BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 1984:2). Melalui karya sastra, pembaca dapat membayangkan sekaligus memahami suatu pengalaman kemanusiaan yang unik dan universal, seperti yang dialami dalam kehidupan nyata. Hal tersebut karena proses penciptaan karya sastra tidak terlepas dari realitas yang dilihat dan dicermati oleh sang pengarang. Dari proses pengamatan terhadap realitas, pengarang mentrasfer realitas tersebut ke dalam realitas lain dengan bentuk karya fiksi. Pengarang merupakan bagian dari masyarakat. Pengarang hidup dan bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Sosialisasi pengarang dengan masyarakat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menciptakan sebuah karya sastra. Hasilnya adalah karya sastra yang ditulis oleh pengarang, secara disadari atau tidak, mencerminkan apa yang ada dalam kehidupan. Oleh karena itu, karya sastra merupakan gambaran kehidupan yang merupakan suatu kenyataan sosial pada masa karya itu hadir (Damono, 1984:1). Pengarang pun membawa gagasan-gagasan tertentu dalam setiap karya yang diciptakan. Gagasan-gagasan tersebut mencerminkan ideologi pengarang yang dimasukkan ke dalam karya sastra melalui dialog tokoh, latar, peristiwa, maupun
1
2
karakter tokoh. Melalui hal-hal tersebut, pengarang ingin memperlihatkan tujuannya menciptakan sebuah karya. Pengarang pun ingin memperlihatkan konsepnya terkait arah dan tujuan hidup. Salah seorang pengarang yang banyak memasukkan gagasannya ke dalam karya adalah Y.B. Mangunwijaya. Ia menjadi salah satu pengarang yang diakui eksistensinya dan memiliki banyak karya berkualitas. Karya novel yang telah ditulis oleh Mangunwijaya adalah Romo Rahadi (1981), Burung-Burung Manyar (1981), Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983), trilogi novel sejarah Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri (1983—1986), Balada Becak (1985), Durga Umayi (1991), Burung-Burung Rantau (1992), Balada Dara-Dara Mendut (1993), dan Pohon-Pohon Sesawi (1999). Kualitas karya Mangunwijaya dibuktikan dengan banyaknya penghargaan yang telah diterima, di antaranya penghargaan The South East Asia Write Award tahun 1983 atas novel BurungBurung Manyar, Penghargaan Seni untuk Budaya dan Sastra dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1996, dan penghargaan The Professor Teeuw Foundation Award 1996 di Belanda untuk susastra dan kepedulian terhadap masyarakat. Mangunwijaya dikenal sebagai penulis yang selalu membawa pemikiran kritis dan berbagai gagasan menarik tentang kehidupan dalam setiap karya ciptaannya. Melalui karya-karyanya, Mangunwijaya menunjukkan tuntutan kesetaraan dalam hal materiil, spiritual, dan pendidikan (Kristiawan, 2010:2). Karya Mangunwijaya tidak pernah berhenti pada aspek menghibur pembaca, tetapi memuat maksud-maksud tertentu yang bermanfaat bagi pembaca. Oleh
3
karena itu, karya Mangunwijaya tidak pernah luput diapresiasi oleh pembaca, bahkan setelah karya tersebut melewati zamannya. Salah satu karya Mangunwijaya yang banyak mendapat sambutan pembaca adalah novel Burung-Burung Rantau (BBR). Novel ini pertama kali diterbitkan pada Juli 1992 oleh Gramedia Pustaka Utama. Sebelum diterbitkan menjadi sebuah buku, novel ini dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Belum sampai satu tahun setelah terbit, yaitu pada Mei 1993, BBR dicetak ulang oleh penerbit yang sama. Keberterimaan BBR oleh pembaca masih tinggi hingga tahun 2000-an. Cerita dalam BBR dianggap masih relevan dengan kehidupan masa kini. Dua puluh dua tahun setelah terbit pertama kali, BBR kembali dicetak dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada Agustus 2014. Meskipun terbit pertama kali pada tahun 1992, cerita dalam novel BBR masih relevan dengan kehidupan masa kini. Persoalan-persoalan yang diangkat dalam BBR adalah persoalan-persoalan yang masih banyak terjadi hingga saat ini. Generasi muda Indonesia masih mengalami berbagai pergolakan dan penyesuaian budaya akibat era globalisasi. Selain itu, novel BBR memberi banyak pelajaran berharga bagi pembaca. Meskipun hanya berkisah tentang sebuah keluarga yang tergolong sukses, novel BBR memiliki makna yang mendalam dan bermanfaat bagi pembaca. Membaca novel BBR memang membutuhkan pemikiran ekstra untuk dapat memahaminya, tetapi pelajaran yang didapatkan sangat berguna dan berharga bagi pembaca. Dalam hal ini, novel BBR ditulis oleh Mangunwijaya dengan segala kekompleksan yang mendalam. Para tokoh menyimpan banyak konflik, baik
