1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam proses penciptaan suatu karya sastra, seorang pengarang tidak terlepas dari keterlibatannya dengan teks-teks lain yang telah ada sebelumnya dan juga teks-teks yang mengelilinginya. Hal itu menunjukkan adanya pengaruh teksteks lain yang masuk ke dalam teks sastra yang dihasilkan. Dengan demikian, tidak ada teks asli yang menjadi milik seorang pengarang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Barthes dalam Eagleton (1983: 137) bahwa semua teks sastra terjalin dari teks sastra yang lainnya, bukan dalam makna biasa bahwa teks ini memperlihatkan unsur-unsur pengaruh, tetapi dalam maksud yang lebih radikal, yaitu setiap perkataan, frasa atau bagian ialah penciptaan kembali karya-karya lain yang mendahului atau mengelilinginya. Dibutuhkan suatu perjuangan bagi seorang penulis untuk dapat menciptakan suatu karya yang kreatif dan orisinal. Berbicara tentang suatu karya yang orisinal, bukan berarti terbebas sama sekali dari pengaruh teks luar. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak karya yang luar biasa dan dianggap kanon dan orisinal, merupakan karya yang diciptakan oleh pengarang yang sengaja memasukkan unsur-unsur luar ke dalam karya yang diciptakannya. Teeuw dalam Sudibyo (1993:1) menyatakan bahwa pada hakekatnya sejarah sastra adalah suatu kontinum, peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan. Selain itu, Sudibyo menjelaskan bahwa hal tersebut mengandung makna bahwa apa yang pernah dihasilkan pada suatu masa kemungkinan besar akan lahir kemabali pada waktu
2
yang lain dalam bentuk yang tidak harus sama dengan wujud semula. Di dalam kondisi ini kedudukan seorang penulis berada dalam dua kadaan yang berbeda. Di suatu pihak ia tidak dapat melepaskan diri dari semua hal yang mengilhami karya karyanya sepeti pemilihan genre, tema, dan penentuan kaidah estitika yang berasal dari masa sebelumnya, dipihak lain ia harus mengupayakan munculnya orisinalitas di dalam karya-karya yang diciptakannya yang membedakan dengan karya-karya yang sudah ada. Dari sini mucullah inovasi-inovasi kreatif yang melahirkan karya-karya yang signifikan dan memiliki kemandirian. Hal tersebut terlihat dari sejarah William Shakespeare dalam menciptakan karya-karyanya. William Shakespeare adalah seorang penulis berkebangsaan Inggris yang seringkali disebut sebagai salah satu sastrawan dunia bahkan digolongkan dalam kelompok pujangga dunia yang utama. Ia menulis sekitar 38 drama, 154 sonata, 2 puisi naratif, serta puisi-puisi yang lain. Karya sastra yang ia hasilkannya, ditulis pada sekitar tahun 1585 sampai 1613 dan karya-karya tersebut telah diterjemahkan dalam banyak bahasa di dunia. Samekto (1998:30) menjelaskan bahwaWilliam Shakespeare sukar dicari bandingganya sebagai penyair, pembawa cerita, pelukis watak, dan ahli retorik. Memang Shakespeare pertama-tama adalah seorang penyair, karena imajinasinya sangat luas dan melingkupi keseluruhan batin manusia dan yang membuatnya dapat menembus ke segala rahasia tentang watak serta motif-motif manusia. Kepiawaian Shakespeare dalam menciptakan karya-karyanya juga didudukung dengan kemampuan kebahasaanya sehingga memungkinkan William Shakespeare untuk menyatakan perasaan serta pikiran secara cermat dan tepat. Maka, tidak
3
mengherankan bahwa pengaruh Shakespeare telah masuk kedalam bahasa Inggris dan dalam karya-karya sastra yang dihasilkan kemudian. William Shakespeare Hidup pada era ketika Ratu Elizabeth memimpin Inggris yaitu sekitar tahun 1558 sampai tahun 1603. Dari semua hasil kesusastraan di Inggris pada era Ratu Elizabeth tersebut, drama merupakan hasil kesusastraan yang paling maju dan berkembang. Berkenaan dengan drama pada masa itu, Maka nama William Shakespeare merupakan seorang tokoh yang sangat terkenal dan piawai dalam menciptakannya (Thronley& Gwyneth, 1984: 23). Ditinjau dari segi cerita, drama karya Shakespeare dapat dibagi atas drama sejarah, seperti Richard III dan Henry IV, drama setengah sejarah atau drama legenda seperti Macbeth, dan KingLear, dan drama Fiksi seperti Romeo and Juliet dan The Merchant of Venice. Jika dilihat dari jenis dramanya, maka karya-karya Shakespeare dapat dibagi atas Tragedi, Komedi, dan drama Sejarah. Tragedi adalah drama dimana tokoh utamanya didorong oleh keadaan ataupun oleh kelemahan-kelemahan sendiri kearah penderitaan, terutama penderitaan batin dan akhinya maut. Bradley dalam Levin (1960: 150) menyatakan bahwa dalam menciptakan drama tragedinya, William Shakespeare memiliki berbagai ciri yang khas. Salah satu dari ciri khas tersebut adalah akhir tokoh utama yang mengalami kehancuran atau kematian dan tokoh-tokoh tersebut berasal dari kalangan atas, seperti Raja, pangeran, dan para pemimpin dan masyarakat golongan atas lainnya. Macbeth adalah sebuah drama tragedi yang ditulis oleh William Shakespeare. Macbeth adalah drama tragedi terpendek yang dihasilkan oleh
4
