5
TINJAUAN PUSTAKA Pangan Hewani sebagai Sumber Protein Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk energi yang tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kkal (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Protein juga akan disimpan untuk digunakan dalam keadaan darurat selain untuk membangun struktur tubuh (pembentukan berbagai jaringan) sehingga pertumbuhan atau kehidupan dapat terus terjamin dengan baik. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama 2006). Protein sebagai pembentuk energi tergantung macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Nilai energi dan protein dalam tubuh dapat ditentukan dengan memperhatikan angka-angka protein tiap bahan makanan. Berbeda dengan pangan nabati yang memiliki kesamaan dalam hal jaringan-jaringan atau komponen-komponen penyusunnya. Pada bahan pangan hewani, lemak pada daging terletak pada jaringan lemak, pada susu terletak pada globula-globula lemak dan pada telur terdapat pada kuning telur. Bahan pangan hewani pada umumnya merupakan sumber protein dan lemak sedangkan bahan pangan nabati merupakan sumber karbohidrat, vitamin, mineral, lemak dan protein. Daging sebagai Sumber Protein Daging merupakan salah satu produk pangan hewani. Kandungan zat gizi yang dimiliki oleh daging meliputi protein, lemak, vitamin dan mineral. Daging yang berasal dari hewan merupakan satu-satunya sumber protein yang cukup memadai karena di dalamnya mengandung asam amino utama yang dapat membangun jaringan tubuh dan otot. Protein hewani satu-satunya yang dapat memberikan imunitas pada tubuh dan dapat menyerang bakteri juga mikroba. Oleh karena itu jika kekurangan protein hewani maka akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terserang penyakit (As-Sayyid 2006).
6
Ternak yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk Indonesia terdiri atas sapi, kerbau, berbagai jenis kambing, ayam, bebek, dan berbagai jenis unggas lainnya. Daging ternak terdiri atas sapi, kerbau, dan berbagai jenis kambing sedangkan daging unggas meliputi ayam, bebek, dan berbagai jenis unggas lainnya (Sediaoetama 2006). Daging Ternak Ternak yang dimakan pada umumnya adalah sapi, kerbau, dan berbagai kambing. Pada umumnya daging hewan merupakan sumber protein. Namun kandungan lemak yang terdapat pada daging juga tinggi karena merupakan kumpulan dari jaringan adiposa dan otot. Terdapat pengelompokkan daging berdasarkan kandungan lemaknya. Daging gemuk merupakan daging yang banyak mengandung lemak sedangkan daging kurus merupakan daging yang sedikit memiliki kandungan lemak. Jenis asam lemak dibagi menjadi dua yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Lemak jenuh rantai panjang banyak dimiliki oleh daging. Asam lemak ini cenderung mempengaruhi kolesterol darah yang dapat berakibat pada risiko penyakit degeneratif. Konsumsi daging yang rendah dapat mengurangi risiko terkena kanker ovarium pada wanita (Kolahdooz et al. 2010). Daging muda lebih mudah dicerna dibandingkan dengan daging yang sudah tua. Daging tua terdiri atas kulit kaki (dermis) dan kuku kaki (tanduk) yang keduanya terdiri atas protein yang kualitas gizinya rendah karena asam amino esensial tidak lengkap (Sediaoetama 2006). Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 gram daging ternak Unsur Kambing Sapi Domba Energi (kkal) 154 207 206 Protein (g) 16.6 18.8 17.1 Lemak (g) 9.2 14 14.8 Vitamin A (RE) 0 12 0 Vitamin B (mg) 0.1 0.1 0.1 Besi (mg) 1 2.8 2.6 Fosfor (mg) 124 170 191 Sumber: DKBM 2010
Meskipun daging ternak merupakan sumber protein hewani yang mudah dicerna namun dalam mengkonsumsinya dianjurkan tidak berlebihan. Konsumsi daging terutama daging hasil ternak ruminansia yang berwarna merah dapat mengganggu kesehatan jika berlebihan dalam mengonsumsinya. Tubuh membutuhkan protein dalam sehari sebanyak 60 gram dan di dalam 120 gram
7
daging domba dan burung mengandung sekitar 60 gram protein. Konsumsi daging merah yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan (As-Sayyid 2006). Daging Unggas Daging ayam rendah kandungan lemaknya sehingga baik dijadikan sebagai sumber protein untuk penderita penyakit degeneratif. Paha ayam lebih banyak seratnya dibanding dada sehingga sulit dicerna. Unggas yang memiliki sayap untuk terbang lebih banyak serat pada bagian dadanya daripada bagian paha. Daging yang paling baik adalah daging yang sedikit mengandung lemak atau unsur minyaknya. Bagian pundak dan lengan merupakan bagian yang paling baik, paling enak, paling lembut, dan paling mudah dicerna (As-Sayyid 2006). Tabel 2 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram daging unggas Ayam Bebek Unsur Energi (kkal) 175 196 Protein (g) 10.6 9.6 Lemak (g) 14.5 17.16 Vitamin A (RE) 45.2 185.4 Vitamin B (mg) 0.1 0.1 Besi (mg) 0.9 1.08 Fosfor (mg) 116 112.8 Sumber: DKBM 2010
Olahan Produk Daging Daging dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis dan harga jual yang tinggi. Adanya pengolahan daging dapat menjadikan alternatif konsumsi pangan hewani sebagai makanan camilan. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Suharyanto (2009), beberapa produk hasil olahan daging adalah: a. Sosis Sosis atau sausage berasal dari bahasa Latin salsulus yang berarti digarami. Jadi sosis sebenarnya merupakan daging yang diolah melalui proses penggaraman. Berdasarkan tekniknya, sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging (atau ikan) yang digiling dan dibumbui dan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong bulat panjang. Selongsong dapat berupa usus sapi ataupun buatan. Proses pembuatan sosis melalui beberapa tahap, yaitu curing, pembuatan adonan, pengisian selongsong, pengasapan (untuk sosis asap) dan perebusan.
8
b. Bakso Bakso merupakan produk olahan daging yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Tahapan pembuatannya meliputi curing (bila diperlukan), penggilingan, pembuatan adonan, pembentukan bulatan dan perebusan hingga bulatan bakso mengapung. Bahan-bahan yang digunakan adalah daging, tepung, STPP, garam dan bumbu-bumbu. c. Kornet Kornet adalah bahan olahan daging yang diawetkan. Pembuatannya merupakan campuran dengan bumbu-bumbu, garam dan nitrit. Prosesnya adalah curing, penggilingan, pembumbuan, pengalengan dan sterilisasi. d. Abon Abon merupakan produk olahan daging dengan cara disuwir. Prosesnya: daging direbus hingga empuk kemudian dipukul-pukul dan disuwir-suwir. Tambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Tambahkan santan dan direbus pada api yang kecil hingga agak kering. Kemudian ditumbuk hingga hancur. e. Dendeng Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Dendeng termasuk makanan semi-basah, yaitu mengandung kadar air antara 15-50 persen. Dendeng juga merupakan produk olahan daging yang diproses secara kombinasi antara curing dan pengeringan. Dendeng ada dua jenis, yaitu dendeng iris dan dendeng giling. Dendeng iris dibuat dengan mengiris dendeng kira-kira setebal 3 mm kemudian dicampurkan dengan bumbu-bumbu dan curing selama satu malam. Kemudian dendeng dijemur hingga kering. Pengeringan bisa dilakukan dengan menggunakan oven. Pembuatan dendeng giling adalah diawali dengan menggiling daging yang kemudian dicampur dengan bumbubumbu. Selanjutnya dibentuk lembaran-lembaran dengan ketebalan lebih kurang 3 mm. f. Nugget Nugget biasanya dibuat dari daging ayam tetapi semua daging bisa dibuat nugget. Bahan untuk membuat nugget adalah daging, garam, bumbubumbu, tepung, kuning telur, bisa ditambahkan susu full cream dan lain-lain. Proses pembuatannya meliputi tahap penggilingan daging, pembentukan adonan (campur dengan bumbu dan bahan lainnya), pencetakan dan dikukus selama 45 menit, pemotongan, pelapisan dan penggorengan.
