BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk yang meningkat diiringi dengan perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan, dan perubahan gaya hidup yang terjadi di masyarakat yang disebabkan oleh urbanisasi dan globalisasi menyebabkan terjadinya perubahan selera pola konsumsi masyarakat kearah protein hewani, namun belum diimbangi dengan penambahan produksi untuk meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Asima (2012) menunjukkan data dari Departemen Pertanian, bahwa komoditas daging sapi merupakan komoditas dengan peminat yang paling tinggi dibandingkan dengan komoditas daging lainnya seperti daging kambing, kerbau dan babi. Kebutuhan daging sapi di Indonesia diperoleh dari tiga sumber, yaitu sapi lokal, sapi impor dan daging impor. Kandungan protein yang tinggi dalam daging sapi merupakan pilihan konsumen untuk meningkatkan konsumsi daging sapi. Pilihan konsumsi daging yang paling popular dari semua daging merah adalah daging sapi. Kelebihan daging sapi dalam kandungan gizinya sebagai berikut: daging sapi tanpa lemak mengandung 60% kebutuhan harian untuk protein pada 100 gram daging sapi, sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6. Manfaat Vitamin B12 yaitu untuk metabolisme sel, menjaga sistem saraf yang sehat serta memproduksi sel darah merah dalam tubuh. Vitamin B12 ini
1
hanya ditemukan dalam produk hewani. Daging sapi tanpa lemak memiliki zinc (seng) enam kali lebih tinggi daripada daging lainnya (Elih, 2006). Produksi sapi di berbagai daerah relatif sama, walaupun terdapat perbedaan karakteristik daerahnya. Di Pulau Jawa, sebagian besar peternak menggunakan teknologi budidaya sangat sederhana dengan tujuan utama pemeliharaan sapi adalah menjadikan sapi sebagai sumber tenaga kerja tabungan/ status sosial, bukan sebagai penghasil daging. Produksi daging sapi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk peningkatan produksi daging sapi antara lain; penyelamatan betina produktif, peningkatan inseminasi buatan, pemberian pakan, serta penanganan penyakit hewan (Agroindonesia, 2011). Pada Tabel 1.1, menunjukkan data pada tahun 1999 produksi daging sapi menurun menjadi 309.000 ton dikarenakan Indonesia mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan semakin mahalnya biaya produksi daging dalam negeri, sehingga berdampak pada menurunnya produksi komoditas daging sapi dalam negeri (Ardiyati, 2011:3). Pada tahun 2000 produksi daging sapi meningkat menjadi 340.000 ton dan tingkat produksi 385.000 ton pada tahun 2005 karena inflasi yang tinggi sehingga pada tahun 2005 hanya meningkat sebesar 2,6 persen. Pada tahun 2010 produksi daging sapi mengalami peningkatan hingga 13,3 persen menjadi sekitar 450.000 ton.
2
Tabel 1.1 Produksi Daging Sapi di Indonesia 1998- 2013 Tahun 1998
Produksi Daging Sapi (000 ton) 341
Persentase %
1999
309
-9,38
2000
340
10,03
2001
339
-0,29
2002
330
-2,65
2003
352
6,67
2004
380
7,95
2005
385
1,32
2006
395
2,60
2007
339
-14,18
2008
392
15,63
2009
409
4,34
2010
436
6,36
2011
450
3,45
2012
480
6,67
2013 430 14,58 Sumber : Statistik Peternakan 2010, Direktorat Jendral Peternakan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Uzonoz (2009) menyimpulkan bahwa produksi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap impor gandum sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosseti (2009) menyimpulkan, penurunan jumlah produksi tanaman pangan yang disebabkan oleh banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi non pertanian dan konstruksi sehingga meningkatkan impor. Aditya (2013: 90) menyimpulkan bahwa tingginya bahan-bahan produksi mengakibatkan naiknya harga sehingga menurunnya permintaan yang secara tidak langsung menyebabkan produsen menurunkan kapasitas produksi dan pada akhirnya berdampak pada kenaikan jumlah impor kedelai.