Shakespeare dan yang ditulis antara tahun 1603 dan 1607. Menurut catatan Simon Forman, drama ini pertama kali ditertunjukkan pada april 1611 dan dipublikasikan perdana dalam bentuk Folio pada tahun 1623. Sumber yang digunakan oleh Shakespeare untuk tragedi ini adalah cerita mengenai Raja Macbeth dari Skotlandia, Macduff, dan Duncan dalam Holinshed’s Chronicle, yaitu sejarah Inggris, Skotlandia, dan Irlandia yang sangat dikenal oleh Shakespeare dan para pendahulunya. Meski demikian, kisah Macbeth yang ditulis Shakespeare tidak berkaitan dengan kejadian nyata dalam sejarah bangsa Skotlandia tentang Macbeth yang merupakan bangsawan agung yang dikagumi. William Shakespeare memperoleh bahan bagi karya-karya yang dihasilkannya dari sejarah, dongeng, legenda, serta cerita-cerita lainnya yang telah ada. kemudian bahan-bahan yang telah ada tersebut diolah sedemikian rupa sehingga hasilnya merupakan ciptaan yang orisinil. Metode ini sudah lazim dilakukan oleh penulis penulis drama pada zaman itu (Samekto,1998 : 29). Hal yang telah dilakukan oleh William Shakespeare tersebut seolah menegaskan bahwa suatu karya sastra ditulis tidaklah lahir dari situasi kekosongan budaya. Karya sastra akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang estetika, tujuan berseni, dan lainlain, yang kesemuanya dapat dipandang sebagai wujud kebudayaan. Dalam hal ini, sastra dipandang sebagai “rekaman” terhadap pandangan masyarakat berkenaan dengan segala sesuatu yang melingkupi kehidupannya. Hal tersebut membawa kita pada suatu teori yaitu teori intertekstual
5
Teori interteks memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya. Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri. Dalam arti, proses penciptaan teks selalu dapat dirunut hubungannya dengan teks-teks lain baik langsung maupun tidak langsung. Tidak ada teks yang proses penciptaan sekaligus konsekuensi pembacaannya dapat dilakukan tanpa sama sekali berhubungan dengan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya yang ditelaah. Sebuah karya tidak dapat dilepaskan dengan teks-teks lain yang telah ada, sehingga dalam upaya memahami sebuah karya sastra, kita juga harus mengenal dan memahami karya atau teks-teks lain yang terkait. Penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahan sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut. Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Baik kegiatan pengarang maupun pembaca akan mendasarkan diri dan mengaitkan dengan teks-teks lain. Inrtekstualitas
berkaitan dengan sikap pembaca dalam membaca teks sastra.
Interteks dapat memberi bimbingan kepada pembaca untuk
6
memandang teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan
efek
siginifikansi
yang
bermacam-macam.
Berdasarkan
pengalaman kesastraan yang dimiliki, pembaca akan dapat mengidentifikasi unsur-unsur teks lain pada karya yang baru. Dengan demikian, dalam proses pembacaannya, seorang pembaca akan “membongkar” teks-teks yang pernah dikenalnya yang kemudian dihubungkan dengan teks yang dihadapi. Berhadapan dengan sebuah teks pada hakikatnya pembaca tidak hanya membaca teks yang dibaca saja, melainkan “berdampingan” dengan teks-teks lain sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain tersebut. Prinsip Intertekstualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan sastra. Prinsip ini berkembang pesat karena memang dalam proses penciptaan sebuah karya sastra tidak bisa terlepas dari teks-teks yang lain baik disadari maupun tidak disadari oleh penulisnya. Seperti yang Teeuw ungkapkan bahwa karya sastra ditulis tidak dalam situasi kekosongan budaya melainkan ditulis dalam hubungannya dengan zaman penyair si penulis, maupun dalam pertentangannya dengan sajak-sajak sebelumnya (Pradopo, 1995: 155). Dengan kata lain, sebuah karya sastra mempunyai hubungan sejarah antara karya yang sejaman, yang mendahuluinya ataupun yang kemudian. Hubungan itu bisa berupa persamaan ataupun pertentangan. Artinya, suatu karya sastra bukan hanya produk ide kreatif semata, Suatu karya sastra tercipta lebih merupakan hasil pengalaman, dan rekaman budaya pengarang, yang juga dapat diperoleh dari pengalaman pengalaman membaca karya sastra terdahulu, dan hal tersebut tercermin dalam karya-karya yang dihasilkan. Hal itu memperlihatkan bahwa
7
seorang pengarang menciptakan sebuah karya seni, khusus karya sastra dilatari oleh karya sastra yang telah ada sebelumnya. Pengaruh itu disebabkan pengalaman pengarang sebagai pembaca dan melibatkan hasil bacaan tersebut dalam karya ciptaanya. Seperti diungkapkan oleh Worton dan Judith (1990: 30) yang menyatakan bahwa semua penulis adalah pembaca pertama yang tunduk pada pengaruh atau semua teks yang dipersinggungkan dengan teks lain. Sangat memungkinkan bahwa seorang pencipta karya sastra, yang ter inspirasi dari karya sastra lain, dapat menghasilkan karya baru yang baik atau mungkin jauh lebih lebih baik. Seperti hal nya Willliam Shakespeare, pada awal abad ke 20 terdapat seorang sastrawan di Amerika yang dalam menciptakan karyanya terinspirasi oleh sejarah dan cerita-cerita yang telah ada sebelumnya. Sastrawan Amerika tersebut pernah mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1949 Nobel Prize for Literature atas salah satu karyanya. Kekuatan dan kemampuan artistik yang unik dan atas kontribusinya terhadap novel amerika moderen, ia mendapatkan dua penghargaan Pulitzer, dan dua penghargaan National Book Rewards. Sastrawan Amerika tersebut adalah William Faulkner. William Faulkner lahir pada tahun 1897 di New Albany, Mississippi. Faulkner telah menunjukkan bakat artistiknya sejak usia muda.
