BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara di bidang penerimaan dalam negeri adalah untuk menggali, mendorong, dan mengembangkan sumbersumber penerimaan dari dalam negeri agar jumlahnya meningkat sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Pertumbuhan populasi dunia usaha di Indonesia yang pesat merupakan indikator peningkatan potensi penerimaan pemerintah dari sektor pajak
meskipun belum mencerminkan kondisi yang diinginkan, karena itu
kebijaksanaan sektor perpajakan diarahkan untuk mendorong perekonomian (Suhendra, 2010). Pada awal tahun 1984, dimulainya tax reform, sistem perpajakan di Indonesia berubah dari Official Assesment System menjadi Self Assesment System dimana Wajib Pajak bertanggung jawab atas segala pembukuan atau pencatatan yang diperlukan untuk
menetapkan besarnya pajak
yang terutang.
Sistem Self
Assesment System diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada Wajib Pajak. Wajib Pajak tidak lagi dipandang sebagai objek dalam Self Assessment System tetapi subjek yang harus dibina dan diarahkan agar sadar dalam memenuhi kewajiban perpajakannya (Mahendra dan I Made, 2014). Pelaksanaan pengawasan
Self
guna
Assessment mewujudkan
System
perlu
tercapainya
diikuti
dengan
kebijaksanaan
tindakan
perpajakan.
Sehubungan dengan hal itu, maka perlu diterapkan langkah strategi untuk
1
2
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak melalui upaya-upaya penegakkan hukum (law enforcement) sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak (Adytia, 2015). Penerimaan dari sektor pajak merupakan hal yang sangat vital dalam rangka mensukseskan pembangunan. Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan maka setiap tahunnya Direktorat Jenderal Pajak di tuntut untuk selalu meningkatkan penerimaan dari sektor pajak (Mahendra dan I Made, 2014). Target penerimaan pajak yang besar seharusnya tidak sulit dicapai jika kepatuhan masyarakat sebagai pembayar pajak telah tinggi. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan formal dan materiil (Adytia, 2015). Dapat terlihat laporan penerimaan pajak Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung pada tahun 2011 sampai dengan 2014 pada tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Laporan Penerimaan Pajak Wajib Pajak Badan pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung (Triliun Rupiah) Tahun 2011 2012 2013 2014 Sumber: Sub Bagian
Target Realisasi Persentase (%) 5.990.426.395,7 5.214.843.450,5 87.05% 6.680.039.760,5 5.589.882.068,3 83,68% 7.988.489.707,6 7.309.068.933,3 91,5% 8.638.794.730,6 7.469.551.423,2 86,47% Umum KPP Madya Bandung, 2015 (data diolah kembali)
Dapat terlihat pada tabel 1.1 tersebut bahwa KPP Madya Bandung selalu meningkatkan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun. Namun dapat dilihat
3
pula dari realisasi penerimaan pajak yang telah dilakukan oleh KPP Madya Bandung, bahwa setiap tahunnya target tersebut tidak dapat tercapai dan kenaikan realisasi tertinggi hanya mencapai 91,5% yaitu pada tahun 2013. Sedangkan realisasi penerimaan pajak Kota Bandung selama tahun 2015 diperkiran hanya mencapai 90% dari target sebesar Rp. 1.586 triliun (Koran Sindo, 2015). Menurut Kepala Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Kota Bandung, Priana Wirasaputra yang dikutip di media cetak (Koran Sindo, 2015) menuturkan bahwa realisasi penerimaan pajak tahun 2015 sangat sulit untuk mendekati 100%, faktornya adalah target pajak yang cukup tinggi, adanya pelemahan ekonomi dan kepatuhan para Wajib Pajak (dalam membayar pajak) juga menjadi penyebab (penerimaan pajak sulit mencapai target). Namun pihaknya optimistis dapat menjawab tantangan yang diberikan dengan sejumlah langkah yang dilakukan mulai dari mengintensifkan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, pembentukan intensifikasi pajak yang sudah mulai berbuah hasil yaitu terdapat 1.000 lebih Wajib Pajak baru yang mendaftar. Tinggi rendahnya penerimaan pajak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang sangat besar pengaruhnya pada penerimaan pajak adalah kepatuhan Wajib Pajak. Salah satu masalah yang paling serius bagi para pembuat keputusan ekonomi adalah mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Kepatuhan Wajib Pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak (Mahendra dan I Made, 2014).
