1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian jangka menengah diarahkan untuk mewujudkan pertanian tangguh, memantapkan ketahanan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, serta mewujudkan kesejahteraan petani. Program revitalisasi pertanian-perikanankehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden RI pada Juni 2005 merupakan strategi umum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, petani hutan, dan menjaga kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan (Anonim, 2005). Program RPPK diharapkan mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dari sebanyak 16,06 % (pada 2004) menjadi 8,2 % (pada 2009), menurunkan jumlah pengangguran terbuka dari + 9,5 % (pada 2004) menjadi 5,1 % (pada 2009), dan menaikan pertumbuhan ekonomi dari 5,5 % (pada 2004) menjadi 7,6 % atau tumbuh sekitar 6,6 % per tahun (Rivai dan Agustian, 2005). Target program RPPK tersebut belum tercapai pada tahun 2009 dan nampak baru mendekati target capaian tersebut di tahun 2012. Sesuai data BPS (2012) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 adalah 28,59 juta orang (11,66 %), tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2012 sebesar 6,14 %, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2012 tumbuh 6.4 %. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memberikan kontribusi dominan terhadap struktur PDB triwulan II-2012 dengan kontribusi 14,8 %
1
2
disamping sektor industri pengolahan (23,5 %), dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (13,8 %). Salah satu upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan peranan sektor pertanian terhadap struktur PDB adalah meningkatkan produktivitas pertanian rakyat. Oleh karena itu diperlukan upaya mempercepat adopsi dan difusi inovasi teknologi pertanian di tingkat petani. Adopsi dan difusi inovasi teknologi pertanian tidak dapat dilepaskan dari proses penyuluhan pertanian dan paradigmanya. Paradigma penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk menghadapi era agribisnis masa depan adalah memosisikan petani nelayan sebagai fokus kegiatan pembangunan pertanian (Pusbangluh, 2000). Dengan demikian, petani dan nelayan berperan sebagai subjek dalam pembangunan pertanian. Petani merupakan manajer dalam usaha taninya dipandang sebagai sosok yang memiliki potensi kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri dalam merencanakan, mengelola, dan mengembangkan usaha taninya dalam pencapaian kesejahteraan keluarga dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, penyelenggaraan pembangunan pertanian harus dapat memfasilitasi berbagai kebutuhan petani agar dapat mengembangkan kemampuannya melalui upaya-upaya pengaturan, pelayanan, dan penyuluhan pertanian (Budiarno, et. al.,2004). Provinsi Maluku merupakan salah satu provinsi di Indonesia bagian timur yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional. Sesuai dengan data BPS Maluku (2007), populasi penduduk Provinsi Maluku tahun 2006 adalah 1.271.035 jiwa, sebanyak 418.600 jiwa (33
3
%) di antaranya adalah penduduk miskin. Tercatat jumlah kemiskinan rata-rata nasional adalah 39.293.300 jiwa (17,75 %). Hal ini berarti bahwa sebanyak 1,07 % dari jumlah penduduk miskin Indonesia berada di Maluku dan selebihnya tersebar di 33 provinsi lainnya. Sebanyak 80,96 % dari jumlah penduduk miskin di Maluku berada di pedesaan dan
77,11 % di antaranya bekerja di sektor
pertanian. Data tersebut menunjukkan populasi penduduk miskin di Maluku umumnya adalah petani. Pada tahun 2012 tingkat kemiskinan di Maluku sudah mengalami sedikit penurunan. Sesuai berita resmi statistik Badan Pusat Statistik No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012, jumlah penduduk miskin di Maluku pada periode September 2012 adalah 356.400 jiwa dan 299.920 jiwa (84,15 %) diataranya adalah penduduk desa.
Data tersebut menunjukkan bahwa penurunan tingkat kemiskinan di
Maluku hanya terjadi di perkotaan, sebaliknya terjadi peningkatan tingkat kemiskinan di pedesaan. Tingkat pemilikan lahan petani di Maluku cukup tinggi. Sebagaimana dilaporkan oleh Kaliky et.al. (2007) bahwa petani di Kabupaten Seram Bagian Barat memiliki lahan dengan luas berkisar antara 0,8--6 ha. Namun, luas lahan tersebut tidak semuanya diolah/digarap secara produktif (tingkat pemanfaatan rendah). Osok (2007) melaporkan bahwa lahan yang digarap secara efektif untuk tanaman pangan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat umumnya kurang dari 0,5 ha/keluarga. Hal tersebut disebabkan sistem usaha tani petani setempat masih tradisional, pola bertani ladang berpindah (shifting cultivation), dan lemahnya
4
penguasaan
teknologi.