Faulkner
dibesarkan di kota Oxford, Mississippi, dan akhirnya kembali lagi ke kota tersebut setelah beberapa lama meninggalkannya, dan tinggal di Rowan Oak. Oxford dan daerah sekililingnya merupakan inspirasi baginya dalam menciptakan karya sastra dan menjadi latar dari beberapa karya sastra yang telah ia ciptakan. Beberapa
8
karya sastra yang telah berhasil ia ciptakan adalah The Sound and the Fury (1929), As I Lay Dying (1930), Light in August (1932) Absalom, Absalom! (1936), The Hamlet (1940), and Go Down, Moses (1942). Reputasi William Faulkner sebagai salah satu novelis terbaik abad duapuluh adalah karena gaya eksperimental yang tinggi dalam menciptakan cerita dalam karyanya. Faulkner merupakan pioner dalam aliran sastra yang modern, sangat menyimpang dari bentuk-bentuk dan struktur-struktur tradisional yang kebanyakan terdapat pada novel-novel sebelum eranya. Faulkner sering memakai stream of consciousness narrative, menjauhkan gagasan gagasan tentang urutan kronologi cerita, menggunakan multipel narator, pergeseran antara masa kini dan masa lalu. Tidak mengherankan jika gayanya dalam menciptakan dan menceritakan karya sastranya membuat para pembaca perlu lebih berfikir dan berkonsentrasi ketika membaca ceritanya. Dengan gaya ekperimennya tersebut memberi dampak pada para sastrawan berikutnya untuk melakukan hal yang sama dalam membuat suatu karya sastra. (SparkNote, 2014:2) Pertama kali diterbitkan pada tahun 1929, The Sound and The Fury diakui sebagai salah satu novel Amerika paling berhasil inovatif dan eksperimental pada masanya. Novel ini menyangkut kejatuhan keluarga Compsons, yang pernah menjadi keluarga terkemuka di Jefferson, Mississippi, sejak sebelum Perang Saudara. Faulkner mengisahkan pengalaman manusia dengan menggambarkan peristiwa dan gambar subyektif, melalui kenangan masing-masing dari beberapa karakter yang berbeda pada masa kecil mereka. Aliran novel gaya conscious sering sangat buram, karena peristiwa sering sengaja dikaburkan. Meskipun
9
kompleksitas sangat tinggi, The Sound and The Fury adalah novel yang memiliki kualitas yang tinggi hal itu terbukti dari diperolehnya Nobel Prize pada tahun 1949 atas karya William Faulkner tersebut. The Sound and The Fury bercerita tentang keluarga Compson lengkap dengan permasalahannya. Keluarga Compson merupakan keluarga yang terpandang dengan segala properti yang dimiliki namun diceritakan bahwa keluarga ini mengalami kejatuhan. Mr. Compson memiliki ambisi untuk terus mempertahankan kebesaran nama Compson dengan melakukan berbagai cara. Begitu pula dengan istrinya, Mrs. Compson, yang sangat peduli dan merasa ingin selalu dihormati dan diperlakukan sebagai keluarga bangsawan. Mr dan Mrs. Compson memiliki empat orang anak, Quentin, Caddy, Benjy dan Jason. Quentin seorang anak laki laki pertama dari keluarga tersebut. Ia memiliki konsep yang berbeda untuk mempertahankan nama dan kehormatan keluarga. Ia akhirnya bunuh diri karena merasa telah gagal dalam memperjuangkan kehormatan keluarganya. Caddy merupakan anak kedua dalam keluarga Compson yang justru banyak melakukan tindakan tindakan yang berakibat menjatuhkan kehormatan keluarga, misalnya malakukan hubungan sex bebas dan ahirnya hamil diluar nikah. Benjy merupakan anak ketiga, ia mengalami keterbelakangan mental. Pada akhir cerita, ia harus dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa (gangguan mental) karena dianggap dapat membahayakan jiwa orang lain. Sedangkan Jason adalah anak terakhir dari keluarga Compson. Jason merupakan anak kesayangan Mrs. Compson. Namun Jason justru tidak menghormati ibunya. Selain itu, Jason juga memiliki sifat yang justru membawa nama keluarga Compson semakin terpuruk.
10
Misalnya tindakanya
berpacaran dengan pelacur, menggelapkan uang yang
dikirim oleh Caddy untuk biaya pengasuhan Miss Quentin, mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan toko yang merupakan pekerjaan yang sama sekali tidak mengangkat kehormatan keluarga tersebut. Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, ada hal yang menarik berkenaan dengan karya william Faukner, The Sound And The Fury dan drama Tragedy karya William Shakespeare, Macbeth. Hal menarik tersebut adalah Terdapat kesamaan antara Judul The Sound and The Furypada novel Faulkner tersebut dengan monolog macbeth yaitu pada pada drama tragedi Macbeth yaitu tepatnya pada Act 5 dan Scene 5 pada drama Shakespeare yang isinya adalah sebagai berikut : “Tomorrow, and tomorrow, and tomorrow Creeps in this petty pace from day to day To the last syllable of recorded time, And all our yesterdays have lighted fools The way to dusty death. Out, out, brief cadle. Life’s but a walking shadow, a poor player That struts and frets his hour upon the stage, And then is heard no more. It is a tale Told by an idiot, full of sound and fury, Signifying nothing.” (Shakespeare, 1915: 81-82) Hal yang tampak jelas mengindikasikan bahwa terdapat hubungan intertetekstual antara drama Macbeth karya William Shakespeare dan novel The Sound and The Fury karya William Faulknerdapat dilihat dari judul novelnya. Dalam monologMacbeth pada Act 5 dan Scene 5, terdapat frase Sounds and The Fury frase tersebut sama dengan judul dari salah satu novel karya William
11
Faulkner yaitu The Sound and The Fury. Selain itu, pada Act 5 dan Scene 5 pada drama Macbeth terdapat kalimat “told by an idiot” dan pada dan pada novel Faulkner The Sound and the Fury terdapat seorang tokoh yang bernama Benjamin atau Benjy yang juga merupakan seorang yang “idiot” atau menderita keterbelakangan mental yang juga menjadi salah satu narrator dalam novel itu. Ketika membaca The Sound And The Fury, penulis menemukan ada teks lain yang secara implisit hadir dalam karya tersebut. Hal tersebut seolah ingin menegaskan bahwa memang terdapat hubungan intertekstual antara kedua karya, dan terlihat jejak-jejaknya. Penulis sangat tertarik untuk mengelaborasi lebih jauh tentang keterkaitan novel The Sound and The Fury dengan teks luar yang bersumber dari drama Macbeth. Sehingga, hubungan intertekstual dari karya William Shakespeare Macbeth, dan juga The Sound And The Fury karya William Faulkner, menjadi kajian dalam penelitian ini. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latarbelakang dan mengacu kepada pemikiran Julia Kristeva mengenai intertekstual, permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana Hubungan Intertekstual antara novel The Sound and the Fury dan teks luar yang bersumber dari drama Macbeth? 2. Bagaimana Hubungan Intertekstual antara novel The Sound and the Fury dan teks Sosial Budaya dan Sejarah ? 3. Apa signifikansi teks drama Macbeth dalam novel The Sound and the Fury?