4
antartokoh ataupun dengan diri sendiri, yang membuat novel BBR menjadi kompleks. Namun, konflik-konflik tersebut memberikan pandangan-pandangan baru yang menarik terkait kehidupan, karma, sejarah, tujuan hidup, humanisme, eksistensi Tuhan, dan keindahan dunia. Pandangan-pandangan tersebut menjadi kekayaan tersendiri dalam novel BBR. Dalam hal ini, persoalan mendasar dari BBR adalah renungan manusia Indonesia dalam menghadapi pergolakan budaya dan era globalisasi. Persoalan dalam BBR semakin kompleks karena menyangkut filsafat, masyarakat, dan politik. Kekompleksan tersebut menyebabkan BBR banyak diperbincangkan oleh para kritikus sastra. Dari awal kemunculan BBR, banyak diskusi sastra yang diselenggarakan untuk mengupas novel tersebut. Selain itu, banyak peneliti dan kritikus sastra yang menggunakan BBR sebagai objek kajian penelitian dengan berbagai teori. Novel BBR dinilai berperan dalam proses pembentukan masyarakat baru pada era globalisasi. Sama
halnya
dengan
Burung-Burung
Manyar,
novel
terdahulu
Mangunwijaya yang diterbitkan tahun 1981, BBR adalah karya yang mengolah persoalan-persoalan kebangsaan. Latar waktu yang diambil Mangunwijaya dalam BBR adalah masa setelah kemerdekaan, tepatnya ketika proses globalisasi semakin mendunia dan masuk ke Indonesia. Kekayaan novel BBR terlihat pada ide filosofis mengenai kebudayaan manusia Indonesia generasi baru. Untuk mendukung ide filosofis tersebut, jalan cerita novel BBR sarat dengan pemikiranpemikiran para tokoh yang mungkin saja menggambarkan pemikiran pengarang.
5
Novel BBR menggambarkan pertentangan pikiran dan konflik batin yang terjadi pada para tokoh. Pertentangan ideologi tersebut diperlihatkan melalui jalinan cerita dan konflik para tokoh. Masalah pertentangan ideologi tersebut dikaitkan dengan masalah-masalah filsafat yang berdasar pada pandangan hidup yang saling bertentangan. Hal ini membuat ideologi dalam BBR, secara tidak langsung, memperlihatkan persoalan khusus yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan manusia pascakemerdekaan dan pascanasional. Berbagai ideologi mengisyaratkan adanya pertentangan ideologi terkait berbagai sisi kehidupan. Pertentangan ideologi tersebut terjadi karena ada perbedaan gagasan dan pemikiran antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Pertentangan ideologi tersebut memunculkan gejala dan upaya dari ideologi tertindas untuk melakukan perlawanan (resistensi) terhadap ideologi yang mendominasi. Upaya perlawanan terhadap dominasi ideologi menunjukkan adanya usaha negosiasi yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan bersama demi kesatuan sosial. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, teori yang tepat untuk diterapkan pada novel BBR adalah teori hegemoni Gramsci. Teori ini dipilih karena menjelaskan relasi ideologi secara lebih mendalam. Dalam teori hegemoni Gramsci, ideologi memiliki peran penting untuk mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda dalam satu wadah dan sebagai sarana penyatuan sosial. Dengan menggunakan teori hegemoni Gramsci, ideologi-ideologi yang terdapat dalam BBR dapat dipahami dengan lebih terfokus dan lebih mendalam. Selain
6
menitikberatkan perihal ideologi, teori hegemoni Gramsci membahas negosiasi yang terjadi di dalam karya sastra.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, terdapat dua masalah yang akan dijawab dalam bab pembahasan. Dua masalah tersebut adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana formasi ideologi dalam novel BBR? 2. Bagaimana negosiasi ideologi dalam novel BBR dan hubungannya dengan ideologi pengarang?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian terhadap novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya terbagi menjadi dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini ada dua, yaitu mengidentifikasi formasi ideologi yang terdapat dalam novel BBR dan menganalisis negosiasi dan ideologi pengarang yang terdapat dalam novel BBR. Selain dua tujuan teoretis, penelitian ini memiliki tiga tujuan praktis. Tujuan pertama adalah menambah wawasan pembaca terkait karya sastra, khususnya novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya. Tujuan kedua adalah meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra. Tujuan ketiga adalah menjadi bahan masukan dalam kritik sastra dengan penggunaan teori yang lebih beragam.
