1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra berkaitan erat dengan realitas (fakta) sosiologis, kultural, politik, dan historis. Adi menyatakan bahwa fiksi populer tidaklah hadir dari kevakuman kultural, fiksi populer pasti berakar pada fiksi-fiksi yang telah ada sebelumnya dan tidaklah hadir begitu saja melainkan karena adanya ideologi, budaya, dan kepercayaan tertentu (2011: 227). Hal tersebut dikarenakan teks karya adalah reaksi terhadap realitas. Meskipun demikian, ada perbedaan antara kehidupan sehari-hari yang selalu riil dan kehidupan dalam karya sastra yang selalu fiktif, dan ini bertemu dalam diri pembacanya, bukan dalam kehidupan dunia (Iser via Junus. 1985: 36). Fakta-fakta sosial budaya inilah yang menjadi latar belakang (background) seorang pengarang ketika berkreasi menulis karyanya. Miyazawa Kenji misalnya, lahir di prefektur Iwate pada tahun 1896 dan meninggal di tahun 1933, sejak usia dini Kenji seorang yang peka dan merasa terganggu oleh kesenjangan sosial yang besar antara keluarganya yang berpenghasilan dari membuka pegadaian, dengan para petani yang menggadaikan barang-barang di toko gadai keluarganya. Kenji juga sempat berselisih paham tentang agama dengan ayahnya ketika ia beralih kepercayaan dari Budha Jodoushin ke Budha aliran Nichiren yang berfokus ke Lotus Sutra. Oleh karena itu tidak mengherankan jika karya yang dihasilkannya bermuatan nilai-nilai agama Budha Nichirenshuu (Holt. 2014: 305). Tidak hanya hal itu, segala
1
2
pengalaman/pemikiran pribadi yang ia dapatkan dari berinteraksi dengan berbagai hal di lingkungan di sekitarnya itulah yang kemudian menjadi gudang pengetahuannya, atau disebut sebagai repertoire dalam teori Iser. Gudang pengetahuan atau repertoire itu menjadi background bagi karya-karya karangannya, misalnya saja Hikari no Suashi, Don’guri to Yamaneko, Chuumon no Ooi Ryoori Ten, Opperu to Zoo, dan Ginga Tetsudoo no Yoru, yang selanjutnya akan disingkat GTY. GTY ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, di antaranya bahasa Prancis, Italia, Esperanto, Inggris, dan Cina. Di negeri kelahirannya, Jepang, GTY telah diadaptasi menjadi anime, pertunjukkan teater, serta menginspirasi penciptaan-penciptaan karya sastra lainnya. Di antaranya ialah Fujishiro Seiji, seorang seniman yang terinspirasi membuat karya adaptasi dari GTY karangan Kenji. Cerita GTY mengambil latar festival bintang dengan dua orang karakter utamanya yaitu Giovanni dan Campanella. Giovanni adalah anak yang tak sempat bermain karena harus bekerja setiap hari sepulang dari sekolah. Bahkan di malam perayaan festival bintang sekalipun Giovanni masih harus bekerja sementara teman-teman lainnya bersuka ria. Larut malam sepulang dari percetakan, ketika Giovanni hendak menyusul Campanella ke sungai, ia bertemu dengan temanteman sekelasnya, seorang di antara mereka bernama Zanelli. Zanelli mengolokolok Giovanni tentang bulu berang-berang laut yang dijanjikan ayahnya namun tak kunjung ada karena ayahnya sedang melaut dan lama tak kembali. Giovanni yang bersedih dan kesepian akibat diolok-olok Zanelli menangis di bukit yang gelap. Dari bukit itu Giovanni naik ke kereta uap kecil, lalu tanpa disangka
3
