BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Mitos dalam tesis ini,mengacu pada mitologi Roland Barthes yang biasa diartikan sebagai sebuah ‘ideologi’. Ideologi tersebut ada, karena diciptakan sehingga menjadi sebuah wacana yang terstruktur dan menjadi sebuah ideologi bagi masyarakat yang tak terbantahkan (Barthes, 2004:151). Dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa mitos adalah alat komunikasi atau pesan, mitos itu sendiri merupakan cara pemaknaan sebuah bentuk. Manusia-lah yang mengubah realitas menjadi wacana dan sejarah ini mengatur hidup matinya bahasa mitos. Pengertian mitos disini, bukanlah sesuatu yang megacu pada pengertian – pengertian yang biasanya dipakai untuk mendeskripsikan cerita-cerita tradisional, narasi atau cerita yang dibentuk dari kelampauan dan dipercayai masyarakat luas sebagai bentuk-bentuk takhayul, atau cerita mistis. Mitos yang disebutkan Roland Barthes adalah berkaitan dengan bahasa dan wacana. pada dasarnya, setiap wacana bisa menjadi mitos. Menurut Fairclough, wacana bermula dari sebuah teks, suatu teks yang diciptakan oleh ideologi tentu ingin disampaikan menjadi sebuah wacana1. masih mengacu pada Barthes, bahasa bisa menstransfer pengetahuan maupun ideologi kepada masyarakat banyak. Namun, disini, bahasa dianggap telah gagal memberikan transfer makna pada masyarakat sehingga apa
1
.Fairclough, Norman. 2001. Language and Power, Second Edition. England: Longman
1
yang menjadi realitas tersebut tidak bisa dijelaskan oleh bahasa. Bahasa tersebut kemudian menjadi wacana yang tersebar semakin meluas. Mitos kemudian menjadi sesuatu yang problematik dikarenakan cara bahasa dalam mendefinisikan suatu fenomena tidak bisa secara menyeluruh, sehingga dibuatlah generelasi yang bisa mewakili suatu fenomena tersebut. Seperti misal, karena tidak bisa membuat penjelasan secara terperinci mengenai makna kecantikan, maka teks dan bahasa membuat wacana kecantikan menjadi general. Perempuan cantik diibaratkan; putih, langsing, tinggi dan berambut panjang. Makna kecantikan ini mungkin adalah gambaran cantik ala kapitalis untuk menjual produk-produk mereka, akan tetapi wacana ini mulai berkembang menjadi mitos yang dipercayai oleh banyak wanita dan bahkan oleh pria sekalipun. Kemudian perempuan yang cantik itu juga diharuskan untuk menjaga keperawanan agar tidk dikatakan sebagai perempuan nakal, atau anggapan negatif lainnya. Lewat teksdan bahasa dalam baliho-baliho iklan, televisi, media internet, perempuan dijejalkan keyakinan untuk menjadi perempuan sepenuhnya. Film dan sinetron mengajarkan pemirsa mengenai jiwa perempuan yang rapuh dan lemah lembut, berbakti pada suami dan lain sebagainya. Para laki-lakipun tidak kalah dalam menyuburkan mitos tersbut, mereka menanamkan kriteria-kriteria cantik tersebut untuk memaknai perempuan yang cantik dan tidak cantik. Mitos menjadi kajian utama dalam tesis ini karena dengan adanya generalisasi bahasa, timbul sebuah keyakinan baru kemudian membuat manusia 2
menjadi bingung menghadapi mana yang sebenarnya realitas dan mana yang hanya kepalsuan. Masyarakat dihadapkan pada kebenaran semu bahwa perempuan yang masih perawan adalah yang mendapat label suci, perempuan baik-baik dan bermoral. Keperawanan merupakan isu yang secara langsung berhubungan dengan perempuan baik secara moral, sosial, dan fisik (Abdullah, 2001). Keperawanan yang dibentuk oleh konstruksi sosial ditandai dengan harapan masih utuhnya selaput dara dari hubungan seksual dan terlindunginya vagina dari penetrasi benda tumpul. Keperawanan telah membuat perempuan mengalami berbagai macam pemikiran rumit dalam menghadapi konstruksi tersebut. Keperawanan perempuan dimitoskan sebagai tolok ukur dari perilaku yang santun dan setia. Perempuan yang masih perawan dan menjaga keperawanannya sampai pasangan sah nya yang berhak atas dirinya, menyimpan konstruksi maknayakni jaminan kehidupan rumah tangga yang bagus. Akhirnya menjaga keperawanan juga berelasi dengan kehormatan dan martabat. Keperawanan perempuan selalu diibaratkan sebagai mahkota berharga, harta berharga satu-satunya, mutiara, kesucian dan berbagai istilah lain yang bersifat konotasi positif serta pengagungan perempuan yang masih perawan. Oleh karenanya, apabila perempuan yang belum menikah tidak menunjukkan tandatanda perawan, maka semua istilah yang berkonotasi negatif seolah-olah diberikan padanya. 3