Hal
ini
menyebabkan
rendahnya
produksi
dan
produktivitas tanaman pangan setempat, seperti terlihat pada Tabel 1.1 Tabel 1.1 Rata-Rata Produktivitas Tanaman Pangan di Maluku Tahun 2010 Produktivita (Ton/Ha) Jenis Tanaman Maluku Nasional Padi (gabah kering giling) 4,108 5,015 Jagung (pipilan kering) 2,427 4,436 Ubi Kayu (umbi basah) 15,650 20,217 Ubi Jalar (umbi basah) 8,547 11,327 Kacang Tanah (biji kering) 1,202 1,256 Sumber : BPS, 2011 Selain tanaman pangan produktiviats komoditas perkebunan juga rendah. Salah satu komoditas perkebunan di antaranya adalah kelapa.
Produktivitas
tanaman kelapa di Maluku pada tahun 2006 tercatat sebesar 0,77 ton/ha. Produktivitas kelapa tersebut masih jauh di bawah potensi hasil kelapa dalam yang bisa mencapai 2,5--3,0 ton/ha/tahun atau setara dengan 11.250--13.500 butir (Badan
Litbang
Pertanian,
2007).
Gambaran
ini
menunjukkan
bahwa
produktivitas pertanian tanaman pangan dan perkebunan di Maluku rendah. Selain itu, berdasarkan pengamatan lapangan terlihat bahwa masyarakat di pedesaan Maluku belum memanfaatkan limbah komoditas perkebunan yang berlimpah seperti sabut dan tempurung kelapa, daun cengkeh dan pala guna menghasilkan nilai tambah. Dewasa ini daya saing produk perkebunan justru terletak pada industri hilirnya. Di sektor peternakan rakyat terlihat bahwa ternak ruminansia yang berkembang cukup baik adalah ternak kambing, ternak lain kurang berkembang. Namun demikian, jumlah populasi sapi dan kerbau pada tahun 2009 di Maluku cukup tinggi, yaitu masing-masing 74.654 ekor dan 26.012 ekor. Daya dukung ternak sapi
dalam menghasilkan limbah ternak juga belum
5
dimanfaatkan secara optimal sebagai pupuk organik yang berguna untuk menunjang peningkatan produksi dan produktivitas tanaman di Maluku. Hasil penelitian Kaliky et. al. (2007) melaporkan bahwa populasi sapi potong di Kabupaten Seram Barat sebanyak 7.014 ekor. Bila dikelola dengan baik, populasi sapi tersebut dapat menghasilkan limbah sebesar 105.210 kg/hari dengan kadar air 80% atau 56.112 kg/hari pupuk kompos kering (matang) dengan kadar air 40%. Hal ini berarti bahwa dalam satu bulan bisa diperoleh pupuk kandang kering sebanyak 1.683.360 kg atau 20.200.32 ton/tahun dengan periode produksi 3--4 minggu. Jika kebutuhan pupuk organik sebanyak 2 ton/ha, maka limbah ternak sapi tersebut dapat berguna untuk memupuk tanaman seluas 336,672 ha. Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku petani di Maluku terlihat cara bertani masih tradisional, penguasaan teknologi rendah, dan belum dimanfaatkan sumber daya yang tersedia sebagai penambah pendapatan keluarga. Hal ini disebabkan, antara lain oleh keterbatasan pengetahuan dan rendahnya penguasaan teknologi, serta aksesibilitas petani pada teknologi, pasar, dan permodalan rendah. Salah satu upaya untuk membantu petani agar mampu mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui penyuluhan pertanian. Namun, penyuluhan pertanian di Maluku dihadapkan pada beberapa permasalahan. Permasalahan itu adalah keterbatasan tenaga penyuluh, yang diperburuk dengan penempatan tenaga penyuluh yang tidak proporsional antarkabupaten (Tabel 1.2) dan keterbatasan biaya operasional memperparah jalannya aktivitas penyuluhan pertanian di Maluku. Biaya operasional penyuluhan (BOP) yang disediakan pemerintah adalah
6
Rp 250.000,00/bulan dan disamakan secara nasional tanpa mempertimbangkan karakteristik geografis dan faktor ikutannya, seperti ketersediaan sarana transportasi yang minim dan lainnya, yang berpengaruh terhadap pembiayaan operasional penyuluhan. Sebagai gambaran, biaya transportasi antarpulau di Maluku berkisar antara Rp 75.000,00--Rp 250.000,00 pulang pergi, belum termasuk biaya transportasi darat.