12
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan intertekstual novel The Sound and The Fury dan teks luar yang bersumber dari drama Macbeth, teks sosial, budaya dan sejarah. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mencari signifikansi teks drama Macbeth dalam novel The Sound and the Fury. 2. Secara praktis tujuan penelitian ini adalah memberikan model pemahaman yang dapat dipergunakan pembaca untuk memahami sebuah teks dengan memanfaatkan teori intertekstual. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah perbendaharaan penerapan teori intertekstual dalam karya sastra, khusunya teori intertekstual yang berdasar pada pemikiran Julia Kristeva.
1.4. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini ada dua kelompok kepustakaan yang perlu ditinjau, yaitu kelompok yang berkaitan dengan objek material penelitian ini dan yang kedua adalah objek yang membahas penerapan teori interktekstual. Novel The Sound and The Fury telah diteliti sebelumnya oleh para peneliti.Sejauh pembacaan penulis, Para neneliti yang menjadikan novel The Sound and The Furysebagai objek material banyak ditemui dalam bentuk jurnal international dan juga terdapat satu penelitian dalam bentuk tesis.
13
Pertama, penelitian yang telah dilakukan oleh Putri Kusumasari (2012) menjadikan novel The Sound And The Fury sebagai objek material dalam penelitian tesis nya. Penelitian tersebut berjudul Faulkner’s The Sound and The Fury
as an American Modern Novel : A Study on Ambition in Modes of
Subjectivity. Penelitian tersebut menggunakan teori Strukturalisme dinamik. Dalam penelitiannya, Kusumasari mengangkat isu tentang ambisi dan subjectivitas karakter-karakter utama pada novel itu. Penelitiannya menganalisis tentang tema utama dan korelasinya dengan sosial budaya dari masyarkat Southern Amerika pada zamannya. Selain itu, penelitian tersebut juga bertujuan untuk memeriksa elemen dari mode subjektivitas pada novel The Sound and The Fury melalui empat pandangan yang berbeda-beda. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi pada karakter tersebut adalah konflik batin dalam diri karakter utama. Peristiwa yang terjadi pada cerita novel tersebut merupakan refleksi pergolakan batin dari karakter utama. Kedua, Olga W. Vickery dalam jurnal Modern Language Association. Jurnal akademiknya yang berjudul The Sound and The Fury : A study in perspective, ia mengeksplorasi gagasan perspektif serta konsep kebenaran. Vickery berfokus dalam penelitiannya pada hubungan dan ketegangan antara anak pada keluarga Chompson dalam novel tersebut. Juga oleh Gary Storhoff pada penelitiannya Caddy and the infinite loop: Dinamika alchoholisme pada The Sound and The Fury yang memberi perhatian lebih banyak pada isu utama dari mengenai perpecahan dalam keluarga Chompson. Storhoff menyelidiki topic alchoholisme sebagai penyebab utama kerusakan keluarga.
14
Ketiga, Ulrike Nussler dari Universitatsverlag WINTER Heidelberg, Jerman dalam jurnalnya yang berjudul Reconsidering the function of Mrs. Compson in Faulkner’s The Sound and The Fury . Nusler mengkaji ulang terhadap peran Mrs. Compson dalam novel The Sound and The Fury. Gambaran diberikan pada signifikansi Mrs Compson dalam menjaga keluarganya dengan sikap yang kaku, ketidak bergerakan fisik, kefanatikan dan pengabaian terhadap tugas seorang ibu kepada keluarga dan anak-anaknya. Dalam jurnalnya, Nulssler mejelaskan faktor faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah perubahan masyarakat yang cepat, memberikan efek efek distruktif terhadap rumah tangga keluarga Compson karena mereka mendasarkan diri pada nilai gender, ekonomi, sosial dan masyarakat Southern Amerika. Nussler menyimpulkan bahwa kekuatan manipulatif yang diterapkan oleh Mrs. Compson menggambarkan dirinya sebagai seorang victimizer dan juga sebagai seorang victim. Selain itu penelitian terdahulu yang berkaitan dengan teori intertekstual yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, Ardiantodalam Skripsinya yang berjudul Prosa Lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki Karya Toeti Heraty Kajian Intertekstual Julia Kristeva Penelitian pada Skripsi tersebut berfokus pada prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (CAKPKP) yang diasumsi sebagai salah satu bentuk transformasi dari teks Calon Arang prosa LOr 5387/5279. Proses transformasi berupa penerimaan dan pengadaptasian bersumber dari tradisi penulisan kisah Calon Arang yang telah ada sebelumnya. Dalam proses transmisi tersebut, terjadi proses transkultural yang dilakukan oleh penyalin terhadap teks
15
yang salinan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui kedudukan kisah Calon
Arang
dalam
tradisi
kesusastraan
Indonesia
dan
mengetahui
intertekstualitas prosa lirik CAKPKP. Para penerima teks menuliskan kembali teks Calon Arang dan menerbitkannya dalam beragam versi agar dapat diterima oleh pembaca sezamannya. Pendekatan Intertekstual digunakan untuk mengkaji hubungan antara korpus sastra anterior dan korpus sastra sinkronik berupa teks sastra maupun teks sosial dalam bentuk transformasi maupun modifikasi. Dari hasil pembacaan dengan metode intertekstual diketahui bahwa transmisi terhadap teks Calon Arang dilakukan sebagai representasi terhadap kondisi sosial politik yang terjadi pada masa Orde Baru. Penelitian Kedua dilakukan oleh Islahuddin, dalam Tesisnya yang berjudul novel Asywāk Karya Sayyid Quthb Kajian Intertekstual Julia Kristeva. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana tata pergaulan sosial keagamaan (muamalah) dalam novel Asywāk karya Sayyid Quthb dan intertekstualitasnya dengan teks keagamaan dan teks sosial dan budaya. Penelitian tersebut menggunakan keseluruhan teks yang dapat dikenali dalam novel Asywāk karya Sayyid Quthb sebagai objek kajian. Hasil dari analisis dalam tesis tersebut menunjukan bahwa tata pergaulan sosial-keagamaan (muamalah) terdapat dalam novel Asywāk karya Sayyid Quthb dan terdapat intertekstualitasnya dengan teks keagamaan dan teks sosial dan budaya berupa oposisi dan transformasi. Tata pergaulan sosial-keagamaan (muamalah) dan intertekstualitasnya dengan teks keagamaan Hasil penelitian tentang tata pergaulan sosial-keagamaan (muamalah) dalam teks keagamaan sudah dilanggar oleh umat Islam. Hal ini terekspresi dalam