3
Tabel 1.2 menunjukkan produksi dan konsumsi daging sapi di Indonesia pada periode 2005-2013 dalam ribuan ton. Produksi daging sapi pada tahun 2005 lebih sedikit dibandingkan jumlah daging sapi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Tahun 2006-2013 terjadi peningkatan jumlah konsumsi daging sapi seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang disertai dengan pergeseran pola selera konsumsi masyarakat untuk mengkonsumsi daging sapi. Tahun 2006-2007 jumlah produksi daging sapi lebih sedikit dibandingkan jumlah daging sapi yang dikonsumsi, hal ini memiliki indikasi adanya impor daging sapi untuk memenuhi permintaan konsumsi daging sapi di masyarakat dikarenakan
konsumsi daging sapi
cenderung meningkat dari waktu ke waktu, tetapi pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi. Tabel 1.2 Produksi dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2013 dalam Ribu Ton Tahun Produksi Konsumsi 2005 385 479 2006 395 449 2007 339 453 2008 392 478 2009 409 502 2010 436 520 2011 450 612 2012 480 610 2013 430 594 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2014
Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Tahun 2013 konsumsi daging sapi menurun karena masyarakat mengalami dampak dari kenaikan BBM
dan kenaikan bahan
pokok lainnya sehingga menyebabkan penurunan komsumsi daging sapi,
4
tetapi tetap saja produksi tidak bisa mengimbangi konsumsi daging sapi. Pada tahun 2006, tingkat konsumsi daging sapi diperkirakan 440,034 ton, atau setara dengan 1,70 −2 juta ekor sapi potong, sementara produksi hanya 288.430 ton (Tempo, 2008). Sementara itu Kementerian Pertanian menyatakan kebutuhan daging sapi tahun 2013 sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6%) harus diimpor (Sekretariat Negara, 2013) Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan (2008), dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 502 juta jiwa, dengan total permintaan daging sapi mencapai kurang lebih 382 ribu ton dipenuhi dari pemotongan ternak dalam negeri sebesar 330 ribu ton dan daging impor 120 ribu ton. Hasil penelitian Kariyasa (2006) menunjukkan, bahwa 10 tahun terakhir terjadi peningkatan permintaan daging sapi sebear 1,78 persen per tahun, dengan produksi daging sapi hanya meningkat 0,002 persen per tahun. Hal inilah yang menyebabkan volume impor sapi hidup maupun daging sapi di Indonesia meningkat, karena daging sapi impor cenderung lebih murah. Peningkatan produksi terjadi secara signifikan tetapi tidak mencukupi konsumsi Indonesia, oleh karena itu pemerintah melakukan impor. Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23% dan diperkirakan selalu mengalami peningkatan tiap tahun (Ditjennak, 2008). Sampai saat ini, Indonesia belum mandiri dalam penyediaan kebutuhan daging sapi nasional karena baru mampu memproduksi 70% dari kebutuhan daging sapi nasional dimana 30% kebutuhan lainnya dipenuhi melalui impor
5
dalam bentuk daging beku dan jeroan yang di dominasi oleh hati dan jantung beku (Ditjennak, 2008). Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) memaparkan bahwa kuota impor daging sapi yang ditetapkan pemerintah pada 2012 belum mencukupi karena kebutuhan yang meningkat ditambahkan bahwa daging lokal belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga masih terjadi kenaikan harga dan kelangkaan daging di kalangan pelaku usaha (Kemenperin, 2012). Sejalan dengan peluncuran Program Swasembada Daging Sapi, pemerintah telah berusaha untuk mengurangi kuota impor daging sapi dan pengumpan ternak untuk mendorong pertumbuhan ternak dan produksi daging sapi tapi saat ini impor daging sapi masih sangat besar (Kusriatmi, 2014). Pada Tabel 1.3, impor daging sapi tahun 2000 sebesar 412 persen disebabkan oleh peningkatan produksi dalam negeri tidak sejalan dengan besar konsumsi 7,36 persen (Ilham, 2001). Impor daging sapi pada tahun 2005 sebesar 737.000 ton dan pada tahun 2010 sebesar 1.676.000 ton. Peningkatan jumlah impor tersebut, disebabkan adanya peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan terjadinya perubahan segmen pasar pada impor daging sapi yang pada awalnya untuk memenuhi segmen pasar tertentu, kini memasuki segmen supermarket dan pasar tradisional sehingga terjadi peningkatan impor daging sapi yang dipacu oleh adanya tuntutan konsumen terhadap kualitas daging dan harga daging impor yang cukup bersaing dengan harga daging domestik. Tahun 2009 impor daging sapi meningkat dari 663.000 ton menjadi 1.785.000 ton atau meningkat sebesar 169 persen, hal ini karena harga impor