7
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian menggunakan objek material BBR sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut menjadi tinjauan pustaka bagi skripsi ini. Berikut adalah beberapa tinjauan pustaka terkait objek material BBR. Harian Kompas memuat sebuah artikel berjudul “Burung-Burung Rantau dan Penghargaan Arsitektur IAI” yang diterbitkan pada Rabu, 29 Januari 1992. Artikel tersebut dimuat pada halaman 16 kolom 3—7. Dalam artikel tersebut, harian Kompas membahas Y.B. Mangunwijaya yang mendapat penghargaan arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendang-Sono. Penghargaan tersebut hampir bersamaan dengan selesainya novel Burung-Burung Rantau yang mulai dimuat di harian Kompas pada Rabu, 29 Januari 1992. Artikel tersebut menggarisbawahi novel BBR sebagai epos yang menggarap masalah makro bangsa Indonesia. Lain daripada itu, artikel tersebut menjadi tinjauan awal bagi kemunculan novel BBR yang dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian Kompas. J.B. Sugita menulis resensi berjudul “Kepak Hati Burung-Burung Rantau” yang dimuat dalam Berita Buku edisi Januari—Februari 1993. Dalam resensi tersebut, Sugita menyatakan BBR sebagai salah satu novel yang bergerak pada krisis, korupsi, dan konflik batin. Mangunwijaya ingin menggugat tuntas segala sisi kehidupan melalui tokoh yang beragam. Mangunwijaya pun mengembuskan “perang”nya terkait dunia Timur-Barat dan tradisionalisme-supramodern melalui
8
prawayang, pralambang, dan konflik batin yang tidak pernah berakhir. Di akhir tulisan, Sugita menyimpulkan novel BBR sebagai penggugah nurani pembaca. Wiyatmi, mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, menulis tesis berjudul “Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya: Kajian Strukturalisme Genetik” (1995). Tesis ini mengungkap makna novel BBR dalam hubungannya dengan struktur sosial historis serta pandangan dunia subjek yang melahirkannya. Hasil penelitian adalah struktur BBR memiliki hubungan yang bersifat homologi dengan pandangan dunia kelompok sosial pengarang. Triasih dari Universitas Negeri Yogyakarta menulis skripsi berjudul “Kajian Unsur Multilingual Nonbahasa Indonesia dalam Novel Burung-Burung Rantau (Sebuah Pendekatan Stilistik). Skripsi ini ditulis pada tahun 1995. Dalam skripsi tersebut, Triasih membahas unsur-unsur multilingual di luar bahasa Indonesia yang terdapat dalam novel BBR ditinjau dari segi stilistika. Pamela Allen menulis buku berjudul Membaca dan Membaca Lagi: (Re)interpretasi Fiksi Indonesia 1980—1995. Salah satu karya yang dianalisis dalam buku tersebut adalah novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya. Penulis buku tersebut menyatakan BBR adalah sambungan dari karya Y.B. Mangunwijaya yang sebelumnya, yaitu Burung-Burung Manyar. BBR merupakan suatu upaya untuk memberi definisi lebih tajam mengenai pengertian homogenitas dan hibriditas. Dalam
BBR,
Mangunwijaya
penulis
menekankan
menggambarkan
pengertian
manusia
pasca-Indonesia
pasca-Indonesia. sebagai
plural,