sebelumnya ia bertemu Campanella, dan mereka pun melakukan perjalanan malam dari Salib Utara hingga ke Salib Selatan di galaksi Milkyway dengan kereta galaksi. Sinopsis di atas mengindikasikan penggunaan karakter, latar, dan alur yang tak berbeda jauh antara versi orisinal dan versi saduran karya Fujishiro Seiji. Oleh karena yang menjadi objek material penelitian ini adalah cerita GTY karya adaptasi Seiji, maka peneliti akan menerangkan tentang Fujishiro Seiji dan apa saja karya-karya yang dihasilkannya. Seiji adalah seorang seniman pertunjukkan siluet (puppet shadow) dan ahli membuat gambar/ilustrasi siluet (kage E), ia berusia 90 tahun pada 2014 dan masih terus aktif berkreasi. Ia pertama kali mengadaptasi GTY menjadi pertunjukkan siluet pada tahun 1956 di Jepang. Kemudian ia membuat buku-buku ilustrasi siluet, di antaranya yaitu serial ilustrasi berjudul Kurashi no Techoo (1974-1996), kemudian sebuah buku yang diterbitkan oleh Kodansha yang berjudul Fujishiro Seiji Kage E Gashuu (1977), dan buku ilustrasi siluet (kage e) berjudul
Jesus,
yang
dipublikasikan
selama
tiga
tahun
oleh
Nihon
Kirisutokyoudan shuppan kyoku (1981). Selain buku-buku ilustrasi tersebut, ia juga mengarang buku-buku cerita. Ia mengadaptasi lagi GTY karangan Kenji, kali ini ke dalam buku cerita bergambar, yang lebih mudah untuk dikonsumsi oleh anak-anak karena tidak sepanjang versi orisinal dan disertai dengan ilustrasi. GTY adaptasi Seiji ini mendapatkan sambutan dari banyak pembaca. Karya adaptasinya pertama kali diterbitkan pada tahun 1982 dan hingga tahun 2004 telah
4
mencapai cetakkan yang ke-46. GTY adaptasinya ini pada tahun 2015 masih mudah untuk ditemukan. Kenyataan tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan Umar Junus, bahwa: Karya sastra memang hidup lebih lama dari penulisnya. Hal itu disebabkan oleh adanya orang yang membacanya, dan orang membaca karya sastra tentu karena ada sesuatu dalam karya itu, dan karya itu sendiri memang dapat berbicara kepadanya tanpa ia perlu bertanya pada penulisnya. Di samping itu, ia masih melihat relevansi karya itu kepada kehidupannya hari ini (1985: 14). Karya sastra yang demikian akan memiliki keberlangsungan yang panjang sehingga dinilai sebagai karya yang bermutu tinggi. Cerita GTY adaptasi Seiji ini pun pernah mendapat penghargaan Golden Apple di Bratislava International Picture Book Exhibition di Cekoslovakia tahun 1983. Selain mengadaptasi GTY, buku cerita lain yang dikarang oleh Seiji ialah Tenchi Sozo (1992), A Book of Color Illustrations of Jesus in New Testament Setting (1992), Gauche the Cellist (Cello Hiki no Goshu) yang juga merupakan saduran dari cerita karangan Kenji (2012), Maboroshii Dori (2011), Budooshubin no Fushigi na Tabi (2010), dan sebagainya. GTY adaptasi Seiji ini tidak hanya menggunakan judul yang sama dengan GTY orisinal karangan Kenji, akan tetapi karakter, latar, dan plot ceritanya pun tidak jauh berbeda, dalam hal ini berarti GTY karangan Kenji juga menjadi repertoire bagi GTY adaptasi Seiji. Repertoire dipahami sebagai sesuatu yang menjadi landasan seorang pengarang dalam menciptakan karya sastra, repertoire menjadi latar belakang (background) untuk menciptakan latar depan (foreground) yang dituju oleh pengarang melalui karyanya (Setyami, 2012).