Biaya transportasi tersebut
bervariasi
tergantung pada jarak antarpulau dan tingkat ketersediaan transportasi umum. Relatif rendahnya ketersediaan biaya operasional penyuluhan dan tingginya biaya transportasi menyebabkan pelaksanaan penyuluhan melalui komunikasi interpersonal secara rutin per periode tertentu sulit dilakukan. Terutama untuk pelaksanaan penyuluhan di desa-desa yang letaknya relatif jauh dari kota kabupaten dan kecamatan, serta antarpulau dengan domisili penyuluh. Penempatan tenaga penyuluh pertanian lebih banyak terdistribusi di desa-desa di sekitar kawasan sentra produksi pangan (padi). Kondisi ini menyebabkan para petani di luar kawasan sentra pangan (mayoritas populasi petani di Maluku), sulit mendapatkan informasi pertanian melalui penyuluhan pertanian. Mengingat
tujuan
penyuluhan
pertanian
tidak
hanya
sebatas
menginformasikan/memberi tahu (to inform) melainkan juga untuk mengubah sikap dan perilaku petani. Untuk mengubah sikap dan perilaku petani, terutama pada petani-petani tradisonal dan tingkat pendidikan rendah, penyuluhan pertanian perlu dilakukan melalui pendekatan persuasif dan partisipatif dengan komunikasi interpersonal dan berlangsung secara berkelanjutan.
7
Selama ini penyuluhan pertanian di pedesan dilakukan oleh penyuluh pertanian formal. Model penyuluhannya adalah dengan pendekatan individu dan kelompok melalui kelompok tani. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapang, terlihat bahwa di desa-desa yang beragroekosistem lahan kering, umumnya kelompok tani kurang aktif. Kelompok tani hanya aktif bila ada kegiatan-kegiatan proyek. Adanya keterbatasan SDM penyuluh pertanian dan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian, serta kurang aktifnya kelompokkelompok tani menyebabkan implementasi penyuluhan pertanian secara persuasif partisipatif di Maluku sulit diwujudkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem penyuluhan pertanian existing dengan mengandalkan penyuluh pertanian formal dan kelompok tani semata sebagai saluran komunikasi dalam penyuluhan pertanian di pedesaan Maluku kurang efektif dan produktif. Menjembatani kesulitan mewujudkan penyuluhan pertanian secara persuasif partisipatif di pedesaan Maluku yang disebabkan oleh kurangnya SDM penyuluh pertanian, rendahnya biaya operasional penyuluhan pertanian, tingginya biaya transportasi, domisili penyuluh pertanian antarpulau dengan desa binaan/wilayah kerja, serta kelompok tani kurang aktif,
adalah dengan
memberdayakan kelembagaan lokal yang merupakan social capital di pedesaan di dalam sistem penyuluhan pertanian di tingkat desa sebagai media komunikasi. Melibatkan kelembagaan lokal di dalam sistem penyuluhan pertanian merupakan tantangan dan peluang untuk meningkatkan efektifitas penyuluhan pertanian di Maluku.
8
Subejo (2006), mengatakan bahwa tantangan untuk mengintrodusir suatu sistem institusi baru yang lebih sesuai menjadi pertimbangan dalam mereformasi sistem penyuluhan pertanian. Mengingar transformasi penyuluhan pertanian sedang berlangsung di seluruh dunia, dan perubahan terjadi pada organisasi, sistem penugasan, dan praktek sistem penyuluhan pertanian dan pedesaan. Sumardjo (1999) dalam disertasinya menyarankan, bahwa perlu dilakukan penelitian untuk menggali potensi kelembagaan lokal yang dapat menjadi media pengembangan inovasi bagi sistem agribisnis dan sistem usaha tani. Menurut Sumardjo (1999) pelaksanaan penyuluhan pertanian dengan memberdayakan kelembagaan lokal sebagai media pengembangan inovasi dengan pendekatan komunikasi relasional dan convergence
menempatkan martabat petani secara
lebih layak. Petani dengan berbagai kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai. Cara ini lebih mendorong terwujudanya partisipasi masyarakat yang lebih tinggi. Kelembagaan lokal/kelompok sosial yang familier di pedesan Maluku diantaranya
adalah
(1)
kelembagaan
lokal
berbasis
adat
yaitu
soa
(klan/kekerabatan), badan saniri (lembaga legislatif/ perwakilan masing-masing soa),
sasi (lembaga konservasi alam),
dan masohi (gotong royong); (2)
kelembagaan lokal berbasis keagamaan yaitu takmir masjid, majelis taklim, majelis jemaat gereja yang meliputi sektor dan unit, angkatan muda gereja, wadah pelayanan wanita, wadah pelayanan pria; dan (3) berbasis kepemudaan yakni organisasi olah raga, dan organisasi jujaro deng mungare (organisasi pemudi dan pemuda);
9