multidimensional, dialektik, logis, toleran, rendah hati, menghargai hak asasi
9
manusia, menerima ilmu dan teknologi, serta memprihatinkan kesengsaraan orang miskin dan tertindas (Allen, 2004:96). Imran T. Abdullah menulis artikel berjudul “Burung-Burung Rantau: Pengarang, Teks, dan Pembaca dalam Rangkaian Pemaknaan” (1998). Artikel tersebut pernah disampaikan pada acara Diskusi Buku Sastra dan Temu Pengarang di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma pada Sabtu, 18 September 1998. Artikel tersebut kemudian menjadi salah satu pengisi dalam buku Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya yang diterbitkan untuk mengenang seratus hari meninggalnya Mangunwijaya. Dalam artikel tersebut, Abdullah menganalisis kaitan teks BBR dengan pengarang dan pembaca. Abdullah menutup analisis dengan kesimpulan bahwa pengarang BBR memiliki pengalaman hidup dan pengetahuan yang luas sehingga mampu menyajikan karya yang berkualitas. Niels Mulder menganalisis novel BBR dari sudut pandang budaya dengan artikel berjudul “Kebudayaan Indonesia Kontemporer: Komentar atas BurungBurung Rantau” (1998). Sebelum menjadi salah satu kontributor pada buku Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, artikel tersebut pernah dimuat di majalah Basis No.07—08, Tahun ke-47, Juli—Agustus 1998 dengan judul “Generasi Pasca-Indonesia”. Dalam artikel tersebut, Mulder melihat benang merah antara apa yang diceritakan dalam BBR dengan citra Indonesia. Menurut Mulder, BBR merupakan suatu kecaman keras Mangunwijaya atas kebudayaan Indonesia modern.
10
Prelyastuti Sisdwi Andari dari Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada menulis skripsi berjudul “Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya: Analisis Struktural Dinamik”. Skripsi ini ditulis pada tahun 1998. Analisis skripsi ini ditekankan pada aspek struktur, tanda, dan realitas yang terdapat dalam novel BBR. Darmawati Siregar, M.E. Purnomo, dan L. Ratnawati menulis esai berjudul “Watak Tokoh-Tokoh dalam Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya: Kajian Psikoanalisis” (2005). Artikel tersebut dimuat dalam LINGUA: Jurnal Bahasa dan Sastra, PPSPB-PPS Unsri jilid 6 No.2 pada Juni 2005. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan watak tokoh-tokoh novel BBR ditinjau dari kajian psikoanalisis Wiliam Schutz. Selain itu, peneliti bermaksud mencari tahu watak tipe yang mendominasi watak tokoh dalam novel BBR. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan psikologis dan teknik psikoanalisis agar watak para tokoh dapat diklasifikasikan dengan tepat. Novel BBR juga pernah diteliti oleh Ali Imron Al Ma’ruf dari Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian berjudul “Nilai Pendidikan Multikultural dalam Novel Burung-Burung Rantau: Kajian Semiotik” dimuat dalam jurnal Varia Pendidikan jilid 19 pada Juni 2007. Ali Imron mengkaji nilai-nilai pendidikan multikultural yang terdapat dalam novel BBR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel BBR mengekspresikan nilai-nilai pendidikan multikultural melalui jalinan peristiwa dan tokoh-tokohnya.