5
Iser mengungkapkan mengenai teori respon estetik dan repertoire dalam bukunya yang berjudul The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Repertoire ini dapat dikenali melalui referensi terhadap karya-karya terdahulu, atau referensi terhadap norma-norma yang menjadi latar belakang penciptaan, misalnya saja norma sosial atau norma historis, atau terhadap seluruh kultur darimana karya tersebut muncul. Pengarang sebagai makhluk sosial dan mampu berpikir yang hidup dalam ruang dan waktu pastinya dilingkupi oleh normanorma tersebut, maka pengarang dalam menghasilkan karya pasti sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan pemikiran pribadi terhadap hal-hal yang ia dapati di lingkungan sekitarnya, baik itu berupa kondisi sosial, historis maupun kultural. Selain itu, pengarang dapat juga dipengaruhi oleh pengalamanpengalaman atau pemikiran pribadi terhadap pembacaan karya-karya sebelumnya yang menjadi inspirasi (background) dalam mengarang karya lain. Seperangkat norma dan referensi karya terdahulu (repertoire) yang menjadi inspirasi dalam proses mengarang GTY adalah fakta-fakta yang ada dalam realitas, bukan imajinasi semata, meskipun repertoire tersebut diproses secara imajinatif atau ditransformasi terlebih dahulu oleh pengarang sebelum dimasukkan ke dalam karyanya. Korelasi antara realitas di kehidupan sehari-hari dan karya fiksi yang imajinatif itu ialah bahwa fiksi memrepresentasikan realitas, atau dengan kata lain, teks karya adalah reaksi terhadap realitas. Adanya perbedaan tersebut antara kehidupan sehari-hari yang selalu riil, dengan kehidupan dalam karya sastra yang selalu fiktif ini bertemu dalam diri pembacanya (Iser via Junus. 1985: 36). Usaha pencarian korelasi antara fakta yang ada dalam realitas dengan karya fiksi tersebut
6
berdasarkan teori Respon Estetik Iser adalah penelitian efek/kesan teks, pengarahan pembaca oleh teks, demi mencari pemahaman atas makna teks yang dapat diperoleh dari proses pembacaan, yakni hubungan dialektis antara teks dengan gudang pengetahuan pembaca/peneliti. Di dalam hal ini, yang dititikberatkan adalah perhatian pada pembaca, karena gudang pengetahuan pembaca akan sangat menentukan imajinasi pembaca dalam membaca teks (Junus. 1985: 38). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka norma-norma dan kiasan-kiasan yang muncul dalam teks GTY menarik untuk diteliti. Penelitian ini akan dapat memberikan gambaran repertoire yang digunakan Seiji dalam mengadaptasi GTY. Selanjutnya, teori tentang repertoire akan digunakan oleh pembaca/peneliti sebagai pemandu dalam mencari makna atau kaitan antara fakta dan fiksi dalam GTY. Pencarian ini mencakup lingkup yang dapat dikenali di dalam teks, dapat berupa karya terdahulu, norma-norma sosial, historis, dan seluruh aspek kebudayaan yang dimunculkan dalam teks. Berdasarkan pemaparan di atas, persoalan yang akan diteliti ialah yang berkaitan dengan repertoire dalam GTY adaptasi Seiji. Penelitian ini membahas perwujudan repertoire dalam GTY Seiji yang dijadikan background penciptaan karya, sehingga foreground yang dituju Seiji melalui adaptasi GTY dapat diungkapkan. 1.2. Rumusan Masalah Apa yang terepresentasi dalam karya adaptasi GTY ini dapat digunakan sebagai pencapaian efek-efek kepada pembaca yang melakukan proses komunikasi (pembacaan) sehingga pembaca dapat mengkonkretisasi mengenai
7
keterkaitan antara realitas dan fiksi, atau sebaliknya, melihat gambaran sejauh mana fiksi mampu merepresentasikan realitas yang ada. Dengan demikian maka perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: Bagaimana perwujudan norma sosial, norma budaya, norma historis, dan norma agama dalam GTY adaptasi Seiji sebagai repertoire? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah di atas, yaitu mendeskripsikan perwujudan norma sosial, norma budaya, dan norma historis, dan norma agama dalam GTY sebagai repertoire. Dengan menjawab pertanyaan tersebut maka akan dapat ditarik tujuan yang lebih umum, yaitu memberikan pemahaman kepada pembaca/peneliti dalam memahami teks GTY yang memanfaatkan realitas sosial, budaya, dan historis demi mengungkap bagaimana perwujudan repertoire sebagai penelitian respon estetik. 