Ideologi Lima-i Sebagai Ideologi Pembelajaran (Sebuah Keniscayaan Upaya Membangun Komitmen) M. Syahran Jailani Fakultas Ilmu Tarbiyah &Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi e-mail:
[email protected] Abstract: Education was a part of life of young generation to hold the world. Education itself cannot separate from ideology of education. The circumstances were undeniable. Our education was not fully providing the bidding that was expected by the students. One of them was the ideology of five-I not become the ideology of learning. It should be the teachers have to realize the importance of ideology five-I as the ideology of learning. After that, ideology five- I was a soul and heart of life. It could be used by educators and an indispensable part of human life which was becomes a soul for learning process. Key words: The Ideology five-I, education, inevitability
I. Pendahuluan Kegiatan pendidikan termasuk juga di dalamnya pembelajaran, diyakini sebagai upaya yang unik, istimewa dan menentukan kualitas hidup manusia melalui pengembangan harkat dan martabat manusia (HMM); sebagai kegiatan yang tidak boleh gagal dan terhindar dari kecelakaan-kecelakaan pendidikan, pendidikan memerlukan dasar yang benar-benar kuat demi pelaksanaannya yang berhasil. Dengan demikian, kegiatan pendidikan yang intinya adalah proses pembelajaran memerlukan suatu ideologi sebagai landasan yang kuat. Untuk menjamin kelancaran proses pendidikan dan hasil pembelajaran diri pendidik perlu dilengkapi dengan ideologi tertentu agar pelaksanaan pendidikan yang menjadi
1
tugas
kewajibannya
terlaksana
dipertanggungjawabkan .
dengan
mantap
dan
benar-benar
dapat
1
Tilaar menyatakan bahwa proses pendidikan merupakan suatu tindakan yang sadar tujuan.2 Artinya, pendidikan itu dituntun oleh suatu sistem norma dan nilai-nilai yang secara reflektif telah dipilih untuk peserta didik. Norma dan nilainilai dibangun dalam filosofi kehidupan, yang berangkat dari tata nilai pergaulan dan keterlibatan manusia dengan sesama. Nilai dan norma, lahir dari proses pendidikan yang secara ideologis berasal dari ide dan pemikiran kritis. Dalam konteks ideologi pendidikan, O’neil berpendapat bahwa ideologi pendidikan yang berisi gagasan dan pemikiran telah memberikan sumbangan besar bagi keberlangsungan dunia pendidikan dewasa ini, paling tidak secara garis besar enam ideologi pendidikan, yaitu: ideologi pendidikan fundamentalisme, ideologi pendidikan
intelektualisme,
ideologi
pendidikan
konservatisme,
ideologi
pendidikan liberalisme, ideologi pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkisme, yang mempengaruhi pendidikan di dunia hari ini.3 Ideologi pendidikan yang telah dipaparkan tersebut, secara teori telah mampu melakukan perubahan pemikiran dan cara pandang tokoh-tokoh pendidikan dalam memaknai pendidikan dengan berbagai dimensinya. Ideologi pendidikan, telah memberikan implikasi secara praktis sehingga dapat diterjemahkan oleh pendidik dalam menghantarkan peserta didik sebagimana tujuan pendidikan yang diingingkan. Hadirnya ideologi penddidikan telah pula mewarnai corak dan pemikiran para pendidik dalam memahami pendidikan secara konprehensif. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kiranya munculnya istilah “ideologi lima-i” sebagai sebuah sistem pemikiran, mampu menjembatani antara teori dan praktik pendidikan dalam situasi pembelajaran.
1
Prayitno. 2009. Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II) Padang: Universitas Negeri. Hlm.241 2 Tilaar. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dar Perspektif Studi Kultural. Magelang: IndonesiaTera. Hlm.113 3 O’neil, F. William. (2002). Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm.105
2
Ideologi lima-i, yang secara aplikatif unsurnya terdiri atas: iman dan taqwa, inisiatif, industrius, individu, dan interaksi sebagai ideologi pembelajaran perlu diwujudkan dalam diri dan kehidupan guru maupun anak didik sebagai individu yang utuh.Tidaklah berlebihan kiranya ideologi lima-i dijadikan sebagai ideologi bagi pendidik yang melandasi tugas pokok profesionalnya. Dengan ideologi lima-i itu, pendidik mengimplementasikkan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi anak sebagai peserta didik secara optimal, yang tidak lain adalah perwujudan harkat dan martabat manusia (HMM) pada diri dan kehidupan peserta didik.