9
g. Lain-lain Selain yang telah disebut di atas, masih banyak produk-produk olahan daging lainnya baik yang tradisional Indonesia maupun mancanegara dan yang modern. Beberapa di antaranya adalah Sate, Rendang (Indonesia), Jerky (Amerika), Charqui (Brazil), Biltong (Afrika), dan lain-lain.
Telur Telur merupakan produk pangan hewani yang berasal dari unggas. Selain dagingnya, unggas juga menyumbangkan protein yang nilainya tinggi melalui telur. Telur yang dihasilkan unggas bermacam-macam, baik itu telur ayam, telur puyuh, telur bebek, maupun telur itik/entok. Telur merupakan sumber pangan hewani yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga dapat dikatakan telur sebagai sumber protein hewani yang bernilai ekonomis. Kandungan gizi terutama protein jauh lebih tinggi dibandingkan produk pangan hewani lainnya. Sebuah penelitian tentang manfaat protein telur yang mampu mencegah dan mengobati hipertensi pernah dilakukan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Miguel dan Aleixandre (2006) yang membuat beberapa ACE-inhibitor peptida yang diperoleh dari hidrolisat asam-asam amino pada telur (Tyr-Arg-Glu-Glu-ArgTyr-Pro-Ile-Leu-Arg-Ala-Asp-His-Pro-Phe-Leu, dan Ile-Val-Phe) yang diujikan kepada tikus hipertensi. Hasilnya berhubungan terhadap penurunan tekanan darah pada tikus yang hipertensi. Tabel 3 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam telur Ayam Bebek Unsur Energi (kkal) 146 170 Protein (g) 11.5 11.8 Lemak (g) 10.4 12.9 Vitamin A (RE) 278.1 379.8 Vitamin B (mg) 0.1 0.2 Besi (mg) 2.4 2.52 Fosfor (mg) 162 157.5 Sumber: DKBM 2010
Telur bebek di negara-negara
Barat
tidak diperdagangkan
dan
dikonsumsi. Hal ini dikarenakan telur bebek mudah terkontaminasi bakteri Salmonella thypii penyebab penyakit tifoid (tifus) dibandingkan dengan telur ayam. Meskipun telur bebek sedikit lebih besar dari telur ayam akan tetapi kandungan gizinya tidak berbeda jauh, kecuali mungkin kandungan lemaknya yang lebih banyak pada telur bebek. Bagian putih telur adalah 58 persen dari
10
berat seluruh telur, tetapi sebagian besar zat gizi dan vitamin terdapat di bagian merah telur (Sediaoetomo 2006). Teknik konsumsi telur di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengolahan makanan yang berasal dari telur banyak ragam dan jenisnya. Namun ada pula sebagian masyarakat yang mengkonsumsi telur tanpa melalui proses pengolahan. Fenomena tersebut umumnya terjadi pada masyarakat yang gemar mengkonsumsi jamu. Telur ayam kampung (ayam buras) sering dijadikan tambahan bahan dalam mengkonsumsi jamu. Telur tersebut langsung dicampur dengan jamu tanpa melalui proses pengolahan. Hal tersebut tidak baik dilakukan karena dapat mengganggu penyerapan vitamin di dalam tubuh.
Olahan Telur
Beberapa olahan telur yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah (Suharyanto 2009): a. Telur Asin Prinsipnya adalah dengan membungkus atau merendam material adonan yang asin selama waktu tertentu. Bahan yang biasa digunakan adalah serbuk batu bata merah dan garam serta ditambahkan sedikit air hangat. Perbandingan antara serbuk batu bata merah dengan garam adalah 10:50 s.d. 50:50. Penambahan air hangat kemudian diaduk-aduk hingga merata dan terbentuk semacam pasta. Telur yang telah dibersihkan kemudian dibenamkan atau dibungkus dengan pasta serbuk batu bata selama 2 minggu. b. Pindang Telur Telur direbus dalam air garam dengan perbandingan garam dan air adalah 1:10 s.d. 10:10. Perebusan dilakukan hingga mendidih. Daya simpan pindang telur sekitar 5 hari. c. Acar Telur Telur dimasak terlebih dahulu kemudian dikupas, lalu direndam dalam larutan asam cuka dengan konsentrasi 1.2 – 6 persen. d. Telur Asap Pengasapan telur dilakukan secepat mungkin setelah telur selesai direbus atau kukus. Bisa juga telur asin diasap. Bahan pembuat asap bisa
11
serabut kelapa atau kayu jati. Pengasapan dilakukan hingga kulit telur berubah menjadi coklat manggis atau hingga hitam. e. Bubuk Telur Prinsipnya adalah mengeringkan telur hingga airnya hilang sebanyak mungkin. Pengeringan dapat dilakukan dengan metode penyemprotan (spray drying) dan silindris (drum drying). Macam bubuk telur ada tiga yaitu bubuk putih telur, bubuk kuning telur dan bubuk telur utuh. Pembuatan bubuk putih telur dilakukan
dengan
pengeringan
silindris.
Mula-mula
putih
telur
difermentasi supaya mempertahankan warna saat proses pengeringan dan sifat kelarutannya serta membantu daya buih putih telur. Fermentasi ini menyebabkan kekentalan putih telur menurun sehingga memudahkan dalam penanganan. Fermentasi dilakukan pada suhu 20 derajat Celcius selama 36-60 jam atau suhu 23-29.4 derajat Celcius selama 12 jam. Bakteri yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah kelompok Aerobacter atau Escherechia. Bisa juga menggunakan ragi roti sebanyak 0.025 persen. Sebelum digunakan ragi roti dilarutkan dahulu dalam air suling dengan perbandingan 1:3 dari berat bahan. Selama fermentasi terjadi pemisahan lapisan putih telur. Lapisan bagian atas yang diambil untuk kemudian dikeringkan. Lapisan atas ini banyak mengandung ovomucin dan glikoprotein sehingga bersifat gelatinous. Pengeringan putih telur dilakukan pada suhu 50-60 derajat Celcius. Pembuatan bubuk kuning telur dilakukan dengan memanaskan kuning telur terlebih dahulu pada suhu 70 derajat Celcius. Kemudian disemprotkan melalui sebuah ”nozzle” dengan tekanan 3000 psi ke dalam ruang panas bersuhu di atas 160 derajat Celcius. Proses pembuatan bubuk telur utuh sama dengan bubuk kuning telur. f. Telur Beku Mula-mula telur dipecah, kemudian dimasukkan ke dalam wadah khusus dalam ruang bersuhu 18 derajat Celcius dan 21 derajat Celcius selama 72 jam. Kemudian pembekuan dipercepat dengan menurunkan suhunya. Suhu pembekuan yang biasa digunakan antara minus 23.3 dan 28.9 derajat Celcius. Beberapa cara juga dilakukan dengan mengocok telur hingga merata kemudian dibekukan.