11
Ali Imron Al Ma’ruf juga menulis artikel berjudul “Pembelajaran Sastra Multikultural di Sekolah: Aplikasi Novel Burung-Burung Rantau”. Artikel ini dimuat dalam jurnal Kajian Linguistik dan Sastra jilid 19 No.1 pada Juni 2007. Dalam artikel tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat lima gagasan multikultural dalam novel BBR. Gagasan multikultural BBR meliputi (1) lahirnya generasi pasca-Indonesia yang berkecenderungan pada budaya global berdimensi multikultural, (2) tokoh dalam novel BBR merupakan generasi masa kini yang merantau ke mana pun untuk menemukan dirinya sendiri, (3) para tokoh ingin melepaskan diri dari ikatan tradisi dan budaya lokal, bahkan nasional, (4) muncul fenomena mencairnya budaya lokal dan nasional, regional dan global, Barat dan Timur, (5) multikulturalisme mampu meretas batas etnis, agama, kebangsaan, dan kasta, serta menguatkan eksistensi kaum perempuan (Al Ma’ruf, 2007:73—74). Anwar Efendi, dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, juga pernah melakukan penelitian dengan novel BBR sebagai objek material. Penelitian berjudul “Potret Generasi Pasca-Nasional dalam Novel Burung-Burung Rantau Karya Y.B. Mangunwijaya” dimuat dalam jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto jilid 6 No.1 edisi Januari—Juni 2008. Peneliti melihat bahwa BBR merefleksikan generasi pascanasional. Oleh karena itu, hasil penelitian ini memaparkan wacana-wacana pascanasional yang terdapat dalam novel BBR. Dua belas tinjauan pustaka tersebut menunjukkan keberterimaan novel BBR di kalangan pembaca. Novel BBR kaya akan pelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehingga banyak peneliti sastra yang tertarik menggunakan novel ini sebagai objek material penelitian. Meskipun menggunakan objek
12
material yang sama, skripsi ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada tekanan analisis, yaitu pembahasan mengenai formasi ideologi, negosiasi, dan ideologi pengarang yang terdapat pada novel BBR. Dialog, tokoh, peristiwa, dan alur dalam BBR menunjukkan pertentangan pikiran dan ideologi masing-masing tokoh yang mungkin terjadi pada setiap manusia. Oleh karena itu, penelitian ini dikaji menggunakan teori hegemoni Gramsci.
1.5 Landasan Teori Antonio Gramsci adalah salah seorang pemikir Marxis paling berpengaruh pada abad XX. Gramsci mendalami pengertian tentang teori Marx yang menguraikan hubungan antara basis dan bangunan atas. Berbeda dengan Marx, Gramsci melihat bahwa kelas-kelas bawah tidak dapat bergabung dan tidak dapat bersatu sampai mereka menjadi sebuah negara yang bersatu (Gramsci, 2013:73) Berdasarkan penerimaan dan penolakan terhadap teori Marx tersebut, Gramsci merumuskan teori “hegemoni” yang bersumber dari revisi terhadap marxisme klasik. Dalam hal ini, hegemoni adalah ide sentral dan orisinal dalam teori Gramsci. Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi (Simon, 2004:19). Kelas hegemonik adalah yang mendapatkan kesetujuan dari kelas sosial lain. Untuk menjadi kelas hegemonik, perlu untuk mempelajari tujuan formasi sosial kelompok-kelompok sosial, formasi yang
13
dihasilkan oleh kelompok itu sendiri, dan formasi-formasi baru yang menuntut otonomi kelompok-kelompok subaltern (Gramsci, 2013:73—74). Melalui teorinya, Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai sesuatu yang lebih kompleks dari dominasi kepemimpinan. Hegemoni adalah konsep untuk meneliti bentuk-bentuk politik, kultural, dan ideologis tertentu yang dapat membangun kepemimpinan sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang memaksa (Faruk, 2010:132). Hegemoni berkaitan dengan hubungan persetujuan semua kelas sosial melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Untuk itu, Gramsci mengajukan konsep tentang nasional-kerakyatan, yaitu suatu kelas tidak bisa meraih kepemimpinan nasional jika membatasi pada kepentingan mereka sendiri;
mereka harus memperhatikan tuntutan rakyat
(Simon, 2004:24). Teori hegemoni Gramsci dibangun oleh enam konsep kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan dan kebiasaan umum (common sense), kaum intelektual, dan negara (Faruk, 2010:137). Pembahasan terhadap keenam konsep kunci tersebut tidak dapat dilepaskan satu sama lain karena saling berhubungan. Keenam konsep kunci tersebut merupakan upaya menyatukan dan menyelaraskan jalan politik, kultural, dan intelektual (Sugiono, 2006:41). Penyatuan tersebut akan menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, hegemoni dapat tercapai apabila pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapan-harapan kelas buruh telah menjadi milik seluruh masyarakat dengan menyingkirkan pandangan dunia, nilai-nilai, dan harapanharapan borjuis (Magnis-Suseno, 2005:192).