6
daging sapi turun sedangkan harga eceran domestik cenderung naik (Badan Litbang, 2009). Pangsa daging sapi asal impor tersebut saat ini sudah mencapai 30% (atau dengan kata lain sudah menembus batas swasembada daging) dibandingkan dengan produksi daging sapi domestik (Ditjennak, 2008). Tabel 1.3 Impor Daging Sapi 1998 – 2013 Impor Daging Sapi Persentase (%) (ton ) 1998 90 1999 190 109.99 2000 976 412.91 2001 482 -50.54 2002 419 -13.09 2003 387 -7.71 2004 652 68.57 2005 737 12.99 2006 246 -66.64 2007 293 19.20 2008 663 126.13 2009 1785 169.19 2010 1676 -6.10 2011 2846 69.76 2012 2077 -27.02 2013 3139 51.10 Sumber : www.comtrade.un.org
Tahun
Harga merupakan salah satu faktor pendukung dalam permintaan suatu barang, sesuai bunyi hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka permintaan akan barang tersebut semakin tinggi, demikian sebaliknya jika semakin tinggi harga suatu barang, maka permintaan akan barang tersebut semakin rendah, dengan asumsi cateris paribus. Kaitannya dengan harga, kecenderungan untuk mengimpor akan terjadi apabila barang dan jasa produksi luar negeri lebih baik mutunya serta harganya lebih murah dibandingkan di dalam negeri (Herlambang, dkk 2001:267).
7
Harga daging sapi yang diproduksi secara lokal menjadi lebih mahal, karena pemeliharaan sapi tidak diarahkan untuk tujuan pasar. Hal ini yang menyebabkan harga daging sapi lokal lebih mahal daripada daging sapi impor sehingga jumlah impor daging sapi meningkat seiring dengan tingginya permintaan masyarakat mengkonsumsi daging sapi namun tidak diimbangi dengan jumlah produksi daging sapi secara nasional (Dwi Priyatno,2011) Tabel 1.4 Harga Impor dan Harga Domestik Daging Sapi 1998 - 2013 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Harga Impor (per Kg) 16.588 14.581 16.011 17.987 15.081 18.662 22.541 25.935 36.350 36.912 44.101 34.550 40.319 45.767 44.091 67.934
Persenta se (%)
Harga Lokal (per Kg)
Persentase (%)
0 -12 10 12 -16 24 21 15 40 2 19 -22 17 14 -4 54
15.220 22.070 24.000 30.440 35.040 36.760 36.016 39.240 45.120 48.650 54.100 63.210 66.150 66.860 76.692 92.237
45,01 8,74 26,83 15,11 4,91 -2,02 8,95 14,98 7,82 11,20 16,84 4,65 1,07 14,71 20,27
Sumber : Statistik Peternakan 2010, Direktorat Jenderal Peternakan
Harga impor daging sapi lebih murah dibandingkan harga daging sapi lokal. Harga daging sapi domestik pada tahun 1999 naik menjadi 45 persen yaitu sebesar Rp 22.070,00 diakibatkan oleh efek krisis 1998 dan produksi daging sapi menurun ditambah dengan kejadian adanya tekanan inflasi dan
8
harga bahan bakar minyak yang naik (Kariyasa, 2006). Harga impor daging sapi turun 12 persen menjadi Rp14.581,00 pada tahun 1999 disebabkan oleh turunnya kurs dollar Amerika Serikat. Harga domestik daging sapi yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah produksi daging sapi. Pada hasil penelitian Syarifah dan Idgan (2007) harga impor berpengaruh negatif signifikan terhadap impor susu demikian juga dengan Asima (2012) harga daging sapi impor berpengaruh negatif signifikan terhadap impor daging sapi. Hasil penelitian Muchlas (2014) bahwa harga tekstil Indonesia berpengaruh positif dan signifikan terhadap volume impor tekstil dari Cina. Tabel 1.5 Kurs Dollar Amerika Serikat 1998 – 2013
1998
Kurs Dollar Amerika Serikat ( Rp/ US$) 10.492
1999
8.029
19,50
2000
9.595
8,39
2001
10.400
-14,04
2002
8.940
-5,31
2003
8.465
9,75
2004
9.290
5,81
2005
9.830
-8,24
2006
9.020
4,42
2007
9.419
16,25
2008
10.950