Meskipun ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa perempuan yang baik tidak bisa diukur hanya karena dia masih perawan atau sudah tidak perawan lagi, tetapi banyak juga yang mengklaim bahwa perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah tidak pantas apabila mendapatkan laki-laki yang baik. Perawan adalah sebuah cara untuk perempuan agar mereka mengendalikan aktivitas seks mereka terbatas hanya setelah mereka menikah. Oleh karena itu apabila perempuan sudah tidak perawan lagi, asumsi masyarakat yang muncul adalah bahwa perempuan tersebut tidak menjunjung moral, tidak berpendidikan (meskipun ia adalah seorang pelajar), amoral dan berbagai prasangka negatif yang lain. Wanita tersebut menjadi sangat salah karena ia merasakan pengalaman seksual sebelum ia menikah (Lyons and Lyons 2011, 13:142). pada akhirnya ia mendapat klaim negatif karena tubuhnya dinikmati oleh orang yang bukan pasangan sah secara hukum. Tekanan sosial yang dialami perempuan pada akhirnya adalah ia harus menjaga keperawanannya jika tidak ingin dicela oleh masyarakat, tidak direndahkan oleh perempuan atau laki-laki lain dan dikenal sebagai perempuan terhormat yang bisa menjaga amanah dari Tuhan. Dalam pola kebudayaan Arab misalnya, perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatan berupa keperawanan, itu artinya ia telah secara langsung membuat keluarganya menjadi tidak terhormat pula(Sadawi, 2001:48-49). Indonesia juga mempunyai penilaian yang sama negatifnya mengenai perempuan yang sudah tidak perawan.
4
Dari beberapa agama, kebudayaan Islamadalah yang paling kentara dalam proses kontrol perempuan dalam menjaga keperawanan, dengan cara menjauhi hal-hal yang berpotensi merusak keperawanan. Dalam (QS al-Isra’/17:32) dijelaskan bahwa mendekati zina adalah dilarang. Ayat tersebut memang tidak dikhususkan untuk perempuan tetapi entah mengapa perempuan selalu menjadi objek untuk dikontrol. Mereka diwajibkan mengenakan hijab untuk menutup tubuh mereka. Perempuan tidak diperkenankan untuk berpergian tanpa pendamping dan segala bentuk represi untuk meciptakan perempuan sebagai makhluk yang dibentuk oleh agama. “Wanita dilarang bepergian kecuali apabila ditemani oleh mahramnya yang menjaganya dari gangguan orang-orang jahat dan orang-orang fasik. Telah diriwayatkan hadits-hadits shohih yang melarang wanita bepergian tanpa mahrom, di antaranya yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda yang artinya,”Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk bepergian selama tiga hari kecuali bersama mahromnya.”(QS alIsra’/17:32). Mungkin sebuah kalimat tersebut tidak ada kaitannya dengan isu keperawanan, tetapi di dalam sepenggal kalimat tersebut mengindikasikan bahwa perempuan harus mengalami penjagaan yang ketat saat ia berada diluar teritori. Tidak ada kemungkinan lain dari adanya penjagaan tersebut, kecuali supaya perempuan tidak mengalami hal-hal yang negatif, mulai dari hal yang kecil seperti mendapat siulan dari laki-laki atau gangguan lisan hingga perlakuan secara fisik dan yang terburuknya adalah pemerkosaan yang mengakibatkan hilangnya keperawanan. 5