Kelembagan lokal atau kelompok-kelompok sosial yang merupakan social capital yang dapat diberdayakan sebagai media komunikasi (communication channe)l dalam proses penyuluhan pertanian harus memenuhi persyaratan tertentu guna menunjang terbangunnya suatu proses komunikasi relasional yang baik sehingga menghasilkan kesepemahaman komunikasi (convergence) yang tinggi. Persyaratan penting bagi kelembagaan lokal/kelompok sosial yang akan diberdayakan sebagai communication channel dalam proses penyuluhan pertanian, diantaranya adalah harus memiliki basis komunitas akar rumput yang kuat, legitmate, di hormati, dan tokoh sentralnya dipatuhi himbauannya di dalam lingkungan sosialnya. Selain itu, pemberdayaan kelompok sosial sebagai media/saluran komunikasi pembangunan di Maluku juga perlu didasarkan pada adanya kepatuhan masyarakat pada norma-norma sosial, adanya hubungan sosial yang solid antara pemimpin kelompok dengan komunitasnya, dan adanya jejaring sosial inter dan intra kelompok yang baik. Kelembagaan
lokal
yang
memenuhi
persyaratan
tersebut
adalah
kelembagaan lokal berbasis adat yakni soa, dan kelembagaan berbasis keagamaan yaitu takmir masjid, dan majelis jemaat gereja meliputi sektor dan unit. Pesanpesan pembangunan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh sentral kelembagaan lokal akan membantu percepatan penyampaian informasi dan inovasi teknologi pertanian kepada para petani anggota komunitasnya di tataran grassroot dan berpeluang memunculkan grassroots technology (tacit knowledge) ke permukaan. Dengan diberdayakannya tokoh-tokoh sentral di dalam kelembagaan lokal/ kelompok sosial di pedesaan sebagai saluran komunikasi yang menjembatani
10
komunikasi antara penyuluh pertanian (nara sumber informasi inovasi teknologi) dengan petani, diharapkan dapat memperlancar pelaksanaan penyuluhan pertanian. Para tokoh sentral kelembagaan lokal
yang menyampaikan pesan
inovasi teknologi kepada khalayak komunitas di dalam sistem sosialnya diharapkan akan mempermudah penerimaan pesan oleh petani. Adanya kemudahan dalam penyampaian dan penerimaan pesan-pesan inovasi
oleh petani diharapkan dapat meningkatkan human capital petani
komunitas kelompok sosial. Selain itu, dengan memberdayakan tokoh sentral di dalam kelompok sosial sebagai komunikator dengan latar belakang pengalaman bidang pertanian yang relatif sama dengan para anggota komunitas, maka akan terbangun
suatu komunikasi dialogis yang produktif. Dengan demikian, akan
membantu memudahkan di dalam proses
identifikasi permasalahan yang
dirasakan petani. Permasalahan petani teridentifikasi kemudian diteruskan secara kolektif kepada para penyuluh maupun petugas pertanian lainnya untuk mendapatkan solusinya. Proses penyuluhan seperti ini akan membantu mempermudah akses petani terhadap informasi, inovasi teknologi, maupun permodalan. Melibatkan para tokoh sentral kelembagaan/kelompok sosial di pedesaan sebagai media komunikasi, maka akan memperbanyak saluran komunikasi (multi channel) di dalam proses diseminasi dan penyuluhan pertanian. Semakin banyak saluran komunikasi interpersonal penyuluhan pertanian di pedesaan akan mendorong lahirnya penyuluh-penyuluh pertanian swadaya yang produktif. Semakin banyak penyuluh pertanian swadaya akan menunjang adanya
11
transformasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, seperti dikemukakan oleh Budiarno et. al. (2004), bahwa perlu ada pemikiran transformasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang dikelola oleh petani, pemerintah hanya menyediakan dana pendamping yang dapat diakses oleh masyarakat petani. Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengkaji penyelenggaraan penyuluhan pertanian, social capital, human capital, aksesibilitas petani, dan pengaruhnya terhadap perilaku petani terkait sistem penyuluhan pertanian di Provinsi Maluku. 1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan data Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian (Bakorluh) Maluku tahun 2013, jumlah penyuluh pertanian di Maluku adalah 360 orang yang tersebar di 62 kecamatan pada delapan kabupaten/kota, termasuk penyuluh di tingkat
provinsi.
Distribusi
penyuluh
per
kecamatan
masing-masing
kabupaten/kota dan provinsi terlihat pada Tabel 1.2 yang menunjukkan ketidakmerataan sebaran penyuluh di setiap wilayah.
12
Tabel 1.2 Jumlah dan Rerata Penyuluh per Kecamatan tiap-tiap Kabupaten/ Kota, dan di Tingkat Provinsi Maluku Tahun 2013
No.
