i
ANALISIS SUMBERDAYA DAN KONSUMSI DAGING SAPI DI INDONESIA TAHUN 2005-2010
AQIILAH ZAHRA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ii
ABSTRACT AQIILAH ZAHRA. Beef Resources and Consumption Analysis in Indonesia 2005-2010. Supervised by YAYUK FARIDA BALIWATI. Indonesian beef resources problem is the high demand of import rate which is interfere with the independence and potential in food trap exporting countries (DITJENAK 2010). The Indonesian beef consumtion problem is the low consumption of beef between other ASEAN countries. The objective of the study is to analyzed the resources and the consumption of beef in Indonesian from 2005-2010. A descriptive design was implemented and a set of scondary data was used in the study. Data was analyzed using Microsoft Excell 2007 for Windows. The result showed that the production (including offal) national has rose from positive percentage rate (2,91%). The average percentage of total production amounted to 77,59 percent, and imports amounting to 22,41 percent. The availability of beef has rose from positive percentage rate (6,04%). The average availability of beef is 1,69 kg/cap/yr or 286,63 thousand tons/yr. Amount of the consumption of levels tended to increase (2,83%). The beef consumption in 2010 is 1,56 kg/kap/th. The average of national beef consumption reach 1,47 kg/cap/yr. The type of largest consumption is food made from beef (soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, and daging goreng) reach 0,93 kg/cap/yr. The lowest consumption is offal reach 0,02 kg/cap/yr. Ideal consumption of beef is 2,46 kg/cap/yr. Actual consumption of beef is still less than ideal. The difference is -1 kg/cap /yr. The average sufficiency availability with respect to imports (on trend) of beef from 2005 to 2010 to meet the actual consumption of beef population of Indonesia. The average sufficiency availability without regard import (absolute) of beef has not been able to meet the actual consumption of the population of Indonesia. The sufficiency availability on trend and absolute of beef are not able to meet the ideal consumption of the population in Indonesia. Keywords: Beef resources, beef consumption, sufficiency of beef, Indonesia
iii
RINGKASAN AQIILAH ZAHRA. Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI. Tujuan Umum dari penelitian ini adalah menganalisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Adapun tujuan khusus adalah 1) menganalisis sumberdaya daging sapi nasional tahun 2005-2010, 2) menganalisis konsumsi aktual kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010, 3) menganalisis konsumsi ideal daging sapi nasional tahun 2005-2010, 4) menganalisis kecukupan daging sapi nasional tahun 2005-2010. Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey. Penelitian dilakukan di Bogor pada bulan Oktober-Desember 2011 dengan menggunakan data sekunder. Jenis data sekunder yang dikumpulkan terdiri atas Neraca Bahan Makanan (NBM) Indonesia tahun 2005-2010 yang didapatkan dari Badan Ketahanan Pangan (BKP), dan Survey Sosial Ekonomi (SUSENAS) tahun 20052010 yang didapatkan dari hasil olah BKP berdasarkan data Badan Pusat Statiska (BPS). Data konsumsi daging sapi yang diambil dari SUSENAS adalah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi makanan jadi, hati dan jeroan sapi yang disetarakan dengan daging sapi serta dibedakan berdasarkan wilayah kota, desa, kota dan desa (nasional). Data NBM mencerminkan sumberdaya daging sapi yang terdiri dari produksi, impor, dan ketersediaan daging sapi segar dan jeroan sapi. Data yang telah diolah dianalisis secara deskriptif. Kondisi produksi dan impor daging sapi segar nasional mengalami peningkatan (2,91% dan 34,19%) dengan rata-rata produksi daging sapi segar sebesar 233,11 ribu ton/th, sedangkan impor daging sapi segar sebesar 47,90 ribu ton/th. Kondisi produksi dan impor jeroan sapi tahun 2005-2010 juga mengalami peningkatan (2,91% dan 5,94%) dengan rata-rata produksi jeroan sapi sebesar 77,78 ribu ton/th, sedangkan impor jeroan sapi sebesar 119,67 ribu ton/th. Persentase produksi daging sapi (termasuk jeroan) terhadap jumlah produksi dan impor mengalami penurunan (83,91% menjadi 71,31%), sedangkan impor daging sapi (termasuk jeroan) mengalami peningkatan (16,09% menjadi 28,69%). Persentase ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum swasembada daging sapi baik swasembada on trend maupun absolut. ketersediaan daging sapi on trend mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (6,04%). Rata-rata ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dengan memperhatikan impor (on trend) sebesar 1,69 kg/kap/th, sedangkan ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi tanpa memperhatikan impor (absolute) adalah sebesar 1,3 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk kota adalah sebesar 0,63 kg/kap/th, 0,16 pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,38 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota adalah sebesar 1,33 kg/kap/th, 0,57 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,93 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,07 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02
iv
kg/kap/th. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota adalah sebesar 2,2 kg/kap/th, 0,79 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 1,47 kg/kap/th. Jumlah konsumsi daging sapi baik pada penduduk kota, desa, maupun nasional cenderung mengalami peningkatan (2,39%, 3,06%, dan 2,83%). Jenis konsumsi daging sapi terbesar baik kota, desa, maupun nasional adalah daging sapi makanan jadi (contoh: mie bakso, daging goreng, soto, dst). Konsumsi daging sapi terendah baik kota, desa, maupun nasional adalah jeroan sapi. Konsumsi ideal daging sapi adalah sebesar 2,46 kg/kap/th. Konsumsi aktual daging sapi pada penduduk kota, desa, maupun secara nasional masih kurang dari ideal. Rata-rata selisih pada penduduk kota adalah sebesar –0,26 kg/kap/th, –1,68 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar -1 kg/kap/th. Kecukupan ketersediaan daging sapi dengan memperhatikan impor (on trend) dari tahun 2005 sampai 2010 mampu memenuhi konsumsi aktual daging sapi penduduk Indonesia. Rata-rata kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi adalah sebesar 52,55 ribu ton/th. Rata-rata kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) belum mampu memenuhi konsumsi aktual penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi aktual dari ketersediaan absolut daging sapi di Indonesia tahun 20052010 adalah sebesar 37,25 ribu ton/th. Kecukupan ketersediaan on trend daging sapi tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) maka perlu ditambahkan sebanyak 172,65 ribu ton/th daging sapi. Kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) dari ketersediaan absolut maka perlu ditambahkan sebanyak 262,45 ribu ton/th daging sapi. Kata kunci: Sumberdaya daging sapi, konsumsi daging sapi, kecukupan daging sapi, Indonesia.
v
ANALISIS SUMBERDAYA DAN KONSUMSI DAGING SAPI DI INDONESIA TAHUN 2005-2010
AQIILAH ZAHRA
Skripsi Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
vi
Judul
: Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010
Nama
: Aqiilah Zahra
NIM
: I14096028
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Diketahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Disetujui :
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Sumberdaya dan Konsumsi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2005-2010” ini dilakukan sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi (S.Gz) pada Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, masukan, kritikan, semangat, dan dorongan serta saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji atas segala saran yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta: Bapak dan Mamah, kakakku Fitri Rahmawati, adikadikku Putri Khumairoh dan Fikri Aulia Rahman, serta keluarga besar yang senantiasa memberi doa, dukungan, serta semangat kepada penulis. 4. Teman-teman seperjuangan penulis: Mba Dita, Mba Cintya, Hadi, Ayuning, Frida, Nadia dan Dik Suci yang telah berjuang bersama. 5. Anggota tim kajian konsumsi daging sapi Indonesia (IPB): Mba Rian, Suci, dan Mba Marina atas doa, semangat, dan diskusinya yang hangat. 6. Teman-teman ekstensi Gizi Masyarakat angkatan 3 (Oci, Oca, Getri, Tata, Sarly, Ocay, dan semuanya) yang telah memberikan dukungan, doa, dan bantuan kepada penulis. 7. Teman-teman kost Mutiara Umat (Mba Dian, Teh Un, Dini, Esti, dan Ana), dan Tim BS (Mba
Ratih, Mba Tika, Ratih, Ulvi, Imas, Shanti, dan
semuanya) yang selalu memberikan dukungan, doa, dan bantuan kepada penulis. 8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.
Bogor,
Februari 2012
Aqiilah Zahra
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis, Aqiilah Zahra, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 September 1988. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Masruri dan Ibu Sri Murniati. Penulis memulai pendidikan di TK ArRahman pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD Islamic Village tahun 1994 dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2000-2003 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Islamic Village. Penulis menempuh pendidikan SMA di SMA Islamic Village dan lulus pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan diploma dengan jurusan Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) dan lulus pada tahun 2009. Setelah lulus dari diploma, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S1 Gizi Masyarakat IPB melalui jalur alih jenis. Selama kuliah, penulis aktif dalam organisasi yaitu Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM) IPB. Selain itu, penulis ikut dalam kepanitiaan Seminar Gizi ‘LEMONS’ tahun 2011 dan menjadi peserta Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2011.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii PENDAHULUAN .............................................................................................. Latar Belakang .............................................................................................. Tujuan ........................................................................................................... Tujuan Umum ............................................................................................ Tujuan Khusus........................................................................................... Kegunaan Penelitian .....................................................................................
1 1 2 2 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... Sumberdaya Daging Sapi.............................................................................. Produksi dan Impor Daging Sapi ............................................................... Ketersediaan Daging Sapi ......................................................................... Konsumsi Daging Sapi .................................................................................. Konsumsi Ideal Daging Sapi ...................................................................... Konsumsi Aktual Daging Sapi.................................................................... Daging Sapi .................................................................................................. Daging Sapi Olahan Industri ...................................................................... Daging Sapi Olahan Makanan Jadi............................................................
4 4 4 8 11 12 13 16 19 20
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................ 21 METODELOGI.................................................................................................. Desain, Tempat, dan Waktu .......................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................... Pengolahan dan Analisis Data ...................................................................... Sumberdaya daging sapi ........................................................................... Konsumsi daging sapi dan olahannya ....................................................... Kecukupan ketersediaan untuk dikonsumsi terhadap konsumsi ................ Definisi Operasional ......................................................................................
23 23 23 23 23 26 30 31
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................ Sumberdaya Daging Sapi.............................................................................. Konsumsi Daging Sapi .................................................................................. Konsumsi daging sapi aktual ..................................................................... Konsumsi daging sapi ideal ....................................................................... Kecukupan Terhadap Konsumsi Daging Sapi ............................................... Kecukupan terhadap konsumsi aktual ....................................................... Kecukupan terhadap konsumsi ideal ......................................................... Kesimpulan ................................................................................................... Saran ............................................................................................................
33 33 39 39 54 56 57 58 60 61
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 62 LAMPIRAN ....................................................................................................... 66
x
DAFTAR TABEL 1
Halaman Perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia, tahun 1990-1999 (000 ton) ..................................................................................... 5
2
Perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010 ......................................... 6
3
Persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi .................................. 8
4
Alternatif komposisi konsumsi protein ......................................................... 12
5
Komposisi konsumsi protein asal pangan hewani ....................................... 13
6
Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1990 –1999 ........ 13
7
Tingkat konsumsi pangan nasional berdasarkan pola pangan harapan ...... 13
8
Perkiraan kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010 .................................... 15
9
Mutu protein beberapa bahan makanan ..................................................... 17
10 Nilai zat besi bahan makanan (mg/100 gram) ............................................. 17 11 Persentase rata-rata pengeluaran daging sapi berdasarkan jenis daging sapi tahun 2005-2010 ................................................................................. 18 12 Jenis dan sumber data ............................................................................... 23 13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya ................................................ 26 14 Produksi dan impor daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 .................. 33 15 Produksi dan impor jeroan sapi di Indonesia tahun 2005-2010 ................... 34 16 Persentase komposisi produksi dan impor daging sapi (termasuk jeroan sapi) di Indonesia tahun 2005-2010 ............................................................ 35 17 Perbandingan antara sasaran produksi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan jumlah produksi daging sapi aktual (kg/kap/th) .......................................... 36 18 Ketersediaan daging sapi on trend di Indonesia tahun 2005-2010 .............. 38 19 Ketersediaan daging sapi absolut di Indonesia tahun 2005-2010 .............. 38 20 Konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (kg/kap/th) tahun 2005-2010 .................................................................................................. 39 21 Persentase konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (%) tahun 2005-2010 .................................................................................................. 40 22 Konsumsi daging sapi segar penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 .................................................................................................. 41 23 Konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulang (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 ................................................. 42 24 Konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 .......................................................................... 43 25 Konsumsi dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 20052010 ........................................................................................................... 45
xi
26 Konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 .......................................................................... 46 27 Konsumsi soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 .................................................................................................. 47 28 Konsumsi hati sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 2005-2010 .................................................................................................. 49 29 Konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 2005-2010 .................................................................................................. 50 30 Jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 2005-2010 .................................................................................................. 52 31 Perbandingan antara sasaran konsumsi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan jumlah konsumsi daging sapi aktual (kg/kap/th) tahun 2005-2010 .............. 54 32 Komposisi konsumsi energi ideal pangan hewani ....................................... 55 33 Selisih konsumsi aktual dengan konsumsi ideal daging sapi tahun 20052010 ........................................................................................................... 55 34 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi aktual daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ................................................. 57 35 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi aktual daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ................................................. 57 36 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi ideal daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ................................................. 59 37 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi ideal daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 ................................................. 59
xii
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia .......... 7
2
Kerangka pemikiran ..................................................................................... 22
xiii
DAFTAR LAMPIRAN 1
Halaman Jumlah produksi dan impor daging sapi dan jeroan tahun 2005-2010 .......... 67
2
Laju produksi, impor, dan jumlah daging sapi tahun 2005-2010 ................... 67
3
Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2005-2007 ..................................... 68
4
Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2008-2010 ..................................... 69
5
Laju konsumsi daging sapi segar tahun 2005-2010...................................... 70
6
Laju konsumsi daging sapi olahan industri tahun 2005-2010 ....................... 70
7
Laju konsumsi daging sapi makanan jadi tahun 2005-2010 ......................... 70
8
Laju konsumsi hati sapi tahun 2005-2010 .................................................... 70
9
Laju konsumsi jeroan sapi tahun 2005-2010 ................................................ 71
10 Laju jumlah konsumsi daging sapi tahun 2005-2010 .................................... 71 11 Laju konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulangtahun 2005-2010 ................. 72 12 Laju konsumsi dendeng dan abon tahun 2005-2010 .................................... 72 13 Laju konsumsi daging dalam kaleng dan daging awetan lainnya tahun 2005-2010.................................................................................................... 73 14 Laju konsumsi soto/gule/sop/rawon dan sate/tongseng tahun 2005-2010 .... 73 15 Laju konsumsi mie bakso dan daging goreng tahun 2005-2010 ................... 74
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-undang No 7 tahun 1996 menyatakan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan pemerintah wajib menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan pangan wajib diatur dan dievaluasi oleh pemerintah. Salah satu komoditas pangan yang perlu diperhatikan keberagaman dan keseimbangannya oleh pemerintah adalah pangan sumber protein hewani. Protein
hewani
sangat
dibutuhkan
bagi
pertumbuhan,
kesehatan
dan
kecerdasan manusia. Selain itu, menurut Astuti (2010) daya cerna protein hewani lebih baik dibanding dengan protein nabati. Diantara beragam daging-dagingan, daging sapi merupakan bahan pangan yang banyak digemari masyarakat walaupun harganya relatif mahal (Anonim a 2010). Menurut Astuti (2010) protein dari daging sapi mempunyai struktur asam amino yang mirip dalam tubuh manusia, tidak dapat dibuat oleh tubuh (essensial), susunannya relatif lebih lengkap dan seimbang. Selain itu, menurut Ilham (2006) kelebihan daging sapi selain citarasanya yang enak, juga memiliki kaitan dengan aspek budaya yang seringkali tidak dapat disubstitusi oleh daging lainnya. Bahkan pada hari-hari besar keagamaan, permintaan akan daging sapi masih tetap tinggi walaupun harganya meningkat tajam. Permintaan daging sapi ini cenderung terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani. Fenomena ini diperkirakan akan terus berlanjut kedepan (Rusman dan Suharyanto 2010). Selain itu, didalam Revitalisasi
Pertanian,
Perikanan
dan
Kehutanan
(RPPK)
yang
telah
dicanangkan oleh Presiden RI tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur Jawa Barat mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, salah satunya adalah daging sapi (DEPTAN 2005). Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satu dari 21 program utama Departemen Pertanian terkait
2
dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik. Permasalahan sumberdaya daging sapi di Indonesia adalah tingginya nilai impor yang dapat mengganggu kemandirian dan berpotensi dalam food trap negara eksportir (DITJENAK 2010). Volume impor daging sapi Indonesia selama periode 1990-1999 mengalami peningkatkan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,94 persen per tahun. Kondisi ini diperburuk lagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak Juli 1997 sehingga menyebabkan semakin mahalnya biaya produksi daging dalam negeri, lebih lanjut berdampak pada menurunnya produksi komoditas tersebut (Kariyasa 2004). Ketergantungan pada daging sapi impor untuk memenuhi konsumsi domestik dapat melemahkan upaya untuk meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri. Permasalahan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia adalah tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia terendah di negara-negara ASEAN, padahal konsumsi protein hewani sangat penting karena merupakan pangan pembentuk tubuh yang baik. Konsumsi daging sapi penduduk Indonesia selama tahun 1990-1999 hanya 1,04 kg/kap/th (Kariyasa 2004). Pada tahun 2010 beberapa instansi mempunyai angka konsumsi daging sapi yang berbeda satu dengan yang lain. BKP (2011) merilis konsumsi daging sapi tahun 2010 sebesar 1,27 kg/kapita/th dan Direktorat Jenderal Peternakan1,69 kg/kap/th, padahal data dasar yang digunakan sama yaitu Suvey Sosial Ekonomi (SUSENAS). Perbedaan perhitungan data konsumsi daging sapi berakibat pada ketidakakuratan evaluasi dan perencanaan tingkat ketersediaan, tingkat konsumsi maupun impor. Perbedaan ini menarik perhatian peneliti untuk menghitung ulang data konsumsi daging sapi dari SUSENAS, serta melihat kecukupan sumberdaya terhadap konsumsi dalam negri. Oleh karena itu perlu diadakan penelitian mengenai analisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Tujuan Tujuan Umum Menganalisis sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Tujuan Khusus 1. Menganalisis sumberdaya daging sapi nasional tahun 2005-2010 2. Menganalisis konsumsi aktual desa, kota, dan nasional than 2005-2010
3
3. Menganalisis konsumsi ideal daging sapi nasional tahun 2005-2010 4. Menganalisis kecukupan daging sapi nasional tahun 2005-2010. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sumberdaya dan konsumsi daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi evaluasi dan rekomendasi kebijakan bagi pihak pemerintah untuk melakukan perencanaan daging sapi agar lebih baik lagi.