-14,16
2009
9.400
-4,35
2010
8.991
0,86
2011
9.068
-12,15
2012
7.966
22,71
Tahun
2013 9.775 Sumber : Bank Indonesia, 2014
Perkembangan (%) -23,48
-23,48
9
Transaksi perdagangan internasional memerlukan alat pembayaran internasional. Salah satu transaksi perdagangan internasional adalah impor, dengan demikian ketika terjadi transaksi impor diperlukan satu alat pembayaran yaitu salah satunya dollar Amerika Serikat. Pada Tabel 1.5 menampilkan
data
mengenai
kurs
dollar
Amerika
Serikat
serta
perkembangannya. Perkembangan paling besar pada tahun 1998 – 2013 adalah pada tahun 1999 dimana kurs dollar Amerika Serikat mengalami penurunan menjadi Rp 8.029,00 dibandingkan tahun sebelumnya dengan nilai tukar sebesar Rp 10.492,00 dikarenakan terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia. Pada tahun 2005 kurs berada di Rp 9.830,00 karena tekanan inflasi yang tinggi akibat dari naiknya harga bahan bakar minyak yang selanjutnya berimplikasi pada perubahan tingkat suku bunga SBI yang meningkat. Tingkat suku bunga SBI yang meningkat, membuahkan hasil berupa menguatnya kurs menjadi Rp 9.020,00 pada akhir tahun 2006 dan pada tahun 2008 kurs rupiah terhadap dollar melemah menjadi Rp 10.950,00 karena adanya krisis global. Turunnya nilai rupiah terhadap dollar, mengakibatkan harga barang – barang di Indonesia lebih murah, sebaliknya barang – barang dari negara lain lebih mahal sehingga impor cenderung menurun. Seperti yang dilakukan penelitian Suryandanu (2014)
bahwa disaat kurs dollar tinggi akan menyebabkan
kegiatan impor negara Indonesia menurun.
10
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Apakah kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, secara serempak berpengaruh terhadap volume impor daging sapi di Indonesia tahun 1998- 2013? 2) Bagaimana pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, secara parsial terhadap volume impor daging sapi di Indonesia tahun 1998 - 2013?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1)
Untuk mengetahui pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, secara serempak terhadap volume impor daging sapi di Indonesia tahun 1998- 2013.
2)
Untuk mengetahui pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, secara parsial terhadap volume impor daging sapi di Indonesia tahun 1998- 2013.
11
1.4. Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan meliputi : 1) Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai analisis pengaruh kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, terhadap volume impor daging sapi di Indonesia. 2)
Manfaat Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat
menjadi
suatu masukan atau
pertimbangan bagi pemerintah dalam kebijakan impor daging sapi di Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi disusun berdasarkan bab secara sistematis, sehingga antara bab yang satu dengan bab yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Adapun sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Kajian Pustaka dan Rumusan Hipotesis Bab ini membahas konsep kurs dollar Amerika Serikat, konsep harga impor, konsep harga domestik, konsep jumlah produksi serta hubungan
12
antara variabel bebas dan terikat, penelitian terdahulu yang berhubungan dengan kurs dollar Amerika Serikat, harga impor, harga domestik, jumlah produksi, dan volume impor daging sapi serta membahas rumusan hipotesis yang merupakan dugaan sementara dari rumusan masalah yang sesuai dengan landasan teori. Bab III Metode Penelitian Bab ini terdiri dari desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu uji asumsi klasik serta uji secara parsial dan uji secara simultan. Bab IV Pembahasan Bab ini membahas tentang gambaran umum daerah penelitian, pembahasan hasil penelitian, hasil analisis uji asumsi klasik serta uji secara parsial dan uji secara simultan. Bab V Simpulan dan Saran Bab ini memuat simpulan yang mencakup seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran – saran yang dipandang perlu, relevan atas simpulan yang dikemukakan.
13