Dari berbagai macam represi yang timbul dari intrepetasi dari beberapa ayat dalam Al-Quran, diciptakanlah beberapa mitos agar perempuan tidak merasa nyaman apabila melanggar berbagai represi yang datang dari pengetahuan agama. Selain perilaku perempuan yang mendapat kontrol dari ajaran agama, perempuan juga mendapat kontrol secara fashion. Para laki-laki akan ketakutan jika perempuan yang ia lihat akan mengundang pikiran mesum bagi mereka, sehingga perempuan dipaksa untuk melonggarkan bajunya, menutupi rambut dan dadanya dengan kain yang berbentuk jilbab, hijab burka dan sejenisnya. Semua itu adalah termasuk upaya agar perempuan tetap menjaga kehormatannya. Kehormatan yang dimaksud adalah termasuk keperawanannya. Dari salah Kompas.com2 terdapat sebuah rubik tentang kesehatan yang berkaitan dengan keperawanan. Salah satu kasusnya ada seorang wanita yang berkonsultasi, dan seorang dokter memberi sebuah
tanggapan. Perempuan
tersebut menceritakan ketakutannya karena perempuan tersebut pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Sampai dia melakukan aborsi. Perempuan tersebut begitu dihantui ketakutan,apakah masih ada laki-laki yang akan mau untuk menerima keberadaannya, mau menerima dia apa adanya. Sang dokter yang juga psikolog menyatakan bahwa itu tidak perlu dipikirkan, tetapi dokter tersebut juga tidak luput memberikan penjelasan tentang nilai moral bangsa ketimuran yang memang tidak bisa menerima sikap-sikap tersebut. Dokter tersebut berusaha untuk bersikap netral, tetapi tidak bisa 2
. Dr.Andri, SpKJ.Dihantui Rasa takut Karena Tak Perawan. Kamis 1 Maret 2012. 10:19 WIB. http://health.kompas.com/read/2012/03/01/10190535/Dihantui.Rasa.Takut.karena.Tak.Perawan).
6
dipungkiri juga bahwa apa yang perempuan tersebut lakukan sungguh sangat disayangkan . Permasalahan tidak hanya sampai disitu, beberapa komentar yang diposting didalam artikel tersebut,mereka banyak yang tidak suka, mereka berkomentar kasar dan menilai perempuan tersebut dengan tidak baik. Ada juga yang berkomentar bahwa perempuan tersebut juga tidak berhak untuk menyesal apabila jodohnya kelak juga mempunyai perilaku yang buruk sebagai karma atas apa yang perempuan itu lakukan. Artikel lain yang juga merupakan rubrik konsultasi seputar keperawanan adalah ketakutan perempuan karena dibayang-banyangi malam pertama yang mereka yakini harus berdarah. Satu perempuan tersebut harus dengan cermat mengingat-ingat apakah pengalaman hidupnya pernah mengalami jatuh atau terbentur sehingga menyebabkan selaput dara robek. Hanya untuk memastikan bahwa malam pertamanya aman. Untuk melegitimasi keperawanan tersebut, maka dibentuklah tanda-tanda supaya keperawanan tersebut dipercayai bisa diidentifikasi secara fisik. Oleh karena itu muncullah beberapa anggapan bahwa perempuan yang tidak perawan bisa dikenali secara fisik. Ini semakin membuat perempuan khawatir apakah tubuhnya sendiri yang akan mengatakan bahwa ia sudah tidak perawan. Atau kekhawatiran bahwa si tubuh akan mengkhianatinya dengan menunjukkan tandatanda bahwa perempuan yang sejatinya masih perawan tersebut ditunjukkan sebagai tidak perawan lagi. Seperti tidak keluarnya darah perawan di malam
7
pertama, atau longgarnya mulut vagina, payudara atau pantat yang kendur, dan lain sebagainya. Namun, yang paling sering diharapkan pada malam pertama adalah vagina akan mengeluarkan darah sebagai tanda perempuan yang dinikahi masih perawan. Salah satu Penilaian secara fisiologis tersebut juga sempat digunakan oleh seorang Bupati Garut yang menggunakan alasan tersebut untuk melegitimasi bahwa istrinya tidak perawan. Darah yang diharapkan, tidak jatuh ke sprei pengantin, Sehingga pantas bagi istrinya untuk diceraikan. Beberapa hal diatas hanyalah mitos-mitos yang tidak lain digunakan untuk mengontrol perempuan. Kenyataannya moralitas tidak bisa diukur dengan pengalaman seksual atau intensitas seksual sebelum menikah. Menurut Dr Budi ML, SpOG, dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Jatisampurna, Kenyataannya, bentuk fisik tidak akan pernah mengungkapkan bahwa perempuan tersebut sudah tidak perawan atau sebaiknya masih perawan. Kenyataannya selaput dara tidak perlu harus berdarah untuk membuktikan bahwa seorang perempuan masih perawan 3. Topik ini menjadi pilihan dalam proyek penulisan ini dikarenakan keinginan yang besar untuk mengetahui apakah eksistensi mitos tersebut masih lekat dalam pemikiran masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta dengan berbagai macam strata pendidikan dan latar belakang budaya yang lebih maju sekarang ini. Serta untuk melihat sejauh mana perempuan terpengaruh atau mungkin terbelenggu oleh mitos-mitos tersebut. 3