II. Pembahasan 1. Pengertian Ideologi Menurut bahasa (etimologi) kata ”ideologi” berasal dari dua kata,
yaitu:
”idea” yang artinya pikiran dan ”logos” yang artinya ilmu. Istilah ideologi bisa dimaknai dan mengandung pengertian berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang keyakinan atau tentang gagasan. Pengertian lainnya, ideologi adalah studi tentang gagasan, pengetahuan kolektif, pemahaman-pemahaman, pendapat-pendapat, pengalaman
nilai-nilai,
prakonsepsi-prakonsepsi,
pengalaman-
atau ingatan informasi sebuah kebudayaan dan juga rakyat
individual. Secara umum dapat dikatakan bahwa, Ideologi sebagai sistem berfikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. 4 Sementara filosuf Prancis Antoine Destult de Tracy (1754-1836) yang hidup pada masa Revolusi Prancis orang yang pertama
sekali
menemukan
istilah
”ideology”
pada
tahun
1796,
mendifinisikan ideologi sebagai ”ilmu tentang pikiran manusia (sama seperti biologi dan zologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang mampu menunjukan jalan yang benar menuju masa depan”.
4
Thomson, B. John. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Penerjemah Haqqul Yaqin). Yogyakarta: IRCiSoD. 2007. hlm. 17
3
Tilaar berpendapat ideologi
merupakan sistem keyakinan yang dianut
masyarakat untuk menata dirinya sendiri.5 Salah seorang pemikir posmodernis abad ke-20, Louis Althusser (1999) mengatakan bahwa ideologi merupakan sistem keyakinan yang menyembunyikan kontradiksi-kontradiksi internalnya. Artinya, dalam setiap ideologi disembunyikan kontradiksi-kontradiksi dalam ajaran-ajarannya. Misalnya, di dalam ajaran demokrasi liberal terdapat kelemahan-kelemahan yang merugikan sesama manusia dalam pemberian kesempatan untuk berkembang. Manusia yang gagal merupakan orang-orang yang tidak mampu mencapai kesuksesan dan bukan kontradiksi dalam sistem ekonomi itu sendiri. Foucault menyimpulkan bahwa ideologi menyangkut empat hal, yaitu; (a) ekonomi sebagai basisnya, (b) kelas yang berkuasa, (c) kekuasaan represif, dan (d) sesuatu yang berlawanan dengan kebenaran sejati.6 Terry Eagleton salah seorang pakar yang mendalami tentang masalah ideologi dalam perkembangan dan aplikasinya pada kehidupan masyarakat, mengumpulkan berbagai definisi mengenai ideologi, sekali pun definisi ideologi tersebut masing-masing memiliki rumusan yang berbeda-beda satu dengan yang lain, bahkan tidak jarang bertentangan satu sama lainnya. Tidak kurang 15 definisi yang dikumpulkan oleh Eagleton. Diantara definisi itu adalah sebagai berikut; (a) ideologi sebagai proses produksi dari arti, lambang, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial, (b) ideologi sebagai suatu kumpulan ide-ide yang merupakan karakteristik dari suatu kelompok sosial atau kelas, (c) ideologi merupakan ide-ide yang membantu untuk melegitimasikan kekuasaan politik yang dominan, (d) ideologi merupakan ide-ide palsu untuk melegitimasikan kekuasaan politik yang dominan, (e) ideologi merupakan bentuk-bentuk pemikiran yang dimotivasikan oleh kepentingan-kepentingan sosial, (f) ideologi adalah pemikiran identitas, (g) ideologi adalah ilusi sosial yang diperlukan, (h) ideologi merupakan perangkat pelaku-pelaku sosial untuk 5
Tilaar. H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dar Perspektif Studi Kultural. Magelang: IndonesiaTera. 2003. hlm.114 6
Tilaar. H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dar Perspektif Studi Kultural. Magelang: IndonesiaTera. 2003. hlm.115
4
menentukan arti terhadap dunianya, (i) ideologi adalah merupakan suatu perangkat kepercayaan sebagai dasar bertindak, (j) ideologi sebagai perangkat yang diperlukan bagi seorang individu untuk hidup dalam hubungannya dengan struktur sosial.7 Beberapa definisi di atas, memberi pengertian ideologi sebagai kekuatan bagi kehidupan manusia dalam rangka menuntun dan membangun suatu peradaban yang unggul, dimana biasanya ideologi yang dilaksanakan oleh suatu masyarakat bersumber dari agama, moral-, nilai-nilai, etika, ide-ide, pemikiran, adat-istiadat maupun kebudayaan yang kuat dipegang teguh. Karena itu, ideologi selalui diasumsikan bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama-sama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakai secara kolektif. Prayitno memberi definisi secara sederhana tentang ideologi merupakan dasar pegangan yang sangat kuat terkait dengan ide, teori ataupun sistem yang diakui kebenarannya, diikuti serta diperjuangkan dan dilaksanakan dalam praktek, dengan komitmen, dedikasi dan tanggung jawab yang setinggitingginya, kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga. 8 Istilah dan pengertian ideologi, sebagaimana dijelaskan di atas, memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Jika diteliti tentang akurasinya dalam literatur, akan menunjukkan bahwa istilah tersebut digunakan dalam dua cara yang sangat berbeda. Di satu sisi, ideologi digunakan oleh beberapa ahli sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif: sebagai sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktek-praktek simbolik yang berhubungan degan tindakan sosial dan politik. Penggunaan istilah ini telah memunculkan apa yang disebut dengan konsepsi netral (neutral conception) tentang ideologi. Tidak ada upaya, pada basis konsepsi ini, untuk memisahkan antara jenis-jenis tindakan dengan animasi ideologi; ideologi hadir dalam setiap program politik,