4
TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Daging Sapi Sumberdaya alam adalah aset didalam pembangunan yang diperlukan untuk kesejahteraan manusia yang pemanfaatannya perlu lestari dan tidak menimbulkan degradasi lingkungan. Sumberdaya alam dapat dibedakan berdasarkan sifatnya yaitu sumberdaya alam fisik, sumberdaya alam air dan udara, dan sumberdaya alam hayati seperti hutan, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan sebagainya (Soerianegara 1977). Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar daerah. Indonesia sebagai negara yang mempunya kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang relatif besar mempunyai peluang yang cukup untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan (Suryana 2004). Sumberdaya pangan yang terdapat di suatu wilayah, mencakup: (a) Jenis dan jumlah produksi pangan, (b) Jenis dan jumlah cadangan pangan maupun jenis dan jumlah pangan yang diperdagangkan antar wilayah (Baliwati 2010). Badan Pusat Statistika dalam Dulmansyah (2005) menyatakan bahwa untuk dapat menilai dan memahami situasi sumberdaya pangan di suatu daerah terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk serta sesuai dengan persyaratan gizi yang dianjurkan, diperlukan suatu metode Neraca Bahan Makanan (NBM) untuk melihat ketersediaan pangan. Produksi dan Impor Daging Sapi Rumusan Internasional Congress of Nutrition di Roma pada tahun 1992 mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga merupakan kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Kecukupan pangan mencakup segi kuantitas dan kualitas, agar rumah tangga dapat memenuhi kecukupan pangan baik dari produksi sendiri maupun membeli di pasar. Ini berarti bahwa tiap rumah tangga harus ditingkatkan daya belinya (Abrar 2009). Definisi tersebut jika ditransformasikan pada tataran negara atau wilayah maka ketahanan pangan suatu wilayah atau negara adalah kemampuan wilayah atau negara memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu-ke waktu agar dapat hidup sehat dan produktif.
5
Ketahanan pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor (DEPTAN 2005). Volume impor daging sapi Indonesia selama periode 1990-1999 mengalami peningkatkan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,94 persen per tahun. Kondisi ini diperburuk lagi ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak Juli 1997 sehingga menyebabkan semakin mahalnya biaya produksi daging dalam negeri, lebih lanjut berdampak pada menurunnya produksi komoditas tersebut. Pada tahun 1996 dan 1997 produksi daging sapi dalam negeri berturut-turut mencapai 210 ribu dan 214 ribu ton, dan pada tahun 1998 dan 1999 mengalami penurunan masing-masing menjadi 208 ribu dan 188 ribu ton (Kariyasa 2004). Berikut adalah perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia tahun 1990-1999 pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan produksi dan impor daging sapi Indonesia, tahun 19901999 (000 ton) Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Rata-rata %/thn
Produksi 157,00 172,00 183,00 211,00 204,00 190,00 210,00 214,00 208,00 188,00 193,70 2,41
Impor Jumlah % 4,00 2,48 6,00 3,37 3,00 1,61 3,00 1,40 5,00 2,39 7,00 3,55 16,00 7,08 23,00 9,70 9,00 4,15 11,00 5,53 8,70 4,13 21,94 17,66
Sumber : Kariyasa (2004)
Kecenderungan peningkatan impor daging (termasuk offal) dan sapi bakalan maupun sapi potong bukan semata-mata disebabkan karena senjang permintaan dan penawaran, tetapi juga disebabkan karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang memang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang bergairah dalam mengelola usaha ternaknya, karena harga daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi tertekan (relatif rendah atau murah). Beberapa tahun terakhir, kondisi pasar domestik semakin diperkeruh oleh masuknya daging impor ilegal, yang sebagian besar adalah
6
”jeroan” (offal) seperti jantung, ginjal, hati, paru, kikil, dan lain-lain, serta tidak atau kurang terjamin dalam hal ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) (DEPTAN 2005). Didalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan terdapat perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010 (Tabel 2). Tabel 2 Perkiraan produksi daging sapi tahun 2005-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Produksi Daging Sapi Populasi sapi (000 ekor) Pertumbuhan (%) Kelahiran (000 ekor) Kematian (000 ekor) Replacement (000 ekor) Total pemotongan (000 ekor) a. Pemotongan IB (000 ekor) b. Pemotongan kawin alam (000 ekor) Produksi Daging Sapi (a+b) (000 ton) Impor sapi betina muda (000 ton) Tambahan replacement dari impor (000 ekor) Tambahan populasi (000 ekor) Tambahan produksi daging sapi (000 ekor) Total produksi (000 ton)
2005 11045.9 2.98 2396.83 174.76 700.27 1891.45 500
2006 11746.17 6.34 2548.78 185.83 721.21 1837.82 500
2007 12467.38 6.14 2705.28 197.24 742.77 1765.26 500
2008 13210.16 5.96 2866.45 209 764.98 1892.47 500
2009 13975.14 5.79 3032.44 221.1 417.86 2393.49 500
2010 14763 5.64 3203.4 233.56 441.41 2528.42 500
1391.45
1337.82
1265.26
1392.47
1893.49
2028.42
271.84
265.19
256.2
271.97
334.05
350.77
0
500
500
0
0
0
0
325
812.5
792.19
1254.3
1858.34
0
825
1725
1448.44
1650.39
2485.49
0
23.24
58.09
56.64
89.68
132.87
271.84
288.43
314.3
328.61
423.73
483.64
Sumber: Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010, Departemen Pertanian.
Ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi daging sapi lokal, yaitu rasio harga riil daging impor dengan daging lokal, jumlah penduduk kota, dan pendapatan per kapita. Konsumsi daging lokal turun 1,8 ton apabila rasio harga naik 1 persen (sapi lokal menjadi lebih mahal). Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yang tidak responsif (elastisitas 0), menunjukkan bahwa konsumen daging sapi adalah golongan menengah ke atas yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga (Sunari et al 2010). Kariyasa (2004) menyebutkan bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi daging sapi dalam negri hanya respon terhadap perubahan harga sapi itu sendiri dan harga ternak sapi. Sedangkan impor daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, harga daging impor, tarif impor, kurs rupiah, dan krisis ekonomi. Sunari et al (2010) menyebutkan bahwa hanya ada satu variabel yang berpengaruh terhadap harga daging sapi lokal, yaitu peningkatan harga daging sapi impor. Setiap ada peningkatan harga daging sapi impor sebesar US$1, akan meningkatkan harga daging sapi lokal Rp 626,45 atau sebaliknya. Pengaruhnya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah responsif. Apabila harga daging sapi impor naik 10 persen, segera direspon dengan peningkatan harga daging sapi lokal 12,9 persen dan dalam jangka panjang akan meningkat
7
menjadi sekitar 20,3 persen atau sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Penurunan harga sapi impor US$1/ekor (US$ 0,25/kg hidup) akan menurunkan harga sapi lokal hidup Rp 1,14/kg. Berikut adalah model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia yang dapat digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor. Teknologi (IB)
Suku bunga
Harga ternak sapi
Populasi ternak
Upah tenaga kerja
Pakan formula
Selera/ trend Produksi daging domestik Total penawaran daging domestik
Harga daging ayam
Krisis ekonomi
Harga telur Permintaan daging domestik
Harga ikan
Impor daging Indonesia
Harga daging k bi
Harga daging domestik
Jumlah penduduk Tarif impor
Pendapatan per kapita
Harga sapi australia
Harga daging impor
Jumlah ekspor dunia
Harga daging dunia
Kurs rupiah
Jumlah impor dunia
Sumber : Kariyasa (2004)
Gambar 1 Model ekonomi penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia Tahun melakukan
2011
sensus
melalui
Direktorat
sapi dan
kerbau
Jendral
Peternakan,
pemerintah
untuk mengetahui secara
akurat
ketersediaan sapi di Indonesia guna mencapai swasembada daging sapi 2014. Berdasarkan hasil sensus stok jeroan selama tujuh bulan terakhir adalah sebesar 60.433.231 kg dan daging sapi murni sebesar 181.057.961 kg, sedangkan pada tahun 2012 hingga akhir bulan stok jeroan sebesar 101.255.154 kg dan daging sapi murni sebesar 303.360.442 kg atau sebanyak 2.596.286 sapi.
8
Tahun
2009
Pusat
Data
dan
Informasi
Pertanian
(PUSDATIN)
mengadakan survey karkas sapi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berikut adalah persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi (Tabel 3) Tabel 3 Persentase karkas dan jeroan berdasarkan jenis sapi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Sapi Bali Bali Camp. BX Crossing Donggala FH/Perah Limosine Lokal Sul-Teng Madura Ongole PO Simmental SO Rata-Rata
Persentase Karkas (%) 50.37 52.53 54.34 54.94 55.65 49.77 49.89 48.72 47.41 49.63 50.52 50.52 54.16 51.75
Persentase Karkas + Jeroan(%) 57.53 62.06 62.25 62.77 65.04 55.48 58.43 54.25 57.26 54.68 57.60 60.58 57.57 58.98
Sumber: Pusdatin (2009) Ketersediaan Daging Sapi Dewan Ketahanan Pangan mendefinisikan ketersediaan pangan sebagai ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik itu produksi pangan domestik (netto), perdagangan pangan dan bantuan pangan (DKP 2009). Menurut Baliwati dan Roosita (2004) ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan pangan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan suatu sistem yang berjenjang mulai dari nasional, provinsi, lokal, dan rumah tangga. Ketersediaan pangan dapat diukur pada tingkat makro maupun mikro. Komponen
ketersediaan
pangan
meliputi
kemampuan
produksi,
cadangan maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan,industri makanan/nonpangan dan tercecer. Komponen produksi pangan dapat dipenuhi dari produksi pertanian dan atau industri pangan (Baliwati dan Roosita 2004). NBM merupakan gambaran neraca sumberdaya daya pangan yang terdiri dari komponen pengadaan (supply) dan penggunaan (utilization) pangan di suatu wilayah dalam periode tertentu (biasanya dalam satu tahun) (Baliwati 2010). Pengadaan pangan sebagai salah satu komponen sumberdaya pangan berasal dari berbagai komponen yaitu produksi dalam negeri, stok dan impor. NBM
yang
disusun
secara
reguler
setiap
tahun
akan
menunjukkan
9
kecenderungan sumberdaya pangan yang terdapat di suatu negara atau wilayah. Selain itu, NBM juga bisa menggambarkan kecenderungan pola konsumsi, kelaparan, maupun status gizi penduduk serta kebijakan pemerintah tentang pangan dan gizi (Baliwati 2010). Daging sapi merupakan salah satu pangan sebagai sumber protein hewani, yang menyumbang 18 persen terhadap konsumsi daging nasional. Peranannya yang cukup penting tersebut, maka ketersediaan daging sapi dalam negeri dengan harga yang terjangkau, harus menjadi perhatian pemerintah (Sunari et al 2010). Swasembada Daging Sapi Konsep kemandirian pangan merupakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan. Pengertian pertama adalah swasembada absolut, yaitu kebutuhan pangan dipenuhi seluruhnya (100%) dari produksi domestik. Varian kedua adalah “swasembada on trend”, yaitu produksi domestik sebesar 90-95 persen dan dalam beberapa tahun tertentu ada kalanya mengimpor pangan (510%), tetapi pada tahun lainnya mengekspor, sehingga rata-ratanya dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada. Angka kemandirian 90 persen dapat dipakai acuan bagi pemenuhan pangan secara agregat atau dalam arti luas. Kemandirian pangan merupakan salah satu dimensi pengukuran ketahanan pangan (Abrar 2009). Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No. 19 tahun 2010 menyebutkan bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri
perlu
upaya
pencapaian
swasembada
daging
sapi.
Dengan
berswasembada daging sapi tersebut akan diperoleh keuntungan dan nilai tambah yaitu: (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi
pemanfaatan
potensi
ternak
sapi
lokal;
dan
(5)
semakin
meningkatnya penyediaan daging sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga ketentraman lebih terjamin (KEMENTAN 2010). Sejalan dengan salah satu arah pengembangan produk dan bisnis pertanian dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan dengan memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pengembangan kapasitas produksi daging sapi, maka arah pengembangan dan sasaran daging sapi didalam Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) 2005-2010
10
adalah akselerasi peningkatan produksi untuk mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada tahun 2010 (DEPTAN 2005). Program swasembada merupakan peluang untuk dijadikan pendorong dalam mengembalikan Indonesia sebagai eksportir sapi seperti pada masa lalu. Tantangan ini tidak mudah, karena saat ini impor daging dan sapi bakalan sangat besar, sekitar 30 persen dari kebutuhan daging nasional. Selain itu ada kecenderungan peningkatan volume impor yang secara otomatis akan menguras devisa negara sangat besar. Bila kondisi ini tidak diwaspadai, hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, sehingga pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir. Impor daging dan sapi bakalan semula dimaksudkan hanya untuk mendukung dan menyambung kebutuhan daging sapi yang terus meningkat. Di beberapa daerah ternyata daging dan sapi bakalan impor justru berpotensi mengganggu usaha agribisnis sapi potong lokal. Harga daging, jeroan dan sapi bakalan impor relatif sangat murah, karena sebagian besar merupakan produk atau barang yang kurang berkualitas. Kegiatan agroindustri sapi potong skala besar semakin menjurus pada kegiatan hilir saja yaitu impor dan perdagangan, dengan perputaran modal yang sangat cepat dan resiko yang lebih kecil. Aktivitas agroindustri sapi potong saat ini belum terintegrasi dan bersinergi dengan kegiatandi sektor hulu. Sementara itu kegiatan di hulu yang merupakan usaha pembibitan dan budidaya sapi, sebagian besar dilakukan oleh peternak dengan skala terbatas dan dengan margin yang kecil. Mereka harus menghadapi persaingan yang kurang seimbang, termasuk serbuan daging murah yang sebagian tidak berkualitas atau tidak terjamin ASUH. Presiden pernah mencanangkan program swasembada daging sapi 2010 melalui upaya revitalisasi pertanian sebagai dasar untuk mengembangkan agribisnis sapi potong yang berdaya saing dan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Namun program tersebut belum memperoleh dukungan dana yang memadai. Program tersebut justru menghadapi tantangan dan berbagai permasalahan baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-kebijakan pendukungnya. Koordinasi antar instansi, antar sektor, serta antar pengemban kepentingan juga masih sangat lemah, sehingga hal ini perlu mendapat perhatian untuk masa yang akan datang (DITJENAK 2010).
11
Pengembangan usaha peternakan sapi potong untuk menghasilkan daging sapi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik. Dengan mempertimbangkan asumsi peningkatan populasi ternak sapi potong (5,82 %/tahun), jumlah penduduk (1,49 %/tahun) dan konsumsi daging sapi per kapita (5,0%/tahun), selama kurun waktu 5 tahun ke depan ketergantungan impor daging sapi diperkirakan dapat dikurangi. Hal ini memerlukan terobosan kebijakan untuk mendorong investasi, sehingga tidak menutup kemungkinan produksi daging sapi dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan domestik menuju swasembada daging sapi pada tahun 2010 (Tabel 2). Peningkatan produksi daging sapi dilakukan melalui peningkatan populasi ternak dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: (a) mempercepat umur beranak pertama, dari sekitar 4,5 tahun menjadi kurang dari 3,5 tahun, (b) memperpendek jarak beranak dari 18 bulan menjadi sekitar 12-14 bulan sehingga diperoleh tambahan jumlah anak selama masa produksi sekitar 2 ekor/induk, (c) menekan angka kematian anak dan induk, (d) mengurangi pemotongan ternak produktif dan ternak kecil atau muda, (e) mendorong perkembangan usaha perbibitan penghasil sapi bibit, dan (f) mendorong swasta untuk menambah populasi ternak produktif melalui impor sapi betina komersial muda dan fertil, serta (g) impor sapi bakalan muda yang siap digemukkan selama lebih dari 4 bulan (DEPTAN 2005). Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No. 19 tahun 2010 menyebutkan pelaksanaan PSDS 2014 mencakup 4 aspek, yaitu aspek teknis, ekonomis, kelembagaan, kebijakan, dan lokasi. Konsumsi Daging Sapi Makanan yang mencukupi zat gizi adalah yang berisi semua zat gizi yang penting dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Harper et al 2006). Kebutuhan pangan dan gizi dapat ditentukan dengan menduga tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang dibutuhkan untuk kesehatan dan aktivitasnya (Suhardjo 2008). Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Hal ini terkait dengan fungsi makanan yaitu gastronomik, identitas budaya, religi dan magis, komunikasi, lambang status ekonomi, serta kekuatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, ekspresi tiap individu dalam memilih makanan akan berbeda satu dengan yang lain. Ekspresi tersebut
12
akan membentuk pola perilaku makan yang disebut kebiasaan makan (Baliwati dan Roosita 2004). Konsumsi Ideal Daging Sapi Manusia memerlukan 6 kelompok pangan utama zat gizi untuk hidup sehat dan produktif. Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, diperlukan pedoman jenis dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh individu secara rata-rata dalam sehari. Angka kebutuhan gizi yang digunakan sebagai pedoman adalah hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) yang direvisi setiap lima tahun sekali oleh LIPI, agar sesuai dengan perkembangan ilmu gizi, komposisi penduduk, perkembangan sosial budaya masyarakat (Baliwati dan Retnaningsih 2004). Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan penngeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sehat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Angka agregasi rata-rata nasional angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein yaitu 2000 kkal dan 52 g/kap/hari. Estimasi AKE ini lebih rendah 10 persen dari nilai AKE yang diestimasi pada tahun 1998, dan nilai AKP ini lebih tinggi 15 persen dari yang diestimasi tahun 1998. Sebagai salah satu basis untuk perencanaan ketersediaan pangan, maka AKE tingkat konsumsi dikali faktor 1,1 atau ditambah 10 persen, sehingga menjadi 2200 kkal pada tingkat penyediaan (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Kecukupan protein sebesar 52 gram/kap/hari, dicukupi dari sekurang-kurangnya 20 persen protein hewani dan 80 persen protein nabati. Berikut adalah alternatif komposisi konsumsi protein pada Tabel 4. Tabel 4 Alternatif komposisi konsumsi protein Konsumsi Protein Hewani - Daging - Ikan Nabati Total
Alternatif I 15 6 9 37 52
Komposisi (gram/kap/hari) Alternatif II 16 7 9 36 52
Alternatif III 16 6 10 36 52
Sumber : Badan Ketahanan Pangan
Kecukupan protein hewani sebaiknya sebesar 20 persen dari kebutuhan energi atau sebesar 240 kkal/kap/hari. Daging ruminansia sebaiknya dikonsumsi sebesar 19 kkal/kap/hari. Berikut adalah komposisi protein asal pangan hewani pada Tabel 5.