12
Ikan Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara maritim. Hal ini dikarenakan wilayah perairan Indonesia mencapai 6.1 juta km2 atau sebesar 77 persen dari seluruh luas Indonesia, dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya (Basuki et al. 2009). Potensi perairan Indonesia yang sangat luas tersebut menghasilkan sumberdaya perairan yang luar biasa. Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan, artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan, namun harus memperhatikan kelestariannya. Ikan merupakan sumberdaya perairan yang mengandung protein tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan omega-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Basuki et al. 2009). Hasil-hasil perikanan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Ikan, contoh: tuna, bawal, kembung, lemuru
Udang, contoh: udang barong, udang jerbung, udang galah
Kerang-kerangan, contoh: kerang, remis, bukur, simping
Rumput laut, contoh: Echeumas, Laminaria Kualitas protein ikan tergolong sempurna (protein lengkap) karena
mengandung semua asam-asam amino esensial dalam jumlah masing-masing yang mencukupi kebutuhan tubuh (Sediaoetama 2006). Ikan dikonsumsi sebagai ikan segar (ikan basah), ikan kering yang diasinkan atau tidak, dan ikan kalengan hasil teknologi pangan modern. Pembusukan pada ikan yang dikeringkan baik diasinkan maupun tidak memiliki bau yang khas. Hal tersebut terjadi karena saat proses pengeringan kemungkinan terjadi kontaminasi oleh bakteri. Bagi yang mengkonsumsi ikan kering ini keluhan yang sering dirasakan adalah gangguan gastrointestinal pada masyarakat yang tidak biasa mengkonsumsinya, tetapi bagi masyarakat yang sudah biasa mempergunakannya tidak akan muncul keluhan tersebut Terdapat beberapa jenis ikan yang dapat menimbulkan reaksi allergic bagi yang mengkonsumsinya. Reaksi allergic yang biasa timbul berupa gatalgatal ringan maupun berat. Kecenderungan reaksi tersebut terutama pada konsumsi jenis ikan laut, dikeringkan, atau tidak. Bagi yang memiliki alergi terhadap jenis ikan tertentu dianjurkan untuk selalu mengingatnya dan menghindari untuk mengkonsumsinya (Sediaoetama 2006).
13
Selain dikonsumsi dalam kondisi utuh sebagai lauk, ikan juga dapat diolah menjadi produk lain yang kandungan gizinya tidak kalah tinggi untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Saat ini terdapat proses pengolahan ikan menjadi produk minyak ikan (fish oil). Ikan yang sering diolah menjadi minyak ikan adalah ikan kod. Minyak ikan kaya akan vitamin A dan tinggi protein sehingga baik dikonsumsi oleh anak dan remaja. Manfaat konsumsi minyak ikan bagi kesehatan manusia adalah vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya baik untuk kesehatan mata, kulit, selaput lendir, dan pertumbuhan otak (AsSayyid 2006). Berikut ini disajikan tabel kandungan gizi pada berbagai macam ikan. Tabel 4 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam ikan Ikan Ikan Unsur Bandeng Kembung Mujair Ikan Teri Asin Mas Energi (kkal) 135 103 82 69 65.4 513.3 Protein (g)
29.4
16
17.6
12.8
13.8
106.7
Lemak (g)
1.1
3.8
0.8
1.6
0.7
6.7
Vitamin A (RE)
0
37.6
7.2
37.6
4.4
313.3
Vitamin B (mg)
0
0.1
0.1
0.1
0.0
0.3
Besi (mg)
1.8
1.6
0.8
1.6
1.1
6.7
Fosfor (mg)
210
120
160
120
21.3
3333.3
Sumber: DKBM 2010
Saat ini ikan dipercaya sebagai pangan yang paling berperan dalam proses perkembangan kognitif seseorang khususnya remaja. Konsumsi EPA dan DHA secara bersamaan dapat mengurangi risiko penurunan kognitif pada individu usia lanjut. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Van Gelder (2007), linear trend menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara asupan EPA dan DHA dengan kemunduran kognitif. Perbedaan rata-rata asupan EPA dan DHA sebesar 380 mg/hari berhubungan dengan perbedaan sebesar 1.1 poin dalam penurunan kognitif. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Bradbury et al. (2004) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efek konsumsi minyak ikan dan minyak zaitun dalam mengurangi stres pada sampel. Konsumsi ikan ternyata juga berperan dalam mengurangi perkembangan aterosklerosis arteri koronari pada wanita dengan riwayat penyakit jantung koroner. Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian Erkkilä et al. (2004) yang membandingkan rendahnya asupan ikan dengan asupan ikan ≥ 2 penyajian ikan atau ≥ 1 penyajian tuna atau ikan daging gelap per minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa
14
terdapat hubungan konsumsi ikan dengan peningkatan persentase stenosis yang sangat kecil pada wanita penderita diabetes yang telah diketahui memiliki faktor risiko penyakit kardiovaskular dan asupan asam-asam lemak, kolesterol, serat, dan alkohol. Hasil tersebut tidak terjadi pada wanita yang bukan penderita diabetes. Konsumsi ikan yang tinggi juga berhubungan dengan penurunan pada diameter minimum arteri koronari dan pada lesi yang baru. Susu Pangan sumber protein hewani lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam menyediakan kebutuhan gizi pangan adalah susu. Susu dapat diartikan sebagai hasil pemerahan dari sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Susu mudah rusak oleh mikroorganisme karena merupakan tempat yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Ini merupakan sifat susu yang penting, oleh karenanya penanganan yang baik perlu dilakukan dengan tepat. Susu yang baik harus mengandung jumlah bakteri yang sedikit, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih, yaitu tidak mengandung debu atau kotoran, mempunyai flavor yang baik dan tidak dipalsukan (Suharyanto 2009). Susu dianggap sebagai makanan yang sempurna dilihat dari beberapa sisi. Susu oleh para ahli dianggap sebagai makanan utama yang kaya gizi karena mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Susu kaya akan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan garam-garam mineral. Semua unsur tersebut terdapat dalam susu dengan formula yang seimbang dan mudah dicerna. Susu tidak meninggalkan sisa di ginjal ketika selesai dicerna di lambung atau tidak menambah keasaman pada tubuh. Oleh karena itu, tidak aneh jika susu menjadi makanan pertama yang dikonsumsi oleh bayi mamalia sewaktu lahir. Kemungkinan bagi orang dewasa hidup hanya dengan mengkonsumsi susu selama beberapa minggu tanpa kekurangan gizi (As-Sayyid 2006). Saat ini konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut Wiratakusuma (1999) dalam Nurwandi (2010), konsumsi susu Indonesia baru mencapai 7.7 lt/kap/tahun atau setara dengan 19 gram per hari atau sekitar 1/10 konsumsi susu di dunia. Rendahnya konsumsi susu di Indonesia, berdampak pada rendahnya kualitas gizi balita dan anak. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat konsumsi susu di Indonesia, di antaranya adalah masih
