BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sapi Bali merupakan salah satu dari beberapa bangsa sapi potong asli Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam penyediaan kebutuhan daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah sumber energi yang cukup tinggi dan merupakan penunjang pokok bagi kehidupan manusia. Bahan protein hewani banyak diproduksi baik secara tradisional maupun moderen. Dimana secara keseluruhan dari proses produksinya, mulai dari awal proses produksi, selama penanganan makanan sampai penyajian di meja makan merupakan mata rantai yang berkesinambungan (Sartika et al., 2005).
Proses
produksi
yang
tidak
memenuhi
syarat
higienis
dapat
membahayakan kesehatan manusia karena memungkinkan terjadinya kontaminasi daging oleh mikroorganisme yang patogen. Escherichia coli O157:H7 adalah salah satu contoh bakteri yang mempunyai peranan cukup penting sebagai agen zoonosis yang penyebarannya diketahui melalui makanan. Meskipun secara normal E. coli terdapat pada saluran pencernaan, baik dalam saluran pencernaan manusia maupun hewan, tetapi E. coli O157:H7 merupakan strain virulen pada manusia yang diketahui berasal dari hewan sapi dan domba sebagai resevoirnya. Beberapa jenis bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara terjadinya infeksi oleh E. coli O157:H7, tetapi bahan pangan yang biasanya berperan sebagai foodborne disease tersebut adalah bahan
1
2
pangan yang berasal dari hewan sapi. Bahan pangan tersebut antara lain berupa daging sapi dan susu sapi (Andriani, 2006). Terdapat beberapa strain E. coli yang bukan merupakan flora normal saluran pencernaan tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pencernaan yaitu ; strain EPEC (Enteropathogenic E. coli) menyebabkan diare cair yang biasanya sembuh sendiri tetapi dapat juga kronik, strain ETEC (Enterotoxigenic E. coli) dapat menyebabkan traveller’s diarrhea, strain EIEC (Enteroinvasif E. coli) yang menyebabkan penyakit disentri, strain EAEC (Enteroagregatif E. coli) dapat menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang, dan strain EHEC (Enterohemorragic E. coli) merupakan strain yang sangat patogen yang menyebabkan penyakit hemolytic uremic syndrome (HUS), colitis hemorragic, hemolitica anemia microangiopatic, dan trombositopenia (Sartika et al., 2005; Spickler, 2009; Kusuma, 2010; Anggraini et al., 2013). Escherichia coli O157:H7 adalah salah satu dari beratus-ratus strain E. coli yang dapat menyebabkan Enterohemorragic atau yang biasa disebut dengan EHEC. E. coli O157:H7 dapat tumbuh dan berkembang dalam saluran pencernaan baik hewan maupun manusia. Pada umumnya infeksi bakteri EHEC dapat menyebabkan hemorragic colitis dan hemolytic uremic syndrome (HUS). Gejala klinis yang ditunjukkan dapat terjadi beberapa saat ataupun beberapa bulan kemudian setelah mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi (Andriani, 2006). Informasi mengenai keberadaan E.coli O157:H7 sebagai agen zoonosis yang penyebaranya melalui makanan masih sangat jarang terungkap di Indonesia
3
sampai saat ini. Padahal seperti yang banyak dilaporkan bahwa shiga toksin yang dihasilkan oleh bakteri E. coli O157:H7 dapat menimbulkan bahaya yang cukup fatal terutama pada anak-anak dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi (Acheson, 2000; Centers for Disease Control and Prevention, 2000). Sehubungan dengan berbahayanya penyakit yang disebabkan oleh E. coli O157:H7 bagi kesehatan manusia, maka diperlukan cara pengobatan guna mengatasi infeksi bakteri yaitu dengan cara pemberian antibiotika. Antibiotika yang dapat digunakan pada infeksi VTEC pada umumnya adalah antibiotika yang bersifat sensitif seperti : ampisillin, karbenisillin, sepalotin, kloramfenikol, gentamisin,