4
Faktor eksternal yang mempengaruhi tidak tercapainya target penerimaan pajak salah satunya adalah masalah tingkat kepatuhan di Indonesia yang masih sangat rendah (Rachmany, 2014). Kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang
dihadapi hampir
semua
negara
yang
menganut
sistem perpajakan.
Komponen kepatuhan Wajib Pajak terdiri atas kepatuhan mendaftarkan diri dan kepatuhan untuk membayar kewajiban pajak (tepat jumlah dan tepat waktu) (Mahendra dan I Made, 2014). Kepala Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jawa Barat 1, Adjat Djatnika yang dikutip di media massa (www.kompas.com, 2010) menyatakan bahwa rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam melakukan pembayaran pajak kemungkinan disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, sosialisasi yang
minim sehingga Wajib
Pajak
tidak
melakukan kewajibannya dalam
melakukan pembayaran pajak. Dan kedua, Wajib Pajak tidak mau membayar pajak karena alasan-alasan tertentu. Penyampaian SPT (Surat Pemberitahuan) sebagai tolak ukur di dalam kepatuhan bagi Wajib Pajak. Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban untuk mendukung upaya-upaya bagi lancarnya kegiatan Wajib Pajak yang diwujudkan dengan penyuluhan intensif dan pelayanan prima. Selanjutnya Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban pula untuk menegakkan hukum melalui pemeriksaan pajak dan penagihan pajak agar proses dan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan melalui SPT tersebut tetap berada pada aturannya (Prasetyo, 2011). Selain itu kepatuhan Wajib Pajak dapat ditingkatkan dengan pelaksanaan pemeriksaan yang dijalankan, kepatuhan antara Wajib Pajak dan petugas pajak
5
(fiskus)
dapat
terjaga
yang
disesuaikan
dengan
tujuan
untuk
kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan tanpa ada kebijakan atau unsur yang lainnya. Untuk menjaga Wajib Pajak tetap berada dalam koridor peraturan perpajakan, maka diantisipasi dengan melakukan pemeriksaan dan penagihan terhadap Wajib Pajak (Primerdo, 2015). Sejak
diterapkannya
Self
Assesment
System
dalam
undang-undang
perpajakan Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban untuk melakukan pelayanan, pengawasan, pembinaan, dan penerapan sanksi perpajakan. Salah satu bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap Wajib Pajak tersebut adalah melalui pemeriksaan pajak (Adytia, 2015). Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan,
dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
professional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 29 UU Nomor 28:2007). Tanpa adanya pemeriksaan di bidang perpajakan, maka fiskus akan sangat kesulitan untuk menilai kepatuhan Wajib Pajak atau bahkan sama sekali tidak akan pernah tahu tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Penerimaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak akan meningkat dikarenakan timbulnya kepatuhan Wajib Pajak akibat dari dilakukannya pemeriksaan pajak. Self Assesment System yang memberikan
kepercayaan
pada
Wajib
Pajak
untuk
menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang menjadi
6
suatu kelemahan dimana dalam praktiknya sulit berjalan sesuai dengan yang diharapkan bahkan disalahgunakan.
