011). Pemaknaan Kerja Sebagai Tenaga Kerja Wanita (Studi Pada TKW Asal Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah). (Skripsi). Depok. FISIP UI. Rossiter, C. (1960). Marxism: The View From America. New York: Harcourt, Brace and Company. Sayers, S. (1998). Marxism and Human Nature. London: Routledge. Turner, J.H. (1998). The Structure of Sociological Theory. USA: Wadsworth Publishing Company. Watson, T.J. (2008). Sociology of Work & Industry. London: Routledge.
20
Relasi kekuasaan..., Halimah Afiffah, FISIP UI, 2013