1.4. Tinjauan Pustaka Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai Repertoire dalam Ginga Tetsudoo no Yoru adaptasi Fujishiro Seiji dengan menggunakan teori respon estetik Wolfgang Iser (1978) belum ada yang meneliti. Namun, penelitian menggunakan teori repertoire Respon Estetik Wolfgang Iser ini pernah dilakukan oleh peneliti lain yakni oleh Inung Setyami dalam sebuah tesis tahun 2012 di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire Dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser”. Tesis ini mengungkapkan repertoire novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), dan bagaimana Ahmad Tohari mengolah serta memanfaatkan repertoire (gudang pengetahuan)
8
itu untuk mencapai efek kepada pembaca. Selain itu, tesis ini juga membahas bagaimana keterkaitan antara fakta dan fiksi, khususnya yang membangun komunikasi antara teks RDP dengan pembaca/peneliti, yakni norma sosial masyarakat abangan, norma budaya seni ronggeng, dan norma historis dampak G30 SPKI dan Orde baru terhadap peronggengan. Melalui background, foreground yang dituju pengarang ialah norma sosial untuk menggugat kondisi sosial masyarakat yang pasif. Norma budaya dimunculkan sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap simbol feodalisme Jawa, dan norma sejarah digunakan untuk mengkritik politisasi seni di masa Orde Baru. Selain itu, berhubungan dengan teks karya orisinal GTY yang dikarang oleh Miyazawa Kenji, karya orisinal tersebut telah diteliti menggunakan teori struktural oleh Susana di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Analisis Strukturalisme Ginga Tetsudoo no Yoru” pada tahun 1995. Di dalam penelitiannya diketahui objek material penelitian Susana adalah salah satu dari dua versi salinan teks GTY yang terbaru dari empat versi naskah asli yang belum selesai ditulis oleh Miyazawa Kenji hingga saat meninggalnya. Dari keterangan lain yang terdapat dalam penelitiannya diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan di antara keempat naskah asli tersebut. Perbedaan umum ada pada urutan alur dan episode-episodenya, dan satu perbedaan yang menonjol adalah adanya karakter Profesor di naskah yang lebih awal, sedangkan di naskah yang lebih baru karakter ini ditiadakan. Oleh karena itu, objek material atau teks yang diteliti oleh Susana berbeda dari objek material yang dikaji dalam penelitian ini. Teks yang akan dikaji dalam penelitian ini ialah cerita GTY karya adaptasi oleh
9
Fujishiro Seiji. Perbedaan yang menonjol di antara karya orisinal dan karya adaptasinya ini ialah panjang teksnya. Karangan Miyazawa Kenji sebanyak delapan puluh halaman yang seluruhnya ialah teks, sedangkan saduran Fujishiro Seiji terdiri dari empat puluh empat halaman berisi teks dengan banyak ilustrasi siluet. 1.5. Landasan Teori Penelitian ini merupakan kajian respon estetik terhadap Ginga Tetsudoo no Yoru karya Fujishiro Seiji, khususnya yang berkaitan dengan repertoire. Teori yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan masalah yang ada di perumusan masalah dan tujuan yang akan dicapai. Teori yang sesuai sebagai alat untuk menganalisis GTY adaptasi Seiji ini ialah teori respon estetik Wolfgang Iser. Akan tetapi sebelum sampai ke analisis mengenai repertoire teks GTY Seiji, penelitian akan diawali dengan analisis struktur dasar teks yang akan membantu penelitian mengenai repertoire, karena teks sebagai pembawa pesan memiliki pengaruh potensial yang menyatu dalam karya, dan untuk mencegah dari tanggapan pembaca/peneliti yang tidak terarah. 1.5.1. Strukturalisme Pengkajian secara strukturalisme dalam penelitian ini membantu mengetahui bagaimana
unsur-unsur
intrinsik
seni
sastra
saling
jalin-menjalin
merepresentasikan pesan pengarang kepada pembaca. Metode strukturalisme digunakan dalam mengkaji struktur cerita GTY Seiji. Stanton merumuskan terma dan metode membaca fiksi berupa novel atau cerpen, yakni dengan membagi unsur-unsur pembangun karya fiksi dalam
10