16
novel Asywāk dalam wujud hubungan tata pergaulan sosial-keagamaan (muamalah) yang tidak sesuai dengan Islam. Selanjutnya, tata pergaulan sosialkeagamaan (muamalah) dalam teks sosial dan budaya telah mengalami pergeseran budaya. Penelitian ketiga dilakukan oleh Purwaningsing (2008) mengkaji teks ramayana dalam kitap omong kosong dengan sudut pandang intertekstual. Melalui penelitian tersebut disimpulkan bahwa kitab omong kosong berhipogram pada beberapa versi Ramayana. Ahmad (2009) dalam penelitiannya juga menggunakan kerangka intertekstual, yang mengkaji konsep Nur Muhammad di dalam Hikayat Nur Muhammad dalam kaitannya dengan teks Umdatul-Anshab dan Judul Karam. Hasil kajian intertekstual yang dilakukan penulis tersebut menunjukkan bahwa dengan bantuan dari teks umdatul-Anshab dan Judul karam, pemahaman Nur Muhammad pada Hikayat Nur Muhammad menjadi lebih utuh. Dari penelitian-penelitian diatas, penulis melihat bahwa penelitian yang murni menerapkan intertekstual berdasarkan pemikiran Julia Kristeva dengan objek material Penelitian The Sound And The Fury dalam kaitannya dengan drama Shakespeare Macbeth, belum ada.
Oleh sebab itu , penulis mencoba untuk
mengkajitentang hubungan intertekstual dari karya William Faulkner The Sound And The Fury dan drama Macbeth karya Williah Shakespeare. 1.5. Hipotesis. Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan-permasalahan dan kerangka teori yang telah disampaikan pada tinjaun pustaka di atas, didapatlah
17
sebuah hipotesis bahwa The Sound And The Fury dan drama Shakespeare Macbeth, meskipun tercipta dan hidup pada zaman yang berbeda, kedua karya tersebut memiliki hubungan intertekstual. Drama Shakespeare Macbeth yang diciptakan pada tahun 1606 menjadi sumber teks, atau teks luar yang masuk, yang kemudian mempengaruhi karya William Faulkner yang berjudul The Sound And The Fury. 1.6. Landasan Teori Penelitian ini akan berfokus dalam melihat hubungan intertekstual dari novel The Sound and The Fury dan drama Macbeth. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori intertekstual yang dikemukakan oleh Julia Kristeva. Alasan pemilihan Teori intertekstual yang dikemukakan oleh Julia Kristeva, adalah karena Julia Kristeva merupakan pencetus istilah teori tersebut. selain itu, teori yang dikemukakan Julia Kristeva tentang interteksrual merupakan teori yang paling sesuai dilihat dari objek kajian yang penulis pilih, yaitu sebuah karya sastra yang berbentuk novel. 1.6.1. Prinsip Dasar Intertekstual Prinsip intertekstualitas pertama kali diperkenalkan pada masa Formalis Rusia, khususnya melalui teori dialogis Bakhtin. Bakhtin berpendapat bahwa semua karya sastra dihasilkan berdasarkan dialog antara teks dengan teks-teks lain, tidak ada suatu teks yang tidak berhubungan dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, tidak ada suatu karya sastra yang tidak berkaitan dengan karya sastra lainnya. “Writer as well as 'scholar', Bakhtin was one of the first to replace the static hewing out of texts with a model where
18
literary structure does not simply exist but is generated in relation Linguistics, Semiotics, Textuality to another structure. What allows a dynamic dimension to structuralism is his conception of the 'literary word' as an intersection of textual surfaces rather than a point (a fixed meaning), as a dialogue among several writings: that of the. writer, the addressee (or the character) and the contemporary or earlier cultural context.” ( Krisrteva,1980: 36) Gagasan dalam suatu karya sastra tidak tercipta dari sesuatu yang tidak ada, tetapi selalu tercipta dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. sehingga, karya sastra selalu berada dalam hubungan dengan karya sastra sebelumnya. Gagasan Bakhtin itu merupakan gagasan awal intertekstual, tetapi Bakhtin masih menyebutnya dengan istilah Dialogis, bukan Intertekstual. Prinsip dasar Interteksrual adalah hubungan teks dengan teks-teks lain. Still dan Worton dalam Junus (1985:87-89), menjelaskan bahwa meskipun prinsip-prinsip intertekstual telah ada sebelumnya, namun istilah Intertekstual pertama kali cetuskan oleh seorang pascatrukturalis Prancis, yaitu Julia Kristeva. Kristeva menyatakan bahwa intertekstualitas adalah hakekat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain. Dengan kata lain, intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada teks lain. Kehadiran suatu teks dalam teks yang dibaca akan memberikan suatu warna tertentu kepada teks. Kristeva (1980:60 63) mengemukakan prinsip dan kaidah penelitian intertekstual sebagai berikut. Intertekstualitas memandang bahwa dalam sebuah teks terdapat teks lain karena sebuah teks tercipta berdasarkan teks-teks yang sudah ada sebagai latarnya. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian dapat berlaku sebagai penolakan, pengukuhan, atau perpecahan terhadap karya sastra