kanamisin,
nalidix
acid,
norfloksasin,
tetrasiklin,
tikarsilin,
tobramisin, trimetoprim dan sulfametoksazol (McKee et al., 2003). Dari hasil penelitian Reuben dan Owuna (2013) ditemukan pola kepekaan antibiotika menunjukkan bahwa hampir semua isolat yang digunakan resisten terhadap satu atau beberapa jenis antibiotika, dimana antibiotika yang digunakan yaitu penisillin, gentamisin, siprofloksasin, streptomisin, amoksisillin, tetrasiklin, kloramfenikol, oxacillin, eritromisin dan sulfametoksazol/trimetoprim. Ditemukan (100 %) dari 19 isolat E. coli O157:H7 resisten terhadap penisilin dan tetrasiklin, (94,7 %) resisten terhadap eritromisin, (84,2 %) resisten terhadap amoksisilin, oxacillin
dan
sulfametoksazol/trimetoprim,
(68,4
%)
resisten
terhadap
kloramfenikol, (42,1 %) resisten terhadap streptomisin dan tidak ada yang resisten terhadap siprofloksasin dan gentamisin. Maka dari hasil tersebut disimpulkan bahwa gentamisin, siprofloksasin dan streptomisin adalah antibiotika yang paling sensitif sedangkan penisilin, tetrasiklin dan eritromisin cukup sensitif. Resistensi
4
mikroba pada beberapa jenis antibiotika yang berbeda–beda dapat diakibatkan oleh penggunaan pada suatu jenis antibiotika dalam upaya pengobatan dan pencegahan penyakit yang tidak sesuai dengan dosis anjuran serta waktu penggunaan dan pemilihan antibiotika yang tidak tepat sehingga mengakibatkan tidak efektifnya pemberian antibiotika tersebut oleh dokter apabila terjadi infeksi. Berkaitan dengan hal tersebut maka, perlu dilakukan uji kepekaan mikroba terhadap beberapa jenis antibiotika sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi kesehatan masyarakat veteriner (Suwito dan Setyadji, 2011). Menurut data statistik BPS Kabupaten Badung, tahun 2012 Kuta Selatan merupakan salah satu Kecamatan yang terletak di selatan Badung. Kuta Selatan merupakan daerah perbukitan batu kapur yang dikelilingi pantai dengan luas mencapai 101,13 km2. Memiliki ketinggian sekitar 28 meter diatas permukaan laut dengan suhu udara yang cukup panas yaitu 30OC dan memiliki curah hujan sebesar 1969.5 mm. Dari hasil wawancara pada beberapa peternak sapi di Kecamantan Kuta Selatan, antibiotika yang sering digunakan dalam mengatasi beberapa penyakit bakteri pada ternak sapi di Kecamatan Kuta Selatan yaitu, ampisilin, gentamisin, dan eritromisin. Bertitik tolak dari permasalahan diatas, maka penelitian terhadap pola kepekaan E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses Bali lokal di Kecamatan Kuta Selatan terhadap antibiotika penisilin G, ampisilin, sulfametoksazol, dan streptomisin sangat perlu dilakukan.
5
1.2 Rumusan Masalah Berkaitan dengan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan sebuah masalah yaitu bagaimana pola kepekaan E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi Bali di Kecamatan Kuta Selatan terhadap antibiotika penisilin G, ampisilin, sulfametoksazol, dan streptomisin.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola kepekaan bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi Bali di Kecamatan Kuta Selatan terhadap antibiotika penisilin G, ampisilin, sulfametoksazol, dan streptomisin.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai pola kepekaan bakteri E. coli O157:H7 yang diisolasi dari feses sapi Bali di Kecamatan Kuta Selatan terhadap antibiotika penisilin G, ampisilin, sulfametaksazol, dan streptomisin sekaligus dapat dijadikan sebagai pedoman dalam upaya pengobatan terhadap infeksi E. coli O157:H7 pada sapi sekaligus juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan terhadap infeksi pada manusia yang disebabkan oleh strain ini terutama orang-orang yang berasal dari tempat pengambilan sampel.