13
Tabel 5 Komposisi konsumsi protein asal pangan hewani Kelompok Bahan Pangan
%
Ruminansia dan Unggas - Daging ruminansia - Daging unggas - Telur - Susu Ikan Total
43.4 7.9 14.6 11.4 9.5 56.6 100
Tingkat Konsumsi (kap/hari) Kkal gram* 104 65 19 12 35 22 27 17 23 14 136 85 240 150
*gram bahan mentah dalam keadaan siap dikonsumsi Sumber : Badan Ketahanan Pangan
Konsumsi Aktual Daging Sapi Jumlah konsumsi pada periode 1990-1999 baik per kapita maupun total meningkat (2,08% dan 2,66%) per tahun (Kariyasa 2004). Berikut adalah perkembangan konsumsi daging sapi di Indonesia periode 1990-1999 pada Tabel 6. Tabel 6 Perkembangan konsumsi daging sapi Indonesia tahun 1990 –1999 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1998 1999 Rata-rata %/thn
Konsumsi Per kapita (kg/th) Total (000 ton) 0,88 161,00 0,97 178,00 1,00 186,00 1,13 214,00 1,09 209,00 1,01 197,00 1,14 226,00 0,07 217,00 0,97 199,00 1,04 202,40 2,08 2,66
Sumber : Kariyasa (2004)
Kualitas konsumsi pangan penduduk dapat digambarkan melalui keragaman konsumsi pangan penduduk (g/kap/hr dan kg/kap/thn), konsumsi energi penduduk (kkal/kap/hr), dan konsumsi protein penduduk (g/kap/hr). Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai kualitas konsumsi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Berikut adalah tingkat konsumsi pangan Nasional berdasarkan Pola Pangan Harapan pada Tabel 7. Tabel 7 Tingkat konsumsi pangan nasional berdasarkan pola pangan harapan No
KelompokPangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Padi – padian Umbi-umbian Pangan Hewani Minyak dan Lemak Buah/Biji Berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan Buah Lain – lain Jumlah
gr/hari 275 100 150 20 10 35 30 250 -
Pola Pangan Harapan Nasional Energi(kkal) % AKG Bobot 1000 50 0.5 120 6 0.5 240 12 2 200 10 0.5 60 3 0.5 100 5 2 100 5 0.5 120 6 5 60 3 0 2000 100 -
Sumber : Badan Ketahanan Pangan
SkorPPH 25 2.5 24 5 1 10 2.5 30 0 100
% AKG (FAO-RAPA) 40.0 – 60.0 0.0 – 8.0 5.0 – 20.0 5.0 – 15.0 0.0 – 3.0 2.0 – 10.0 2.0 – 15.0 3.0 – 8.0 0.0 – 5.0
14
Salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui kebutuhan pangan penduduk adalah dengan menggunakan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Secara periodik, BPS menerbitkan data tersebut yang berisi data konsumsi pangan dan pengeluaran untuk pangan. Data Susenas mencakup jenis dan jumlah pangan yang umum dikonsumsi oleh rumah tangga di tiap wilayah (provinsi). Dengan menggunakan data pendukungnya, data Susenas bisa memberikan informasi tentang konsumsi pangan secara umum maupun komoditas-komoditas pangan utama menurut wilayah, kelompok pengeluaran, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Bila dianalisis lebih lanjut, data Susenas dapat menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat bagi perencanaan ketahanan pangan, seperti tingkat konsumsi pangan dan zat gizi (konsumsi energi dan protein), kualitas konsumsi pangan (komposisi dan keseimbangannya berdasarkan pendekatan Pola Pangan Harapan), perilaku konsumsi pangan, kebutuhan pangan untuk manusia, dan analisis lain yang diperlukan (BKP 2011). Pemanfatan data konsumsi pangandalam perencanaan penyediaan pangan menjadi sangat penting, mengingat data tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi permintaan pangan sebagai cerminan preferensi, ketersediaan dan daya beli aktualnya. Disamping itu data konsumsi pangan dapat digunakan sebagai instrumen evaluasi pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dari sisi konsumsi (tingkat konsumsi, skor PPH/skor mutu gizi konsumsi pangan dan prevalensi rumahtangga rawan pangan), serta evaluasi kemampuan produksi domestik dalam memenuhi kebutuhan untuk konsumsi pangan masyarakat (BKP 2011). Responden
dalam
Susenas
adalah
rumah
tangga
atau
yang
dimaksudkan adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami atau tinggal bersama di sebagian atau seluruh bangunan fisik/bangunan sensus dan biasanya makan dari satu dapur. Satu dapur adalah jika pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola menjadi satu. Beberapa orang yang bersama-sama mendiami satu kamar dalam satu bangunan sensus walaupun mengurus makannya sendirisendiri dianggap satu rumah tangga biasa. Sedangkan rumah tangga yang tidak tercakup dalam Susenas adalah a) Orang yang tinggal di asrama, yaitu suatu tempat tinggal yang pengurusan kebutuhan sehari-harinya diatur oleh suatu yayasan atau badan, misalnya asrama perawat, asrama ABRI (tangsi), dan asrama karyawan/mahasiswa; b) Orang-orang yang tinggal di Lembaga
15
Pemasyarakatan, Panti Asuhan dan sebagainya; c) Sekelompok orang yang mondok dengan makan/indekos yang berjumlah 10 orang atau lebih (BPS 2010). Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) menerjemahkan sasaran kebutuhan daging sapi sebagai total konsumsi daging sapi. Berikut adalah sasaran kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010 pada Tabel 8. Tabel 8 Perkiraan kebutuhan daging sapi tahun 2005-2010 No 1 2 3 4
Kebutuhan Daging Sapi Penduduk (juta orang) Pertumbuhan penduduk (%) Konsumsi daging (kg/kap/th) Total konsumsi (000 ton)
2005 291.67 1.49 1.72 378.93
2006 222.97 1.49 1.79 399.66
2007 226.31 1.49 1.86 421.52
2008 229.71 1.49 1.94 444.58
2009 233.15 1.49 2.01 468.9
2010 236.65 1.49 2.09 494.55
Sumber: Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010, Departemen Pertanian.
Rusman dan Suharyanto (2010) menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani. Kariyasa (2004) menyatakan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu harga pangan hewani lainnya, jumlah penduduk, selera, pendapatan perkapita, harga daging sapi, dan krisis ekonomi. Namun dalam penelitiannya, Kariyasa menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi sangat respon terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri, pendapatan per kapita, dan harga pangan hewani lainnya. Meningkatnya jumlah penduduk tidak secara otomatis meningkatkan jumlah konsumsi daging sapi. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi daging sapi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja, misalnya hari besar keagamaan Ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi daging sapi lokal, yaitu rasio harga riil daging impor dengan daging lokal, jumlah penduduk kota, dan pendapatan per kapita. Konsumsi daging lokal turun 1,8 ton apabila rasio harga naik 1 persen (sapi lokal menjadi lebih mahal). Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yang tidak responsif (elastisitas 0), menunjukkan bahwa konsumen daging sapi adalah golongan menengah ke atas yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga. Kenaikan pendapatan perkapita Rp 1000,akan meningkatkan konsumsi daging sebesar 76,2 ton dan setiap peningkatan jumlah penduduk kota 1000 orang, konsumsi daging akan naik 6 ton (Sunari et al 2010).
16
Hasil
penelitian
Hadiwijoyo
(2009)
menunjukkan
nilai
elastisitas
pendapatan terhadap permintaan daging sapi diperoleh nilai sebesar 0,42 nilai tersebut lebih kecil dari satu. Hal ini berarti bahwa permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan atau dengan kata lain persentase perubahan pendapatan tidak responsif terhadap permintaan daging sapi. Permintaan daging sapi bersifat inelastis terhadap perubahan pendapatan karena pendapatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia masih relatif rendah, sehingga perubahan pendapatan yang relatif rendah tersebut belum mampu meningkatkan permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Permintaan terhadap daging sapi hanya mengalami peningkatan hanya pada waktu-waktu tertentu saja seperti saat lebaran, natal, dan tahun baru. Daging Sapi Peraturan
Menteri
Pertanian
(PERMENTAN)
No.50
Tahun
2011
mengenai rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia mendefinisikan daging sebagai bagian dari otot skeletal karkas yang lazim, aman, dan layak dikonsumsi oleh manusia, terdiri atas potongan daging bertulang, daging tanpa tulang, dan daging variasi, berupa daging segar, daging beku, atau daging olahan (KEMENTAN 2011). Lukman (2008) mendefinisikan daging segar sebagai daging atau otot skeletal dari hewan yang disembelih secara halal dan higienis setelah mengalami pelayuan (aging) yang disimpan pada suhu dingin atau beku, yang tidak mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing, dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal, variety meat atau fancy meat) adalah organ atau jaringan selain otot skeletal yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain daripada pendinginan atau pembekuan. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, buntut. Peraturan
Menteri
Pertanian
(PERMENTAN)
No.50
Tahun
2011
mengenai rekomendasi persetujuan pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia mendefinisikan daging olahan sebagai daging yang diproses dengan cara atau metoda tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan yang dilakukan secara halal dan benar, sehingga
17
lazim, aman dan layak dikonsumsi manusia. Olahan daging sapi terdiri atas daging sapi olahan industri dan daging sapi olahan makanan jadi. Kecukupan protein dalam tubuh, salah satunya dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi daging sapi. Daftar komposisi bahan makanan membagi kandungan gizi daging sapi menjadi tiga bagian, yaitu daging sapi gemuk, sedang, dan kurus. Setiap 100 gram daging sapi gemuk mengandung energi sebesar 273 Kal, 17,5 gram protein, dan 22 gram lemak. Daging sapi sedang mengandung energi 201 Kal, 18,8 gram protein, dan 14 gram lemak. Daging sapi kurus mengandung energi 174 Kal, 19,6 gram protein, dan 10 gram lemak (PERSAGI 2009). Pada makanan olahan daging sapi semacam kornet, dendeng, ataupun daging asap kadar proteinnya jauh lebih tinggi, yaitu antara 24-55 gram protein per 100 gram (Anonim a 2010). Wardlaw dalam Almatsier (2003) membandingkan nilai mutu protein berbagai jenis pangan (Tabel 9). Pada Tabel 9 terlihat bahwa skor asam amino pada daging sapi lebih besar dibandingan dengan bahan makanan nabati. Namun, skor asam amino pada daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan telur, susu sapi, dan ikan. Tabel 9 Mutu protein beberapa bahan makanan
*)
Bahan makanan Telur Susu sapi Ikan Daging sapi Kacang kedelai Beras giling Biji-bijian
Nilai biologi
*)
NB 100 93 76 74 73 64 62
**)
**)
NPU 94 82 67 61 57 53
***)
PER 3,92 3,09 3,55 2,30 2,32 2,18 1,77
Skor kimia/skor asam amino 100 95 71 69 47 57 42
Net protein utilization
***)
Protein efficiency ratio
Sumber: Almatsier (2003) Daging sapi merupakan sumber zat besi yang baik. Zat besi dalam daging mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sumber dari nabati. Kandungan besi berbagai bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Nilai zat besi bahan makanan (mg/100 gram) Bahan makanan Tempe Udang segar Hati sapi Bayam
Nilai Fe 10 8 6,6 3,9
Bahan makanan Daging sapi Ikan segar Ayam Telur ayam
Nilai Fe 2,8 2 1,5 2,7
Sumber: Almatsier (2003) Daryanto dalam Sunari (2010) menyatakan bahwa daging
sapi
mengandung 10 macam asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat
18
korelasi positif antara kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development index yang tinggi. Konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat dari negara ASEAN lainnya. Rata-rata konsumsi daging (daging merah dan putih) rakyat Indonesia pada tahun 2009 masih cukup rendah, yaitu sebesar 4,5 kg/kap/tahun, sedangkan konsumsi daging rakyat Malaysia sudah mencapai 46,87 kg/kap/thn dan konsumsi daging rakyat Fipilina mencapai 24,96 kg/kap/thn. Jika dilihat dari pengeluaran masyarakat Indonesia terhadap jenis daging sapi maka pengeluaran terbesar adalah pada jenis mie bakso dan terendah pada tulang. Berikut adalah persentase pengeluaran pangan hewani berbasis daging sapi tahun 2010 pada Tabel 11. Tabel 11 Persentase rata-rata pengeluaran daging sapi berdasarkan jenis daging sapi tahun 2005-2010 Jenis Daging Daging Sapi Tetelan Tulang Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Soto/gule/sop Sate/tongseng Mie(bakso/rebus/goreng) Ayam/daging (goreng,bakar,dll) Hati Jeroan % jumlah pengeluaran daging sapi
2005 0.367 0.017 0.002 0.014 0.032 0.002 0.005 0.051 0.013 0.501 0.064 0.069 0.019 1.157
2006 0.250 0.017 0.002 0.000 0.017 0.000 0.000 0.063 0.019 0.480 0.072 0.042 0.018 0.979
2007 0.282 0.011 0.002 0.007 0.026 0.011 0.009 0.061 0.017 0.482 0.137 0.068 0.018 1.130
2008 0.241 0.009 0.002 0.008 0.018 0.006 0.009 0.063 0.017 0.485 0.155 0.053 0.013 1.078
2009 0.269 0.010 0.001 0.012 0.016 0.003 0.019 0.068 0.022 0.512 0.162 0.044 0.014 1.150
2010 0.260 0.009 0.001 0.014 0.014 0.009 0.020 0.069 0.023 0.505 0.176 0.045 0.015 1.159
Rata-rata 0.278 0.012 0.002 0.009 0.020 0.005 0.010 0.062 0.019 0.494 0.128 0.053 0.016 1.109
Sumber : BKP (2011), diolah
Permasalahan yang ditemukan di lapangan terkait minat masyarakat terhadap daging adalah masyarakat lebih mengkonsumsi daging sapi impor yang harganya lebih murah daripada daging sapi lokal dalam kondisi normal. Selain itu, telah menjadi persepsi di masyarakat bahwa rasa daging sapi impor lebih gurih dibandingkan dengan rasa daging sapi lokal asli, karena mengandung marbling (lemak intra muskuler) yang lebih banyak (Sunari et al 2010). Tahun 2009 dalam sebuah media berita ‘detik Finance’, Suswono (Menteri Pertanian) menyatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu pengimpor jeroan sapi terbesar karena pola konsumsi masyarakatnya yang masih senang mengkonsumsi jeroan. Bahkan tren konsumsi jeroan diperkirakan meningkat karena melemahnya daya beli terhadap daging sapi. Tahun 2009 harga daging sapi rata-rata mencapai Rp 64.000/kg, sedangkan harga jeroan sapi hanya
19
sekitar Rp 18.000 per kg. Selama ini impor jeroan dilakukan dalam bentuk hati, paru, babat, usus, jantung dan sebagainya. Selain dikonsumsi langsung untuk makan sehari-hari masyarakat, jeroan juga diduga digunakan untuk menambah bahan baku usaha baso, nasi goreng, sate dan lain-lain (Anonim b 2009). Daging Sapi Olahan Industri Peraturan
Menteri
Pertanian
(PERMENTAN)
No.50
Tahun
2011
mendefinisikan daging sapi industri (manufacturing beef) sebagai bagian selain karkas, kulit, jeroan, kepala, kaki, organ reproduksi dan ambing, ekor dari ternak sapi yang telah disembelih secara halal, yang terdiri atas prosot depan (forequarter), prosot belakang (hindquater), tetelan (trimming) 65 CL, tetelan 85 CL, tetelan 90 CL, tetelan 95 CL, daging giling, dan daging kotak (diced meat) untuk keperluan industri (KEMENTAN 2011). Beberapa daging sapi olahan industri yang sering beredar di tengah masyarakat adalah sebagai berikut: • Dendeng Sapi Bahan dalam pembuatan dendeng sapi terdiri atas bahan baku utama dan bahan baku pembantu. Bahan baku utama dalam pembuatan dendeng sapi adalah daging sapi segar. Bahan pembantu dalam pembuatan dendeng adalah gula merah, lengkuas, ketumbar, bawang merah, bawang putih, garam dan lada. Proses
pembuatan
dendeng
terdiri
atas
pembersihan
daging
segar,
penyimpanan daging bersih yang telah digarami, penggilingan daging, pencampuran daging dengan bahan-bahan lain, pencetakan adonan, dan pengeringan dengan suhu 120oC (Segoro 2007). • Abon Sapi Abon sapi menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) (1995) dalam SNI No 01-3707-1995 adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng, dan dipres. Secara garis besar menurut Windhiarsiany (1996) proses pengolahan abon meliputi penerimaan daging segar, perebusan, pengepresan, penyuiran, penimbangan, pencampuran, penggorengan, pengepresan, pemisahan serat, dan pengemasan. • Bakso Sapi Bakso sapi menurut BSN (1995) dalam SNI No 01-3818-1995 dan Lukman (2008) adalah produk daging berbentuk bulatan atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging (kandungan daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan (BSN 1995).
20
• Kornet Produk daging yang telah diproses menggunakan garam curing dan diberikan bumbu lain, kemudian dilakukan pemanasan steril komersial (Lukman 2008). Sedangkan Badan Standarisasi Nasional (1995) mendefinisikan kornet sebagai produk yang dibuat dari potongan daging sapi segar atau beku, tanpa tulang, boleh dicampur dengan daging bagian kepala dan jantung yang memenuhi persyaratan dan peraturan berlaku, dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diijinkan melalui proses curing dan dikemas dalam wadah kedap udara (hermetis) dan disterilkan. Daging Sapi Olahan Makanan Jadi Daging sapi adalah jaringan otot yang diperoleh dari sapi yang biasa dan umum digunakan untuk keperluan konsumsi makanan. Di setiap daerah, penggunaan daging ini berbeda-beda tergantung dari cara pengolahannya. Sebagai contoh has luar, daging iga dan T-Bone sangat umum digunakan sebagai bahan pembuatan steak. Namun biasanya di Indonesia daging ini banyak digunakan untuk makanan berbumbu dan bersantan seperti sup konrodan rendang. Selain itu ada beberapa bagian daging sapi lain seperti lidah, hati, hidung, jeroan dan buntut hanya digunakan di berbagai negara tertentu sebagai bahan dasar makanan (Anonim c 2011). Beberapa komoditas makanan jadi daging sapi di Susenas adalah soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso/rebus/goreng, dan ayam/daging (goreng,dll).
Makanan
tersebut
sangat
sering
dijumpai
di
masyarakat.
Berdasarkan data Susenas, pengeluaran pangan hewani berbasis daging sapi terbesar ada pada makanan jadi yaitu mie bakso. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai konsumsi daging sapi dalam bentuk olahan mie bakso (Tabel 11). Namun, ternyata bagi masyarakat Indonesia, jeroan sapi dikonsumsi antara lain untuk campuran bakso, sop, soto, dan nasi goreng. Jeroan juga dikonsumsi langsung, seperti paru dan hati (Anonim d 2009). Permasalahan yang sering muncul pada makanan olahan adalah keamanan pangan produk olahan. Selama tahun 2005 sampai periode JanuariJuli hasil pelaksanaan pengawasan terhadap produk pangan olahan berbasis ternak sebanyak 726 sampel, dimana 86 sampel (6%) diantaranya
tidak
memenuhi syarat, dengan rician sebagai berikut: Ayam (8,1%), Abon (2,3%), Bakso (55,8%), Daging beku (3,5%), Kornet (2,3%), Sosis (22,1%), dan Susu dan hasil olah (5,8%) (Suratmo 2005).