14
Pembahasan mengenai teori hegemoni Gramsi tidak dapat dilepaskan dari ideologi. Gramsci memberi pengertian yang meluas terkait konsep ideologi. Bagi Gramsci, konsep ideologi melewati arti “ilmu pengetahuan gagasan” dan seperangkat doktrin (Gramsci, 2013:527). Ideologi adalah penanda cara manusia meninggalkan peran mereka dalam masyarakat-kelas, nilai, ide, dan imaji-imaji yang mengikat mereka pada fungsi sosial (Eagleton, 2002:20). Ideologi lebih dari sekadar sistem ide karena memberikan arah dan tujuan bagi kelangsungan hidup individu maupun kelompok. Selain itu, ideologi adalah agen dan pondasi penyatuan sosial yang berfungsi sebagai penyatu berbagai kelompok sosial. Berdasarkan fungsi tersebut, ideologi harus dianalisis secara historis dengan dasar filsafat praktis sebagai sebuah superstruktur (Gramsci, 2013:528). Dalam hal ini, terdapat beberapa elemen potensial dalam mengakses nilainilai ideologi (Gramsci, 2013:528).
Elemen pertama adalah kesadaran. Pada
tahap ini, ideologi memberi kesadaran pada fungsinya sendiri, bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial dan politik (Gramsci, 2013:8). Ideologi harus dapat membuka pikiran manusia terkait dunia di sekitarnya. Tujuannya adalah agar pandangan dunia individu dapat berkembang. Elemen kedua adalah material. Pada tahap ini, ideologi memiliki eksistensi material dengan menjelma dalam kehidupan setiap orang. Ideologi pun dapat masuk ke lembaga dan organisasi tempat praktik sosial berlangsung, misalnya dalam partai politik, serikat dagang, masyarakat sipil, dan aparat negara (Simon, 2004:86).
Lembaga-lembaga
tersebut
berperan
menyebarkan ideologi karena memiliki efek ideologis.
dalam
menjabarkan
dan
15
Elemen ketiga adalah identitas-solidaritas. Pada tahap ini, ideologi telah berperan sebagai agen penyatuan sosial yang mengakomodasi kepentingan semua kelas (Simon, 2004:87). Penyatuan sosial tersebut terwujud dengan lahirnya kesatuan tujuan yang konsisten dan melingkupi semua kelas (Gramsci, 2013:352). Dalam hal ini, ideologi bertugas sebagai proses transformasi yang akan membawa pada proses negosiasi dan menghasilkan konsensus bersama. Elemen terakhir adalah kebebasan. Pada tahap ini, ideologi mampu mewujudkan kebebasan maksimal kepada setiap individu untuk merealisasikan keinginannya. Kebebasan tersebut akan menyadarkan masyarakat bahwa dirinya berada dalam dominasi suatu kelas. Dengan kesadaran ini, masyarakat diarahkan dalam usaha revolusioner. Masyarakat akan berupaya mempertahankan ideologi bersama. Secara garis besar, terdapat empat catatan penting mengenai studi Gramsci terkait ideologi. Berikut adalah empat hal tersebut. 1. Setiap orang selalu berada dalam suatu kelompok yang membagi cara berpikir dan bertindak secara seragam untuk mendapatkan konsepsi akan dunia. 2. Filsafat dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Seseorang tidak akan mempunyai konsepsi yang kritis dan sesuai dengan dunia tanpa mempunyai pengetahuan mengenai sejarah. 3. Bahasa terdiri dari elemen-elemen konsepsi dunia dan kebudayaan sehingga dapat
dinyatakan
bahwa
manusia
mampu
mengangkat
kompleksitas
konsepsinya tentang dunia dari bahasa yang dipakai. Kebudayaan yang besar
16
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa karena bahasa dapat menjadi ekspresi universal yang dapat dimengerti banyak orang. 4. Orang dibimbing untuk berpikir secara seragam tentang keberadaan dunia nyata sekarang ini, yaitu kondisi filsafat yang murni berdasarkan penyatuan sosial berbagai pihak (2013:456—458). Berdasarkan empat hal tersebut, terlihat bahwa konsep Gramsci terkait ideologi lebih luas dari definisi biasa. Gramsci tidak hanya membatasi ideologi dalam hal ekonomi, tetapi juga dalam hal sosial dan politik. Ideologi pun mengemban tugas sebagai agen reformasi moral dan intelektual sesuai dengan konsep Gramsci tentang hegemoni. Melalui ideologi, Gramsci memberi tempat bagi manusia untuk menyadari peran dan posisinya. Hal ini karena ideologi bertugas mengorganisasikan massa, menciptakan area ruang gerak manusia, dan mendapat wewenang penuh atas posisi mereka (Gramsci, 2013:529). Melihat dari pentingnya fungsi, ideologi harus disebarkan melalui lembagalembaga sosial tertentu. Salah satu lembaga sosial yang mampu menjadi tempat persebaran ideologi adalah karya sastra. karya sastra memiliki kemungkinan dalam proses pembentukan masyarakat. Dalam hal ini, karya sastra berposisi sebagai situs pertentangan dan negosiasi ideologi untuk mencapai hegemoni yang berdasarkan persuasi. Menurut Gramsci (2013:539), analisis terhadap karya sastra yang memuat ideologi dapat diaplikasikan dengan dua cara, yaitu: 1. Rekonstruksi ulang biografi pengarang sebagai penghargaan atas aktivitas intelektualnya.