6
1.5 Kerangka Konsep Secara umum, E. coli dianggap sebagai flora normal dalam saluran pencernaan hewan (sapi) yang dapat mengkontaminasi daging. Daging sapi yang pada awalnya sudah terkontaminasi kemudian pada proses pemasakannya dilakukan secara tidak benar, maka dapat menjadi sumber infeksi dari beberapa kasus keracunan makanan, termasuk kasus infeksi yang disebabkan oleh shiga toxin Escherichia coli (STEC). Meskipun masih ada perantara lainnya sebagai media transmisi dari beberapa kasus wabah STEC pada manusia, akan tetapi jalur kontaminasi dari feses sapi masih dianggap sebagai jalur yang paling umum terjadi (Suardana et al., 2009). Munculnya outbreak dari diare berdarah yang pertama kali disebabkan oleh Escherichia coli O157 pada tahun 1982, maka sejak saat itulah hewan ruminansia yang dalam keadaan sehat terutama sapi diketahui dalam saluran pencernaannya merupakan reservoir bagi E. coli O157. E. coli O157:H7 merupakan bentuk mutan dari E. coli yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan ternak sapi, domba, kambing, babi bahkan ayam. Verotoxin atau yang disebut juga sebagai Shiga-like toxin (SLT) adalah toksin yang dihasilkan oleh E. coli O157:H7. Hewan yang dalam saluran pencernaannya diketahui terdapat bakteri E. coli O157:H7 maka hewan tersebut berperan sebagai carrier, dimana hewan tersebut dapat menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia. Penyebaran bakteri E. coli O157:H7 dari hewan ke manusia dapat terjadi
7
melalui daging yang telah terkontaminasi kemudian dikonsumsi oleh manusia (food-borne disease) (Andriani, 2006). Infeksi bakteri E. coli O157:H7 melalui makanan akibat adanya Shiga-like toxin (SLT) yang dihasilkan oleh Escherichia coli dilaporkan sebagai kausa yang sangat penting dalam terjadinya beberapa wabah penyakit (Foley et al., 2004). Pada tahun 1995, telah dilaporkan bahwa di Amerika dalam tiga tahun terakhir terjadi banyak kasus diare berdarah yaitu hemolytic uremic syndrome (HUS) pada masyarakat yang mengkonsumsi daging sapi/burger dan susu sapi yang tidak dipasteurisasi. Dinyatakan bahwa makanan tersebut ternyata telah terkontaminasi oleh E.coli O157:H7 (Sartika, 2005). Meskipun prevalensi dari Escherichia coli O157:H7 masih sangat kecil, dimana dari 63% feedlot yang diteliti, hanya 1,8% yang positif Escherichia coli O157:H7. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan oleh infeksi bakteri tersebut sangatlah besar. Sepertinya bakteri ini tidak dapat dieleminasi dengan menggunakan metode penanganan hewan secara tradisional yang biasanya dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH), seperti pengujian awal, karantina hewan sebelum hewan tersebut dipotong dan pada saat pemotongan hewan (Sartika, 2005). Dengan melihat adanya dampak yang cukup besar dari infeksi bakteri E. coli O157:H7 maka diperlukan adanya tindakan penanganan yang tepat guna mengatasi kasus penyakit ini. Secara umum, diketahui bahwa pengobatan terhadap bakteri dapat dilakukan dengan cara pemberian antibiotika. Namun terdapat beberapa mikroba yang tidak peka terhadap antibiotika tertentu karena secara alamiah memang tidak dapat diganggu oleh antibiotika tersebut. Hal ini
8
terjadi karena tidak adanya target yang cocok atau dinding sel tidak dapat ditembus oleh antibiotika. Sebagai salah satu contoh adalah bakteri Gram negatif yang resisten terhadap penisilin (Azizah et al., 2002). Faktor-faktor yang menentukan sifat resistensi atau sensitivitas mikroba terhadap suatu jenis antibiotika yaitu terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Baik sebagai resistensi kromosom atau resistensi ekstrakromosom (resisten alamiah) (Azizah et al, 2002). Selain karena sifat genetik dari mikroba itu sendiri, resistensi dari suatu mikroba terhadap beberapa jenis antibiotika diakibatkan oleh penggunaan antibiotika pada penanganan infeksi oleh mikroba yang tidak sesuai dengan dosis anjuran dan waktu penggunaan yang tidak tepat serta pemilihan antibiotika yang kurang tepat (Suwito dan Setyadji, 2011). Dikatakan oleh Noor et al. (2006) resistensi bakteri patogen terhadap antibiotika dapat mengakibatkan terjadinya kegagalan pengobatan terhadap infeksi pada manusia dan dapat meningkatkan biaya pengobatan. Maka pemakaian terhadap antibiotika harus dilakukan sesuai dengan dosis yang berlaku dan waktu yang tepat serta menggunakan antibiotika dengan pilihan yang tepat dan penggunaan yang rasional. Selain itu penjualan antibiotika secara bebas harus dicegah sehingga kasus resistensi dapat diminimalisir (Suwito dan Setyadji, 2011).