21
KERANGKA PEMIKIRAN Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh Presiden RI mengamanatkan bangsa ini perlu membangun ketahahanan pangan yang mantap dengan memfokuskan pada peningkatan kapasitas produksi nasional untuk lima komoditas pangan strategis, salah satunya adalah daging sapi (DEPTAN 2005). Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan program ketahanan pangan adalah sumberdaya dan konsumsi pangan masyarakat. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu. Konsumsi daging sapi perlu dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi aktual dan ideal pada rumah tangga. Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai konsumsi daging sapi ideal adalah Pola Pangan Harapan (PPH). Sumberdaya daging sapiyang terdapat di suatu wilayah, mencakup produksi daging sapi, cadangan daging sapi, maupun impor dan ekspor. Komponen ketersediaan pangan meliputi kemampuan produksi, cadangan maupun impor pangan setelah dikoreksi dengan ekspor dan berbagai penggunaan seperti untuk bibit, pakan, industri makanan/nonpangan dan tercecer. Namun dalam penelitian ini sumberdaya yang dilihat adalah produksi, impor, dan ketersediaannya. Satuan yang digunakan adalah kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ton per tahun, dan ekor per tahun, sehingga jumlah penduduk dibutuhkan sebagai pembagi dan pengali. Kecukupan dilihat dari kemampuan ketersediaan terhadap konsumsi daging sapi baik aktual maupun ideal. Ketersediaan dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan dengan memperhatikan impor (on trend) dan tanpa memperhatikan impor (absolut).
22
Konsumsi daging sapi tahun 2005-2010 Konsumsi aktual
Konsumsi ideal
Jumlah Penduduk Kecukupan daging sapi
Sumberdaya daging sapi tahun 2005-2010 Produksi
Impor
Ekspor
Stok
Ketersediaan
Penggunaan dalam negri
Gambar 2 Kerangka pemikiran Keterangan: = Variabel tidak diteliti = Variabel diteliti
23
METODELOGI Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian survey. Penelitian dilakukan di Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2011. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dari berbagai instansi. Berikut adalah jenis dan sumber data pada Tabel 12. Tabel 12 Jenis dan sumber data No 1
2
3
Variabel • Sumberdaya daging • sapi 2005-2010 • • Konsumsi daging sapi 2005-2010 • Penduduk
•
Data yang dikumpulkan Ketersediaan Produksi Impor Konsumsi actual Konsumsi ideal
Jenis Variabel Sekunder
Sekunder
Jumlah penduduk
Sumber data Neraca Bahan Makanan 2005-2010 (BKP) Susenas 2005-2010 (BPS, BKP) Pola Pangan Harapan (PPH) Neraca Bahan Makanan 2005-2010 (BKP)
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah menggunakan program Microsoft excell for Windows. Data yang telah diolah lalu dianalisis secara deskriptif. Pendekatan yang dilakukan untuk menganalisis kecukupan daging sapi pada penelitian ini adalah dari sisi konsumsi dan sumberdaya. Sumberdaya daging sapi a. Produksi daging sapi Produksi daging sapi didapat dari kolom 3 pada neraca bahan makanan, setelah itu dibagi dengan jumlah penduduk berdasarkan tahunnya. Berikut adalah rumus produksi dalam satuan kilogram per kapita per tahun:
Keterangan : Ma
: Produksi daging sapi (kg/kap/th)
m
: Produksi daging sapi (ribu ton)
JPen : Jumlah penduduk Berikut adalah rumus produksi dalam satuan gram per kapita per hari:
24
Keterangan: Mb
: Produksi daging sapi (g/kap/hr) Berikut adalah rumus produksi dalam satuan kilokalori per hari:
Keterangan: Mc
: Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya (Kal/kap/hr)
KGiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal) Perkembangan produksi dihitung dengan menggunakan rumus laju
sebagai berikut:
Keterangan: LM
: Laju produksi daging sapi
JM
: Jumlah produksi daging sapi (ribu ton)
N1
: Tahun awal
N2
: Tahun akhir b. Impor daging sapi Impor daging sapi didapat dari kolom 5 pada neraca bahan makanan,
setelah itu dibagi dengan jumlah penduduk berdasarkan tahunnya Berikut adalah rumus impor dalam satuan kilogram per kapita per tahun:
Keterangan : Ia
: Impor daging sapi (kg/kap/th)
i
: Impor daging sapi (ribu ton)
JPen : Jumlah penduduk Berikut adalah rumus produksi dalam satuan gram per kapita per hari:
Keterangan: Ib
: Impor daging sapi (g/kap/hr) Berikut adalah rumus impor dalam satuan kilokalori per hari:
25
Keterangan: Ic
: Impor daging sapi (Kal/kap/hr)
Kgiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)
Setelah itu dilihat perkembangannya dengan menggunakan rumus laju sebagai berikut:
Keterangan: LI
: Laju impor daging sapi
JI
: Jumlah impor daging sapi (ribu ton)
N1
: Tahun awal
N2
: Tahun akhir c. Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi (termasuk jeroan sapi)
didapat dari kolom 15 pada NBM. Secara khusus, jika ketersediaan dalam satuan kilogram per kapita per tahun dihitung tanpa memperhatikan impor (absolut) maka rumus yang digunakan adalah berikut: Keterangan: TDa
: Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th)
TDia
: Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th)
Ia
: Impor daging sapi (kg/kap/th) Ketersediaan dalam satuan gram per kapita per hari dihitung dengan
menggunakan rumus: dan
Keterangan: TDa
: Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th)
TDb
: Ketersediaan daging sapi on trend (g/kap/hr)
TDia
: Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th)
TDib
: Ketersediaan daging sapi absolut (g/kap/hr) Berikut adalah rumus ketersediaan dalam satuan kilokalori per hari: dan
26
Keterangan: TDb
: Ketersediaan daging sapi on trend (g/kap/hr)
TDc
: Ketersediaan daging sapi on trend (Kal/kap/hr)
TDib
: Ketersediaan daging sapi absolut (g/kap/hr)
TDic
: Ketersediaan daging sapi absolut (Kal/kap/hr)
Kgiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal) Berikut adalah rumus ketersediaan dalam satuan ribu ton: dan
Keterangan: TDa
: Ketersediaan daging sapi on trend (kg/kap/th)
TDia
: Ketersediaan daging sapi absolut (kg/kap/th)
TDd
: Ketersediaan daging sapi on trend (ribu ton)
TDid
: Ketersediaan daging sapi absolut (ribu ton) Perkembangan ketersediaan daging sapi dilihat dari laju yang dihitung
dengan rumus:
Keterangan: LT
: Laju ketersediaan daging sapi
JT
: Jumlah ketersediaandaging sapi (kg/kap/th)
N1
: Tahun awal
N2
: Tahun akhir
Konsumsi daging sapi dan olahannya a. Konsumsi daging sapi aktual Konsumsi daging sapi dari berbagai bentuk atau olahan dikonversi setara daging sapi (termasuk jeroan dan hati). Faktor konversi didapatkan dari penelitian sebelumnya yaitu Kajian Konsumsi Daging Sapi Nasional oleh Badan Ketahanan Pangan dan Institut Pertanian Bogor (Tabel 13). Tabel 13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya No bhn pangan dlm Susenas Daging sapi segar 54 68 69
Jenis daging Daging Sapi Tetelan Tulang
Faktor Konversi 1 0.2 0.05
27
Lanjutan Tabel 13 Faktor konversi daging sapi dan olahannya No bhn pangan Jenis daging dlm Susenas Daging sapi olahan industri 62 Dendeng 63 Abon 64 Daging dalam kaleng 65 Daging Awetan Lainnya Daging sapi dari makanan jadi 203 Soto/gule/sop/rawon 209 Sate/tongseng 204 Mie bakso 205 Daging goring Hati sapi Jeroan sapi
Faktor Konversi 2 2 1 0.5 0.333 0.333 0.125 0.333 1 0.5
Sumber: BKP dan IPB, 2011
Konsumsi daging sapi atau olahannya (kg/kap/th) pada rumah tangga dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: KRt
: Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya pada rumah tangga (kg/kap/th)
R
: Rata-rata konsumsi aktual (kg/kap/minggu)
J
: Jumlah gram dalam satu satuan
Fk
: Faktor konversi Berikut adalah rumus total konsumsi aktual daging sapi rumah tangga:
Keterangan: KRt1
: Konsumsi aktual daging sapi segar (kg/kap/th)
KRt2
: Konsumsi aktual daging sapi Industri (kg/kap/th)
KRt3
: Konsumsi aktual daging sapi makanan jadi (kg/kap/th)
KRt4
: Konsumsi aktual hati sapi (kg/kap/th)
KRt5
: Konsumsi aktual jeroan sapi (kg/kap/th)
KRttot : Konsumsi aktual daging sapi aktual total (kg/kap/th) Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan gram per kapita per hari:
Keterangan: KRtb
: Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya (g/kap/hr)
28
Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan kilokalori per hari:
Keterangan: KRtc
: Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya dalam satuan Kal/kap/hr
Kgiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal) Berikut adalah rumus konsumsi aktual dalam satuan ribu ton:
Keterangan: KRtd
: Konsumsi aktual daging sapi atau olahannya dalam satuan ribu ton Perhitungan konsumsi daging sapi juga perlu dikonversi dalam bentuk
sapi, hal ini dilakukan untuk menggambarkan banyaknya populasi sapi yang dibutuhkan. Konversi sapi ke karkas berdasarkan Survei pemotongan ternak sapi oleh PUSDATIN (2009) adalah sebesar 58,98 persen. Persentase ini merupakan persentase karkas ditambah dengan persentase jeroan. Konversi dari karkas ke daging segar berdasarkan NBM adalah sebesar 74,93 persen. Rata-rata berat sapi di Indonesia adalah 405,08 kg/sapi (PUSDATIN 2009). Berikut adalah rumus perhitungannya:
Keterangan: KRte
: Konsumsi aktual daging sapi dan olahannya (ekor/thn)
KRtd
: Konsumsi aktual daging sapi aktual total (ribu ton/th)
c
: Rata-rata berat sapi (405,08 kg)
JPen : Jumlah penduduk Perkembangan konsumsi daging sapi aktual dilihat dari laju yang dihitung dengan rumus:
Keterangan: LK
: Laju konsumsi daging sapi
JK
: Jumlah konsumsi daging sapi (kg/kap/th)
N1
: Tahun awal
N2
: Tahun akhir
29
b. Konsumsi daging sapi ideal Tahapan rumus untuk menghitung konsumsi daging sapi ideal: •
Menghitung persentase kontribusi konsumsi daging sapi terhadap pengan hewani dengan menggunakan rumus:
Keterangan: Kkd
: Kontribusi konsumsi daging sapi
KEDs : Konsumsi energi daging sapi KEHtot : Total konsumsi energi hewani •
Jumlah konsumsi energi pangan hewani ideal adalah sebesar 240 Kal, sehingga
untuk
mengetahui konsumsi energi
ideal daging
sapi
menggunakan rumus:
Keterangan: Kkd
: Kontribusi konsumsi daging sapi
Kal DsI : Kalori daging sapi ideal •
Menghitung konsumsi daging sapi ideal (kg/kap/th) menggunakan rumus:
Keterangan: KI
: Konsumsi daging sapi ideal dalam satuan kg/kap/th
Kal DsI : Kalori daging sapi ideal Kgiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal)
Berikut adalah rumus konsumsi dalam satuan gram per kapita per hari:
Keterangan: KIb
: Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan g/kap/hr Berikut adalah rumus konsumsi ideal dalam satuan kilokalori per hari:
Keterangan: KIc
: Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan Kal/kap/hr
30
Kgiz
: Rata-rata energi daging sapi (gemuk, kurus, dan sedang) per 100 gram berdasarkan DKBM (216 Kal) Berikut adalah rumus konsumsi ideal dalam satuan ribu ton:
Keterangan: KId
: Konsumsi ideal daging sapu dalam satuan ribu ton Perhitungan konsumsi ideal tersebut juga perlu dikonversi dalam bentuk
sapi. Berikut adalah rumus perhitungannya:
Keterangan: KIe
: Konsumsi ideal daging sapi dalam satuan ekor sapi
c
: Rata-rata berat sapi (405,08 kg)
JPen : Jumlah penduduk Kecukupan ketersediaan untuk dikonsumsi terhadap konsumsi Kecukupan ketersediaan dilihat dalam bentuk gap antara ketersediaan dengan konsumsi. Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan ketersediaan absolut dan ketersediaan on trend. Jika gap berinilai positif maka dikatakan surplus, namun jika bernilai negatif dikatakan defisit a. Kecukupan terhadap konsumsi aktual Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi aktual dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan: STDi(1) : Selisih ketersediaan daging sapi absolut terhadap konsumsi daging sapi aktual (ribu ton) STD(1) : Selisih ketersediaan daging sapi on trend terhadap konsumsi dagingsapi aktual (ribu ton) Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya ketersediaan terhadap konsumsi aktual daging sapi. b. Kecukupan terhadap konsumsi ideal Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi ideal dihitung dengan menggunakan rumus:
31
Perhitungan selisih tersebut dapat menunjukkan surplus atau defisitnya sumberdaya terhadap konsumsi ideal daging sapi. Keterangan: STDi(2) : Selisih ketersediaan absolut terhadap konsumsi daging sapi ideal (ribu ton) STD(2) : Selisih ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi ideal (ribu ton) Definisi Operasional Sumberdaya daging sapi adalah jumlah produksi, impor, dan ketersediaan daging sapi yang didapatkan dari kolom produksi, kolom impor, dan kolom ketersediaan pada Neraca Bahan Makanan dalam satuan kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi. Konsumsi daging sapi aktual adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati sapi, dan jeroan sapi aktual yang dimakan oleh rumah tangga yang dikoreksi dengan faktor konversi agar setara dengan daging sapi dalam satuan kilogram per kapita per tahun, gram per kapita per hari, ribu ton, dan ekor sapi. Konsumsi daging sapi diperoleh dari data Susenas. Konsumsi daging sapi ideal adalah jumlah daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi dari makanan jadi, hati, dan jeroan yang seharusnya dimakan oleh rumah tangga yang didapat dari proporsi konsumsi aktual daging sapi terhadap pangan hewani dan dikalikan dengan kalori ideal pangan hewani sesuai angka pola pangan harapan (PPH) yaitu sebesar 240 Kal. Produksi daging sapi adalah proses menghasilkan daging sapi yang diperoleh dari kolom 3 (produksi) Neraca Bahan Makanan. Impor daging sapi adalah pemasukan daging sapi dan olahannya dari luar negri yang diperoleh dari kolom 5 (impor) Neraca Bahan Makanan. Ketersediaan daging sapi adalah ketersediaan untuk dikonsumsi yang meliputi produksi, ekspor, impor, dan penggunaan yang didapatkan dari kolom 15 pada neraca bahan makanan dalam satuan kilogram per kapita per tahun. Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan yang memperhatikan impor (ketersediaan daging sapi on
32
trend) dan ketersediaan yang tidak memperhatikan impor atau hanya mempertimbangkan produksi (ketersediaan daging sapi absolut) Kecukupan daging sapi adalah selisih jumlah ketersediaan on trend atau absolut terhadap konsumsi aktual dan ideal dalam satuan ribu ton. Jika bernilai negatif maka dikatakan defisit dan bernilai positif dikatakan surplus.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumberdaya Daging Sapi Sumberdaya daging sapi suatu wilayah dapat dilihat dari ketersediaannya. Ketersediaan daging sapi bisa didapatkan dari produksi domestik dan atau impor. Ketahanan pangan dari sisi kemandirian dapat dilihat dari ketergantungan ketersediaan pangan nasional pada produksi domestik, sehingga dalam pembahasan penelitian ini akan melihat perkembangan jumlah produksi, impor dan ketersediaan daging sapi. Produksi dan impor daging sapi Produksi merupakan jumlah daging sapi yang dihasilkan oleh suatu wilayah atau negara. Impor merupakan pemasukan daging sapi dan olahannya dari luar negri atau luar wilayah. Produksi dan impor dapat dilihat dari neraca bahan makanan (NBM). NBM akan menggambarkan situasi dan kondisi ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi penduduk di Indonesia dalam suatu kurun waktu tertentu yaitu tahun 2005-2010. Berikut adalah produksi dan impor daging sapi tahun 2005-2010. Tabel 14 Produksi dan impor daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Produksi 0.98 2.68 7.32 215.05 1.07 2.92 7.98 237.53 0.90 2.47 6.76 203.81 1.03 2.82 7.70 235.28 1.06 2.91 7.93 245.36 1.10 3.02 8.24 261.63 1.02 2.80 7.65 233.11 2.91
Impor 0.09 0.25 0.68 20.00 0.11 0.30 0.81 24.00 0.17 0.47 1.29 39.00 0.20 0.55 1.51 46.00 0.29 0.80 2.20 67.91 0.38 1.04 2.85 90.51 0.21 0.57 1.55 47.90 34.19
Jumlah 1.07 2.93 8.00 235.05 1.17 3.22 8.78 261.53 1.08 2.95 8.05 242.81 1.23 3.37 9.21 281.28 1.35 3.71 10.13 313.26 1.48 4.06 11.09 352.13 1.23 3.37 9.21 281.01 7.07
34
Tabel 14 menggambarkan produksi dan impor daging sapi segar nasional mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (2,91% dan 34,19%). Rata-rata produksi daging sapi segar adalah sebesar 1,02 kg/kap/th atau sebesar 233,11 ribu ton. Rata-rata impor daging sapi segar sebesar 0,21 kg/kap/th atau sebesar 47,90 ribu ton. Rata-rata jumlah produksi dan impor daging sapi segar adalah sebesar atau 1,23 kg/kap/th sebesar 281,01 ribu ton dengan laju positif (7,07 %). Tahun 2010, produksi dan impor daging sapi segar memiliki nilai terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kariyasa (2004) menyebutkan bahwa baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang produksi daging sapi dalam negri hanya respon terhadap perubahan harga sapi itu sendiri dan harga ternak sapi. Hal ini mungkin disebabkan peternak (kecil) sapi terpaksa menjual murah sapi yang dimilikinya karena kondisi ekonomi, sehingga harga sapi menjadi murah. Tabel 15 Produksi dan impor jeroan sapi di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Produksi 0.33 0.89 2.44 71.75 0.36 0.97 2.66 79.25 0.30 0.83 2.25 68.00 0.34 0.94 2.57 78.50 0.35 0.97 2.65 81.86 0.37 1.01 2.75 87.29 0.34 0.94 2.55 77.78 2.91
Impor 0.16 0.44 1.19 35.00 0.17 0.46 1.24 37.00 0.18 0.49 1.33 40.00 0.20 0.55 1.51 46.00 0.19 0.52 1.41 43.51 0.21 0.58 1.57 49.89 0.18 0.50 1.37 41.90 5.94
Jumlah 0.49 1.33 3.63 106.75 0.52 1.43 3.90 116.25 0.48 1.31 3.58 108.00 0.54 1.49 4.07 124.50 0.54 1.48 4.05 125.37 0.58 1.58 4.32 137.18 0.53 1.44 3.93 119.67 3.81
Tabel 15 menggambarkan bahwa kondisi produksi dan impor jeroan sapi tahun 2005-2010 mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju
35
yang bernilai positif (2,91% dan 5,94%). Rata-rata produksi jeroan sapi adalah sebesar 0,34 kg/kap/th atau sebesar 77,78 ribu ton/th. Rata-rata impor jeroan sapi adalah sebesar 0,18 kg/kap/th atau sebesar 41,9 ribu ton. Rata-rata jumlah produksi dan impor jeroan sapi adalah sebesar 0,53 kg/kap/th atau sebesar 119,67 ribu ton. Tahun 2010, produksi dan impor jeroan sapi memiliki nilai terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Faktor yang dapat menjadi penyebab tingginya nilai impor jeroan sapi adalah adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, dan transportasi) serta harga produk impor yang memang relatif murah (DEPTAN 2005). Walaupun produksi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun perlu dilihat juga persentase komposisi produksi daging sapi (termasuk jeroan sapi) terhadap jumlah produksi dan impor daging sapi (termasuk jeroan sapi). Berikut adalah persentase komposisi produksi dan impor daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 (Tabel 16). Tabel 16 Persentase komposisi produksi dan impor daging sapi (termasuk jeroan sapi) di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun
Produksi (000 ton)
%
Impor (000 ton)
%
Jumlah
%
2005
286.80
83.91