19
sebelumnya
sehingga
ketika
meneliti
suatu
teks,
penulis
harus
menghubungkannya dengan teks-teks lain yang mendasarinya untuk melihat aspek-aspek yang meresap. hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreativitasnya sendiri, dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya. 1.6.2. Teks Sebagai Mozaik Kutipan-Kutipan Julia Kristeva (1980:66), menyatakan bahwa teori intertekstual berangkat dari asumsi dasar bahwa any text is constructed as a mosaic of quotations; setiap teks adalah mozaik kutipan-kutipan; Ketika menulis karya, seorang pengarang akan mengambil komponen-komponen dari teks lain untuk diolah dan diproduksi dengan warna penambahan, pengurangan, penentangan, atau pengukuhan sesuai dengan kreativitasnyabaik secara sadar maupun tidak sadar. Julia Kristeva dalam Sangidu (2004: 23-24) mengemukakan bahwa prinsip intertekstual memandang setiap teks sastra perlu dibaca dan dipahami dengan latar belakang teks-teks lain. Artinya, setiap teks merupakan mozaik kutipan-kutipan. Hal yang dapat dikerjakan dalam membuktikan kutipan-kutipan, dari teks-teks lain adalah dengan menguraikan dan menggambarkan kasus-kasus atau kejadian–
20
kejadianyang dipermasalahkan dari dalam teks sastra, baik kasus-kasus atau kejadian-kejadian yang meneladani maupun menentang. 1.6.3. Teks adalah Penyerapan dan Transformasi dari Teks Lain Julia Kristeva (1980:66), menyatakan bahwaany text is the absorbtion and transformation of another setiap teks adalah penyerapan, dan transformasi dari teks lain. Kristeva ( 1980: 18) menegaskan bahwa setiap pengarang tidak hanya membaca teks itu secara sendiri, tetapi pengarang membacanya berdampingan dengan teks-teks lain sehingga pemahaman terhadap teks yang terbit setelah pembacaan tidak dapat dilepaskan teks-teks lain tersebut. Kehadiran teks lain, dalam keseluruan hubungan ini, bukanlah sesutu yang polos (Innocent), yang tidak mengikutkan suatu proses pemaknaan, suatu signifying process. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna suatu karya. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi karya acuannya. 1.6.4. Teks bukan Objek yang Berdiri Sendiri dan Bukan Sebagai Sistem yang Tertutup. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva (Worton, 1990: 1) mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah
21
teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan.Penggunaan teks luaran oleh seorang pengarang menunjukkan sikap pengarang untuk mengukuhkan atau menolak gagasan yang ada dalam teks luaran tersebut. Untuk mengungkapkan adanya hubungan interteks dalam penelitian biasanya didasarkan pada resepsi aktif pengarang dan resepsi pembaca sebagai pengkaji. Maksudnya, pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca sebagai pengkaji. Pengkaji pada dasarnya juga pembaca yang dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya berada dalam rangkaian pembacaan yang terakhir. Dengan demikian, latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memengaruhi makna yang diungkapkannya (Soeratno dalam Jabrohim 2003: 150). 1.6.5. Teks dan Kaintannya dengan Teks Sosial, Budaya dan Sejarah. Kristeva (1980: 36-37) menjelaskan bahwa kengkaji teks sebagai intertekstualitas adalah menempatkan teks itu dalam ranah sosial dan historis. Adapun ideologeme teks adalah memahami transformasi ujaran atau tuturan ke dalam teks sebagaimana halnya memahami penyisipan teks itu ke dalam teks historis dan sosial. Menurut Kristeva (1980:36), teks bukanlah objek, individu terpisah, melainkan kompilasi dari teks yang terdapat di dalam karya sastra dan teks yang terdapat diluar karya sastra yang tidak dapat dipisahkan di antara keduanya. Teks tidak dapat dipisahkan dari kondisi budaya dan sosial saat teks tersebut
22
diciptakan. Dalam pembuatan teks terdapat ideologeme dan perjuangan penulis yang terdapat di dalam masyarakat melalui wacana. 1.6.6. Ideologeme Dalam Teks Novel dapat dilihat sebagai sebuah teks, adalah praktek semiotik dimana pola-pola dipersatukan dari beberapa ucapan yang dapat dibaca. Novel dapat dianalisis dengan terlebih dahulu memahami fungsi yang menggabungkan fungsifungsi ke dalam teks. fungsi tersebut, merupakan sebuah variable terikat yang ditentukan bersama dengan variabel independen yang berhubungan satu sama lain. Secara singkat, dapat dikatakan ada penyesuaian antara kata-kata atau urutan kata dalam teks. oleh karena itu, dalam menganalisis novel terlebih dahulu memahami ucapan-ucapan novelistik secara menyeluruh. Kemudian dilanjutkan dengan proses menyelidiki asal-usul teks di luar novel. Hanya dengan cara tersebut, novel dapat didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks ekstranovelistik yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual novelistik. Ideologeme dari novel inilah yang dapat mendifinisikan fungsi intertekstual secara tepat sesuai dengan teks ekstra-novelistik dan memiliki nilai dalam tekstual novelistic (Kristeva,1980:7) Lebih lanjut, Kristeva (1980: 36) menjelaskan ideologeme sebagai persilangan dari pengaturan susunan teks-teks dengan ucapan-ucapan yang akan menyamakan ke ruangannya sendiri atau merujuknya dalam ruang teks-teks luar. Ideologeme merupakan fungsi baca intertekstual sebagai sesuatu yang terwujud ditingkat struktural yang berbeda dari setiap teks, dan membentang pada seluruh lintasan atau alur, memberikan keselarasan antara sejarah dan sosial.