. Kompas.Com. 2010. Selaput Dara Bukan Urusan Virginitas. Sabtu, 3 Juli. 10:24 WIB. http://health.kompas.com/read/2010/07/03/10244121/Selaput.Dara.Bukan.Ukuran.Virginitas
8
Dalam era global sekarang ini, sepertinya Mitos Keperawanan masih menjadi sebuah acuan penting bagi masyarakat Timur untuk mendefinisikan norma baik dan buruk. Sedangkan perilaku remaja sekarang ini lebih liberal dalam melakukan relasi dengan lawan jenis, dan mulai berani untuk lebih ekspresif dalam mengungkapkan perilaku cinta4. Perilaku seksual sebelum menikah seharusnya adalah menjadi konsentrasi wilayah kesehatan masyarakat karena akan berhubungan langsung dengan kesehatan seksual, penyakit kelamin menular dan aborsi. Perilaku seksual sebelum menikah seharusnya tidak bisa mempengaruhi moralitas perempuan. Karena ke-khawatiran perempuan pada mitos tersebut, maka banyak cara yang dilakukan agar mereka terlihat masih perawan, tanpa harus menghindari kegiatan seksual sebelum menikah. Douglas dan Davis menyebutkan ada tiga cara yakni dengan tidak melakukan penetrasi, memastikan bahwa pasangan seksual sebelum menikah adalah seorang yang akan menjadi pasangan sah nya, atau untuk menunjukkan keperawanan dengan darah adalah dengan menggores bibir vagina dengan kuku sendiri sewaktu penetrasi, ada juga yang menyiapkan darah sebelumnya. Cara yang ketiga adalah dengan melakukan operasi peremajaan selaput dara (Zhuckerman, Manning and Phil, 2005:185). Di Yogyakarta, salah satu rumah sakit swasta Happy Land sudah menyediakan program layanan untuk operasi peremajaan selaput dara5. Dengan 4
. Utomo, Iwu. Sexual attitudes and behaviour of middle-class young people in Jakarta. 1998. https://digitalcollections.anu.edu.au/handle/1885/9114). 5 . vaginal rejuvenation happy land, 2010 . 2 Novemberhttp://rshappyland.blogspot.com/2010/11/laser-vaginal-rejuvenation-lvr-di-rs.html
9
operasi tersebut, selaput dara akan dijahit dan dipasang kembali di tempat sebelum terjadinya perobekan, tetapi informasi layanan ini belum terlalu marak karena selain tidak disebarkan lewat media iklan yang besar, program ini juga menuntut biaya yang tidak murah. Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan, memiliki banyak Universitas, tempat di mana para remaja dan dewasa berkumpul untuk belajar ke jenjang Universitas. Banyak para akademisi berangkat merantau dari kampung halaman untuk belajar, mereka jauh dari orang tua, melakukan aktifitas terpisah sama sekali dengan orang tua. Kondisi seperti ini tentu memberikan kebebasan pagi remaja dan dewasa untuk melakukan interaksi sosial maupun interaksi seksual. Ada sebuah tulisan sekitar tahun 2006, yang pernah membahas tentang reputasi mahasiswi Yogyakarta yang oleh penulis diklaim mayoritas sudah tidak perawan. Dengan klaim yang disertai dengan kutipan wawancara dengan beberapa mahasiswa tersebut membuat penulis kemudian melegitimasi bahwa Yogyakarta sebagai kota pelajar adalah tidak lain merupakan kota Pelacur. Lagi-lagi perempuan mendapatkan konotasi negatif disini. Perempuan yang bersekolah di Yogyakarta seolah mencitrakan perempuan nakal yang mempunyai pergaulan bebas dan telah mengalami pengalaman seksual sebelum menikah. Artikel
10
BKKBN mencantumkan bahwa prosentase tersebut bisa mencapai angka 99 persen6. Dalam sebuah film yang berjudul “Perempuan Punya Cerita”, rilis tahun 2008 lalu7,
juga disinggung mengenai aktifitas seksual para pelajar sekolah