15
rendahnya produk susu nasional, rendahnya daya beli dan budaya minum susu di masyarakat. Masa remaja sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi susu dalam jumlah yang tinggi. Hal ini dikarenakan komponen zat gizi yang terdapat di dalam susu mampu memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan susu yang tinggi selama masa remaja dapat memperbesar massa tubuh, saraf, mineral tulang radial yang diukur selama perkembangan puncak massa tulang. Konsumsi susu yang tinggi juga turut meningkatkan asupan kalsium. Konsumsi susu di usia muda akan berdampak pada kebiasaan yang terus berlanjut hingga di kehidupan mendatang (Teegarden et al. 1999). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rich-Edwards et al. (2007) tentang pengaruh konsumsi susu terhadap hormon somatotropik. Hasilnya sesuai dengan hipotesis bahwa peningkatan konsumsi susu pada remaja awal akan meningkatkan hormon-hormon pertumbuhan seperti hormon somatotropik. Absorbsi kolesterol dan lemak pada usus dapat dilakukan oleh susu. Penyerapan lebih efektif jika dilakukan oleh spingomielin susu dibandingkan dengan spingomielin pada telur. Efek penghambat terkuat dari spingomielin susu adalah adanya hubungan tingginya tingkat kejenuhan dan panjangnya kelompok asam lemak rantai panjang yang secara perlahan menurunkan lipolisis luminal, kelarutan miselar dan perpindahan lemak miselar ke enterosit (Noh & Koo 2004). Berikut ini merupakan tabel komposisi rata-rata susu sapi: Tabel 5 Komposisi zat gizi pada susu sapi Komposisi Berat Energi (kkal) 61 Protein (g) 3.2 Lemak (g) 3.5 Karbohidrat (g) 4.3 Kalsium (mg) 143 Vitamin C (mg) 1 Fasfor (mg) 60 Besi (mg) 1.7 Vitamin A (RE) 45 Vitamin B (mg) 0 Sumber: DKBM 2010
Terdapat sensitifitas pada sebagian orang yang mengonsumsi susu. Sesaat setelah seseorang mengonsumsi susu mengalami diare. Hal ini dikarenakan pada sebagian orang tidak mampu mencerna gula susu (laktosa) sehingga timbul gangguan pencernaan. Orang yang mengalami gangguan terhadap penyerapan laktosa dikenal dengan gangguan lactose intollerence.
16
Olahan Produk Susu Bagi individu yang tidak dapat atau tidak suka mengonsumsi susu secara langsung, masih dapat menikmati susu dan memperoleh manfaat dari susu. Susu dapat diolah menjadi beragam bentuk produk pangan yang bernilai ekonomi namun tetap bergizi. Berikut ini adalah beberapa produk olahan dari susu. 1. Susu Homogen Susu homogen merupakan susu yang telah mengalami homogenisasi yang tujuannya untuk menyeragamkan globula lemak susu. Susu yang belum dihomogenasi, ukuran globulanya tidaklah sama, yaitu sekitar 2-20 mikrometer. Perbedaan ukuran globula lemak disebabkan oleh perbedaan jenis ternak, pakan/manajemen,
pemerahan,
umur
ternak
dan
lain-lain.
Alat
untuk
menyeragamkan globula-globula lemak disebut dengan “homogenizer”. Prinsip kerja alat homogenizer adalah dengan cara menekan susu melalui lubang kecil maka susu akan keluar dan menghantam suatu bidang keras sehingga globula yang besar akan pecah. Homogenisasi ini mampu meningkatkan kekentalan susu hingga 10 persen. Susu yang telah dihomogenasi jumlah partikel dan luas permukaan globula lemak bertambah karena globula lemak yang besar pecah menjadi berukuran lebih kecil. Hal ini menyebabkan susu homogen mudah mengalami ketengikan dan mudah menggumpal oleh perlakuan panas dan asam. Susu homogen juga mudah mengalami “creaming”, yaitu pemisahan antara krim dan skim. Tetapi biasanya mampu bertahan selama 48 jam penyimpanan pada suhu 10-15 derajat Celcius tanpa adanya gangguan tidak terjadi pemisahan krim pada susu. Oleh karenanya susu homogen biasanya merupakan upaya antara dalam pengolahan selanjutnya menjadi produk olahan. 2. Susu Pasteurisasi Sebagaimana disebutkan di atas, pasteurisasi merupakan salah satu penanganan awal untuk memperpanjang masa simpan sebelum susu dijual. Selain itu, pasteurisasi bertujuan untuk:
Membunuh bakteri patogen, misalnya Mycobacterium tubercolosis.
Membunuh bakteri tertentu, yaitu dengan mengatur suhu dan lamanya pasteurisasi.
Mengurangi jumlah bakteri dalam bahan (susu).
Mempertinggi dan memperpanjang masa simpan.
17
Meningkatkan cita rasa susu.
Menginaktifkan enzim fosfatase dan katalase yang menyebabkan susu mudah rusak.
Pateurisasi dapat dilakukan dengan cara: a. High Temperatur Short Time (HTST), yaitu dengan pemanasan tinggi 72 derajat Celcius selama 15 detik. b. Low Temperatur Long Time (LTLT), yaitu dengan pemanasan 62 derajat Celcius selama 30 menit. 3. Susu Steril Susu steril merupakan susu hasil sterilisasi dan banyak dijual, terutama susu UHT. Sterilisasi merupakan pamanasan dengan suhu tinggi (100–140 derajat Celcius) selama beberapa detik dengan tujuan membunuh semua bakteri baik yang patogen maupun non patogen. 4. Krim dan Skim Krim merupakan bagian susu yang banyak mengandung lemak dan bahan larut lemak atau disebut juga “kepala susu” dan skim adalah bagian susu yang telah diambil lemaknya sehingga banyak mengandung protein (setelah dipisahkan dari lemak susu). Skim disebut juga sebagai serum susu. Memisahkan krim dan skim adalah dengan sentrifugasi. Pemisahan dapat terjadi karena keduanya memiliki bobot molekul yang berbeda. Krim berbobot molekul ringan dan skim berbobot molekul lebih berat sehingga setelah disentrifugasi, bagian krim berada di atas skim. Susu skim dapat digunakan oleh seseorang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55 persen dari seluruh energi susu, dan juga digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt. 5. Bubuk susu Bubuk susu merupakan susu yang diuapkan sebanyak mungkin airnya sehingga kering dan dibuat bubuk. Kadar air bubuk susu sekitar 5 persen. Proses pembuatannya melalui tahap pemanasan pendahuluan dan pengeringan. Pemanasan pendahuluan bertujuan untuk menguapkan air sehingga tinggal sekitar 45–50 persen. Pemanasan pendahuluan menggunakan temperatur antara 65–170 derajat Celcius, tergantung jenis susu bubuk yang akan dibuat. Susu bubuk penuh menggunakan suhu yang rendah dibanding susu bubuk skim.