55.00
16.09
341.80
100.00
2006
316.78
83.85
61.00
16.15
377.78
100.00
2007
271.81
77.48
79.00
22.52
350.81
100.00
2008
313.78
77.33
92.00
22.67
405.78
100.00
2009
327.22
74.60
111.41
25.40
438.63
100.00
2010
348.92
71.31
140.40
28.69
489.31
100.00
Rata-rata
310.88
77.59
89.80
22.41
400.69
100.00
Tabel 16 menggambarkan bahwa persentase produksi daging sapi (termasuk jeroan) terhadap jumlah produksi dan impor mengalami penurunan, sedangkan impor daging sapi (termasuk jeroan) mengalami peningkatan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan persentase laju produksi daging sapi (termasuk jeroan) pada Tabel 14 dan 15. Rata-rata persentase jumlah produksi adalah sebesar 77,59 persen, dan impor sebesar 22,41 persen. Persentase produksi tahun 2005 adalah sebesar 83,91 persen turun hingga 71,31 persen pada tahun 2010. Persentase impor tahun 2005 adalah sebesar 16,09 persen naik hingga 28,69 persen pada tahun 2010. Untuk mencapai swasembada on trend persentase produksi harus mencapai 90-95 persen dari total kebutuhan atau total ketersediaan. Persentase produksi daging sapi aktual ini tentu saja menunjukkan bahwa program swasembada daging sapi baik swasembada absolut maupun
36
swasembada on trend belum tercapai bahkan semakin jauh dari harapan mencapai ketahanan bahkan kemandirian pangan (daging sapi). Rata-rata untuk mencapai swasembada absolut maka produksi daging sapi harus sebesar 400,69 ribu ton/th, sedangkan untuk mencapai swasembada on trend dibutuhkan impor daging sapi sebanyak 20,03-40,07 ribu ton/th dan produksi sebanyak 360,62-380,65 ribu ton/th. Selain itu, perbandingan jumlah produksi daging sapi aktual dengan sasaran produksi daging sapi yang terdapat pada Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) 2005-2010 masih terdapat selisih negatif (Tabel 17). Tabel 17 Perbandingan antara sasaran produksi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan jumlah produksi daging sapi aktual (kg/kap/th) Tahun 2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010
Sasaran produksi daging sapi (RAPKP) 000 ton 272 288 314 329 424
Jumlah produksi daging sapiaktual 000 ton 317 272 314 327 349
Selisih 45 -17 -1 -1 -75
Tabal 17 menggambarkan bahwa produksi daging sapi aktual belum mencapai sasaran yang terdapat di RAPKP, kecuali pada tahun 2005-2006. Selisih terbesar yaitu pada tahun 2009-2010 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kendala utama dalam peningkatan produktivitas sapi adalah tidak tersedianya pakan secara memadai dan terserang penyakit terutama pada musim kemarau di wilayah yang padat ternak seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Lampung, dan Bali (DEPTAN 2005). Ilham (2006) menambahkan bahwa ada sekitar 28 persen sapi yang dipotong setiap hari adalah sapi betina produktif, hal ini dapat menyebabkan populasi sapi potong menurun. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan (RAPKP) tahun 20052010 menyebutkan bahwa kecenderungan peningkatan impor daging sapi (termasuk jeroan) dalam bentuk sapi bakalan maupun sapi potong bukan semata-mata
disebabkan
karena
meningkatnya
permintaan,
tetapi
juga
disebabkan karena adanya kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk impor yang memang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang bergairah dalam mengelola usaha ternaknya, karena harga daging sapi di pasar domestik menjadi tertekan (relatif murah) (DEPTAN 2005). Selain itu Keputusan
37
Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 530/KMK.01/1998 tentang pembebasan bea masuk atas impor hewan ternak potong, daging, dan sisa daging menyebutkan bahwa bea masuk impor daging adalah sebesar 0 persen, hal inilah yang membuat daging sapi impor lebih murah dibandingkan dengan daging sapi dalam negri. Pada akhirnya, akan membuat peternak sapi kurang bergairah untuk memproduksi daging sapi. Menurut Kariyasa (2004) impor daging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi domestik, harga daging impor, tarif impor, kurs rupiah, dan krisis ekonomi. Jika harga daging sapi domestik tinggi, harga daging sapi impor rendah, tarif impor rendah, dan atau kurs rupiah meningkat maka kemungkinan peningkatan impor bisa terjadi. Namun, Sunari et al (2010) menyebutkan bahwa hanya ada satu variabel yang berpengaruh terhadap harga daging sapi lokal, yaitu peningkatan harga daging sapi impor. Setiap ada peningkatan harga daging sapi impor sebesar US$1, akan meningkatkan harga daging sapi lokal Rp 626,45, atau sebaliknya. Pengaruhnya dalam jangka pendek dan jangka panjang adalah responsif. Apabila harga daging sapi impor naik 10 persen, segera direspon dengan peningkatan harga daging sapi lokal 12,9 persen dan dalam jangka panjang akan meningkat menjadi sekitar 20,3 persen atau sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Hal ini tentu saja menjadi indikasi bahwa masuknya daging impor membuat daging sapi lokal lebih mahal yang pada akhirnya berdampak pada tidak tertariknya konsumen untuk membeli daging sapi lokal, sedangkan pada peternak akan membuat peternak tidak bergairah memproduksi daging sapi. DITJENAK (2010) menambahkan bahwa dampak lebih luas adalah dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani khususnya daging sapi semakin jauh dari harapan, sehingga pada gilirannya berpotensi masuk dalam food trap negara eksportir. Permasalahan semakin menurunnya persentase produksi dan tingginya impor daging sapi terhadap jumlah produksi dan impor tentu harus segera diselesaikan oleh pemerintah agar konsumsi daging sapi dapat dipenuhi dari produksi setidak-tidaknya 90-95 persen dari total kebutuhan, sesuai dengan tujuan swasembada (on trend). Program swasembada yang telah dicanangkan pada Peraturan Menteri Pertanian (PERMENTAN) No.19 tahun 2010 seharusnya mampu dijadikan landasan dalam penyelesaian permasalahan sumberdaya daging sapi di Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya.
38
Ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi Daging sapi merupakan salah satu pangan sebagai sumber protein hewani, yang menyumbang 18 persen terhadap konsumsi daging nasional. Peranannya yang cukup penting tersebut, maka ketersediaan daging sapi dalam negeri dengan harga yang terjangkau harus menjadi perhatian pemerintah (Sunari et al 2010). Ketersediaan daging sapi on trend (Tabel 18) adalah ketersediaan
untuk
dikonsumsi
yang
memperhatikan
impor,
sedangkan
ketersediaan daging sapi absolut (Tabel 19) adalah ketersediaan untuk dikonsumsi tanpa memperhatikan impor. Tabel 18 Ketersediaan daging sapi on trend di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata %Laju
kg/kap/th 1.50 1.64 1.50 1.71 1.83 1.99 1.69 6.04
Ketersediaan daging sapi on trend gr/kap/hr Kal/kap/hr 000 ton/th 4.11 8.88 330.05 4.49 9.69 364.70 4.11 8.88 338.67 4.70 10.14 391.72 5.01 10.82 422.96 5.44 11.75 471.70 4.64 10.03 386.63
Tabel 18 menggambarkan bahwa berdasarkan persentase laju rata-rata ketersediaan daging sapi on trend mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (6,04%). Rata-rata ketersediaan daging sapi on trend sebesar 1,69 kg/kap/th atau sebesar 386,63 ribu ton. Tabel 19 Ketersediaan daging sapi absolut di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata %Laju
kg/kap/th 1.25 1.36 1.15 1.31 1.35 1.39 1.30 2.72
Ketersediaan daging sapi absolut gr/kap/hr Kal/kap/hr 000 ton/th 3.43 7.40 275.05 3.74 8.07 303.70 3.15 6.81 259.67 3.59 7.76 299.72 3.69 7.97 311.55 3.82 8.25 331.31 3.57 7.71 296.83
Tabel 19 menggambarkan bahwa rata-rata ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi tanpa memperhatikan impor atau absolut adalah sebesar 1,3 kg/kap/th atau sebesar 296,83 ribu ton/th. Ketersediaan daging sapi absolut dapat
menggambarkan
sejauh
mana
kemampuan
dalam
negri
dalam
menyediakan daging sapi untuk dikonsumsi, selanjutnya akan dibahas pada sub bab kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi aktual maupun ideal.
39
Konsumsi Daging Sapi Konsumsi daging sapi aktual Konsumsi daging sapi aktual penduduk Indonesia dibagi berdasarkan jenis daging sapi dan olahannya yaitu daging sapi segar, daging sapi olahan industri, daging sapi makanan jadi, hati sapi, dan jeroan. Daging sapi segar terdiri atas daging sapi, tetelan dan tulang. Daging sapi olahan industri terdiri atas dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya. Daging sapi makanan jadi terdiri atas soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng. Berikut adalah konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya tahun 2005-2010 (Tabel 20) Tabel 20 Konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (kg/kap/th) tahun 20052010
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Ratarata
Jenis daging sapi (kg/kap/th) Daging sapi Hati sapi makanan jadi 1.24 0.14
Kota
0.66
Daging sapi olahan industri 0.11
0.03
2.19
Desa
0.22
0.02
0.54
0.03
0.01
0.82
Nasional
0.44
0.06
0.86
0.08
0.02
1.46
Wilayah
Daging sapi segar
Jeroan sapi
Jumlah
Kota
0.61
0.04
1.08
0.05
0.02
1.81
Desa
0.10
0.00
0.47
0.00
0.02
0.60
Nasional
0.34
0.02
0.74
0.05
0.02
1.17
Kota
0.71
0.14
1.35
0.17
0.04
2.40
Desa
0.17
0.02
0.57
0.04
0.02
0.82
Nasional
0.43
0.08
0.95
0.10
0.03
1.58
Kota
0.62
0.11
1.46
0.12
0.03
2.33
Desa
0.15
0.02
0.62
0.04
0.01
0.83
Nasional
0.37
0.06
1.02
0.08
0.02
1.56
Kota
0.56
0.10
1.41
0.09
0.03
2.19
Desa
0.15
0.02
0.60
0.02
0.01
0.80
Nasional
0.35
0.06
0.99
0.05
0.02
1.47
Kota
0.62
0.14
1.43
0.09
0.03
2.31
Desa
0.16
0.03
0.62
0.04
0.02
0.86
Nasional
0.38
0.08
1.01
0.06
0.02
1.56
Kota
0.63
0.11
1.33
0.11
0.03
2.20
Desa
0.16
0.02
0.57
0.03
0.01
0.79
Nasional
0.38
0.06
0.93
0.07
0.02
1.47
Tabel 20 menggambarkan perkembangan konsumsi daging sapi dari berbagai jenis tahun 2005-2010. Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk kota adalah sebesar 0,63 kg/kap/th, 0,16 pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,38 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi
40
daging sapi makanan jadi pada penduduk kota adalah sebesar 1,33 kg/kap/th, 0,57 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,93 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,07 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota adalah sebesar 2,2 kg/kap/th, 0,79 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 1,47 kg/kap/th. Secara lengkap akan dibahas pada bahasan selanjutnya. Berikut adalah persentase Tabel 21 Persentase konsumsi daging sapi berdasarkan jenisnya (%) tahun 2005-2010 Jenis daging sapi (%) Daging sapi makanan Hati sapi jadi 56.59 6.42
Kota
30.36
Daging sapi olahan industri 5.15
1.47
100.00
2005
Desa Nasional Kota
27.10 29.89 33.73
1.95 4.14 2.31
66.28 59.11 59.87
3.09 5.36 2.88
1.57 1.49 1.21
100.00 100.00 100.00
2006
Desa Nasional Kota
17.52 28.73 29.54
0.00 1.78 5.92
78.80 63.17 55.96
0.00 4.45 6.94
3.68 1.87 1.64
100.00 100.00 100.00
2007
Desa Nasional Kota
21.07 27.25 26.44
2.36 4.92 4.61
70.24 59.90 62.54
4.46 6.27 5.24
1.87 1.66 1.17
100.00 100.00 100.00
2008
Desa Nasional Kota
17.62 24.00 25.80
1.82 3.84 4.76
74.50 65.85 64.26
4.47 5.02 4.03
1.60 1.29 1.16
100.00 100.00 100.00
2009
Desa Nasional Kota
18.43 23.73 26.92
2.60 4.15 5.89
74.91 67.26 62.11
2.94 3.72 3.98
1.12 1.15 1.09
100.00 100.00 100.00
2010
Desa Nasional Kota
18.72 24.58 28.63
3.22 5.13 4.87
71.78 64.87 60.20
4.27 4.07 5.00
2.01 1.35 1.29
100.00 100.00 100.00
Desa Nasional
20.19 26.25
2.09 4.09
72.45 63.37
3.37 4.84
1.90 1.45
100.00 100.00
Tahun
Ratarata
Wilayah
Daging sapi segar
Jeroan sapi
Jumlah
Tabel 21 menggambarkan perkembangan proporsi atau persentase konsumsi daging sapi dari jenis tertentu terhadap jumlah konsumsi daging sapi. Rata-rata persentase konsumsi daging sapi terbesar hingga terkecil pada kota, desa, maupun nasional secara berturut-turut adalah daging sapi makanan jadi (60,2%, 72,45%, dan 63,37%), daging sapi segar (28,63%, 20,19%, dan 26,25%), hati (5%, 3,37%, dan 4,84%), daging sapi olahan industri (4,87%, 2,09%, dan 4,09%), dan jeroan sapi (1,29%, 1,9%, dan 1,45%).
41
a. Konsumsi daging sapi segar Berikut adalah konsumsi aktual daging sapi segar berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 22). Tabel 22 Konsumsi daging sapi segar penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Kota 0.66 1.82 3.93
Wilayah Desa 0.22 0.61 1.32
0.61 1.67 3.61
0.10 0.29 0.62
0.71 1.95 4.20
0.17 0.47 1.02
0.62 1.69 3.64
0.15 0.40 0.87
0.56 1.55 3.34
0.15 0.40 0.87
0.62 1.70 3.67
0.16 0.44 0.95
0.63 1.73 3.73
0.16 0.44 0.94
-0.66
1.38
Nasional 0.44 1.20 2.58 95.99 0.34 0.92 1.99 74.91 0.43 1.18 2.55 97.18 0.37 1.02 2.21 85.31 0.35 0.96 2.06 80.70 0.38 1.05 2.27 91.02 0.38 1.05 2.28 87.52 -0.99
Tabel 22 menggambarkan konsumsi daging sapi segar aktual di kota, desa, dan nasional. Konsumsi daging sapi segar pada kota maupun nasional cenderung mengalami penurunan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai negatif (-0,66% dan -0,99%). Berbeda halnya dengan persentase laju konsumsi pada penduduk desa yang bernilai positif (1,38%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi penduduk desa mengalami peningkatan. Namun, walupun konsumsi penduduk desa mengalami peningkatan, konsumsi penduduk desa masih lebih kecil dibandingkan penduduk kota. Konsumsi daging sapi segar tahun 2005 adalah sebesar 0,66 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,22 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,44 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 menurun hingga 0,62 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,16 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,38
42
kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk kota adalah sebesar 0,63 kg/kap/th atau sebesar 1,73 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk desa adalah sebesar 0,16 kg/kap/th atau sebesar 0,44 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi segar secara nasional adalah sebesar 0,38 kg/kap/th atau sebesar 87,52 ribu ton/th. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,71 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 0,56 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,22 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,10 kg/kap/th. Konsumsi terbesar Nasional terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,44 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,34 kg/kap/th. Daging sapi segar terdiri atas daging sapi, tetelan, dan tulang. Konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulang pada penduduk kota, desa, maupun nasional tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulang (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Laju (%)
Jenis daging sapi segar Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang Daging sapi Tetelan Tulang
Kota 0.62 0.04 0.00 0.57 0.03 0.01 0.68 0.03 0.01 0.59 0.02 0.00 0.54 0.02 0.00 0.60 0.02 0.00 0.60 0.03 0.00 -0.17 -9.23 0.26
Wilayah Desa 0.22 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.17 0.00 0.00 0.14 0.00 0.00 0.14 0.00 0.00 0.16 0.00 0.00 0.15 0.00 0.00 0.60 -23.5 -23.07
Nasional 0.42 0.02 0.00 0.31 0.02 0.00 0.41 0.02 0.00 0.36 0.01 0.00 0.34 0.01 0.00 0.37 0.01 0.00 0.37 0.02 0.00 -0.50 -6.84 0.45
43
Tabel 23 bahwa rata-rata konsumsi daging sapi segar dalam bentuk daging sapi pada penduduk kota adalah 0,6 kg/kap/th, 0,15 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,37 kg/kap/th. Konsumsi daging sapi segar dalam bentuk tetelan pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Sedangkan rata-rata konsumsi tulang baik kota, desa, maupun nasional sebesar 0 kg/kap/th. Konsumsi daging sapi segar terbesar dalam bentuk daging sapi, dan terendah dalam bentuk tulang. Tabel 23 juga menggambarkan perkembangan konsumsi daging sapi segar dalam bentuk daging sapi dan tetelan secara nasional mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai negatif (-0,50% dan -6,84%). Berbeda halnya dengan konsumsi daging sapi segar dalam bentuk tulang, laju konsumsi tulang bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan konsumsi daging sapi segar dalam bentuk tulang. Persentase laju konsumsi tulang secara nasional adalah sebesar 0,45 persen. Berdasarkan penelitian Hadiwijoyo (2009) penurunan konsumsi daging sapi segar diduga karena pendapatan rata-rata pendapatan penduduk Indonesia masih relatif rendah, sehingga perubahan pendapatan yang relatif rendah tersebut belum mampu meningkatkan permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Permintaan terhadap daging sapi segar hanya mengalami peningkatan hanya pada waktu-waktu tertentu saja seperti saat lebaran, natal, dan tahun baru. b. Konsumsi daging sapi olahan industri Berikut adalah konsumsi aktual daging sapi olahan industri berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 24). Tabel 24 Konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th
Kota 0.11 0.31 0.67
Wilayah Desa 0.02 0.04 0.09
0.04 0.11 0.25
0.00 0.00 0.00
0.14 0.39 0.84
0.02 0.05 0.11
Nasional 0.06 0.17 0.36 13.30 0.02 0.06 0.12 4.65 0.08 0.21 0.46 17.53
44
Lanjutan Tabel 24 Konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan
Kota 0.11 0.29 0.64
kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Wilayah Desa 0.02 0.04 0.09
0.10 0.29 0.62
0.02 0.06 0.12
0.14 0.37 0.80
0.03 0.08 0.16
0.11 0.29 0.64
0.02 0.05 0.10
36.24
-12.77
Nasional 0.06 0.16 0.35 13.64 0.06 0.17 0.36 14.12 0.08 0.22 0.47 18.99 0.06 0.16 0.35 13.71 43.40
Tabel 24 menggambarkan kondisi bahwa konsumsi daging sapi olahan industri
pada
penduduk
kota
maupun
nasional
cenderung
mengalami
peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (36,24% dan 43,40%). Berbeda halnya dengan persentase laju konsumsi pada penduduk desa yang bernilai negatif (-12,77%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi penduduk desa mengalami penurunan. Konsumsi daging sapi olahan industri tahun 2005 adalah sebesar 0,11 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 meningkat hingga 0,14 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,08 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th atau sebesar 0,29 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk desa adalah sebesar 0,02 kg/kap/th atau sebesar 0,05 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri secara nasional adalah sebesar 0,06 kg/kap/th atau sebesar 13,71 ribu ton/th. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2007 dan 2010 yaitu sebesar 0,14 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,04 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 0,03 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,00 kg/kap/th. Konsumsi terbesar Nasional terjadi pada tahun 2007 dan 2010 yaitu sebesar 0,08 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,02 kg/kap/th.
45
Daging sapi olahan industri terdiri atas dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya. Konsumsi dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya pada penduduk kota, desa, maupun nasional tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Konsumsi dendeng, abon, daging dalam kaleng, dan daging awetan lainnya (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Laju (%)
Jenis daging sapi olahan industri Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya Dendeng Abon Daging dalam kaleng Daging Awetan Lainnya
Kota 0.03 0.06 0.00 0.01 0.00 0.04 0.00 0.00 0.02 0.07 0.03 0.02 0.02 0.05 0.02 0.02 0.02 0.04 0.00 0.04 0.03 0.03 0.02 0.05 0.02 0.05 0.01 0.03 -17.32 -6 35.66 1.51
Wilayah Desa 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.01 0.00 0.01 0.00 0.00 18.08 0.01 0 -2.06
Nasional 0.02 0.04 0.00 0.01 0.00 0.02 0.00 0.00 0.01 0.04 0.02 0.01 0.01 0.03 0.01 0.01 0.01 0.02 0.00 0.02 0.02 0.02 0.01 0.03 0.01 0.03 0.01 0.01 -6.33 -40.59 -21.8 0.33
Tabel 25 menggambarkan bahwa rata-rata konsumsi dendeng pada penduduk kota adalah sebesar 0,02 kg/kap/th, 0 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,01 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi abon pada penduduk kota adalah sebesar 0,05 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,03 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging dalam kaleng pada penduduk kota adalah sebesar 0,01 kg/kap/th, 0 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,01 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging awetan lainnya pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,01
46
kg/kap/th. Konsumsi daging olahan industri terbesar adalah dalam bentuk abon, dan terendah dalam bentuk dendeng. Perkembangan konsumsi daging sapi olahan industri secara nasional dalam bentuk dendeng, abon, dan daging dalam kaleng mengalami penurunan, kecuali pada daging awetan lainnya. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai negatif (-6,33%, -40,59%, dan -21,8%). Persentase laju konsumsi daging sapi olahan industri daging awetan lainnya mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (0,33%). c. Konsumsi daging sapi makanan jadi Berikut adalah konsumsi aktual daging sapi makanan jadi berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 26). Tabel 26 Konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Kota 1.24 3.39 7.32
Wilayah Desa 0.54 1.49 3.22
1.08 2.97 6.41
0.47 1.28 2.78
1.35 3.69 7.96
0.57 1.57 3.40
1.46 3.99 8.62
0.62 1.70 3.67
1.41 3.85 8.31
0.60 1.64 3.55
1.43 3.93 8.48
0.62 1.69 3.65
1.33 3.63 7.85
0.57 1.56 3.38
3.70
3.25
Nasional 0.86 2.37 5.11 189.83 0.74 2.03 4.38 164.73 0.95 2.59 5.60 213.63 1.02 2.81 6.06 234.10 0.99 2.71 5.85 228.75 1.01 2.77 5.99 240.25 0.93 2.55 5.50 211.88 4.14
Tabel 26 menggambarkan kondisi bahwa konsumsi daging sapi makanan jadi baik pada penduduk kota, desa, maupun nasional cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (3,70%, 3,25% dan 4,14%).
47
Konsumsi daging sapi makanan jadi tahun 2005 adalah sebesar 1,24 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,54 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,86 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 meningkat hingga 1,43 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,62 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 1,01 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota adalah sebesar 1,33 kg/kap/th atau sebesar 3,63 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk desa adalah sebesar 0,57 kg/kap/th atau sebesar 1,56 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi secara nasional adalah sebesar 211,88 ribu ton/th. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 1,46 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 1,08 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2008 dan 2010 yaitu sebesar 0,62 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,47 kg/kap/th. Konsumsi terbesar Nasional terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 1,02 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,74 kg/kap/th. Daging
sapi
makanan
jadi
terdiri
atas
soto/gule/sop/rawon,
sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng. Konsumsi soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Konsumsi soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Jenis daging sapi olahan industri Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng
Kota 0.11 0.03 0.95 0.15 0.11 0.04 0.78 0.15 0.12 0.03 0.88 0.31 0.14 0.04 0.92 0.36 0.13 0.04 0.88 0.35
Wilayah Desa 0.03 0.01 0.47 0.04 0.04 0.01 0.38 0.03 0.05 0.01 0.44 0.07 0.05 0.01 0.47 0.09 0.05 0.02 0.46 0.08
Nasional 0.07 0.02 0.69 0.09 0.07 0.02 0.56 0.08 0.08 0.02 0.65 0.19 0.09 0.02 0.69 0.22 0.09 0.03 0.66 0.21
48
Lanjutan Tabel 27 Konsumsi soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, mie bakso, dan daging goreng (kg/kap/th) pada penduduk kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 Tahun
2010
Rata-rata
Laju (%)
Jenis daging sapi olahan industri Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng Soto/gule/sop/rawon Sate/tongseng Mie bakso Daging goreng
Kota 0.14 0.04 0.87 0.38 0.13 0.04 0.88 0.28 4.11 12.08 -1.18 25.68
Wilayah Desa 0.05 0.02 0.46 0.09 0.04 0.01 0.45 0.07 7.1 11.56 0.6 28.5
Nasional 0.09 0.03 0.66 0.23 0.08 0.02 0.65 0.17 5.31 12.13 -0.11 28.28
Tabel 27 menggambarkan bahwa rata-rata konsumsi soto/gule/sop/rawon pada penduduk kota adalah 0,11 kg/kap/th, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,07 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi sate/tongseng pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi mie bakso pada penduduk kota adalah sebesar 0,95 kg/kap/th, 0,47 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional 0,69 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging goreng pada penduduk kota adalah sebesar 0,15 kg/kap/th, 0,04 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,09 kg/kap/th. Konsumsi daging sapi makanan jadi terbesar dalam bentuk mie bakso, dan terendah dalam bentuk sate/tongseng. Perkembangan konsumsi daging sapi makanan jadi dalam bentuk soto/gule/sop/rawon, sate/tongseng, dan daging goreng mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (5,31%, 12,23%, dan 28,28%). Namun, konsumsi mie bakso mengalami penurunan, hal ini terlihat dari rata-rata persentase laju yang bernilai negatif (-0,11%). Walaupun berdasarkan persentase laju konsumsi mie bakso mengalami penurunan, namun konsumsi mie bakso masih menjadi konsumsi terbesar diantara jenis daging sapi makanan jadi lainnya. Pengeluaran rata-rata per bulan (Tabel 11) menunjukkan bahwa pengeluaran terbesar ada pada mie bakso, bahkan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah pengeluaran yang semakin besar dan persentase laju konsumsi aktual pada mie bakso mengalami penurunan, maka hal ini dapat mengindikasikan bahwa peningkatan harga pada mie bakso tidak mempengaruhi permintaan masyarakat. Hal ini dikarenakan
49
masyarakat Indonesia yang sangat menyenangi bakso. Selain itu menurut Suratmo (2005) perlu adanya suatu kewaspadaan keamanan pangan terhadap produk-produk olahan daging sapi, hal ini dikarenakan selama tahun 2005 sampai periode Januari-Juli hasil pelaksanaan pengawasan terhadap produk pangan olahan berbasis ternak sebanyak 726 sampel, dimana 86 sampel (6%) diantaranya tidak memenuhi syarat, salah satunya adalah produk bakso (55,8%). d. Konsumsi hati sapi Berikut adalah konsumsi aktual hati sapi makanan jadi berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 28). Tabel 28 Konsumsi hati sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 20052010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Kota 0.14 0.38 0.83
Wilayah Desa 0.03 0.07 0.15
0.05 0.14 0.31
0.00 0.00 0.00
0.17 0.46 0.99
0.04 0.10 0.22
0.12 0.33 0.72
0.04 0.10 0.22
0.09 0.24 0.52
0.02 0.06 0.14
0.09 0.25 0.54
0.04 0.10 0.22
0.11 0.30 0.65
0.03 0.07 0.16
21.37
-19.65
Nasional 0.08 0.21 0.46 17.22 0.05 0.14 0.31 11.61 0.10 0.27 0.59 22.35 0.08 0.21 0.46 17.86 0.05 0.15 0.32 12.65 0.06 0.17 0.38 15.06 0.07 0.19 0.42 16.13 4.27
Tabel 28 menggambarkan kondisi bahwa konsumsi hati sapi pada penduduk kotamaupun nasional cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (21,37% dan 4,27%). Berbeda halnya dengan persentase laju konsumsi pada penduduk desa yang bernilai
50
negatif (-19,65%). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi penduduk desa mengalami penurunan. Konsumsi hati sapi tahun 2005 adalah sebesar 0,14 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,08 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 menurun hingga 0,09 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,04 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th atau sebesar 0,30 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk desa adalah sebesar 0,03 kg/kap/th atau sebesar 0,07 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi hati sapi secara nasional adalah sebesar 0,07 kg/kap/th atau sebesar 16,13 ribu ton. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,17 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,05 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar 0,04 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,00 kg/kap/th. Konsumsi terbesar nasional terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,10 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,05 kg/kap/th. e. Konsumsi jeroan sapi Berikut adalah konsumsi aktual jeroan sapi makanan jadi berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 29). Tabel 29 Konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 20052010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th
Kota 0.03 0.09 0.19
Wilayah Desa 0.01 0.04 0.08
0.02 0.06 0.13
0.02 0.06 0.13
0.04 0.11 0.23
0.02 0.04 0.09
0.03 0.07 0.16
0.01 0.04 0.08
0.03 0.07 0.15
0.01 0.02 0.05
Nasional 0.02 0.06 0.13 4.78 0.02 0.06 0.13 4.88 0.03 0.07 0.16 5.93 0.02 0.05 0.12 4.57 0.02 0.05 0.10 3.90
51
Lanjutan Tabel 29 Konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 2005-2010 Tahun
2010
Rata-rata Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th %
Kota 0.03 0.07 0.15
Wilayah Desa 0.02 0.05 0.10
0.03 0.08 0.17
0.01 0.04 0.09
1.98
17.32
Nasional 0.02 0.06 0.12 5.02 0.02 0.06 0.13 4.85 1.27
Tabel 29 menggambarkan kondisi bahwa konsumsi jeroan sapi baik pada penduduk kota, desa,maupun nasional cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (1,98%, 17,32%, dan 1,27%). Konsumsi jeroan sapi tahun 2005 adalah sebesar 0,03 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 adalah 0,03 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th atau sebesar 0,08 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk desa adalah sebesar 0,01 kg/kap/th atau sebesar 0,04 g/kap/hr. Rata-rata konsumsi jeroan sapi secara nasional adalah sebesar 0,02 kg/kap/th atau sebesar 4,85 ribu ton. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,04 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,02 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 0,02 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 0,01 kg/kap/th. Konsumsi terbesar Nasional terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,03 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu sebesar 0,02 kg/kap/th. Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih senang mengkonsumsi jeroan menjadi faktor yang mempengaruhi konsumsi jeroan. Bahkan tren konsumsi jeroan diperkirakan meningkat karena melemahnya daya beli terhadap daging sapi (Anonim b 2009). Namun, hal ini bertolak belakang dengan kondisi konsumsi aktual jeroan sapi (Tabel 29). Faktor yang menyebabkannya adalah jeroan sapi selain dikonsumsi langsung untuk makan sehari-hari masyarakat, jeroan juga diduga digunakan untuk menambah bahan baku bakso, soto, sate dan lain-lain. Konsumsi makanan jadi tersebut berdasarkan Tabel 26 dan 27
52
memang lebih besar dibandingkan jenis konsumsi daging sapi lainnya. Tingginya impor jeroan sapi juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi
jeroan
di
masyarakat.
Tersedianya
jeroan
di
tengah-tengah
masyarakat dalam jumlah besar, secara otomatis akan menurunkan harga jeroan di pasar dan akhirnya jumlah permintaan terhadap jeroan juga meningkat. Tahun 2009 harga daging sapi rata-rata mencapai Rp 64.000/kg, sedangkan harga jeroan sapi hanya sekitar Rp 18.000/kg. Berdasarkan laju rata-rata impor jeroan (Tabel 15), impor jeroan memang mengalami peningkatan dengan rata-rata 41,9 ribu ton. f. Jumlah konsumsi daging sapi Berikut adalah jumlah konsumsi aktual daging sapi berdasarkan wilayah kota, desa, dan nasional tahun 2005-2010 (Tabel 30). Tabel 30 Jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota, desa, nasional tahun 2005-2010 Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Laju
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th %
Kota 2.19 5.99 12.93
Wilayah Desa 0.82 2.25 4.86
1.81 4.95 10.70
0.60 1.63 3.52
2.40 6.59 14.23
0.82 2.24 4.84
2.33 6.38 13.78
0.83 2.28 4.93
2.19 5.99 12.94
0.80 2.19 4.74
2.31 6.32 13.65
0.86 2.36 5.09
2.20 6.04 13.04
0.79 2.16 4.66
2.39
3.06
Nasional 1.46 4.00 8.64 321.13 1,793,813 1.17 3.21 6.93 260.79 1,456,754 1.58 4.33 9.35 356.63 1,992,117 1.56 4.26 9.21 355.48 1,985,727 1.47 4.03 8.70 340.12 1,899,897 1.56 4.27 9.23 370.34 2,068,705 1.47 4.02 8.68 334.08 1,866,169 2.83
53
Tabel 30 menggambarkan kondisi bahwa jumlah konsumsi daging sapi baik pada penduduk kota, desa,maupun nasional cenderung mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari persentase laju yang bernilai positif (2,39%, 3,06%, dan 2,83%). Jumlah konsumsi daging sapi tahun 2005 adalah sebesar 2,19 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,82 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 1,46 kg/kap/th. Konsumsi tahun 2010 meningkat hingga 2,31 kg/kap/th pada penduduk kota, 0,86 kg/kap/th pada penduduk desa, dan nasional sebesar 1,56 kg/kap/th. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota adalah sebesar 2,20 kg/kap/th atau sebesar 6,04 g/kap/hr. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk desa adalah sebesar 0,79 kg/kap/th atau sebesar 2,16 g/kap/hr. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi secara nasional adalah sebesar 1,47 kg/kap/th atau sebesar 334,08 ribu ton/th, jika dikonversi menjadi ekor sapi maka setara dengan 1.866.169 ekor sapi. Konsumsi terbesar penduduk kota terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 2,40 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 1,81 kg/kap/th. Konsumsi terbesar penduduk desa terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 0,86 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,60 kg/kap/th. Konsumsi terbesar nasional terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 1,58 kg/kap/th, sedangkan konsumsi terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 1,17 kg/kap/th. Berbagai
hasil
penelitian
menunjukkan
banyak
faktor
yang
mempengaruhi konsumsi daging sapi di Indonesia. Rusman dan Suharyanto (2010) menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Selain faktor penduduk, faktor yang turut mendorong meningkatnya permintaan daging sapi adalah terjadinya pergeseran pola konsumsi masyarakat dari bahan pangan sumber protein nabati ke bahan pangan sumber protein hewani. Sunari et al (2010) menambahkan bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk kota 1000 orang, konsumsi daging akan naik 6 ton. Ada 3 variabel yang berpengaruh terhadap konsumsi daging sapi lokal, yaitu rasio harga riil daging impor dengan daging lokal, jumlah penduduk kota, dan pendapatan per kapita. Konsumsi daging lokal turun 1,8 ton apabila rasio harga naik 1 persen (sapi lokal menjadi lebih mahal). Pengaruh jangka pendek dan jangka panjang yang tidak responsif (elastisitas 0), menunjukkan bahwa
54
konsumen daging sapi adalah golongan menengah ke atas yang tidak terpengaruh oleh perubahan harga (Sunari et al 2010). Selain itu Kariyasa (2004) menambahkan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu harga pangan hewani lainnya, jumlah penduduk, selera, pendapatan perkapita, harga daging sapi, dan krisis ekonomi. Namun dalam penelitiannya, Kariyasa menyebutkan bahwa konsumsi daging sapi sangat respon terhadap perubahan harga daging sapi itu sendiri, pendapatan per kapita, dan harga pangan hewani lainnya. Berbeda pendapat dengan Rusman dan Suharyanto serta Sunari, Kariyasa menyebutkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk tidak secara otomatis meningkatkan jumlah konsumsi daging sapi.Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia konsumsi daging sapi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu saja, misalnya hari besar keagamaan. Sunari et al (2010) menyatakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita Rp 1000 akan meningkatkan konsumsi daging sebesar 76,2 ton. Walaupun konsumsi aktual daging sapi mengalami peningkatan, namun jika jumlah konsumsi aktual dibandingkan dengan sasaran konsumsi Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan, maka konsumsi aktual masih jauh dari sasaran (Tabel 29). Tabel 31 Perbandingan antara sasaran konsumsi (RAPKP) (kg/kap/th) dengan jumlah konsumsi daging sapi aktual (kg/kap/th) tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sasaran konsumsi daging sapi (RAPKP) 1.72 1.79 1.86 1.94 2.01 2.09
Jumlah konsumsi daging sapi aktual 1.46 1.17 1.58 1.56 1.47 1.56
Selisih -0.26 -0.62 -0.28 -0.38 -0.54 -0.53
Tabel 29 menggambarkan bahwa konsumsi aktual belum mencapai sasaran yang terdapat di RAPKP, hal ini terlihat dari selisih yang bernilai negatif. Selisih ini dari tahun ke tahun terlihat mengalami peningkatan, sehingga mengindikasikan bahwa sasaran konsumsi daging sapi sulit dicapai. Konsumsi daging sapi ideal Konsumsi daging sapi ideal dihitung dengan persentase konsumsi daging sapi aktual terhadap konsumsi pangan hewani ideal WKNPG sebesar 240 Kal. Berdasarkan hasil perhitungan konsumsi ideal daging sapi adalah sebesar 2,46 kg/kap/th atau sebesar 6,75 g/kap/hr, jika dikonversi menjadi ekor sapi maka untuk memenuhi konsumsi ideal rata-rata penduduk (227.614.000 orang) dibutuhkan 3.124.131 ekor sapi. Konsumsi daging sapi ideal dipakai sebagai
55
pembanding dengan konsumsi aktual daging sapi. Berikut adalah komposisi ideal daging sapi dan pangan hewani lainnya berdasarkan rata-rata persentase konsumsi energi aktual pada tahun 2005-2010 (Tabel 32). Tabel 32 Komposisi konsumsi energi ideal pangan hewani Konsumsi pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Pangan Hewani Daging sapi Daging kerbau Daging kambing Daging babi Daging lainnya Daging unggas Telur Susu Ikan Total
Kebutuhan pangan ideal berdasarkan pph Tingkat gr/kap/ kg/kap/ ton/ konsumsi ekor/th hr thn th kkal/kap/hr 559.28 3,124,131 14.59 6.75 2.46 0.10 0.13 0.05
aktual (kkal/kap/hr)
%
8.63 0.06
6.08 0.04
0.20
0.14
0.34
0.23
0.08
3.07 0.53 38.71 30.79 3.26 56.80 142.06
2.16 0.38 27.25 21.68 2.30 39.98 100.00
5.18 0.90 65.39 46.82 5.51 76.77 240.00
1.14 0.47 20.27 27.27 8.82 67.93 133.02
0.42 0.17 7.40 9.96 3.22 24.80 48.55
Berikut adalah selisih konsumsi aktual dengan konsumsi ideal daging sapi tahun 2005-2010 (Tabel 33). Tabel 33 Selisih konsumsi aktual dengan konsumsi ideal daging sapi tahun 2005-2010 Wilayah Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th
Kota
Desa
Nasional
-0.28 -0.74 -1.61
-1.64 -4.48 -9.68
-0.66 -1.78 -3.84
-1.87 -5.10 -11.02
-0.06 -0.15 -0.31
-1.65 -4.49 -9.70
-0.14 -0.35 -0.76
-1.63 -4.45 -9.61
-0.28 -0.74 -1.60
-1.66 -4.54 -9.80
-1.00 -2.73 -5.90 -238.15 -1,330,318 -1.29 -3.52 -7.61 -298.49 -1,667,377 -0.88 -2.40 -5.19 -202.65 -1,132,014 -0.91 -2.47 -5.34 -203.80 -1,138,405 -0.99 -2.70 -5.84 -219.16 -1,224,235
56
Lanjutan Tabel 33 Selisih konsumsi aktual dengan konsumsi ideal daging sapi tahun 2005-2010 Tahun
2010
Rata-rata
Satuan kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th kg/kap/th gr/kap/hr Kal/kap/hr ribu ton/th ekor/th
Kota -0.16 -0.41 -0.89
Wilayah Desa -1.60 -4.37 -9.45
-0.26 -0.70 -1.50
-1.68 -4.57 -9.88
Nasional -0.91 -2.46 -5.32 -188.94 -1,055,427 -1.00 -2.72 -5.86 -225.20 -1,257,963
Selisih konsumsi aktual dan ideal daging sapi tahun 2005-2010 di Indonesia pada Tabel 33. Tabel 33 menggambarkan bahwa konsumsi aktual daging sapi pada penduduk kota, desa, maupun secara nasional masih jauh dari ideal. Hal ini terlihat dari selisih yang bernilai negatif. Rata-rata selisih pada penduduk kota adalah sebesar –0.26 kg/kap/th atau sebesar -0.70 g/kap/hr. Selisih pada penduduk desa sebesar –1.68 kg/kap/th atau sebesar –4.57 g/kap/hr. Selisih konsumsi aktual dan ideal secara nasional adalah sebesar -1 kg/kap/th atau sebesar -225,20 ribu ton/th, jika dikonversi menjadi ekor sapi maka jumlah sapi masih kurang sebanyak -1.257.963 ekor/th dengan rata-rata berat sapi 405,8 kg/sapi. Berdasarkan konsumsi ideal tersebut penduduk Indonesia masih mengkonsumsi daging sapi dalam jumlah kecil, padahal daging sapi merupakan sumber zat besi yang baik. Zat besi dalam daging mempunyai ketersediaan biologik yang tinggi dibandingkan dengan sumber dari nabati. Daryanto dalam Sunari (2010) menambahkan bahwa daging sapi mengandung 10 macam asam amino esensial dan asam lemak (terutama conjungated linoleic acid) yang bermanfaat bagi pertumbuhan neuron pada otak, dan selanjutnya neuron ini menentukan tingkat kecerdasan manusia. Terdapat korelasi positif antara kecerdasan dengan konsumsi daging per kapita suatu negara. Negara yang tingkat konsumsi protein hewaninya tinggi, umumnya memiliki nilai human development index yang tinggi. Kecukupan Terhadap Konsumsi Daging Sapi Kecukupan sumberdaya terhadap konsumsi daging sapi di Indonesia dilihat dari kemampuan ketersediaan untuk memenuhi konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2010. Hal tersebut dilihat dari dua sisi yaitu ketersediaan dengan memperhatikan impor (on trend) dan ketersediaan tanpa
57
memperhatikan impor (absolut) terhadap konsumsi aktual dan ideal daging sapi. Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi daging sapi akan menggambarkan kondisi kemandirian dan ketahanan pangan (daging sapi) di Indonesia. Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi daging sapi diterjemahkan sebagai selisih antara ketersediaan dengan konsumsi daging sapi. Kecukupan terhadap konsumsi aktual Kecukupan sumberdaya terhadap konsumsi aktual akan menggambarkan kondisi ketersediaan daging sapi untuk memenuhi konsumsi penduduk Indonesia. Berikut adalah kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi aktual daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 pada Tabel 34. Tabel 34 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi aktual daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Ketersediaan daging sapi on trend 330.05 364.70 338.67 391.72 422.96 471.70 386.63
Konsumsi aktual daging sapi 321.13 260.79 356.63 355.48 340.12 370.34 334.08
Selisih 8.92 103.91 -17.96 36.23 82.84 101.36 52.55
Tabel 34 menggambarkan bahwa rata-rata kecukupan ketersediaan daging sapi dengan memperhatikan impor (on trend) dari tahun 2005 sampai 2010 mampu memenuhi konsumsi aktual daging sapi penduduk Indonesia. Hal ini terlihat dari nilai kecukupan yang bernilai positif, kecuali pada tahun 2007. Rata-rata kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi adalah sebesar 52,55 ribu ton/th. Tahun 2007 ketersediaan belum mampu menutupi konsumsi aktual daging sapi penduduk Indonesia. Untuk mencukupi konsumsi pada tahun 2007, ketersediaan masih kurang -17,96 ribu ton/th. Gambaran kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor (absolut) terhadap konsumsi aktual daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi aktual daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Ketersediaan daging sapi absolut 275.05 303.70 259.67 299.72 311.55 331.31 296.83
Konsumsi aktual daging sapi 321.13 260.79 356.63 355.48 340.12 370.34 334.08
Selisih -46.08 42.91 -96.96 -55.76 -28.57 -39.03 -37.25
58
Tabel 35 menggambarkan bahwa rata-rata kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) belum mampu memenuhi konsumsi aktual penduduk Indonesia, kecuali pada tahun 2006. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi aktual dari ketersediaan absolut daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 adalah sebesar 37,25 ribu ton/th. Jika proyeksi konsumsi daging sapi aktual tahun 2012 adalah sebesar 1,83 kg/kap/th, dengan pertimbangan konsumsi tahun 2011 adalah sebesar 1,68 kg/kap/th, laju konsumsi aktual sebesar 2,83%, dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2012 adalah 239.174.300 orang maka untuk memenuhi konsumsi daging sapi tahun 2012 adalah sebesar 437,36 ribu ton/th. Namun, berdasarkan hasil sensus sapi tahun 2011, stok pada tahun 2012 hingga akhir bulan adalah sebesar 101.255.154 kg jeroan dan daging sapi murni sebesar 303.360.442 kg, sehingga jika di total stok tahun 2012 adalah sebesar 404.615.596 kg atau sebanyak 404,62 ribu ton. Berdasarkan data tersebut maka selisih jumlah daging sapi antara konsumsi aktual dan produksi daging sapi (sensus sapi) tahun 2012 adalah sebesar -32,74 ribu ton, sehingga dari selisih tersebut Indonesia masih membutuhkan impor untuk memenuhi konsumsi penduduknya. Responden dalam Susenas adalah rumah tangga, namun ada rumah tangga yang tidak tercakup dalam Susenas adalah a) Orang yang tinggal di asrama, yaitu suatu tempat tinggal yang pengurusan kebutuhan sehari-harinya diatur oleh suatu yayasan atau badan, misalnya asrama perawat, asrama ABRI (tangsi), dan asrama karyawan/mahasiswa; b) Orang-orang yang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan, Panti Asuhan dan sebagainya; c) Sekelompok orang yang mondok dengan makan/indekos yang berjumlah 10 orang atau lebih (BPS 2010). Berdasarkan hal tersebut maka perlu diperhatikan juga jumlah konsumsi aktual rumah tangga di luar yang dimaksud oleh Susenas. Hal ini tentu akan menentukan jumlah konsumsi aktual lebih riil, sehingga ketersediaan daging sapi dapat direncanakan lebih sesuai dengan konsumsi aktual. Kecukupan terhadap konsumsi ideal Kecukupan ketersediaan terhadap konsumsi ideal bisa menjadi ukuran apakah Indonesia sudah bisa dikatakan tahan pangan (hewani) atau tidak. Ketahanan pangan (hewani) tercapai jika skor PPH pangan hewani bernilai 24. Gambaran kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi ideal daging sapi dapat dilihat pada Tabel 36.
59
Tabel 36 Kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi ideal daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Ketersediaan daging sapi on trend 330.05 364.70 338.67 391.72 422.96 471.70 386.63
Konsumsi ideal daging sapi
559.28
Selisih -229.24 -194.58 -220.61 -167.57 -136.32 -87.58 -172.65
Tabel 36 menggambarkan bahwa kondisi kecukupan ketersediaan on trend daging sapi tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) maka perlu ditambahkan sebanyak 172,65 ribu ton/th daging sapi. Namun, jumlah tersebut belum tentu mengantarkan pada kemandirian pangan (daging sapi), oleh karena itu perlu adanya gambaran kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi ideal daging sapi (Tabel 35).
Tabel 37 Kecukupan ketersediaan absolut terhadap konsumsi ideal daging sapi (ribu ton/th) di Indonesia tahun 2005-2010 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Ketersediaan daging sapi absolut 275.05 303.70 259.67 299.72 311.55 331.31 296.83
Konsumsi ideal daging sapi
559.28
Selisih -284.24 -255.58 -299.61 -259.56 -247.73 -227.97 -262.45
Tabel 37 menggambarkan bahwa kondisi kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi atau absolut tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) dari ketersediaan absolut maka perlu ditambahkan sebanyak 262,45 ribu ton/th daging sapi.
60
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kondisi produksi dan impor daging sapi segar nasional mengalami peningkatan (2,91% dan 34,19%) dengan rata-rata produksi daging sapi segar sebesar 233,11 ribu ton/th, sedangkan impor daging sapi segar sebesar 47,90 ribu ton/th. Kondisi produksi dan impor jeroan sapi tahun 2005-2010 juga mengalami peningkatan (2,91% dan 5,94%) dengan rata-rata produksi jeroan sapi sebesar 77,78 ribu ton/th, sedangkan impor jeroan sapi sebesar 119,67 ribu ton/th. Persentase produksi daging sapi (termasuk jeroan) terhadap jumlah produksi dan impor mengalami penurunan (83,91% menjadi 71,31%), sedangkan impor daging sapi (termasuk jeroan) mengalami peningkatan (16,09% menjadi 28,69%). Persentase ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum swasembada daging sapi baik swasembada on trend maupun absolut. Rata-rata ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi dengan memperhatikan impor (on trend) sebesar 1,69 kg/kap/th, sedangkan ketersediaan daging sapi untuk dikonsumsi tanpa memperhatikan impor (absolute) adalah sebesar 1,3 kg/kap/th. 2. Rata-rata konsumsi daging sapi segar pada penduduk kota adalah sebesar 0,63 kg/kap/th, 0,16 pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,38 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi olahan industri pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,02 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,06 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi daging sapi makanan jadi pada penduduk kota adalah sebesar 1,33 kg/kap/th, 0,57 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,93 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi hati sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,11 kg/kap/th, 0,03 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,07 kg/kap/th. Rata-rata konsumsi jeroan sapi pada penduduk kota adalah sebesar 0,03 kg/kap/th, 0,01 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 0,02 kg/kap/th. Rata-rata jumlah konsumsi daging sapi pada penduduk kota adalah sebesar 2,2 kg/kap/th, 0,79 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar 1,47 kg/kap/th. Jumlah konsumsi daging sapi baik pada penduduk kota, desa, maupun nasional cenderung mengalami peningkatan (2,39%, 3,06%, dan 2,83%). Jenis konsumsi daging sapi terbesar baik kota, desa, maupun nasional adalah daging sapi makanan jadi (contoh:
61
mie bakso, daging goreng, soto, dst). Konsumsi daging sapi terendah baik kota, desa, maupun nasional adalah jeroan sapi. 3. Konsumsi ideal daging sapi adalah sebesar 2,46 kg/kap/th. Konsumsi aktual daging sapi pada penduduk kota, desa, maupun secara nasional masih kurang dari ideal. Rata-rata selisih pada penduduk kota adalah sebesar –0,26 kg/kap/th, –1,68 kg/kap/th pada penduduk desa, dan secara nasional sebesar -1 kg/kap/th. 4. Kecukupan ketersediaan daging sapi dengan memperhatikan impor (on trend) dari tahun 2005 sampai 2010 mampu memenuhi konsumsi aktual daging sapi penduduk Indonesia. Rata-rata kecukupan ketersediaan on trend terhadap konsumsi daging sapi adalah sebesar 52,55 ribu ton/th. Rata-rata kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) belum mampu memenuhi konsumsi aktual penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi aktual dari ketersediaan absolut daging sapi di Indonesia tahun 2005-2010 adalah sebesar 37,25 ribu ton/th. Kecukupan ketersediaan on trend daging sapi tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) maka perlu ditambahkan sebanyak 172,65 ribu ton/th daging sapi. Kecukupan ketersediaan tanpa memperhatikan impor daging sapi (absolut) tidak mampu memenuhi konsumsi ideal penduduk Indonesia. Rata-rata untuk mencukupi konsumsi ideal atau mencapai skor PPH pangan hewani (daging sapi) dari ketersediaan absolut maka perlu ditambahkan sebanyak 262,45 ribu ton/th daging sapi. Saran 1. Perlunya
perhitungan
konsumsi
daging
sapi
secara
akurat
dengan
menggunakan data primer seperti data konsumsi luar rumah tangga dan industri. 2. Perlunya memperhatikan keamanan pangan pada makanan jadi, mengingat tingginya konsumsi makanan jadi.
62
DAFTAR PUSTAKA Abrar. 2009. Analisis kemandirian pangan asal ternak dalam memantapkan ketahanan pangan Kabupaten Lampung www.repository.ipb.ac.id. [13 Maret 2012]
rangka Barat.
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Anonim a. 2010. Pentingnya Kandungan Gizi Daging Sapi Bagi Tubuh. www.anneahira.com [26 November 2011] Anonim b. 2009. Tidak Sehat, RI Siap www.detikfinance.com [18 Februari 2012]
Kurangi
Impor
Jeroan.