menengah yang mulai bebas dan tidak malu untuk mengakui bahwa perempuan tersebut sudah tidak perawan. tetapi kemudian perempuan-perempuan pelajar SMA yang tidak perawan lagi tersebut tidak diperlakukan baik oleh sekumpulan laki-laki. Perempuan tersebut ditertawakan dan diabaikan. meskipun salah satu dari genk perempuan tersebut diketahui telah hamil, genk laki-laki yang dicurigai menjadi penyabab kasus tersebut hanya menanggapinya secara enteng. Saat pemeran utama perempuan dicurigai akan melakukan hubungan seksual pertama kalinya dengan pacar barunya, sekumpulan genk laki-laki itu mengeluarkan komentar bahwa ternyata perempuan tersebut selama ini mereka telah salah menilai sang perempuan tersebut sebagai perempuan yang bermoral, “ ternyata
6
. Mahasiswi Yogyakarta Rata-rata Tidak Perawan. http://ceria.bkkbn.go.id/ceria/referensi/artikel/detail/648 7
. Perempuan Punya Cerita merupakan kumpulan empat film pendek yang dikemas dalam sebuah film yang disutradarai oleh empat sutradara dan dua penulis. Segmen pertama berjudul Cerita Pulau dan segmen ke dua Cerita Yogyakarta ditulis oleh Vivian Idris dan disutradarai oleh Fatimah Rony dan Upi Avianto untuk cerita ke dua. Segmen ke-tiga berjudul Cerita Cibinong ditulis oleh Melissa Karim dan disutradarai oleh Nia Dinata. Segmen ke-empat berjudul Cerita Jakarta ditulis oleh Melissa Karim dan disutradarai oleh Lasja Fauzia Susatyo.
11
hanya pura-pura suci”. Perempuan selalu mendapatkan kontrol, mendapatkan pengawasan dan diberi label secara moral mengenai perilaku seksual mereka.
1.2. Rumusan Masalah Tesis ini akan mencoba meneliti tentang perempuan dan mitos-mitos yang melingkupi keperawanan. Agama dan budaya mengkonstruksi mitos keperawanan terhadap perempuan. Meskipun demikian perempuan tidak begitu saja menerima dan mengikuti konstruksi tersebut. Ada bermacam-macam respon dari perempuan mengenai konstruksi tersebut, ada yang terhegemoni, adapula yang bernegosiasi atau bahkan ada yang resisten menghadapi mitos tersebut. Di era sekarang ini, dengan meningkatnya aktivitas perempuan di area publik, pendidikan yang makin tinggi, dan makin banyak perempuan yang menguasai dirinya. Ternyata mitos tentang keperawanan masih saja mempunyai ruang gerak dalam mengontrol perempuan. sehingga mitos tersebut masih saja menjadi masalah yang harus selalu dibawa dalam kesadaran perempuan meskipun mereka telah memiliki pola pergaualan publik. Untuk melihat persoalan diatas secara terarah, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana upaya perempuan untuk merespon mitos keperawanan atas dirinya? Bagaimanakah cara perempuan menunjukkan resistensi terhadap konstruksi budaya dan agama tersebut?
12
2. Apakah dampak yang dirasakan perempuan mengenai mitos tentang keperawanan? Apa respon mereka terhadap tubuh yang menjadi kepemilikan di dalam pemaknaan agama dan budaya? 3. Apakah latar belakang agama berpengaruh dengan model resistensi terhadap mitos keperawanan? 1.3. Tujuan Penelitian Ingin mengetahui macam-macam resistensi perempuan terkait dengan Mitos Keperawanan. Sejauh mana mereka bisa bertahan dengan konstruksi budaya dan agama yang sampai sekarang masih selalu mengambil alih kontrol perempuan atas tubuhnya. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana perempuan memaknai tubuh mereka yang berada dalam pemaknaan-pemaknaan sosial secara umum. Kenapa perempuan yang belum menikah kebanyakan selalu menjadi takut dengan label ’Tidak Perawan’. Bagaimana perempuan bertahan dengan penilaianpenilaian dari sosial dan agama. Sehingga pada nantinya bisa mendapatkan jawaban bagaimana dan sebesar apa pola resistensi perempuan dalam merespon konstruksi mitos tersebut. Bagaimana peran agama dalam upaya memfasilitasi perempuan menjadi makhluk yang mempunyai agama sendiri dan dilindungi agama bukan menjadi pihak yang memiliki agama dengan perantara laki-laki (Marsha Aileen Hewitt dalam Carl Olson.2003: 506).