18
Konsumsi Pangan Hewani pada Tingkat Nasional dan Provinsi Salah satu bagian dari sistem pangan dan gizi adalah kegiatan konsumsi yang
dilakukan oleh
masyarakat. Konsumsi merupakan
kegiatan
yang
menentukan status gizi seseorang. Konsumsi pangan yang mencukupi baik secara kuantitas dan kualitas menjadi indikator apakah seseorang memiliki status gizi baik atau buruk. Selain itu, konsumsi pangan juga menjadi determinan dalam menentukan suatu wilayah yang rawan pangan dan mengalami kelaparan. Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ikan merupakan pangan hewani yang paling banyak dikonsumsi dengan jumlah sebesar 28 kg/kapita/tahun. Ratarata konsumsi protein ikan juga berada pada angka tertinggi yaitu sebesar 7.9 g/kapita/hari. Konsumsi ikan di Indonesia belum merata karena masih terdapat provinsi yang konsumsi ikannya sangat rendah (Lampiran 3). Namun jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia dan Thailand, tingkat konsumsi ikan di dalam negeri masih sangat rendah. Rendahnya konsumsi ikan di dalam negeri karena kurangnya informasi mengenai pentingnya konsumsi ikan (DKP 2010). Tabel 6 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 Konsumsi Komoditi Jumlah Protein (g/kap/hari) (kg/kap/tahun) Daging 4.8 2.4 Telur dan Susu 17.7 3.0 Ikan 28.0 7.9 Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008) / BPS- Statistic Indonesia (2010b)
Berdasarkan data di atas konsumsi protein tertinggi nasional terdapat pada komoditi ikan, sedangkan daging menjadi komoditi yang rendah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber protein. Hal ini diduga harga ikan lebih dapat dijangkau oleh masyarakat dibandingkan dengan harga daging, telur, dan susu. Menurut Martianto dan Ariani (2004) dalam Aprilian (2010), tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Konsumsi pangan hasil ternak masyarakat Indonesia dan olahannya masih rendah (Lampiran 4). Hal ini menyebabkan asupan protein asal pangan hewani juga menjadi rendah (Lampiran 5). Kondisi tersebut jika dibiarkan lebih lanjut maka akan berdampak pada status gizi dan perkembangan sumberdaya manusia di Indonesia, khususnya pada kelompok usia anak-anak dan remaja.
19
Pola Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia Nasoetion et al. (1992) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai “Susunan jenis atau ragam pangan yang biasa dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang di daerah tertentu”. Pengelompokkan pola konsumsi pangan dapat dibentuk berdasarkan kegunaan atau fungsi pangan dalam tubuh meliputi pola konsumsi pangan pokok, pola konsumsi pangan sumber protein, pola konsumsi sayuran, dan pola konsumsi buah-buahan. Pola konsumsi suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat konsumsi, pengeluaran, dan proporsi pengeluaran untuk setiap komoditi seperti komoditi pangan hewani dari total pengeluaran pangan hewani. Pola konsumsi pangan dapat juga diartikan sebagai frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Harper et al 1985). Konsumsi pangan yang beraneka ragam diharapkan dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang. Tiap-tiap jenis pangan atau makanan mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi, dan daya cerna masing-masing. Oleh sebab itu tiap-tiap jenis komoditi dapat memberikan sumbangan zat gizi yang unik (Suhardjo 1989). Apresiasi masyarakat terhadap pangan hewani cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69.8 persen dari kebutuhan protein hewani. Berbagai strategi untuk meningkatkan kesediaan pangan hewani asal ternak telah pula dilakukan. Sementara ini. telah tersedia beragam rakitan teknologi dari Badan Litbang Pertanian menyangkut aspek budidaya peternakan dan pencegahan penyakit hewan serta pengolahan produk pangan hewani yang aman dan halal. Implementasi rakitan teknologi di masyarakat luas diharapkan dapat membantu penyediaan pangan hewani asal ternak (Suryana 2008). Populasi penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi. halal dan aman dikonsumsi. Badan Pusat Statistik Indonesia (2010 a) mencatat bahwa rata-rata konsumsi protein pangan hewani asal daging, ikan, susu dan telur masyarakat Indonesia tahun 2009 adalah 2.2 gram/kapita/hari untuk daging, 7.3 gram/kapita/hari untuk ikan. dan 2.9 gram/kapita/hari untuk susu dan telur. Konsumsi pangan asal hewani akan meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyarakat maupun meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi baik. Sejak tahun 1955
20
Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi sampai dewasa ini belum tercapai swasembada untuk daging sapi dan susu. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan pada penyediaan daging unggas (ayam dan itik), daging ternak besar. Kesediaan daging unggas dari broiler (955756 ton) sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas. sedangkan populasi ayam lokal sejumlah 298.4 juta ekor. mempunyai produksi sekitar 322800 ton. Populasi sapi potong yang 11 juta ekor hanya memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306000 ton (pemotongan sekitar 1.5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 70 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi sapi potong sejumlah 408000 ekor/tahun (setara dengan 56000 ton). Pada tahun 2005 importasi daging (terdiri dari daging sapi, kambing, domba, ayam, dan babi, termasuk hati dan jeroan sapi) mencapai 634315 ton dan produk susu mencapai 173084 ton belum lagi mentega (60176 ton), keju (9883 ton), sedikit telur dan yoghurt (Direktorat Jendral Peternakan 2006 dalam Suryana 2008). Remaja Manusia mengalami proses daur kehidupan yang dimulai sejak masih di dalam kandungan sampai lanjut usia. Manusia akan melalui fase-fase tumbuh dan berkembang dalam daur kehidupan. Setiap fase-fase tersebut memiliki ciriciri yang khas sehingga dapat dikenali antara fase yang satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan mempunyai ciri-ciri khusus. yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, serta munculnya ciri-ciri baru, Pertumbuhan mempunyai keunikan yaitu adanya kecepatan yang berbeda-beda di setiap kelompok umur dan pola pertumbuhan pada masing-masing organ yang berbeda. Selama proses pertumbuhan pada manusia terdapat 3 periode pertumbuhan cepat, yaitu masa janin, masa bayi 0–1 tahun, dan masa pubertas (Chamidah 2009). Setiap pertumbuhan disertai dengan proses perkembangan. Proses perkembangan merupakan proses perubahan fungsi tubuh. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya. Perkembangan fase awal meliputi beberapa aspek kemampuan fungsional, yaitu kognitif, motorik, emosi, sosial, dan bahasa. Perkembangan pada fase awal ini akan menentukan perkembangan fase selanjutnya. Jika terjadi