Wilayah Kerja
Jumlah Kec.
Jumlah Desa
Jumlah Penyuluh (orang)
Rerata Jumlah Penyuluh/ Kec
Rerata Jumlah Penyuluh/ Desa
1 2 3
Provinsi 16 Kota Ambon 5 50 39 7,8 Kab. SBT 4 56 22 5,5 Kab. Maluku 4 17 187 24 1,4 Tenggara Barat 5 Kab.Buru 10 106 32 3,2 6 Kab.Kep.Aru 3 106 1 0,3 Kab.Maluku 10 112 28 2,8 7 Tenggara 8 Kab.SBB 4 89 64 16,0 Kab.Maluku 9 11 161 134 12,2 Tengah Jumlah 64 867 360 5,6 Sumber: Bakorluh Maluku, 2013 dan BPS Maluku online, 2012 Keterangan: SBT = Seram Bagian Timur. SBB =Seram Bagian Barat
0,8 0,4 0,1 0,3 0,0 0,3 0,7 0,8 0,4
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Subdinas Sumber Daya Manusia (SDM) Dinas Pertanian Maluku pada September 2008, diperoleh informasi bahwa sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Maluku dihadapkan pada beberapa permasalahan diantaranya adalah kelembagaan penyuluhan yang belum solid, tenaga penyuluh di tiap wilayah tidak proporsional seperti terlihat pada Tabel 1.2, pembiayaan penyuluhan rendah, sarana dan prasarana kurang memadai, dan pelaksanaan penyuluhan belum sistematis. Untuk mendukung program satu desa satu penyuluh yang dicanangkan kementerian pertanian, maka
Provinsi Maluku masih kekuarangan SDM
penyuluh pertanian sebanyak 507 orang.
13
Distribusi penyuluh yang tidak merata, sarana dan prasarana kurang memadai, wilayah kerja berpencar antarpulau, dan pembiayaan penyuluhan yang rendah, ongkos transportasi tinggi mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di pedesaan secara intensif dengan sistem penyuluhan pertanian yang ada di Maluku saat ini (existing) kurang optimal. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu dikembangkan saluransaluran komunikasi lokal di tingkat pedesaan yang bisa membantu penyampaian pesan-pesan pembangunan dan penyuluhan pertanian kepada masyarakat di pedesaan.
Kelembagaan
sosial
yang
potensial
dapat
berperan
sebagai
media/saluran komunikasi antara lain kelompok-kelompok sosial yang berakar kuat di dalam sistem sosial masyarakat desa, legitimate, dihormati, dan dipatuhi himbauannya. Kelompok sosial yang berakar kuat, legitimate, dihormati, dan dipatuhi himbauannya adalah kelompok sosial/kelembagaan adat (soa) dan kelompok sosial keagamaan
yaitu takmir masjid dan majelis jemaat gereja
meliputi sektor dan unit. Soa, takmir masjid dan majelis jemaat gereja (sektor dan unit) adalah kelompok-kelompok sosial yang merupakan social capital yang ada di setiap desa di Maluku. Pemberdayaan tokoh sentral kelompok sosial berbasis adat dan keagamaan tersebut di dalam proses penyuluhan pertanian diharapkan dapat membantu terbangunnya komunikasi pembangunan pertanian yang produktif antarpetani di dalam sistem sosial kelompok tersebut. Dengan terbangunnya sistem komunikasi pembangunan pertanian di pedesaan dengan memanfaatkan pemimpin kelompok-kelompok sosial tersebut sebagai media komunikasi dalam
14
penyampaian informasi dan inovasi teknologi pertanian, maka akan terbangun suatu proses komunikasi dialogis yang baik. Komunikasi dialogis yang dibangun oleh partisipan komunikasi yang memiliki latar belakang pengalaman yang sama, akan melahirkan kesepemahaman komunikasi yang tinggi (Kincaid, 1977). Dengan demikian dapat mempercepat proses untuk meningkatkan human capital petani. Selain itu, dengan adanya media/saluran komunikasi lokal berbasis kelompok sosial/social capital di pedesaan Maluku diharapkan dapat mengisi pos penyuluhan desa (posluhdes) yaitu kelembagaan penyuluhan pertanian di pedesaan sesuai UU No. 16 Tahun 2006. Posluhdes merupakan kelembagaan penyuluhan non struktural yang diisi oleh penyuluh pertanian swadaya. Menurut kepala bidang ketenagaan dan pengembangan SDM penyuluhan Bakorluh Maluku (2012),
bahwa hingga tahun 2012 Provinsi Maluku baru
memiliki dua orang penyuluh swadaya hutan kemasyarakan, delapan penyuluh swadaya kelautan dan perikanan, dan hanya satu
orang penyuluh pertanian