Anonim c. 2011. Daging Sapi. www.wikipedia.org.id. [1 November 2011] Anonim d. 2009. Konsumsi Jeroan Terus Naik. www.kompas.com [18 Februari 2012] Astuti, Susilo. 2010. Manfaat Daging Sapi bagi Tubuh Manusia. www. cybex.DEPTAN.go.id [26 November 2011] [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No 01-3707-1995: Abon Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No 01-3818-1995: Bakso Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI No 01-3020-1995: Sosis Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. Baliwati, Yayuk F. 2010. Penilaian Ketersediaan Sumberdaya Pangan Wilayah. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Baliwati, Yayuk F dan Retnaningsih. 2004. Kebutuhan Gizi. Di dalam: Pengantar Panga dan Gizi (hlm. 64-68). Baliwati YF, Khomsan A &Dwiriani CM, edit. Bogor: Penebar Swadaya. Baliwati, Yayuk F dan Katrin Roosita.2004. Sistem Pangan dan Gizi. Di dalam: Pengantar Panga dan Gizi (hlm. 35-44). Baliwati YF, Khomsan A &Dwiriani CM, edit. Bogor: Penebar Swadaya. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2004-2005. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2005-2006. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2006-2007. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
63
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2007-2008. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
[BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2008-2009. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2005. Neraca Bahan Makanan Indonesia Tahun 2009-2010. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BKP] Badan Ketahanan Pangan. 2011. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. [BKP dan IPB] Badan Ketahanan Pangan dan Institut Pertanian Bogor. 2011. Laporan Kajian Faktor Koreksi Konsumsi Daging Sapi di Indonesia. [Tidak Dipublikasikan]. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2010. Konsep Rumah Tangga dalam Survey Sosial Ekonomi. 2010. www.bps.go.id [26 November 2011] [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2005. Rencana Aksi Pemantapan Ketahanan Pangan 2005-2010. Jakarta: Badan Peneitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian [DITJENAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Road Map Perbibitan Ternak. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian [DITJENAK] Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan, Kementrian Pertanian. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Panduan Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. Hadiwijoyo, Aditya. 2009. Analisis permintaan dan penawaran domestik daging sapi Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah dan Victor Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Serat Makanan. Soekirman et al, editor. Di dalam: Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII ‘Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. Harper, Laura Jane et al. 2006.Pangan, Gizi dan Pertanian.Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food, Nutrition and Agriculture. Ilham, Nyak. 2006. Analisis Sosial Ekonomi dan Strategi Pencapaian Swasembada Daging 2010. Makalah disampaikan pada pertemuan
64
”Koordinasi Teknis Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia”, Ditjen Peternakan. Bogor 27 April 2006.Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Kariyasa, Ketut. 2004. Analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia sebelum dan saat krisis ekonomi: suatu analisis proyeksi swasembada daging sapi 2005. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 19 Tahun 2010 Tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Departemen Pertanian [KEMENTAN] Kementerian Pertanian. 2011. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 50 Tahun 2011 Tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian. Lukman, Denny S. 2008. Daging dan Produk Olahannya. www.blogspot.com [1November 2011] [PERSAGI] Persatuan Ahli Gizi Indonesia.2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Mahmud, Mien K & Nils Aria Zulfianto, edit. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Rusman, Muhammad dan Suharyanto. 2010. Analisis permintaan daging sapi di Sulawesi Tenggara (model analisis permintaan dinamis). www.unud.ac.id [20 November 2011] Segoro, Lindu Andi. 2007. Mempelajari teknologi pengolahan sosis dan dendeng sapi PT.Tirta Ratna Unit Badranaya Bandung, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soerianegara, Ishemat. 1977. Pengelolaan Sumberdaya Alam Bagian I. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Sunari, Anwar, Noor Avianto dan Nail Ritinov. 2010. Naskah Kebijakan (Policy Paper): Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS Suratmo. 2005. Keamanan Pangan Produk Olahan Berbasis Produk Ternak. Makalah disampaikan pada lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan. www.peternakan.litbang.deptan.go.id. [18 Februari 2012] Suryana, Achmad. 2004. Arah dan strategi perwujudan ketahanan pangan. Jakarta: Departemen Pertanian. Sutanto, Adi dan Maleha. 2006. Kajian Konsep Ketahanan Pangan. Vol.13.No.2.Th.2006 . www.ejournal.umm.ac.id [1 November 2011]
65
Windhiarsiany. 1996. Aspek teknologi pengolahan abon dan sanitasi di perusahaan Jitu Maju Salatiga, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
66
LAMPIRAN
LAMPIRAN
67
Lampiran 1 Jumlah produksi dan impor daging sapi dan jeroan tahun 2005-2010 Produksi
Tahun
Impor
Daging sapi
Jeroan
Daging sapi
Jeroan
2005
215.05
71.75
20.00
35.00
2006
237.53
79.25
24.00
37.00
2007
203.81
68.00
39.00
40.00
2008
235.28
78.50
46.00
46.00
2009
245.36
81.86
67.91
43.51
2010
261.63
87.29
90.51
49.89
Rata-rata
233.11
77.78
47.90
41.90
Lampiran 2 Laju produksi, impor, dan jumlah daging sapi tahun 2005-2010 Tahun
Produksi domestik 000 ton
Impor
Jumlah
Laju
000 ton
Laju
000 ton
Laju
2005-2006
317
10.45
61
10.91
378
10.53
2006-2007
272
-14.20
79
29.51
351
-7.14
2007-2008
314
15.44
92
16.46
406
15.67
2008-2009
327
4.28
111
21.10
439
8.10
2009-2010
349
6.63
140
26.01
489
11.55
Rata-rata
311
4.52
90
20.80
401
7.74
68
Lampiran 3 Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2005-2007 grup
No
Jenis pangan
4.1
1
Daging sapi
4.2
1
Dendeng
4.2
2
Abon
4.2
3
4.2
Satuan
gram
2005
2006
2007
kg/kap/minggu
kg/kap/minggu
kg/kap/minggu
Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kota
Desa
kg
1000
0.007960
0.011947
0.004170
0.006000
0.011000
0.002000
0.007900
0.013000
0.003200
kg
1000
0.000153
0.000329
0.000002
0.000000
0.000000
0.000000
0.000100
0.000200
0.000000
ons
100
0.003509
0.005929
0.001442
0.002000
0.004000
0.000000
0.003700
0.006400
0.001100
Daging dalam kaleng
kg
1000
0.000038
0.000079
0.000003
0.000000
0.000000
0.000000
0.000300
0.000600
0.000100
4
Lainnya-daging awetan
kg
1000
0.000230
0.000472
0.000024
0.000000
0.000000
0.000000
0.000500
0.000900
0.000100
4.3
1
Hati
kg
1000
0.001502
0.002691
0.000487
0.001000
0.001000
0.000000
0.001900
0.003200
0.000700
4.3
2
Jeroan
kg
1000
0.000993
0.001467
0.000590
0.001000
0.001000
0.001000
0.001200
0.001800
0.000700
4.3
3
Tetelan
kg
1000
0.001843
0.003555
0.000382
0.002000
0.003000
0.000000
0.001500
0.002600
0.000400
4.3
4
Tulang
kg
1000
0.000900
0.001410
0.000465
0.001000
0.002000
0.000000
0.001200
0.002000
0.000500
13
12
Soto/gule/sop
porsi
250
0.080509
0.128987
0.039121
0.084000
0.129000
0.049000
0.094800
0.139700
0.052800
13
13
Sate/tongseng
tsk
25
0.040172
0.060157
0.023110
0.052000
0.082000
0.028000
0.052900
0.076300
0.031100
13
14
Mie(bakso/rebus/goreng)
porsi
250
0.422096
0.582140
0.285459
0.344000
0.481000
0.235000
0.401800
0.539700
0.272900
13
18
Ayam/daging (goreng,bakar,dll)
ptg
150
0.033842
0.057607
0.013553
0.032000
0.058000
0.012000
0.071600
0.119400
0.027000
Sumber
: Survey Sosial Ekonomi, BKP
68
69
Lampiran 4 Data dasar konsumsi daging sapi tahun 2008-2010 grup
No
Jenis pangan
4.1
1
Daging sapi
4.2
1
4.2
2
4.2
Satuan
gram
2008
2009
2010
kg/kap/minggu
kg/kap/minggu
kg/kap/minggu
Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kota
Desa
Kg
1000
0.006864
0.011327
0.002693
0.006432
0.010371
0.002751
0.007066
0.011428
0.002991
Dendeng
Kg
1000
0.000114
0.000188
0.000045
0.000139
0.000184
0.000097
0.000193
0.000256
0.000134
Abon
ons
100
0.002535
0.004599
0.000606
0.001874
0.003401
0.000447
0.001841
0.003291
0.000486
3
Daging dalam kaleng
Kg
1000
0.000162
0.000304
0.000029
0.000066
0.000093
0.000041
0.000237
0.000428
0.000058
4.2
4
Lainnya-daging awetan
Kg
1000
0.000496
0.000919
0.000101
0.000902
0.001707
0.000150
0.001085
0.002017
0.000213
4.3
1
Hati
Kg
1000
0.001499
0.002338
0.000714
0.001049
0.001688
0.000451
0.001216
0.001763
0.000705
4.3
2
Jeroan
Kg
1000
0.000914
0.001241
0.000608
0.000769
0.001154
0.000410
0.000964
0.001151
0.000790
4.3
3
Tetelan
Kg
1000
0.001218
0.002025
0.000464
0.001142
0.002024
0.000318
0.001226
0.002124
0.000386
4.3
4
Tulang
Kg
1000
0.001029
0.001495
0.000594
0.000576
0.000882
0.000290
0.000746
0.001109
0.000407
13
12
Soto/gule/sop
porsi
250
0.103629
0.157563
0.053222
0.101250
0.153442
0.052481
0.103603
0.156593
0.054093
13
13
Sate/tongseng
tsk
25
0.055262
0.080580
0.031599
0.065597
0.096181
0.037019
0.069729
0.102039
0.039541
13
14
Mie(bakso/rebus/goreng)
porsi
250
0.423379
0.567412
0.288768
0.406783
0.539666
0.282616
0.405474
0.534384
0.285032
13
18
Ayam/daging (goreng,bakar,dll)
ptg
150
0.084555
0.137930
0.034671
0.080298
0.134462
0.029687
0.088344
0.146387
0.034114
Sumber
: Survey Sosial Ekonomi, BKP
69
70
Lampiran 5 Laju konsumsi daging sapi segar tahun 2005-2010 Daging sapi segar Tahun
Kota kg/kap/th
Desa %laju
Nasional
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
2005-2006
0.61
-8.08
0.10
-53.16
0.34
-22.97
2006-2007
0.71
16.41
0.17
65.25
0.43
28.06
2007-2008
0.62
-13.31
0.15
-14.81
0.37
-13.33
2008-2009
0.56
-8.36
0.15
0.50
0.35
-6.57
2009-2010
0.62
10.06
0.16
9.14
0.38
9.86
Rata-rata
0.63
-0.66
0.16
1.38
0.38
-0.99
Lampiran 6 Laju konsumsi daging sapi olahan industri tahun 2005-2010 Daging sapi olahan industri Desa
Kota
Tahun
Nasional
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
2005-2006
0.04
-62.96
0.00
-100.00
0.02
-65.53
2006-2007
0.14
241.25
0.02
0.08
272.50
2007-2008
0.11
-24.57
0.02
-21.43
0.06
-23.15
2008-2009
0.10
-3.10
0.02
37.44
0.06
2.22
2009-2010
0.14
30.59
0.03
32.90
0.08
30.99
Rata-rata
0.11
36.24
0.02
-12.77
0.06
43.40
Lampiran 7 Laju konsumsi daging sapi makanan jadi tahun 2005-2010 Daging sapi makanan jadi Tahun
Kota
Desa
Nasional
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
2005-2006
1.08
2006-2007
1.35
-12.47
0.47
24.25
0.57
-13.88
0.74
-14.35
22.50
0.95
28.02
2007-2008
1.46
8.24
0.62
8.08
1.02
8.20
2008-2009
1.41
-3.51
0.60
-3.43
0.99
-3.49
2009-2010
1.43
1.98
0.62
3.00
1.01
2.29
Rata-rata
1.33
3.70
0.57
3.25
0.93
4.14
Lampiran 8 Laju konsumsi hati sapi tahun 2005-2010 Hati sapi Tahun
Kota kg/kap/th
Desa
Nasional
%laju
kg/kap/th
%laju -100.00
2005-2006
0.05
-62.84
0.00
2006-2007
0.17
220.00
0.04
2007-2008
0.12
-26.94
0.04
kg/kap/th
%laju
0.05
-33.44
0.10
90.00
2.00
0.08
-21.11
2008-2009
0.09
-27.79
0.02
-36.83
0.05
-30.04
2009-2010
0.09
4.42
0.04
56.22
0.06
15.93
Rata-rata
0.11
21.37
0.03
-19.65
0.07
4.27
71
Lampiran 9 Laju konsumsi jeroan sapi tahun 2005-2010 Jeroan Tahun
Kota
Desa
Nasional
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
2005-2006
0.02
-31.82
0.02
69.62
0.02
0.66
2006-2007
0.04
80.00
0.02
-30.00
0.03
20.00
2007-2008
0.03
-31.06
0.01
-13.14
0.02
-23.83
2008-2009
0.03
-7.03
0.01
-32.60
0.02
-15.85
2009-2010
0.03
-0.20
0.02
92.75
0.02
25.40
Rata-rata
0.03
1.98
0.01
17.32
0.02
1.27
Lampiran 10 Laju jumlah konsumsi daging sapi tahun 2005-2010 Jumlah daging sapi Tahun
Kota
Desa
Nasional
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
kg/kap/th
%laju
2005-2006
1.81
-17.26
0.60
-27.55
1.17
-19.85
2006-2007
2.40
32.93
0.82
37.43
1.58
35.00
2007-2008
2.33
-3.16
0.83
1.89
1.56
-1.58
2008-2009
2.19
-6.08
0.80
-3.95
1.47
-5.50
2009-2010
2.31
5.50
0.86
7.48
1.56
6.05
Rata-rata
2.20
2.39
0.79
3.06
1.47
2.83
72
Lampiran 11 Laju konsumsi daging sapi, tetelan, dan tulangtahun 2005-2010 Daging sapi Kota
Tahun
Kg/kap /th
Tetelan
Desa
% Laju
Kg/kap /th
Nasional Kg/kap /th
% Laju
Kota Kg/kap /th
% Laju
Tulang
Desa
% Laju
Kg/kap /th
2005-2006
0.57
-7.93
0.10
-52.04
0.31
-24.62
0.03
-15.61
0.00
2006-2007
0.68
18.18
0.17
60.00
0.41
31.67
0.03
-13.33
0.00
2007-2008
0.59
-12.87
0.14
-15.84
0.36
-13.11
0.02
-22.12
0.00
2008-2009
0.54
-8.44
0.14
2.17
0.34
-6.30
0.02
-0.06
2009-2010
0.60
10.19
0.16
8.69
0.37
9.86
0.02
Rata-rata
0.60
-0.17
0.15
0.60
0.37
-0.50
0.03
Nasional Kg/kap /th
% Laju -100.00
Kota Kg/kap /th
% Laju
Desa
% Laju
Kg/kap /th
Nasional
% Laju
Kg/kap /th
%Laju
100.00
0.00
11.06
0.00
20.00
0.02
8.50
0.01
41.82
0.00
0.02
-25.00
0.01
0.00
0.00
16.00
0.01
-18.80
0.00
-25.25
0.00
18.80
0.00
-14.25
0.00
-31.48
0.01
-6.25
0.00
-41.00
0.00
-51.12
0.00
-44.01
4.95
0.00
21.47
0.01
7.33
0.00
25.74
0.00
40.04
0.00
29.46
-9.23
0.00
-23.50
0.02
-6.84
0.00
0.26
0.00
-23.07
0.00
0.45
Lampiran 12 Laju konsumsi dendeng dan abon tahun 2005-2010 Dendeng Kota
Tahun
Desa
Abon Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
2005-2006
0.00
-100.00
0.00
-100.00
0.00
-100.00
0.04
-32.54
0.00
-100.00
0.02
-43.00
2006-2007
0.02
0.07
60.00
0.01
0.04
85.00
2007-2008
0.02
-6.00
0.00
0.01
14.00
0.05
-28.14
0.01
-44.91
0.03
-31.49
2008-2009
0.02
-1.92
0.01
116.13
0.01
22.24
0.04
-26.04
0.00
-26.23
0.02
-26.07
2009-2010
0.03
38.63
0.01
38.11
0.02
38.44
0.03
-3.26
0.01
8.78
0.02
-1.78
Rata-rata
0.02
-17.32
0.00
18.08
0.01
-6.33
0.05
-6.00
0.01
-40.59
0.03
-3.47
0.00
0.01
72
73
Lampiran 13 Laju konsumsi daging dalam kaleng dan daging awetan lainnya tahun 2005-2010 Daging dalam kaleng Kota
Tahun
Daging Awetan Lainnya
Desa
% Laju
Kg/kap /th
-100.00
0.00
Nasional
% Laju
Kg/kap /th
-100.00
0.00
Kota
-100.00
0.00
0.00
2006-2007
0.03
2007-2008
0.02
-49.33
0.00
-71.00
0.01
-46.00
0.02
2.11
0.00
1.00
0.01
-0.80
2008-2009
0.00
-69.51
0.00
40.76
0.00
-59.34
0.04
85.79
0.00
48.08
0.02
81.87
2009-2010
0.02
361.49
0.00
43.04
0.01
259.46
0.05
18.16
0.01
42.68
0.03
20.25
Rata-rata
0.01
35.66
0.00
-21.80
0.01
13.53
0.03
1.51
0.00
-2.06
0.01
0.33
0.02
% Laju
Kg/kap /th
-100.00
0.00
Nasional
2005-2006
0.01
% Laju
Kg/kap /th
Desa
Kg/kap /th
0.02
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
-100.00
0.00
-100.00
0.00
0.01
Lampiran 14 Laju konsumsi soto/gule/sop/rawon dan sate/tongseng tahun 2005-2010 Soto/gule/sop/rawon Kota
Tahun
Desa
Sate/tongseng Nasional
Kota
Desa
Nasional
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
2005-2006
0.11
0.01
0.04
25.25
0.07
4.34
0.04
36.31
0.01
21.16
0.02
29.44
2006-2007
0.12
8.29
0.05
7.76
0.08
12.86
0.03
-6.95
0.01
11.07
0.02
1.73
2007-2008
0.14
12.79
0.05
0.80
0.09
9.31
0.04
5.61
0.01
1.60
0.02
4.47
2008-2009
0.13
-2.62
0.05
-1.39
0.09
-2.30
0.04
19.36
0.02
17.15
0.03
18.70
2009-2010
0.14
2.05
0.05
3.07
0.09
2.32
0.04
6.09
0.02
6.81
0.03
6.30
Rata-rata
0.13
4.11
0.04
7.10
0.08
5.31
0.04
12.08
0.01
11.56
0.02
12.13
73
74
Lampiran 15 Laju konsumsi mie bakso dan daging goreng tahun 2005-2010 Mie bakso Kota
Tahun
Kg/kap /th 2005-2006
Desa
% Laju
Kg/kap /th
0.78
-17.37
2006-2007
0.88
2007-2008
0.92
2008-2009
Daging goreng Nasional
% Laju
Kg/kap /th
0.38
-17.68
12.20
0.44
5.13
0.47
0.88
-4.89
2009-2010
0.87
Rata-rata
0.88
Kota
% Laju
Kg/kap /th
0.56
-18.50
16.13
0.65
5.81
0.69
0.46
-2.13
-0.98
0.46
-1.18
0.45
Desa
% Laju
Kg/kap /th
0.15
0.68
16.80
0.31
5.37
0.36
0.66
-3.92
0.85
0.66
0.60
0.65
Nasional
% Laju
Kg/kap /th
% Laju
0.03
-11.46
0.08
-5.44
105.86
0.07
125.00
0.19
123.75
15.52
0.09
28.41
0.22
18.09
0.35
-2.51
0.08
-14.38
0.21
-5.03
-0.32
0.38
8.87
0.09
14.91
0.23
10.02
-0.11
0.28
25.68
0.07
28.50
0.17
28.28
74