21
kekurangan pada salah satu aspek perkembangan maka dapat mempengaruhi aspek lainnya (Chamidah 2009). Remaja merupakan salah satu fase tumbuh dan kembang yang dilalui oleh manusia. Menurut Hurlock (1992) dalam Arya (2010), remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Papalia et al. (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia et al. (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Masa remaja sering juga disebut sebagai masa pubertas. Menurut Monks (2002), pubertas berasal dari kata puber yaitu pubescere yang artinya mendapat pubes atau rambut kemaluan, yaitu suatu tanda kelamin sekunder yang menunjukkan perkembangan seksual. Pubertas menurut Root (1998) dalam Hurlock (2004) merupakan suatu tahap dalam perkembangan yang ditandai dengan kematangan alat–alat seksual dan tercapainya kemampuan reproduksi. Batasan usia remaja menurut klasifikasi World Health Organization (WHO) (2000) dalam Nugroho (2001) adalah 10-19 tahun. Menurut United Nations (UN) (1998) dalam Nugroho (2001), menyebutnya sebagai anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam batasan kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun. Masa pubertas pada remaja akan membawa perubahan-perubahan pada diri remaja. Perubahan tersebut meliputi perubahan secara fisik dan emosional/psikologis. Selama pertumbuhan pesat masa puber, terjadi empat perubahan fisik penting dimana tubuh anak dewasa: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder (Hurlock 2004), yaitu: Perubahan primer pada masa puber. Perubahan primer pada masa pubertas adalah tanda-tanda/perubahan yang menentukan sudah mulai berfungsi optimalnya organ reproduksi pada manusia. 1. Pada pria: gonad atau testis yang terletak di skrotum, di luar tubuh, pada usia 14 tahun baru sekitar 10 persen dari ukuran matang. Kemudian terjadi pertumbuhan pesat selama 1 atau 2 tahun, setelah itu
22
pertumbuhan menurun, testis sudah berkembang penuh pada usia 20 atau 21 tahun. Jika fungsi organ-organ pria sudah matang, maka biasanya mulai terjadi mimpi basah. 2. Pada wanita: semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa puber. meskipun dalam tingkat kecepatan yang berbeda. Berat uterus anak usia 11 atau 12 tahun berkisar 5.3 gram, pada usia 16 rata-rata beratnya 43 gram. Tuba falopi, sel-sel telur, dan vagina juga tumbuh pesat pada saat ini. Petunjuk pertama bahwa mekanisme reproduksi anak perempuan menjadi matang adalah datangnya menstruasi (Hurlock 2004).
Perubahan sekunder pada masa pubertas. Menurut Sarwono (2009), perubahan sekunder pada masa pubertas adalah perubahan-perubahan yang menyertai perubahan primer yang terlihat dari luar. 1. Pada perempuan: lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; pertumbuhan payudara; tumbuh bulu-bulu halus disekitar ketiak dan vagina; panggul mulai melebar; tangan dan kaki bertambah besar; tulangtulang wajah mulai memanjang dan membesar; vagina mengeluarkan cairan; keringat bertambah banyak; kulit dan rambut mulai berminyak; pantat bertambah lebih besar. 2. Pada pria: lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; tangan dan kaki bertambah besar; pundak dan dada bertambah besar dan membidang; otot menguat; tulang wajah memanjang dan membesar tidak tampak seperti anak kecil lagi; tumbuh jakun; tumbuh rambut-rambut di ketiak. sekitar muka dan sekitar kemaluan; penis dan buah zakar membesar; suara menjadi besar; keringat bertambah banyak; kulit dan rambut mulai berminyak.
Perubahan Emosional/Psikologis Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “Badai dan Tekanan”, sesuatu masa terjadi ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia
23
kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu (Hurlock 2004). Masa remaja merupakan masa stress full karena ada perubahan fisik dan biologis serta perubahan tuntutan dari lingkungan, sehingga diperlukan suatu proses penyesuaian diri dari remaja. Tidak semua remaja mengalami masa stress full. Namun dapat dikatakan benar bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan
dari waktu
ke
waktu
sebagai konsekuensi dari usaha
penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Nurfajriyah 2009). Penyebab Perubahan Pubertas (Hurlock 2004). 1. Peran Kelenjar Pituitari: kelenjar pituitari mengeluarkan dua hormon yaitu hormon pertumbuhan yang berpengaruh dalam menentukan besarnya individu, dan hormon gonadotropik yang merangsang gonad untuk meningkatkan kegiatan. Sebelum masa puber secara bertahap jumlah hormon gonadotropik semakin bertambah dan kepekaan gonad terhadap hormon gonadotropik dan peningkatan kepekaan juga semakin bertambah, dalam keadaan demikian perubahan-perubahan pada masa puber mulai terjadi. 2. Peran Gonad: Adanya pertumbuhan dan perkembangan gonad. organorgan seks yaitu ciri-ciri seks primer: bertambah besar dan fungsinya menjadi matang, dan ciri-ciri seks sekunder, seperti rambut kemaluan mulai berkembang. 3. Interaksi Kelenjar Pituitari dan Gonad: Hormon yang dikeluarkan oleh gonad,
yang
telah
dirangsang
oleh
hormon
gonadotropik
yang
dikeluarkan oleh kelenjar pituitari, selanjutnya bereaksi terhadap kelenjar ini dan menyebabkan secara berangsur-angsur penurunan jumlah hormon pertumbuhan yang dikeluarkan sehingga menghentikan proses pertumbuhan,
interaksi
antara
hormon
gonadotropik
dan
gonad
berlangsung terus sepanjang kehidupan reproduksi individu, dan lambat laun berkurang menjelang wanita mendekati menopause dan pria mendekati climacteric. Meskipun sebagian besar anak puber secara fisik tidak merasa normal. namun penyakit yang aktual tidak banyak dialami anak dalam periode ini dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Bahaya fisik utama masa puber disebabkan kesalahan fungsi kelenjar endokrin yang mengendalikan pertumbuhan pesat dan perubahan seksual yang terjadi pada periode ini.
24
Banyak bahaya psikologis pada masa puber yang akibat panjangnya lebih penting dari pada akibat berlangsungnya. Beberapa bahaya psikologis yang adalah sebagai berikut : 1. Konsep diri yang kurang baik. Terdapat banyak hal yang menyebabkan perkembangan konsep diri kurang baik selama masa puber, beberapa di antaranya
alasan
pribadi
dan
alasan
lingkungan.
Anak
yang
mengembangkan konsep diri kurang baik pada masa remaja cenderung menguatkan konsep tersebut dengan perilaku yang tidak sosial. dan bukan memperbaikinya. Akibatnya. dasar-dasar untuk kompleks rendah diri semakin tertanam dan kecuali dilakukan langkah-langkah perbaikan. maka cenderung akan menetap dan mewarnai mutu perilaku individu sepanjang hidupnya. 2. Prestasi Rendah. Cepatnya pertumbuhan fisik maka tenaga menjadi melemah akibatnya timbul keseganan untuk bekerja dan bosan pada tiap kegiatan yang melibatkan usaha individu. 3. Kurangnya persiapan untuk menghadapi masa puber. Anak puber tidak diberitahu atau secara psikologis tidak dipersiapkan tentang perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada masa puber, pengalaman akan perubahan itu dapat merupakan pengalaman traumatis. 4. Menerima tubuh yang berubah. Salah satu tugas perkembangan masa puber yang penting adalah menerima kenyataan bahwa tubuhnya mengalami perubahan. Hanya sedikit anak puber yang mampu menerima kenyataan ini, sehingga mereka tidak puas dengan penampilannya. 5. Menerima peran seks yang diharapkan. Menerima peran seks pada anak puber yang diharapkan mendekati peran seks orang dewasa merupakan tugas perkembangan utama pada tingkat usia ini. Terjadinya kematangan seksual atau waktu yang diperlukan untuk pematangan. 6. Penyimpangan dalam pematangan sosial. Salah satu bahaya psikologis selama masa puber yang paling serius adalah penyimpangan dalam usia terjadinya kematangan seksual atau waktu yang diperlukan untuk pematangan. 7. Anak yang matang lebih awal. Anak yang matang terlalu dini dapat menunjukkan kesulitan pribadi. Kesulitan ini timbul karena anak matang lebih awal yang kelihatannya lebih tua dari usianya, biasanya diharapkan bertindak sesuai dengan penampilannya dan bukan dengan usianya
25
Jajanan sebagai Sumber Pangan Hewani Anak dan remaja merupakan individu yang tidak jauh dari konsumsi pangan jajanan. Pangan jajanan dapat dengan mudah diperoleh dan ditemui di pasar, terminal bis, pinggir-pinggir jalan, baik yang telah menempati kios-kios maupun yang masih menggunakan gerobak dan berpindah tempat. Para penjaja makanan jajanan akan cenderung banyak berkumpul di dekat pasar. jalur perdagangan, halaman kantor atau halaman sekolah (Sibarani 1985). Menurut Murphy et al. (2003), jajanan (snacks) dapat memberikan 20 persen kebutuhan energi pada anak. Jajanan sekolah yang mengandung pangan sumber hewani dapat meningkatkan kualitas asupan pangan untuk anak-anak di wilayah pedesaan Kenya. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pangan hewani yang terdapat pada makanan jajanan sekolah (school snacks) memiliki kontribusi dalam memenuhi kebutuhan gizi anak dan remaja. Makanan jajanan yang banyak dijajakan mengandung sumber tenaga dan protein. Kecenderungan harga yang ditawarkan makanan jajanan tersebut relatif murah. Meskipun murah, keamanan pangan dan sanitasi makanan jajanan masih sangat diragukan. Risiko kontaminasi zat-zat berbahaya dan mikroorganisme pada pangan tersebut sangat tinggi. Karakteristik Siswi Uang Saku Orang tua cenderung akan memberikan uang saku untuk anaknya. Kesibukan yang dialami oleh orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka kebiasaan yang timbul adalah orang tua kurang memperhatikan asupan gizi anaknya, misalnya anak-anak tidak dibiasakan untuk sarapan pagi, anak hanya diberi uang saku untuk membeli makanan di sekolah, membiasakan makanan yang dijual di warung, sementara keseimbangan gizi dan kebersihannya kurang diperhatikan (Muasyaroh 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjayanti (1989) dalam Mardayanti (2008) tentang alokasi uang saku pada siswa sekolah di Bogor menyimpulkan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh anak. Preferensi Pangan Preferensi pangan (food preference) merupakan faktor yang sangat penting sebagai penentu utama konsumsi pangan terutama yang terjadi pada
26
anak usia sekolah (Birch 2000). Penentu konsumsi pangan ini berbeda dengan penentu konsumsi pada orang dewasa. Umumnya orang dewasa akan mempertimbangkan harga, nilai gizi, dan atau kemudahan dalam menyiapkan makanan setiap kali melakukan kebiasaan konsumsi pangan. Anak-anak mulai dari anak sekolah dasar sampai pada remaja akhir akan mengkonsumsi makanan yang disukai dan jika tidak suka akan meninggalkannya dan bersisa (Fisher & Birch 1999). Menurut Birch (2000), pengalaman awal anak dengan makanan berlaku sebagai kesempatan belajar yang penting dalam pembentukan preferensi anak terhadap pangan sekaligus pengontrolan konsumsi pangan. Orang tua membentuk lingkungan makan anak dari bayi, bahkan semenjak dalam kandungan. Sewaktu anak mulai mendapatkan makanan padat, orang tua mempunyai kesempatan untuk membentuk lingkungan makan bagi anak melalui pemberiaan makanan tertentu dan bukan yang lain serta melalui konteks sosial yang terjadi pada waktu anak makan. Status Gizi Siswi Status
gizi
siswi
dihitung
menurut
TB/U
dan
IMT/U.
IMT/U
direkomendasikan sebagai indikator terbaik yang dapat digunakan pada remaja (WHO 2008). Berikut ini merupakan pengelompokkan indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/U berdasarkan WHO (2008). Tabel 7 Indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/U Indeks Antropometri
TB/U
IMT/U
Klasifikasi berdasarkan Z-score 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sangat tinggi (kelainan endokrin) Normal Pendek Sangat pendek Obese Overweight Risiko overweight Normal Kurus Sangat kurus
: >3 : -2 s/d 3 : -3 s/d <-2 : <-3 : >3 : >2 s/d 3 : >1 s/d 2 : -2 s/d 1 : -3 s/d <-2 : <-3
Pengetahuan Gizi Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al 1985). Terjadinya perubahan sikap dan perilaku gizi dilandaskan kepada pengetahuan
27
gizi. Penting bagi anak dan remaja untuk memperoleh pengetahuan gizi dari berbagai sumber informasi karena perilaku yang didasarkan pada pengetahuan akan bertahan lebih lama (Amelia 2008). Pengetahuan gizi pada siswi diukur dengan 20 pertanyaan pilihan berganda tentang sumber, jenis, fungsi, dan akibat konsumsi protein yang tidak memadai. Skor yang diberikan yaitu 1 jika jawaban benar dan 0 jika jawaban alah. Kategori pengetahuan gizi ditentukan dengan menetapkan kategori yang disertai dengan nilai cut off point berdasarkan skor yang telah dijadikan dalam bentuk persen. Terdapat tiga kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu kurang, sedang, dan baik. Siswi yang mendapatkan total skor <60 persen dikategorikan kurang. Jika siswi mendapatkan total skor antara 60 sampai 80 persen maka termasuk kategori sedang dan jika siswi mendapatkan total skor >80 persen maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000). Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Besar keluarga menurut Berg (1986), mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan. Pada keluarga besar jumlah anak yang menderita kelaparan empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Hal serupa juga terjadi pada keluarga dengan kondisi ekonomi yang kurang. Jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (1997), sebuah keluarga dapat dikatakan tergolong keluarga kecil jika anggota keluarganya ≤ 4 orang dan sebuah keluarga dapat dikatakan tergolong keluarga besar jika anggota keluarganya > 4 orang. Pemenuhan akan pangan dan gizi dipengaruhi oleh besar kecilnya keluarga, terutama keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat. sehingga biaya yang diperlukan untuk pengeluaran pangan keluarga akan tinggi (Lumenta 1987 dalam Aprilian 2010). Pendidikan Orang Tua Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa pendidikan dan pengetahuan dalam bidang gizi yang dimiliki orang tua akan mempengaruhi
28
keadaan gizi anak. Semakin baik pendidikan dan pengetahuan gizi orang tua maka keadaan gizi anak akan baik pula (Riyadi et al. 2006). Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir dan kerangka pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya merupakan bekal dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar keluarga. Pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Menurut Suhardjo et al (1988), makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik juga semakin besar sehingga akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh oleh seseorang. Seorang ibu yang memiliki latar belakang pendidikan yang baik akan berpengaruh terhadap tingkah laku dan perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan harian keluarga. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle et al 1997 dalam Aprilian 2010). Nurmati (1995) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih pangan yang lebih baik, dalam jumlah dan mutu dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah. Penghasilan Orang Tua Pada keluarga yang memiliki cukup akses secara ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan, pengetahuan gizi orang tua yang baik akan berpengaruh terhadap semakin baiknya keragaman konsumsi pangan anggota keluarganya, yang merupakan cerminan dari perilaku gizi yang baik. Saat kedua orang tua memegang peranan penting dalam pemilihan pangan untuk anggota keluarganya, maka pengetahuan gizi keduanya akan mempengaruhi jenis pangan dan dan mutu gizi makanan yang dikonsumsi anggota keluarga (Hardinsyah 2007). Martianto dan Ariani (2004) dalam Aprilian (2010) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Berdasarkan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi semakin baik pula. Hal tersebut tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya
29
murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Rendahnya pendapatan yang dimiliki seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan (< tiga kali makan). Winarno (1993) menyebutkan, tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah dapat mempengaruhi pola makan. Pemenuhan kebutuhan pangan sebagian besar dipenuhi dengan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat lebih banyak yang disebabkan harga pangan tersebut lebih murah dibandingkan pangan sumber zat besi. Hal tersebut dapat berdampak pada kebutuhan zat besi yang tidak mencukupi sehingga menimbulkan kejadian anemia gizi besi. Penghasilan orang tua pada penelitian ini diketahui dengan cara melakukan pendekatan terhadap kepemilikan kendaraan pribadi dan alat elektronik. Menurut Rifusua (2010), tingkat pendapatan dapat diketahui melalui pendekatan kepemilikan
kendaraan pribadi. Semakin
tinggi pendapatan
seseorang maka kemampuan daya belinya semakin meningkat. Masa Pubertas Remaja dan Konsumsi Pangan Hewani Kebutuhan energi dan gizi remaja dipengaruhi oleh usia reproduksi, tingkat aktivitas, dan status gizi. Remaja membutuhkan gizi untuk pertumbuhan. Remaja yang anemia dan kurang berat badan lebih banyak melahirkan anak BBLR dibandingkan wanita dengan usia reproduksi aman untuk hamil. Penambahan berat badan yang tidak adekuat sering kali terjadi pada remaja yang ingin kurus sehingga sebagian besar remaja tidak dapat mencukupi sumber makanannya dan menggunakan obat-obatan terlarang (Anonim 2010). Gizi juga mempengaruhi kematangan seksual pada remaja puteri yang mendapat menstruasi pertama lebih dini. Remaja puteri cenderung lebih berat dan lebih tinggi pada saat menstruasi dibandingkan dengan sebelum menstruasi pada usia yang sama. Pemenuhan gizi yang baik pada anak akan berdampak pada perkembangan pubertal di masa remaja.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Buyken et al. (2009) bahwa komposisi tubuh prepubertas pada anak laki-laki dan perempuan yang sehat mempunyai efek terhadap kemajuan perkembangan pubertas. Penelitian mengenai kualitas diet pada anak terhadap waktu pubertas anak dilakukan oleh Cheng et al. (2010). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas diet pada anak-anak berhubungan dengan waktu pubertas
30
remaja namun tidak berhubungan dengan komposisi tubuh. Semakin baik kualitas diet anak maka semakin cepat kemajuan pubertas pada anak tersebut. Kualitas diet pada anak harus mencakup semua zat gizi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Protein merupakan zat gizi yang diperlukan remaja untuk proses pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaan. Protein menjadi sangat penting bagi remaja yang memerlukan asupan zat gizi untuk memenuhi kebutuhan tubuh di masa pubertas. Salah satu sumber protein yang penting adalah berasal dari pangan hewani. Protein yang terkandung dalam pangan hewani terbukti mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan pubertas remaja. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Günther et al. (2010). Asupan protein dari pangan yang tinggi pada anak yang berumur 5-6 tahun akan mempercepat waktu datangnya pubertas. Waktu datangnya pubertas tersebut ditandai dengan munculnya perubahan suara pada anak laki-laki dan menstruasi pada anak perempuan. Asupan protein pada penelitian ini tidak hanya berasal dari pangan hewani tetapi juga berasal dari nabati. Hasil yang sama dengan asupan pangan hewani ditunjukkan oleh asupan pangan nabati. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah asupan protein hewani dan nabati pada anak-anak dapat mempercepat waktu datangnya pubertas pada anak. Konsumsi bahan makanan sumber protein hewani masih belum bervariasi baik dari segi jenis dan frekuensinya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh Aritonang dan Evinaria (2004) diketahui bahwa sumber protein hewani yang dikonsumsi setiap hari adalah ikan asin yang diperoleh dengan cara membeli 1 kali dalam seminggu di pasar dalam jumlah yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan anggota keluarga selama satu minggu. Hal ini disebabkan karena jarak antara desa dengan pasar lebih kurang 10 km sehingga jika membeli setiap hari akan mengganggu waktu bekerja di ladang. Ikan laut segar yang diharapkan sebagai sumber iodium rata-rata dikonsumsi pelajar 1-3 kali dalam sebulan. disebabkan ikan laut segar ini hanya dijumpai pada hari pekan saja yaitu hari Sabtu. Ikan laut segar didatangkan dari Belawan dan Tanjung Balai sehingga harganya relatif lebih mahal daripada ikan asin. Selain masalah tersebut ikan laut segar ini tidak tahan disimpan lebih dari satu hari saja hanya dibeli secukupnya untuk kebutuhan satu hari saja (Aritonang
31
& Evinaria 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelajar sering (>1-3 kali/hari) mengkonsumsi nasi dan ubi kayu sebagai makanan pokok. Ikan asin merupakan konsumsi sumber protein hewani yang sering, sedangkan ikan laut segar sangat jarang dikonsumsi. Konsumsi makanan yang mengandung goitrogenik sangat sering yaitu ubi kayu, daun singkong, kol, dan asam. Makanan dengan kandungan iodium tinggi jarang dikonsumsi. Pelajar yang mempunyai status gizi sedang 17 orang (68 persen), status gizi baik 2 orang (8 persen), dan pelajar status gizi buruk 6 orang (24 persen) (Aritonang & Evinaria 2004).