13
1.4.
Landasan Teori Tubuh menjadi sebuah kajian yang menarik untuk kaji lebih mendalam.
Tubuh yang merupakan struktur anatomi biologis, telah diberikan muatan-muatan sosiokultural sehingga yang biologis tadi juga menampung nilai-nilai sosial. Studi tentang tubuh telah di bangkitkan kembali oleh seorang akademisi yakni Foucault. Ia menyatakan bahwa pada awal perkembangan rezim medis, tubuh telah digunakan untuk legitimasi kekuasaan oleh penguasa ilmu pengetahuan maupun pemerintahan (Foucault:1990). Tubuh mengalami sejumlah perlakuan yang mengontrolnya secara sosial. Munculnya studi mengenai tubuh juga oleh Shilling, 1993 dianggap menjadi tanda bahwa kesadaran masyarakat akan tubuh biologis mereka mulai melamah, karena tubuh biologis telah diberikan muatan nilai-nilai sosial (Abdullah 2001:67). Tubuh dimiliki setiap manusia, tetapi di dalam banyak kasus, tubuh perempuan lebih rentan untuk mengalami kontrol dan pendisiplinan. Tubuh perempuan yang mempunyai bentuk fisiologis sedikit berbeda dengan laki-laki diberikan makna kultural yang sangat berbeda, atau malah justru menjadi obyek yang dikuasai (Abdullah, 2001;49-50). Dalam proses eksternalisasi, manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan suatu struktur yang bias gender dengan pembagian-pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemudian menjadi realitas obyektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Peter Berger (1991:19),
14
setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima
identitas-identitas
yang
membentuk
struktur
sosialnya
(Abdullah, 2001:50)
Studi tentang perempuan dan relasi gender merupakan sebuah proses sosio kultur yang dibentuk oleh masyarakat (Moore, 1988,1994 : 10 dalam Abdullah, 2006: 242). Padahal masyarakat sendiri adalah bentukan dari manusia yang selalu ingin mengetahui makna melalui proses dialektika (Berger dan Luckmann, 1991: 3 5). Kemudian dalam proses sosio kultural tersebut perempuan disebutkan mengalami ketidakadilan gender seperti stereotip, marjinalisasi, subordinasi, diskriminasi sampai pada kekerasan dengan berbagai mitos yang melingkupinya. Perempuan yang mengalami ketidakadilan tersebut membutuhkan pengakuan eksistensi yang sama dengan laki-laki (Abdullah, 2006:246). Meskipun agama memberikan martabat yang sama antara laki-laki dan perempuan, tetapi pada akhirnya dalam ranah sosial, perempuan memiliki agama dengan perantara dan kontrol laki-laki (Nurjannah Ismail :315). Seperti dalam tulisan Marsha Aileen Hewitt “ Do Women Really Need a “God/es” to Save Them? “An Inquiry to Devine Feminine”.bahwa agama itu dimiliki oleh laki-laki. Adam menjadi manusia pertama yang diceritakan bahwa ia adalah laki-laki, kemudian perempuan baru diciptakan beberapa saat setelah adam menjadi manusia yang resmi menjadi penghuni surga. Kemudian diciptakanlah hawa sebagai respon dari kebutuhan Adam mengenai pasangan hidup. Dalam Penciptaan perempuan (QS.4:1) Hawa dicipta dari nafs wahidah yang di
15
artikanadalah tulangrusuk Adam.Dari QS. Al-Hujurat: 13, Islam memandang laki dan perempuan sebagai makhluk yang setara. Meskipun dalam beberapa hal terdapat beberapa teks yang diterjemahkan dengan menomorduakan posisi perempuan. Bias gender dalam teks Al-Quran bukan merupakan ide Tuhan untuk lebih mengunggulkan laki-laki dan sebaliknya (Nurjannah Ismail.2003). Karena teks yang menjadi bias pada dasarnya tidak bisa lepas dari proses intrepetasi laki-laki dalam menterjemahkan teks-teks tersebut. Muslim
laki-laki
digambarkan
sebagai
sosok
yang
brutal
dan
mengagungkan agamanya sedangkan perempuan adalah hanya sebagai pemuas kebutuhan seks bagi laki-laki (Christel Manning dan Phil Zuckerman, 2005 : 180). Studi mengenai gender sudah berlangsung sejak lama, setelah masa Victoria perempuan
mencoba lebih terbuka dan berani menghadapi proses