beberapa terma, yaitu fakta cerita, tema, dan sarana sastra. Fakta cerita atau struktur faktual cerita terdiri dari karakter, alur, dan latar, sedangkan judul, konflik, klimaks, sudut pandang, gaya, nada, atmosfer, dan simbolisme, termasuk ke dalam sarana-sarana sastra, atau disebut juga litterary devices. Sarana sastra ini diartikan sebagai metode pengarang memilih detail-detail cerita demi tercapai pola-pola yang bermakna, melalui metode ini pembaca dapat memahami apa maksud fakta-fakta cerita sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton: 2007: 22-70). 1.5.1.1. Fakta Cerita 1.5.1.1.1. Alur Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang terhubung secara kausal di dalam cerita, karena itulah alur sudah seharusnya masuk akal. Masuk akal berarti semua karakter dan semesta cerita dapat diimajinasikan dan juga konsisten. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks, setiap karya fiksi memiliki konflik internal yang tampak jelas. Konflik internal/konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu konflik utama yang bersifat eksternal sekaligus internal yang selalu bersifat fundamental dan menjadi inti struktur cerita. Konflik utama selalu terikat dengan tema cerita dan bisa sangat identik (2007: 25, 31-32) 1.5.1.1.2. Karakter dan Karakterisasi Terma karakter merujuk pada kuantitas dan berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral individu-individu dalam cerita. Karakter utama ialah
11
individu yang terkait dengan semua peristiwa dalam cerita. Kemudian nama karakter, bila ditafsirkan bisa juga mengarah ke sifat karakter. 1.5.1.1.3. Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa-peristiwa dalam cerita. Latar dapat berupa dekor, dan dapat berwujud waktu-waktu tertentu. Orang-orang yang menjadi dekor juga dapat dianggap sebagai latar. Latar memiliki daya untuk memunculkan nada dan mood emosional yang melingkupi karakter. Nada emosional yang tercermin pada latar disebut dengan istilah atmosfer. Atmosfer bisa merupakan cerminan suasana jiwa karakter, atau kontras, sebagai bagian dari dunia di luar diri karakter (2007: 35-36). 1.5.1.2. Tema Tema, gagasan utama, atau maksud utama, yaitu yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Cara efektif untuk mengenali tema sebuah karya fiksi adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya (2007: 41-42). 1.5.1.3. Sarana Sastra Sarana-sarana sastra ialah cara yang dipilih pengarang dalam menyusun detail cerita agar tercapai reaksi yang sesuai keinginan dari pembaca. Misalnya saja dari pemilihan sudut pandang dalam bercerita, atau dari gaya, yang disebut juga sebagai stile, yakni cara pengarang menggunakan berbagai aspek kebahasaan. Bagian-bagian stile misalnya; bunyi, alinea, kalimat, perumpamaan, dan gaya
12
bahasa. Oleh sebab itu, meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, karena gayanya berbeda, hasil tulisan keduanya pun bisa berbeda. Supaya tampak nyata dalam pikiran pembaca, gagasan-gagasan dan emosi dapat ditampilkan melalui simbol yang wujudnya berupa detail-detail konkret dan faktual. Identitas simbol dengan makna yang diampu simbol konvensional telah umum dikenal dan mudah dikenali. Orang sering berhadapan dengan simbolisme dalam kehidupan dan percakapan sehari-hari, misalnya dalam ritual keagamaan, dan pakaian. Selain itu, ada satu bentuk simbol yang khas, yaitu momen simbolis, terma tersebut disamakan dengan momen pencerahan, atau momen kunci. Momen simbolis ialah representasi dari apa yang telah terjadi (2007: 61-69). 1.5.1.4. Hubungan Antar Unsur Bagian-bagian dan unsur-unsur tersebut dalam karya fiksi seharusnya erat terpadu antara satu dengan yang lainnya, sebagai sebuah totalitas (Nurgiyantoro, 2012: 22). Demikian juga dengan cerita GTY adaptasi Seiji ini, totalitas atau kemenyeluruhannya dalam perpaduan antara tema, alur, karakter, serta latar, akan membentuk sifat artistik. Berdasarkan pemaparan teori stukturalisme di atas, dapat diketahui detail dan banyaknya terma yang menjadi stuktur sebuah teks fiksi. Oleh sebab itu penelitian ini tidak membahas semua unsur intrinsik. Unsur intrinsik yang dibahas ialah yang dianggap paling mendukung penelitian mengenai repertoire teks GTY Seiji. 1.5.2. Respon Estetik Wolfgang Iser menyumbangkan teori yang berorientasi pada pembaca, yaitu Respon Estetik. Ia mengemukakan mengenai potensi yang terkandung dalam