swadaya. Dengan pemberdayaan potensi kelompok-kelompok sosial (social capital) sebagai media/saluran komunikasi penyuluhan pertanian diharapkan dapat melahirkan penyuluh-penyuluh pertanian swadaya dan memperkuat sistem penyuluhan pertanian yang ada di pedesaan Maluku. Pemberdayaan kelompokkelompok sosial sebagai media/saluran komunikasi di pedesaan dapat membantu aksesibilitas petani di lingkungan sosial kelompoknya terhadap informasi, inovasi
15
teknologi, dan permodalan, sehingga diharapkan dapat mendorong percepatan perubahan perilaku. Berdasarkan uraian tersebut muncul pertanyaan apakah penyelenggaraan penyuluhan pertanian, social capital, human capital, dan aksesibilitas petani berpengaruh terhadap perilaku petani terkait system penyuluhan di Provinsi Maluku? Pertanyaan tersebut dijabarkan secara spesifik sebagai berikut. 1. Bagaimanakah penyelenggaraan dan revitalisasi penyuluhan pertanian? 2. Bagaimanakah profil social capital? 3. Bagaimanakah human capital petani petani? 4. Bagaimanakah aksesibilitas petani? 5. Bagaimanakah perilaku petani dalam berusaha tani? 6. Adakah pengaruh social capital terhadap penyelenggaraan penyuluhan, human capital, aksesibilitas, dan perilaku petani? 7. Apakah penyelenggaraan penyuluhan pertanian berpengaruh terhadap human capital, dan aksesibilitas, serta perilaku petani dalam berusaha tani? 8. Apakah human capital berpengaruh terhadap, dan aksesibilitas, serta perilaku petani dalam berusaha tani? 9. Apakah aksesibilitas berpengaruh terhadap perilaku petani ? 10. Bagaimanakah kondisi sistem penyuluhan pertanian existing di Provinsi Maluku dan alternatif pengembangannya?
16
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian
tersebut maka tujuan penelitian di
Provinsi Maluku ini adalah : 1. Mengkaji penyelenggaraan dan revitalisasi penyuluhan pertanian 2. Mengetahui profil social capital. 3. Mengkaji human capital petani. 4. Mengkaji aksesibilitas petani 5. Mengkaji perilaku petani dalam berusaha tani. 6. Menganalisis pengaruh social capital terhadap penyelenggaraan penyuluhan, human capital, aksesibilitas, dan perilaku petani. 7. Menganalisis pengaruh penyelenggaraan penyuluhan pertanian terhadap human capital, dan aksesibilitas, serta perilaku petani dalam berusaha tani. 8.
Menganalisis pengaruh human capital terhadap aksesibilitas dan perilaku petani dalam berusaha tani.
9.
Menganalisis pengaruh aksesibilitas terhadap perilaku petani dalam berusaha tani.
10. Mengkaji sistem penyuluhan pertanian aternatif di Provinsi Maluku 1.4 . Keluaran Penelitiaan Penelitian ini akan menghasilkan keluaran berupa hal-hal sebagai berikut: 1. Diperoleh data dan informasi tentang
penyelenggaraan dan revitalisasi
penyuluhan pertanian. 2. Diperoleh data dan informasi tentang profil social capital.
17
3. Diperoleh data dan informasi tentang human capital petani 4. Diperoleh data dan informasi tentang aksesibilitas petani 5. Diperoleh data dan informasi tentang perilaku petani dalam berusaha tani. 6. Teranalisisnya
pengaruh
social
capital
terhadap
penyelenggaraan
penyuluhan, human capital, aksesibilitas, dan perilaku petani. 7. Teranalisisnya pengaruh penyelenggaraan penyuluhan pertanian terhadap human capital, aksesibilitas, dan perilaku petani dalam berusaha tani. 8.
Teranalisisnya pengaruh human capital terhadap aksesibilitas dan perilaku petani dalam berusaha tani.
9.
Teranalisisnya pengaruh aksesibilitas terhadap perilaku petani dalam berusaha tani.
10. Mendapatkan sistem penyuluhan alternatif di Provinsi Maluku 1.5 . Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Merupakan masukan bagi pengambil kebijakan penyuluhan pertanian di tingkat nasional dalam rangka pengembangan pembangunan pertanian di Indonesia. 2. Merupakan masukan bagi pengambil kebijakan penyuluhan pertanian di Provinsi Maluku dan provinsi lainnya yang memiliki karakteristik wilayah yang sama. 3. Menjadi kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu penyuluhan pertanian dan komunikasi pembangunan.