subordinasi kultur laki-laki. Perempuan sudah muncul banyak kesadaran mengenai tubuh mereka. Proses bergesernya perempuan dari ruang domestik menuju ruang publik tentu mempengaruhi cara pandang perempuan. Perempuan dimaknai negatif secara perilaku seksual. Perempuan muslim selalu diasumsikan bahwa mereka akan tetap menjaga keperawanan meskipun telah ‘melanggar’ batas-batas domestik (Christel Manning dan Phil Zuckerman, 2005 : 185). Tuntutan yang sama ketika perempuan harus tetap bisa menangani wilayah domestik setelah mereka pulang dari area publik (Naomi Wolf, 1997). Pada masa sekarang ini tentu saja perempuan masih banyak yang membutuhkan ‘legal virginity’ (Christel Manning dan Phil Zuckerman, 2005 : 185). Ini dibuktikan dengan adanya upaya untuk membuat keadaan yang sudah
16
tidak virgin tampak seperti masih virgin. Supaya perempuan yang sudah tidak perawan tersebut terlihat dan dipercayai masih perawan. Seperti tidak menyetujui dengan kegiatan sexual intercourse, berbicara seolah belum pernah melakukan hubungan seksual sampai pada tingkat ekstrim dengan menyimpan setetes darah untuk dicipratkan pada seprei saat hubungan seksual di malam pertama (Nawal L. Sadawi,2001:54-55). Penelitian ini akan mengambil lokasi di Yogyakarta karena dirasa akan representatif dengan topik yang diangkat. Yogyakarta adalah tempat bertemunya banyak masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Masyarakat yang didominasi oleh pelajar memberikan kemungkinan bahwa relasi yang terbentuk juga melibatkan relasi seksual. Yogyakarta menjadi kajian yang menarik karena mayoritas masyarakatnya adalah muslim dan perempuan berhijab bisa ditemui di setiap sudut kota. Ini akan memberikan banyak data mengenai pola relasi seksual perempuan muslim yang secara kepercayaan maupun yang mengenakan simbolsimbol agama (hijab). Islam mempunyai hukum yang ketat bagi mereka yang melakukan perilaku seks sebelum menikah, bahkan perilaku mendekati seks sudah mendapatkan larangan yang kuat, seperti yang tercantum dalam surat 24:2-3,dari ayat tersebut, Tuhan tidak bisa secara langsung menghukum orang-orang yang telibat pada praktik-praktik yang disebut zina tersebut. Tetapi, kontrol sosial dan negara yang membuat hukuman itu menjadi nyata. Ini yang disebut Foucault dengan rule of double conditioning. Bahwasanya kontrol disiplin tersebar dari
17
yang makro yakni Negara serta dari kontrol mikro yakni masyarakat dan keluarga (Seno Joko Suyono,2002:477). Sejak kecil keluarga selalu memberikan pengetahuan yang disegel mengenai isu seksualitas. Keluarga memberikan pengetahuan mengenai bahaya kesehatan dari relasi lawan jenis yang mempunyai kecenderungan untuk beraktifitas seks. Seks dianggap tabu dalam keluarga,pada saat seorang remaja pergi dari rumah untuk belajar di kota lain, pengetahuan tentang seks-pun sama terbatasnya karena negara memberikan peraturan tegas mengenai berzina. Pada saat bulan Ramadhan, aktifitas razia di beberapa tempat yang dianggap mesum ditingkatkan untuk mendisiplinkan pasangan yang berbuat zina. Hubungan seks pra menikah merupakan hubungan yang melibatkan pasangan.Laki-laki bukanlahsatu-satunya pihak yang mempunyai kebutuhan seksual, perempuan juga mempunyai kebutuhan yang sama untuk mendapatkan pengalaman seksual sebelum menikah. Dan kebutuhan seksual perempuan, serta kaitannnya dengan tubuh biologis perempuan seharusnya tidak dilibatkan dalam penilaian secara kultural. Namun, perempuan biasanya akan mendapatkan pemaknaan negatif apabila tampil dalam masyarakat dengan mengenakan identitas ‘tidak perawan’ sebelum ia menikah. Dawyer menjelaskan bahwa tubuh dan moralitas perempuan adalah sebuah kesatuan, keduanya berhubungan satu dengan yang lain. Tubuh dan moralitas perempuan secara bawaan dianggap menjadi common cause atau entitas yang mengundang banyak konflik. Sehingga tubuh dan moralitas tersebut perlu dikontrol dan didisiplinkan (Udasmoro, 2009:104).