23
Berdasarkan pada uraian di atas, dalam memahami intertekstual terlebih dahulu harus memahami ideologeme. Untuk mendapatkan ideologeme dalam teks dapat dilakukan dengan dua analisis yaitu analisis suprasegmental dan analisis intertekstual. Analisis intertekstual dilakukan dengan cara memahami dialog dalam teks. selanjutnya, terdapat tiga konsep dasar dalam dialog yang dikembangkan oleh Kristeva terkait intertekstual, yaitu 1) konsep transposisi yang menyebutkan adanya transposisi teks dari satu atau lebih sistem tanda ke sistem tanda yang lain, disertai dengan pengucapan baru. Setiap sistem adalah praktek yang menandakan berbagai jalan seperti transposisi bahasa puitik yang merupakan kode yang tidak terbatas artinya teks dapat bermakna jika dilakukan pemaknaan terhadap teks tersebut; 2) konsep oposisi, yaitu adanya jaringan persilangan ganda dan selalu memungkinkan adanya persilangan (kejutan dalam struktur narasi), yang memberikan ilusi suatu struktur terbuka, tidak mungkin selesai, dengan akhir yang sewenang-wenang; 3) konsep transformasi yang menyebutkan bahwa teks dususun sebagai mosaik kutipan-kutipan, teks adalah penyerapan dan transformasi dari teks yang lain. Kristeva (1990: 36) menjelaskan bahwa Intertekstual merupakan pengembangan dari semiotika kontemporer yang mengambil objeknya dari beberapa praktek semiotik yang dianggap sabagai translingustik yang beroprasi melalui bahasa namun tidak dapat mengurangi tiap kategorinya sebagaimana yang saat ini telah ditetapkan. Dalam perspektif ini, teks didefinisikan sebagai alat translingustik yang mendistribusikan kembali urutan bahasa dan menghubungkan kemampuan berbicara yang komunikatif. Teori ini menyebutkan penulis dalam
24
menulis teks karya sastra tidak menulis dari pikiran mereka sendiri, melainkan teks hasil tulisan tersebut adalah kompilasi dari teks sebelum membuat karya sastra tersebut diciptakan. Teks selanjutnya merupakan praktek dan produktivitas yang berarti : 1) bahwa hubungannya dengan bahasa keadaannya merupakan redisstributive (destruktif-konstruktif) dan menjadi kategori-kategori logis dari linguitik artinya status intertekstualnya merupakan strukturasi kata dan ucapan-ucapan yang ada sebelumnya dan akan terus digunakan setelah saat pengujaran; 2) teks merupakan permutasi teks, artinya adanya teks tersebut merupakan ucapan yang diambil dari teks-teks lain, saling menyilang, dan menetralisir satu sama lain. Lebih jelasnya, teks-teks yang terdiri dari potongan-potongan teks sosial dan budaya, menandakan berlangsungya perjuangan ideologisme dan ketegangan yang menjadi karakter bahasa dan wacana dalam masyarakat yang akan terus menggema dalam teks itu sendiri (Kristeva, 1980:36). Lebih lanjut Kristeva(1980:38) menjelaskan ada dua macam analisis untuk mengetahui ideologeme dalam novel, yaitu 1) analisis supersegmental dari ucapan-ucapan yang terdapat dalam kerangka novel akan mengungkap keberadaannya sebagai sebuah teks terbatas; 2) analisis intertekstual dari ucapanucapan akan mengungkapkan hubungan antara tulisan dan ucapan dalam teks novel. Kristeva (1980: 65) menjelaskan bahwa konsep kata dalam sastra sebagai sebuah persilangan dari permukaan tekstual dan tidak memiliki arti tetap. Kristeva
25
menyebutkan dalam sastra terdapat dialog antara penulis, pembaca dan budaya kontemporer atas budaya sebelumnya. Proses ini berlangsung ketika teks yang terdapat dalam sejarah dan masyarakat dibaca oleh penulis, kemudian penulis tersebut menyisipkan dengan menulis ulang teks tersebut. Kristeva (1980: 66) menjelaskan tentang poros atau sumbu horizontal (subjek-penerima) dan sumbu vertikal (teks-konteks) yang membawa kepada sebuah fakta penting, yaitu bahwa setiap kata (teks) adalah persilangan kata (teks) dimana setidaknya satu kata lain (teks) dapat dibaca. Dalam karya Bakhtin, dua poros atau sumbu yang disebut dialog ambivalensi ini tidak dapat dibedakan secara jelas. Teks disusun sebagai sebuah mozaik kutipan, teks adalah penyerapan dan transformasi dari teks yang lain. Napiah (1994: xv) menyimpulkan Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur di luar struktur seperti unsur sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat fungsi dan tujuan kehadiran teksteks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau dikaji; (5) yang dipentingkan dalam
26
interteks adalah menghargai pengambilan, kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya. Berdasarkan prinsip dan kaidah intertekstual yang dikemukakan Kristeva, Napiah membuat beberapa rumusan, antara lain: (1) pendekatan interteks ternyata mempunyai kaidah atau metodologi tersendiri. Kaidah itu mencoba meneliti bahwa sastra merupakan suatu proses pengolahan, pembinaan, dan pencemaran dua aspek, yaitu aspek dalaman dan aspek luaran, yang saling membantu untuk membentuk sebuah karya; (2) intertekstualitas juga melihat adanya berbagai bentuk hadirnya sebuah teks yang menjadi dasar gagasan dan aspirasi pengarangnya. Pengambilan atau penggunaan teks luaran menunjukkan kesediaan pengarang untuk memperkukuh karyanya, atau merupakan penolakan terhadap ide, makna, dan unsur lainnya yang bertentangan dengan paham atau aspirasi pengarang; (3) proses intertekstualitas tidak dapat dipisahkan dari hasrat, aspirasi, dan ideologi pengarang. Oleh karena itu, penelitian terhadap sebuah teks akan mencerminkan sikap dan aspirasi pengarang itu sendiri (1994: xv-xvi).
27
1.7.Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakapn dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Boglan dan Taylor dalam Moleong (1989: 3) metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati. Uraian mengenai metode yang digunakan sebagai alat analisis adalah sebagai berikut. 1.7.1. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian sastra dapat diartikan sebagai sejumlah data yang terdapat pada sebuah karya sastra atau lebih. Populasi ini dapat berupa sejumlah penelitian yang terdapat dalam sebuah naskah yang dijadikan analisis sebagai teks dan penelitian karya sastra sebelumnya (Sangidu, 2005: 62). Populasi dalam penelitian yang akan dilakukan adalah beberapa data yang terkait dengan analisis data. Adapun bagian dari populasi untuk memudahkan penelitian biasanya disebut sample (Sangidu, 2005:62). Populasi dalam penelitian ini berupa karya sastra dalam bentuk novel karya William Faulkner, yaitu adalah The Sound and the Fury (1929), As I Lay Dying (1930), Light in August (1932) Absalom, Absalom! (1936), The Hamlet (1940), and Go Down, Moses (1942). Adapun sample yang diambil dari populasi yang telah disebutkan sebelumnya adalah
novel yang berjudul The Sound and The Fury. Alasan
dipilihnya sampel, yang pertama karena novel tersebut merupakan masterpeace dari William Faulkner. Hal itu terbukti dengan terpilihnya novel The Sound and the Fury menjadi peraih hadiah Nobel ditahun 1949. Alasan kedua adalah karena pada novel tersebut terdapat jejak-jejak intertekstual dengan karya sastrawan besar
28
Inggris sekaligus sastrawan besar dunia, William Shakespeare, yaitu drama Macbeth 1.7.2 Metode Pengumpulan Data Pada metode pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data-data, berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa teks novel The Sound and The Fury karya William Faulkner dan data sekunder berupa sumber-sumber referensi tertulis seperti karya sastra lain, buku, Jurnal, laporan penelitian dan data sekunder lainnya yang sesuai dengan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan intertekstual antara novel The Sound and The Fury dan teks-teks luar yang mengelilinginya seperti teks drama Macbeth, teks sosial, budaya dan sejarah. 1.7.3 Metode Analisis Data Pada metode analisis data, metode analisis yang digunakan adalah metode intertekstual Julia Kristeva (1980). Metode intertekstual menjelaskan bahwa dalam
menganalisis
novel
terlebih
dahulu
mempelajari
fungsi
yang
menggabungkan fungsi-fungsi ke dalam teks. fungsi tersebut, merupakan sebuah variable terikat yang ditentukan bersama dengan variabel independen yang berhubungan satu sama lain, yang artinya ada penyesuaian antara kata-kata atau urutan kata dalam teks. fungsi didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks ektranovelistik yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual novelistik. Selanjutnya, ada dua langkah yang dalam menganalisis novel, yaitu 1) memahami ucapan-ucapan novelistik secara menyeluruh; 2) melakukan proses menyelidiki asal-usul teks dari luar novel The Sound and The Fury berupa teks drama Macbeth, teks sosial, budaya dan sejarah, yang meresap dalam novel The Sound
29
and The Fury. Melalui kedua langkah tersebut, novel dapat didefinisikan dalam ideologemenya (Kristeva, 1980: 37). Intertekstual Kristeva menjelaskan adanya pengaruh antara teks luar dan teks dalam pada sebuah novel. Pengaruh tersebut berbentuk oposisi dan transformasi. Selanjutnya, teknik yang akan dilakukan dalam teknik pengumpulan data adalah dengan teknik baca catat, yaitu pembacaan disertai pencatatan dengan cermat dan teliti pada keseluruhan teks. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu 1) menentukan objek material penelitian yaitu novel The Sound and The Fury; 2) menentukan objek formal, yaitu hubungan interterkstual antara kedua teks sastra yang dikaji; 3) Menetapkan teori, yaitu teori intertekstual Julia Kristeva; 4) Mencari sumber data dan berbagai referensi pendukung; 5) Menganalisis data berdasarkan teori yang digunakan, yaitu teori intertekstual Julia Kristeva; 6) membuat kesimpulan berdasarkan keseluruhan hasil penelitian; 7) menyusun laporan penelitian. Pembaca dihadapkan dengan teks dalam, The Sound and The Fury dan teks
Macbeth, sosial, budaya dan Sejarah untuk melakukan pembacaan atau
dialog. setelah dilakukan pembacaan (dialog), ditemukan identifikasi dari teks dalam dan teks luar. Identifikasi ini dapat digunakan untuk melihat adanya gejala intertekstual, yaitu adanya pengaruh berupa oposisi dan transformasi.
30
1.8. Sistematika Penulisan Secara garis besar, hasil dari penelitian ini ditulis dengan sistematika penulisan secara berurutan sebagai berikut : 1. BAB I
: Bab pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, hipotesis, landasan teori dan Metode penelitian. 2. BAB II
: Bab analisis berisi jawaban dari rumusan masalah yang pertama.
Pada Bab dua
dielaborasi hubungan intertekstual antara antara novel The
Sound and The Fury dan drama Macbeth 3. Bab III
: Bab analisis berisi jawaban dari rumusan masalah kedua dan
ketiga. Pada bab ini dielaborasi hubungan Intertextual antara novel The Sound and The Fury dengan teks sosial, budaya dan sejarah serta Signifikansi drama Macbeth karya William Shakespeare terhadap novel The Sound and The Fury karya William Faulkner. 4. Bab IV
: Bab Penutup yang berisi Simpulan dan Saran