18
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian tentang penyuluhan pertanian dan perilaku petani sudah banyak dilakukan. Penelitian tentang penyuluhan pertanian telah dilakukan di antaranya oleh Subarna, Agus Muharam, dan Purwanto (2001), Puspadi (2002), Nurmalia. dan Dedy Kusnadi (2006), dan Nuryanto (2008). Subarna et.al. (2001) meneliti pengaruh penyuluhan terhadap kinerja kelompok usaha agribisnis terpadu (kasus di Kelompok Mekar Tani Kabupaten Kuningan). Variavel yang diteliti meliputi (1) kinerja kelompok usaha agribisnis terpadu (KUAT) dengan indikator kemampuan dalam pengadaan input produksi, peningkatan produktivitas dan efesiensi usaha tani, serta pembentukan organisasi yang mandiri; (2) kinerja penyuluh di lapanganan. Indikator pengamatan adalah frekuensi interaksi penyuluh dengan petani, kemampuan penyuluh, dan sikap tanggap (responsivness) penyuluh. Kesimpulan penelitiannya adalah (1) penyuluhan berpengaruh positif terhadap kinerja kelompok usaha agribisnis terpadu dan berpengaruh terhadap kinerja KUAT sebesar 57,9%. (2) Penyuluhan berperan dalam meningkatkan kualitas SDM petani untuk meningkatkan kinerja KUAT melalui interaksi antara petani dan penyuluh yang cukup intensif. Kemampuan penyuluh dalam menyampaikan informasi sesuai dengan kondisi sosial budaya petani. Kemampuan penyuluh sesuai dengan penguasaan materi agribisnis. Ada kemampuan penyuluh dalam meningkatkan motivasi petani, dan ada daya tanggap
(responsivness) penyuluh terhadap masalah-masalah yang
dihadapi petani. (3) Faktor terlemah dari penyuluh sebagai delivery system dan change agent dalam penyampaian informasi adalah adanya daya tanggap
19
penyuluh dalam kemampuannya mengatasi masalah kelembagaan, yang berhubungan dengan pemfasilitasan petani dengan institusi lain, seperti pemasaran dan pengadaan sarana produksi. Disertasi Puspadi (2002) yang berjudul Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian” memfokuskan penelitian pada kualitas dan efektivitas kegiatan penyuluhan dengan variabel independennya adalah motivasi, kepribadian, harga diri,
kompetensi,
kemampuan
operasional,
iklim
organisasi,
kualitas
pemberdayaan, kualitas teknologi, kualitas informasi, kualitas kebijaksaan, dan kompleksitas wilayah kerja. Efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian, baik pada sentra produksi komoditas perdagangan maupun komoditas subsistens di Jatim, Lampung, dan NTB relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penyuluh dalam memecahkan permasalahan petani, pengembangan alternatif usaha pertanian, peningkatan produki usaha tani, pengembangan permodalan, pemasaran hasil pertanian, pengembangan usaha pertanian, kemudahan untuk mendapatkan saprodi, interaksi dengan pihak ketiga, dan meningkatkan kompetensi para petani rendah. Nurmalia dan Dedy Kusnadi (2006) meneliti peranan penyuluh formal dalam pengembangan kemandirian petani di Kabupaten Bogor. Variabel dependen dan
independen yang diamati adalah karakteristik petani, sistem sosial, dan
kinerja penyuluhan. Kesimpulan penelitannya di antaranya adalah tingkat pendidikan formal, kekosmopolitan, status penguasaan sumber daya pertanian, status sosial, dan sistem sosial memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat kemandirian petani.
20
Nuryanto (2008) melakukan
penelitian berupa disertasi berjudul
Kompetensi penyuluhan pertanian di provinsi Jawa Barat. Variabel-variabel penelitian meliputi
tingkat kompetensi penyuluh, tingkat kinerja penyuluh,
karakteristik pribadi penyuluh, karakteristik lingkungan penyuluh, efektivitas pelatihan penyuluh, tingkat pengembangan diri penyuluh. Kesimpulan penelitian di antaranya adalah bahwa tingkat kompetensi penyuluh sarjana dalam pembangunan
pertanian
di
Jawa
Barat
rendah.