18
Dalam konstruksi mitos dan pendisiplinan aktifitas seksual perempuan tersebut, tentu perempuanmelakukan berbagai resistensi. Seperti yang dikatakan Foucault bahwa :Where there is power, there is resistances. There are inscribed in the power as an irreducible opposite. They can only exist in the strategy field of power relation (Seno Joko Suyono,2002: 481). Resistensi kemudian akan terus berlangsung selama kekuasaan masih berlangsung. Resistensi tidak harus berupa revolusi seperti pendapat Marxis mengenai resistensi dengan cara pembebasan dari rezim kekuasaan. Mengingat pendapat Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan ada di mana-mana maka, penulis sepakat bahwa proses resistensi para perempuan juga akan terus berlangsung karena merespon mengenai kekuasaan yang ditujukan pada mereka.
1.5.Metode Untuk memahami fokus kajian mengenai perempuan dan mitos keperawanan, maka penelitian ini akan menggunakan pendekatan kritis untuk mengetahui sudut pandang mengenai pola resistensi yang kreatif ataupun yang meniru. Resistensi tersebut dihadapkan pada sistem kekuasaan yang melibatkan gender dan doktrin agama. Tetapi tidak tertutup kemungkinan pula bahwa pendekatan Gramsci juga dibutuhkan karena ini akan membuka kesempatan untuk penemuan lain selain relasi kekuasaan yang berujung pada pola resistensi. Masyarakat bisa jadi juga ikut terhegemoni dengan adanya Mitos keperawanan tersebut.
19
Dalam penelitian ini akan memilih informan yakni mahasiswa perempuan. Mahasiswa perempuan dipilih karena mereka adalah pihak-pihak yang menjadi objek mitos ataupun menyebarkan dan menyuburkan ideologi terhadap mitos itu sendiri. Usia mahasiswa menjadi batasan pemilihan informan karena tingkatan usia mahasiswa adalah tergolong usia dewasa dan mandiri untuk menentukan pilihan hidup. Sedangkan beberapa universitas yang menjadi lokasi penelitian adalah beberapa universitas di Yogyakarta seperti UGM dan UNY, IAIN. Pemilihan informan selain mempertimbangkan latar belakang keyakinan dan pendidikan agama, juga akan mempertimbangkan latar belakang budaya dari informan. Penelitian ini bersifat kualitatif. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara mendalam (indepth interview), wawancara bebas, serta studi literatur. Wawancara mendalam dipakai untuk mengetahui pendapat, pandangan, dan tanggapan informan, mengenai hal-hal yang menyangkut materi penelitian. Metode wawancara lebih memfokuskan pada tema dan bukan metode wawancara yang terstruktur (seperti kuesioner atau angket) tetapi tetap terfokus pada topik. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk menggali informasi jauh dari yang ‘surface’. Selain wawancara mendalam, dipakai juga metode wawancara bebas, di mana wawancara dilakukan secara spontan melalui obrolan ringan yang bisa ditanggapi oleh berbagai pihak. Sehingga akan secara tersirat memunculkan sudut pandang mereka mengenai topik yang sedang dibicarakan.
20
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menitikberatkan pada pendekatan intepretif seperti yang dikemukakan oleh Geertz, tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna (Salehati, 2009: 25). Dengan demikian Analisis Intrepetif tersebut akan bisa menjelaskan secara deskriptif mengenai penulisan penelitian ini.
21