17
2. Katalog semua karya berdasarkan urutan waktu untuk melihat wujud intelektual, kematangan, kepemilikan, dan aplikasi dari cara berpikir baru serta caranya menghadapi kehidupan dan masalah. Dengan demikian, analisis terhadap formasi ideologi, negosiasi, dan ideologi pengarang menjadi penting dalam teori hegemoni Gramsci. Hal ini karena Gramsci menekankan teorinya pada cara ideologi dinegosiasikan antara kelompok dominan dengan kelompok subaltern. Formasi ideologi penting untuk mengetahui ideologi kelompok dominan dan kelompok subaltern. Untuk mencapai hegemoni, dibutuhkan proses negosiasi agar konsensus dapat dicapai dengan kerelaan dan dapat diterima semua kelompok. Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekonstruksi biografi pengarang untuk melihat kematangan berpikir dan gagasan pengarang yang disampaikan melalui karya sastra.
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek tertentu dan harus sesuai dengan kodrat keberadaan objek sebagaimana yang dinyatakan oleh teori (Faruk, 2012:55). Metode penelitian digunakan untuk menciptakan kesatuan konseptual yang terpadu dan sistematik selama melakukan sebuah penelitian. Penelitian terhadap novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya ini terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap analisis data. Tahap pengumpulan data adalah seperangkat cara yang bertujuan untuk mengumpulkan fakta-fakta empirik terkait masalah penelitian (Faruk, 2012:25). Pada tahap pengumpulan data, peneliti mencari dan mengumpulkan semua data
18
yang dapat digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Adapun data dalam penelitian ini adalah semua kata, frase, dan kalimat yang terdapat dalam novel BBR. Untuk menjawab masalah yang berkaitan dengan kepengarangan, peneliti menggunakan sumber pustaka lain yang secara khusus membahas Y.B. Mangunwijaya untuk menemukan data yang diperlukan. Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, penelitian dilanjutkan ke tahap analisis data. Fungsi dari tahap analisis data adalah mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2012:25). Analisis data dilakukan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53). Tujuan dari metode ini adalah untuk menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra dan memberi pemahaman mendalam. Adapun langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti selama melakukan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Menetapkan objek kajian penelitian, yaitu novel BBR karya
Y.B.
Mangunwijaya sebagai objek material dan teori hegemoni Gramsci sebagai objek formal. 2. Menentukan masalah pokok yang akan diteliti, yaitu identifikasi formasi ideologi serta negosiasi dan ideologi pengarang dalam novel BBR. 3. Melakukan
pembacaan
berulang-ulang
terhadap
novel
mendapatkan data yang dibutuhkan dan pemahaman mendalam.
BBR
untuk
19
4. Melakukan studi pustaka untuk mengumpulkan data-data pendukung yang dibutuhkan dalam menjawab permasalahan penelitian. 5. Mengidentifikasi formasi ideologi yang terdapat dalam novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya. 6. Menganalisis negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel BBR karya Y.B. Mangunwijaya. Selanjutnya, peneliti akan mengidentifikasi hubungan latar belakang historis Y.B. Mangunwijaya dengan negosiasi ideologi yang terdapat dalam novel BBR untuk mengetahui maksud pengarang menulis novel tersebut. 7. Menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan hasil analisis.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua formasi ideologi yang berisi ideologi dalam BBR dan formasi ideologi dalam BBR. Bab ketiga negosiasi dan ideologi pengarang yang berisi negosiasi dalam BBR dan Y.B. Mangunwijaya, Sastra, dan BBR. Bab keempat kesimpulan.