Kemampuan
mereka
memanfaatkan internet sangat rendah. Kemampuan membangun jejaring kerja, dan mengakes informasi juga rendah. Kemampuan berkomunikasi secara efektif, bekerja sama dalam tim, berpikir sistematis, memahami potensi wilayah dan kebutuhan petani terkategori sedang. Faktor determinan yang berpengaruh terhadap rendahnya kompetensi penyuluh berpendidikan sarjana adalah rendahnya efektivitas pelatihan, rendahnya motivasi intrinsik, dan rendahnya motivasi ekstrinsik. Penelitian-penelitian tentang perilaku petani sebagai variabel independen dengan variabel dependen yang beragam, di antaranya, telah dilakukan oleh Gitoasmoro (1999), Antara (2001), Astuti (1992), dan Ratnada dan Yusuf (2003). Gitoasmoro (1999), melakukan penelitian dalam disertasinya berjudul “Perilaku Petani dalam Pengelolaan Lahan Bonorowo di Kabupaten Lamongan”. Dalam penelitiannya Gitoasmoro meneliti perilaku petani dalam pengelolaan lahan bonorowo sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independennya adalah karakteristik dan kualitas lahan serta karakteristik petani (pendidikan,
21
status penggunaan lahan, pemakaian alat pertanian, kemudahan transportasi, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lahan. Kesimpulan penelitian, di antaranya, adalah perilaku petani dalam pengolahan lahan bonorowo bervariasi menurut satuan bentuk lahan. Karakteristik petani yang berpengaruh terhadap perilaku berturut-turut yang paling terkuat adalah jarak antarlahan garapan dan tempat tinggal, tingkat pendidikan,
frekuensi
mengikuti
penyuluhan
pertanian,
pemakaian
alat
pertanian,dan kemudahan transportasi. Antara (2001) melakukan penelitian dalam disertasinya berjudul Perilaku Petani dalam Pengalokasian Sumber Daya Untuk Mencapai Pendapatan Maksimum di Kabupaten Tabanan. Variabel-variabel yang diamati meliputi penggunaan pupuk, tenaga kerja keluarga, tenaga kerja luar keluarga, tenaga kerja keluarga yang bekerja diluar usaha tani, produksi padi, dan pendapatan rumah tangga tani. Kesimpulan penelitian, di antaranya, adalah perilaku petani di lokasi penelitiaan dalam menghadapi kondisi krisis moneter diwujudkan dalam penghematan pupuk, pengurangan penggunaan tenaga kerja luar rumah tangga, dan lebih intensif bekerja di luar usaha tani tanpa mengesampingkan pekerjaan utama sebagai petani. Astuti (1992) melakukan penelitian dalam tesisnys berjudul “Analisis Risiko dan Perilaku Petani Bawang Putih di Kabupaten Bantul”. Variabel penelitian yang diteliti adalah biaya sarana produksi, produksi, harga, dan pendapatan.
22
Ratnada dan Yusuf (2003) telah meneliti Perilaku Petani dalam Konservasi Lahan pada Sistem Usaha Pertanian Padi Sawah Irigasi di Imogiri, Bantul. Variabel independen yang diteliti adalah motivasi petani, wawasan petani tentang konservasi lahan, orientasi nilai budaya, keaktifan petani dalam kelompok, keaktifan petani mencari informasi, kepemimpinan kelompok, intensitas penyuluhan, dan ketersediaan input organik. Kesimpulan penelitiannya adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku petani dalam konservasi lahan adalah motivasi petani mencapai keberhasilan, wawasan petani tentang konservasi lahan, keaktifan petani mencari informasi konservasi lahan, dan intensitas penyuluhan tentang konservasi lahan. Uraian terkait penelitian terhadulu menunjukkan bahwa penelitian tentang penyuluhan pertanian dan perilaku petani sudah banyak dilakukan namun penelitian tentang penyuluhan tersebut umumnya terbatas pada telaah faktor internal penyuluh, aktivitas penyuluh, dan manfaat penyuluhannya saja. Belum ada kajian yang mendalam tentang permasalahan penyuluhan sebagai sebuah sistem yang mengembangkan tugas sebagai delivery subsistem dalam sebuah sistem inovasi. Di lain pihak, penelitian-penelitian tentang perilaku sebagaimana disebut tidak melihat penyuluhan sebagai salah satu variabel independen yang memengaruhi perilaku petani, sebagaimana dikaji dalam penelitian “Kajian Sistem Penyuluhan Pertanian di Provinsi Maluku” Penelitian ini mengkaji (1) penyelenggaraan penyuluhan pertanian, (2) profil social capital (3) human capital petani, (4) aksesibilitas petani, dan (5) perilaku petani di Maluku. Selanjutnya dianalisis pengaruh penyelenggaraan penyuluhan pertanian, social capital, human
23
capital petani, dan aksesibilitas petani terhadap perilaku petani. Berdasarkan analisis yang mendalam terhadap variabel-variabel tersebut dan fenomena yang ada di lapanganan kemudian dideskripsikan suatu sistem penyuluhan pertanian potensial yang spesifik Provinsi Maluku.
Fokus kajian menunjukkan adanya
spesifikasi dan perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu.