BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Novel berbahasa Jawa setelah terbitnya Serat Riyanta berkembang sangat pesat. Banyak pengarang-pengarang baru yang mulai bermunculan. Novel-novel berbahasa Jawa muncul dengan berbagai macam jenis, salah satunya adalah trilogi. Menurut KBBI (2005:1211), trilogi merupakan seri karya sastra yang terdiri atas tiga satuan yang saling berhubungan. Tiga hal tersebut saling bertaut dan saling bergantung. Hanya ada satu tema yang dikembangkan. Cerita yang disajikan berlanjut dari bagian yang pertama sampai ke bagian yang terakhir. Salah satu contoh trilogi adalah Kelangan Satang. Kelangan Satang mempunyai arti kehilangan galah. Kelangan Satang merupakan trilogi cerita seri Wiradi. Kelangan Satang merupakan gabungan dari tiga novel. Novel-novel yang ada di dalam trilogi Kelangan Satang, pada awalnya adalah cerbung. Cerbungcerbung tersebut pernah dimuat dalam majalah Panjebar Semangat dan Djaja Baja. Cerbung pertama berjudul Lara Lapane Kaum Republik yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat no. 4 tanggal 23 Januari 1960 - no. 14 tanggal 2 April 1960. Lara Lapane Kaum Republik mempunyai arti sangat menderitanya kaum republik. Cerbung kedua berjudul Kaduk Wani dimuat pada majalah Djaja Baja no. 11 tanggal 10 November 1963 - no. 16 tanggal 15 Desember 1963. Kaduk Wani mempunyai arti terlalu berani (Utomo, 2009:147). Cerbung ketiga berjudul Ketanggor dimuat pada majalah Djaja Baja no. 17 tanggal 22 Desember 1963 -
1
2
no. 21 tanggal 9 Februari 1964. Ketanggor mempunyai arti kepalang basah. Ketiga cerbung ini kemudian dijadikan novel dan disatukan dalam trilogi yang berjudul Kelangan Satang. Trilogi Kelangan Satang diterbitkan pada tahun 2012 oleh penerbit Narasi, sebagai cetakan yang pertama. Jumlah keseluruhan halaman trilogi ini adalah 266 halaman. Novel Lara Lapane Kaum Republik berjumlah 82 halaman. Novel Kaduk Wani berjumlah 71 halaman, sedangkan novel Ketanggor berjumlah 99 halaman. Ketiga novel yang dijadikan trilogi Kelangan Satang ditulis oleh Suparto Brata. Suparto Brata mempunyai gaya yang khusus serta pandai dalam mengolah elemen-elemen sastra ke dalam cerita. Pengolahan bahasa, dialog-dialog, dan gaya penuturannya hidup. Imajinasi dan kemampuannya membangun alur juga bagus (Ras, 1985:25). Selain memakai namanya sendiri, Suparto Brata juga sering memakai nama samaran Peni, Eling Jatmika, dan M. Sholeh. Nama-nama tersebut mengacu pada kebudayaan Jawa dan Islam (Suwondo, 2006:215). Dalam Kamus Lengkap Jawa-Indonesia (Utomo, 2009), kata peni berarti bagus. Kata eling berarti ingat, dan kata jatmika berarti selalu dengan sopan santun. Eling Jatmika mengandung pengertian agar orang yang menyandang nama tersebut selalu ingat sopan santun. Kata sholeh dalam agama Islam berarti ketaatan seseorang dalam menjalankan ibadah (Suwondo, 2006:215). Nama Peni dipakai oleh Suparto Brata dalam Katresnan kang Angker (1963), Pethite Nyai Blorong (1965), Asmarani (1964), Pawestri Telu, Sanja Sangu Trabela (1966), Jemini, Kepleret, Nona Sekretaris, Matine Suradrana, dan
3
Astrin Mbalela (1995). Nama samaran Peni adalah nama yang bermakna perempuan. Nama Peni digunakan oleh Suparto Brata dalam menghasilkan beberapa karya sastra yang mengedepankan perempuan dengan judul yang juga bernuansa perempuan. Nama Eling Djatmika digunakan oleh Suparto Brata dalam Nyawa 28 dan Jam Malam, sedangkan M. Sholeh dipakai pada Diamput dan Oh, Jumirah (Suwondo, 2006:215). Suparto Brata lahir di Surabaya pada hari Sabtu Legi, tanggal 27 Februari 1932. Ayahnya bernama Raden Suratman Bratatanaya dan ibunya bernama Raden Ajeng Jembawati. Keduanya berasal dari Surakarta Hadiningrat. Dilihat dari gelar kedua orang tuanya tersebut, dapat dikatakan bahwa keduanya adalah kerabat dari Kraton Mangkunegaran. Suparto Brata sendiri sebenarnya memiliki gelar Raden, tetapi enggan untuk mencantumkan di depan namanya. Suparto Brata menikahi gadis yang juga masih menunjukan keturunan darah biru, bernama (Raden) Rara Ariyati (Suwondo, 2006:214). Suparto Brata mulai mengarang pada tahun 1952. Karyanya berupa cerita pendek, novel atau cerbung, sandiwara, dan esai. Selain mengarang dalam bahasa Jawa, Suparto Brata juga mengarang dalam bahasa Indonesia. Karya-karya Suparto Brata dalam bahasa Indonesia banyak dimuat di majalah berbahasa Indonesia. Misalnya Kisah, Gelanggang (Siasat), Mimbar Indonesia, Genta (Majalah Merdeka), Aneka, Hidangan, Gelora, Tanah Air, Kompas, Sinar Harapan, Republika, dan lain-lain. Suparto Brata mulai mengarang dalam bahasa Jawa pada tahun 1958, dan dimuat di majalah berbahasa Jawa, seperti Jaya Baya,
4
Panjebar Semangat, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan lain sebagainya (Brata, 2000:315). Suparto Brata banyak menulis cerita detektif. Novel-novel yang memuat cerita detektif antara lain Tanpa Tlatjak (1963), Emprit Abuntut Bedhug (1964), Tretes Tintrim (1966), Pethite Nyai Blorong (1967), Garuda Putih, dan Jaring Kalamangga (Ras, 2009:25). Selain handal menulis cerita detektif, Suparto Brata juga menulis cerita tentang perjuangan (Suwondo, 2006:216). Novel-novel yang memuat cerita perjuangan antara lain Kadurakan Ing Kidul Dringu (1964), Nopember Abang, Dom Sumurup Ing Banyu, dan novel-novel yang termuat dalam trilogi Kelangan Satang yaitu Lara Lapane Kaum Republik, Kaduk Wani, dan Ketanggor (Ras, 1985:25). Novel Ketanggor yang menjadi objek dalam penelitian ini, diceritakan dengan alur yang menarik. Alur yang merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa di dalam cerita, dapat memaparkan tema. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel ini memiliki karakter yang unik. Latar yang digunakan juga sangat beragam. Ketertarikan pada hal-hal tersebut menjadi alasan untuk mengetahui dasar cerita terutama mengenai masalah dari segi struktur. Suatu analisis diperlukan untuk memudahkan dalam membaca serta lebih memahami cerita dalam novel Ketanggor ini. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis tema dan fakta cerita yang meliputi alur, tokoh dan penokohan, latar. Sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, ironi, simbolisme serta gaya dan nada tidak menjadi bagian dalam penelitian ini, meskipun analisis sarana sastra dalam sebuah karya sastra adalah hal yang
5
penting. Analisis lebih difokuskan pada tema dan fakta cerita yang meliputi alur, tokoh, dan latar dalam novel Ketanggor karena unsur-unsur tersebut merupakan unsur utama pembangun sebuah karya sastra.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Bagaimana unsur-unsur pembangun novel Ketanggor yang berupa tema dan fakta cerita yang meliputi alur, latar, dan tokoh? b. Bagaimana hubungan antarunsur pembangun cerita dalam novel Ketanggor?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dimaksudkan untuk memberikan arah yang jelas terhadap penelitian. Tujuan dari penelitian novel Ketanggor ini yaitu untuk mendeskripsikan tema, fakta cerita yang meliputi alur, latar, dan tokoh, serta hubungan antarunsur dalam novel Ketanggor.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian novel Ketanggor diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Demikian juga dalam penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
6
a. Secara Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian novel Ketanggor diharapkan dapat membantu dalam mengaplikasikan teori-teori sastra, khususnya teori struktural dalam menganalisis sebuah karya sastra. b. Secara Praktis Secara praktis, hasil penelitian novel Ketanggor diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat dalam memahami dan menghargai karya sastra seperti novel Ketanggor.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian novel Ketanggor sejauh pengamatan penulis belum pernah dilakukan. Namun, novel lain yang ada dalam trilogi Kelangan Satang berjudul Lara Lapane kaum Republik sudah pernah diteliti. Penelitian tersebut berupa skripsi. Ada dua skripsi yang mengambil objek Lara Lapane kaum Republik. Skripsi yang mengambil objek Lara Lapane Kaum Republik berjudul Novel Lara Lapane Kaum Republik: Analisis Struktur Naratif dan Penokohan oleh Mochammad Fikri, jurusan Sastra Nusantara UGM pada tahun 2004. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan lima tahap situasi yang dialami oleh tokoh utama yang dikemukakan oleh Jobling. Lima tahap situasi tersebut yaitu situasi awal, munculnya gangguan-gangguan, tindakan dan cara mengatasi masalah, menandai munculnya seorang pahlawan, sang pahlawan pulang dengan kemenangan, tokoh dan penokohan yaitu tokoh utama dan bawahan.
7
Febyardini Dian P. R. (2004), mahasiswa jurusan Sastra Nusantara UGM dalam skripsinya berjudul Analisis Tema dan Fakta Cerita Novel Hera Heru Karya Agus Suprihono, menganalisis tema dan fakta cerita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tema dan fakta cerita yang berupa alur, tokoh, dan latar yang terkandung dalam novel Hera Heru. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antarunsur. Skripsi berjudul Analisis Tema dan Fakta Cerita Cerpen Perkutut Akalung Barleyan Karya Hardjana HP oleh Sulardjo Wibowo, jurusan Sastra Nusantara UGM pada tahun 2007. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan fakta cerita yang berupa alur, tokoh, latar, dan tema. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antarunsur. Skripsi yang mengambil objek Lara Lapane Kaum Republik berjudul Nilai-nilai Patriotisme dalam Novel Lara Lapane Kaum Republik karya Suparto Brata (suatu tinjauan sosiologi sastra) oleh Krisna Pebryawan, jurusan Sastra Daerah UNS pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur yang membangun novel Lara Lapane Kaum Republik, mendeskripsikan aspek sosiologi sastra yang berupa nilai-nilai patriotisme yang terkandung di dalamnya.
1.6 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural yang memfokuskan hanya pada unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut dapat diketahui dengan
8
melakukan penelaahan teks sastra yang diawali dengan pendekatan struktural. Pendekatan struktural membuat karya sastra yang kompleks dan rumit menjadi mudah untuk dipahami. Pendekatan struktural adalah pendekatan yang menekankan pada struktur karya sastra itu sendiri. Pendekatan struktural digunakan untuk memahami karya sastra dengan memperhitungkan unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai jalinan yang utuh. Pendekatan struktural dimaksudkan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, seditel, dan mendalam mungkin keterjalinan dan keterikatan semua unsur-unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fiksi Robert Stanton. Stanton (2007:97) menyatakan bahwa dalam menganalisis novel sebaiknya dilihat terlebih dahulu prinsip kepaduan sebuah novel. Seluruh aspek dari karya harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Stanton membagi unsur karya sastra menjadi tiga bagian, yaitu tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Unsur fakta cerita dibagi menjadi tiga, yaitu alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme, dan ironi. Namun, penelitian ini akan membahas sebuah karya sastra dari unsur tema dan fakta cerita saja. 1.6.1 Tema Tema adalah makna yang terkandung di dalam sebuah cerita. Tema menjadi dasar dalam sebuah cerita, dan selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan. Tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama
9
cerita. Tema akan membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Sebuah konflik yang terdapat di dalam cerita, perlu dilakukan pengamatan untuk mengenali temanya. Pengamatan dilakukan pada peristiwaperistiwa maupun tokoh-tokoh. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Beberapa cerita bermaksud menghakimi tindakan karakter-karakter di dalamnya dengan memberi atribut „baik‟ atau „buruk‟. Cerita-cerita lain memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpa bermaksud memberi penilaian dan seolah-oleh hanya berkata bahwa “inilah hidup” (Stanton, 2007: 36-37). Tema di dalam sebuah cerita dibagi menjadi tema minor atau tema tambahan dan tema mayor atau tema utama. Tema minor atau tema tambahan merupakan makna-makna tambahan yang hanya terdapat pada bagian-bagian cerita tertentu saja. Tema mayor atau tema utama adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut. 1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu menpertimbangkan berbagai detil menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting. 2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detil cerita yang saling berkontradiksi. 3. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya tidak bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit). 4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan (Stanton, 2007:44-45).
10
1.6.2 Fakta Cerita Fakta cerita terdiri dari alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Elemenelemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual cerita (Stanton, 2007:22). 1.6.2.1 Alur Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26). Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwaperistiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton, 2007:28). Bagian awal merupakan bagian yang berisi penyituasian, pengenalan, dan pemunculan konflik. Pada saat perngenalan terdapat sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan bagian selanjutnya. Bagian tengah merupakan pertikaian. Konflik menjadi semakin meningkat dan menegangkan,
kemudian
penyelesaian dari klimaks.
mencapai
klimaks.
Bagian
akhir
merupakan
11
Konflik dan klimaks merupakan dua unsur yang sangat menentukan perkembangan alur. Konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik internal dan konflik eksternal. Konflik internal adalah konflik yang dialami oleh tokoh dengan dirinya sendiri di dalam sebuah cerita. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara tokoh satu dengan tokoh yang lain, atau antara tokoh dengan lingkungan di sekitarnya. Dua elemen dasar yang membangun sebuah alur adalah „konflik‟ dan „klimaks‟. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki „konflik internal‟ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat seorang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu „konflik utama‟ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya (Stanton, 2007:31). Sebuah cerita dapat mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utama yang merangkum seluruh peristiwa yang terjadi di dalam alur. Konflik utama menjadi inti struktur cerita. Konflik utama terikat erat dengan tema cerita (Stanton, 2007:32). Saat konflik semakin intens, klimaks akan terjadi. Klimaks tidak dapat dihindari lagi kejadiaannya. Klimaks adalah titik yang mempertemukan kekuatankekuatan konflik. Klimaks sangat menentukan perkembangan alur. „Klimaks‟ adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007:32). 1.6.2.2 Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan dapat disebut karakter. Menurut Stanton, karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk
12
pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Terma „karakter‟ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagain besar cerita dapat ditemukan satu „karakter utama‟ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung di dalam cerita (Stanton, 2007:33). Tokoh berdasarkan peranannya di dalam sebuah cerita dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung di dalam cerita. Tokoh tambahan yaitu tokoh yang kemunculannya hanya sedikit. Tokoh tambahan hanya muncul jika ada kaitannya dengan tokoh utama. 1.6.2.3 Latar
Latar dapat memberikan kesan realistis kepada pembaca. Latar juga dapat mempermudah pembaca dalam membayangkan suasana tertentu, sehingga cerita yang ada di dalam sebuah karya sastra seolah-olah nyata dan benar-benar terjadi. Pada tahap awal karya sastra, umumnya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan, dan penunjukan latar. Menurut Stanton, latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat merupakan lokasi terjadinya suatu peristiwa. Latar waktu
dapat
berwujud
waktu-waktu
tertentu,
sedangkan
latar
sosial
13
menggambarkan situasi sosial dan budaya yang ada di suatu tempat di dalam suatu karya sastra. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, atau tahun), cuaca, atau satu periode sejarah (Staton, 2007:35). Latar terkadang berpengaruh pada karakter-karakter. Latar juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita, dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional yang melingkupi sang karakter. Tone emosional ini disebut dengan istilah atmosfer. Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Stanton, 2007:35-36).
1.7 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. metode analisis dan metode studi pustaka. Metode deskriptif yaitu dengan mendeskripsikan novel Ketanggor dari aspek struktur. Metode analisis yaitu untuk menganalisis permasalahan yang terlebih dulu dideskripsikan. Metode studi pustaka serta sumber lain yaitu metode yang mengacu pada sumber-sumber kepustakaan. Data dalam penelitian ini, diperoleh atau bersumber dari studi pustaka. Langkah-langkah yang diterapkan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.
14
1. Menentukan objek penelitian yaitu novel Ketanggor. 2. Mengumpulkan data-data dari berbagai sumber yaitu cetak dan elektronik yang berhubungan dengan penelitian. 3. Melakukan identifikasi dan analisis berdasarkan teori struktural. 4. Mengumpulkan hasil analisis dan melaporkan dalam bentuk laporan tertulis.
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penulisan dalam penelitian yang berjudul “Analisis Tema dan Fakta Cerita novel Ketanggor dalam Trilogi Kelangan Satang Karya Suparto Brata” ini, disajikan dalam lima bab sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi sinopsis novel Ketanggor. Bab III berisi analisis tema dan fakta cerita yang mencakup alur, tokoh, dan latar dalam novel Ketanggor. Bab IV berisi hubungan antarunsur fakta cerita yang meliputi hubungan antara tema dan alur, hubungan antara tema dan tokoh, hubungan antara tema dan latar, hubungan antara alur dan tokoh, hubungan antara latar dan alur, serta hubungan antara latar dan tokoh. Bab V adalah kesimpulan dari penelitian ini yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bab I.
15
Pedoman yang digunakan untuk penulisan skripsi ini menggunakan buku Pedoman Penulisan Skripsi yang ditulis oleh Tim Penyusun Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2013. Penulisan kutipan-kutipan yang ada di dalam cerita, disesuaikan dengan pedoman Ejaan Bahasa Jawa yang Disempurnakan yang diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta tahun 1991. Keseluruhan penulisan Skripsi ini berdasarkan Ejaan yang sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 2005.