13
karya sastra, berkenaan dengan kemampuannya untuk mengadakan efek-efek tertentu
terhadap
pembaca,
yang
pada
gilirannya
kemudian
akan
mengkonkretisasi pembacaannya. Ia menyumbangkan teori tentang apa yang disebut leerstellen, atau terkadang disebut juga dengan istilah open plek/ruang kosong. Ruang kosong terdapat dalam teks, yaitu bagian-bagian yang tidak dijelaskan dalam sruktur karya seni. Ruang kosong ini mengkondisikan pembaca untuk melakukan dialog dengan karya yang dibacanya, kemudian mengisi ruangruang kosong tersebut sesuai dengan kompetensinya, sesuai dengan imajinasinya. Akan tetapi dalam proses pembacaannya itu, pembaca nyata dibatasi oleh visi-visi yang diandaikan dan diajukan oleh teks, atau dengan kata lain dibatasi oleh pembaca implisit. Pembaca implisit ini memainkan peranan bagaimana suatu teks dapat dibaca (Junus: 1985: 53). Di dalam teorinya, Iser juga mengemukakan mengenai repertoire, yaitu suatu determinasi yang sanggup mengisi indeterminasi leerstellen. Repertoire ini melengkapi dialog antara teks dan pembaca, sebagai titik temu. Repertoire terdiri dari semua batas wilayah yang familiar dengan teks, bisa jadi berupa pilihan norma-norma sosial-budaya-historis, referensi terhadap karya-karya sebelumnya, dan alusi-alusi. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul sehubungan dengan apakah prinsip-prinsip yang mengatur pemilihan detail-detail dalam teks juga dapat mengarahkan pada repertoire. Pencampuran norma-norma tersebut sebagai repertoire teks tidaklah sembarang melainkan dipilih secara selektif karena ada latar depan (foreground) yang dituju oleh pengarang. Maka dari itu repertoire
14
menawarkan informasi tentang darimana gambaran mengenai hakikat manusia dan kehidupannya disusun dalam fiksi. Dengan mengisi ruang-ruang kosong di dalam teks dengan bermacam cara sesuai dengan kompetensinya, pembaca akan terkesan, terkena efek dalam membaca suatu karya seni. Pembaca akan terbawa kepada suatu pengalaman baru, pengalaman yang akan dianggapnya sebagai pengalamannya sendiri pasca pembacaan. Pengalaman yang bermakna ini akan mampu mengayakan jiwa dan batin pembaca hingga berguna bagi kehidupannya. 1.6. Metode Penelitian Cara yang digunakan untuk menjalankan penelitian ini ialah metode kualitatif, yakni sebuah metode penelitian yang memanfaatkan data sekunder yang dimaknai sebagai tanda yang dapat mendukung interpretasi data primer sehingga validitas penelitian dapat dipertanggung jawabkan (Adi: 2011: 240). Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan data primer dan sekunder. Data primer yang akan diteliti ialah karya fiksi berjudul Ginga Tetsudoo no Yoru, sebuah karya saduran oleh Fujishiro Seiji yang diterbitkan oleh Koudansha pada tahun 2004 (cetakan ke-46) dengan tebal 44 halaman. Selain itu penulis juga memanfaatkan data sekunder berupa referensi-referensi tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian) yang sesuai dalam teks kajian, yakni repertoire. Hal ini dapat berupa kemungkinan keterkaitan antara realitas di luar teks yang menjadi latar belakang untuk mewujudkan latar depan karya berupa petunjuk kemungkinan hubungan antara karya dengan norma sosial-budaya,
15
norma historis, dan norma agama. Langkah selanjutnya ialah menganalisis data untuk menguak repertoire-nya dengan metode close reading dan kritik teks. 1.7. Sistematika Penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bagian berupa bab-bab, yakni; BAB I Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sisitematika penyajian. Bab satu bertujuan sebagai pengantar agar lebih mudah mengikuti pembahasan dan kajian di bab-bab selanjutnya. Kemudian BAB II Strukturalisme yang berisi kajian struktur cerita GTY karya Fujishiro Seiji dengan menggunakan teori fiksi Robert Stanton. Selanjutnya adalah BAB III Repertoire yang akan membahas masalah di perumusan masalah, yaitu bagaimana perwujudan normanorma sosial-budaya, serta norma historis dalam cerita GTY sebagai repertoire. Dan bab terakhir, BAB IV, yang berisi simpulan jawaban dari permasalah yang diteliti di bab sebelumnya.