Ini terbukti dalam kenyataannya masih
banyak Wajib Pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya sehingga menyebabkan timbulnya tunggakan pajak. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilaksanakan penagihan pajak yang merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi hutang pajak (Mahendra dan I Made, 2014). Menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor: 08/PJ-75/2002 tentang pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak, yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan dan melengkapi data tentang harta kekayaan Wajib Pajak dapat dilaksanakan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 UU Nomor 19:2000). Tindakan penagihan pajak diawali dengan dikeluarkannya surat teguran oleh Kantor Pelayanan Pajak. Pada tabel 1.2 terlihat perkembangan jumlah surat teguran yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung dari tahun 2011 sampai dengan 2014:
7
Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah Surat Teguran pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung Tahun Surat Teguran 2011 1.566 2012 1.075 2013 1.038 2014 1.667 Total 5.346 Rata-rata 1.336,5 Sumber:Seksi Penagihan Pajak KPP Madya Bandung, 2015 (data diolah kembali) Terlihat pada tabel 1.2 surat teguran yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung tiap tahunnya mengalami kenaikan dan penurunan. Penurunan yang signifikan terlihat pada tahun 2012 sedangkan kenaikan yang signifikan terlihat pada tahun 2014, dimana jika surat teguran mengalami kenaikan yang signifikan maka tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan masih kurang baik atau rendah. Dalam
rangka
meningkatkan
kepatuhan
perpajakan,
upaya
penagihan
dilakukan dengan memperhatikan optimalisasi jumlah Wajib Pajak yang ditagih. Optimalisasi tersebut dimaksudkan agar dapat menghasilkan penerimaan pajak dan juga mempertimbangkan segi keadilan dalam memperlakukan Wajib Pajak. Oleh sebab itu, diupayakan agar setiap Wajib Pajak akan mendapatkan giliran untuk diperiksa dalam rangka menguji kepatuhan kewajiban perpajakannya. Jika Wajib Pajak setelah diperiksa dan ditagih belum memenuhi penagihan pajak maka Kantor Pelayanan Pajak berhak menagih dengan surat paksa sesuai dengan hukum perpajakan (Syahab dan Hantoro, 2008).
8
Dengan adanya pemeriksaan dan penagihan pajak, diharapkan penerimaan pajak dapat terus bertambah dan mengamankan penerimaan tersebut melalui profesionalisme kerja berdasarkan pada tata cara pemeriksaan dan penagihan di bidang perpajakan (Lizara, 2014). Dengan demikian bahwa pemeriksaan pajak dan penagihan pajak merupakan sebuah mekanisme pengendalian dalam Self Assessment System untuk memastikan dan menjaga Wajib Pajak patuh dan bersedia menyampaikan SPT dengan benar, jelas dan lengkap (Ikatan Akuntan Indonesia, 2014). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis bermaksud
untuk
PEMERIKSAAN
melakukan PAJAK
penelitian
DAN
yang
berjudul
PENAGIHAN
PAJAK
“PENGARUH TERHADAP
KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN” (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung)
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini adalah masih rendahnya
kepatuhan
Wajib
Pajak
Badan
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakan, dengan research question : 1. Apakah terdapat pengaruh secara parsial pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung. 2. Apakah terdapat pengaruh secara parsial penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya
9
Bandung. 3. Apakah terdapat pengaruh secara simultan pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara luas tentang pengaruh pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan sebagai bahan penelitian. Sesuai dengan masalah yang telah diidentifikasi, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung. 2. Untuk mengetahui pengaruh secara parsial penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung. 3. Untuk mengetahui pengaruh secara silmutan pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Badan di Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung.
10
1.4 Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai pemeriksaan pajak dan penagihan pajak serta peraturan-peraturan yang berlaku. 2. Bagi Instansi (Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung) Diharapkan dapat memberikan masukan dan saran yang dapat digunakan untuk
mempertimbangkan keputusan dalam hal pemeriksaan pajak,
penagihan pajak dan kepatuhan Wajib Pajak. 3. Bagi Pembaca Dapat menjadikan penelitian ini sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya di bidang yang sama.
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis memperoleh data pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Bandung yang beralamat di Jl. Asia Afrika No. 114 Kota Bandung. Adapun penelitian ini di mulai pada tanggal 5 November 2015 sampai dengan selesai.