7
Ibid Prayitno. Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II). Padang: Universitas Negeri. 2009. hlm.491. 8
5
mengabaikan program
yang dimaksudkan sebagai pemiliharaan
dan
transformasi tatanan sosial. Di sisi lain, ideologi secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan proses pembenaran dominasi. Penggunaan istilah yang demikian menunjukkan apa yang disebut konsepsi kritis ideologi (critical conception of ideology) yang mengandung konotasi negatif.9 Dalam konteks dunia pendidikan, Menurut Tilaar ada beberapa hal yang berkaitan dengan pengertian ideologi yang mempengaruhi praktisi pendidikan, diantaranya pengertian ideologi sebagai ide-ide yang menentukan kehidupan dalam masyarakat (guiding principles).10 Sering kali kita mendengar bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang bermoral. Moral adalah susunan nilai-nilai atau idei-ide yang diagungkan dalam kehidupan bersama. Moral atau ide-ide dasar dapat bersumber dari agama, adat-istiadat, atau kebudayaan pada umumnya. Ide dapat juga diartikan sebagai suatu doktrin. Kita mengenal misalnya doktrin tentara, doktrin dalam pengertian etika profesi seperti yang kita kenal dalam etika kedokteran, etika guru, etika hakim, dan berbagai jenis etika lainnya. Menurut Robin (2001) fungsi etika profesional tersebut menjadi pegangan dan penuntun pelaksanaan profesi tersebut. Di dalaam dunia pendidikan, pun ternyata ideologi menjadi sesuatu yang amat penting diperdebatkan, didiskusikan bahkan di kritisi. Maka sangatlah wajar apabila kemudian ideologi menjadi evicentrum berbagai dinamika disiplin ilmu, termasuk di dalamnya bagian dari pembahasan pendidikan. Pembahasan ideologi pendidikan oleh para ahli, terutama para pemikir pendidikan, yang mencoba menemukan titik-temu ideologi dan pendidikan dalam satu domain, yaang kemudian hari ini menjadi referensi dunia pendidikan.
9
Thompson. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Penerjemah Haqqul Yaqin). Yogyakarta: IRCiSoD. 2007. hlm.17. 10 Tilaar. H.A.R. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dar Perspektif Studi Kultural. Magelang: IndonesiaTera. 2003. hlm.115
6
2. Ideologi-Ideologi Pendidikan Perkembangan ideologi pendidikan dalam dunia pendidikan hari ini, tidak terlepas dari pemikiran tokoh-tokoh seperti William F. O’Neil dan Faulo Freire yang mencoba meramu beberapa pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya yang bergerak pada tataran filsafat dan logika yang kemudian memasukkan ide-ide sebagai konsep berfilsafat, yang kemudian melahirkan konsep ideologi sebagai bagian disiplim ilmu baru. Misalnya Soeharto (2010), membagi ideologi pendidikan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu; pertama ideologi konservatif yang meliputi ideologi pendidikan fundamentalisme, ideologi pendidikan intelektualisme dan ideologi pendidikan konservatisme. Kedua, ideologi liberal yang meliputi ideologi pendidikan liberalisme, ideologi pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkisme. Sementara, Freire dalam pemaparan dan pembahasan secara umum,memetakan ideologi pendidikan tersebut berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan O’Neil ada 6 (enam) model ideologi pendidikan, sebagai berikut yaitu11: a. ideologi Pendidikan Fundamentalisme, Bagi
seorang
penganut
ideologi
pendidikan
fundamentalisme,
masyarakat kontemporer dihadapkan pada keruntuhan moral dalam waktu dekat, dan keharusan tertinggi yang musti dilakukan adalah merombak tolak ukur keyakinan dan perilaku konvensional dengan cara kembali ke ciri-ciri kebaikan yang lebih tinggi di masa silam. Sejalan dengan itu, sasaran pendidikan adalah untuk memulihkan caracara yang lebih baik, demi membangun kembali tatanan sosial yang ada. Sekolah seharusnya menekankan karakter moral yang layak, melatih siswa untuk menjadi pribadi yang baik diukur dengan tolak ukur perilaku moral tradisional. Sekolah mesti memusatkan perhatian pada pembaharuan pola-pola budaya lama; ia harus membantu siswa 11
Freire, Paulo dkk. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003. hlm. 34.
7
untuk menemukan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam tradisitradisi budaya yang mendasar, penekanannya harus diberikan pada regenerasi moral, dalam hal membangun kemabali masyarakat menurut jalur-jalur pendekatan tradisional terhadap keyakinan dan perilaku. Menurut O’Neil, sekolah juga mesti menekankan latihan moral dan berbagai jenis keterampilan-keterampilan akademik dan praktis yang diperlukan untuk membantu siswa menjadi anggota yang aktif dalam tatanan
sosial
keterampilan-keterampilan pembentukan
karakter,
yang digenerasikan secara tepat:
belajar
yang
pendidikan
fisik
mendasar,
pelatihan
(termasuk
pelajaran
kesehatan), sejarah nasional, kesusastraan nasional, pelajaran agama.12 b. ideologi Pendidikan Intelektualisme, ideologi intelektualisme, menganut sebuah etika diri yang terbuka yang universalistik, dan hampir semua intelektualis cendrung untuk mengajukan sarana pelatihan kecerdasan sebagai sebuah cara yang unggul (yang alamiah) untuk menuntun individu ke arah pencerahan filosofis atau relegius. Sasarannya secara keseluruhan adalah pribadi yang tercerahkan (dan karenanya kesadaran diri) dan individu-individu yang direncanakan inilah yang harus mengendalikan negara, dengan begitu mereka juga mengendalikan proses pendidikan, dan pada gilirannya, pengendalian atas pendidikan pada puncaknya menentukan pencerahan individu-individu lain.
Kaum intelektualis memandang
penalaran sebagai ciri keunggulan manusia secara alamiah, maka kebanyakan inteletualis cendrung untuk secara relatif bersikap optimis mengenai kemampuan rata-rata manusia untuk mencapai pencerahan melalui pelatihan dan pendidikan yang tepat. Menurut ideologi inteletualisme, sekolah-sekolah musti mengadakan pelatihan dan pembinaan untuk membawa setiap orang kepada potensi 12
O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 247-252.
8
mereka masing-masing. Mereka yang mencapai profil moral dan intelektual yang ideal harus secara tepat mengambil kendali atas negara. Sekolah, sebagai satu dari sekian agen penting dalam negara, mesti menjamin pendidikan yang tepat bagi semua orang. Sasaran pendidikan secara keseluruhan adalah untuk mengenali, merumuskan, menyalurkan, dan melestarikan kebenaran inti (yakni, prinsif-prinsif pokok yang mengatur pemaknaan dan arti pentingnya kehidupan). Secara lebih khusus, peran sekolah dalam jangka pendek adalah sebagai sebuah lembaga sosial tertentu yang harus mengajarkan pada para siswa bagaimana caranya berfikir (yakni bagaimana cara menalar) serta untuk menyalurkan pemikiran terbaik (yakni kebijaksanaan yang tahan lama) dari masa silam. 13 c. ideologi Pendidikan Konservatisme, bagi
ideologi pendidikan kaum konservatisme, tujuan dan sasaran
pendidikan adalah
sebagai pelestarian dan penerusan pola-pola
kemapanan sosial serta tradisi-tradisi. Berciri orientasi masa kini, pendidik konservatif sangat menghormati masa silam, namun mereka lebih memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan penerapan pola belajar mengajar di dalam konteks sosial yang ada sekarang. Ia ingin mempromosikan
perkembangan
masyarakat
kontemporer
yang
seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang secara perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluankeperluan legal serta kelembagaan yang sudah mapan. Ideologi konservatif, pada dasarnya mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap hukum serta tatanan sosial yang berlaku, sebagai landasan bagi perubahan sosial yang konstruktif. Dalam hal pendidikan, kaum konservatisme 13
O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 268-269.
9
menganggap bahwa sasaran utama sekoah adalah pelestarian, penerusan struktur, dan sistem sosial serta pola-pola dari tradisi-tradisi yang sudah mapan. Ada dua varian yang mendasari ideologi-ideologi pendidikan konservatisme: (a) ideologi konservatisme religius, menekankan pelatihan rohani sebagai pusat landasan watak moral yang tepat; (b) ideologi pendidikan konservatisme sekuler, peduli pada perlunya pelestarian dan penyaluran keyakinan-keyakinan dan praktikpraktik yang ada, sebagai sebuah jalan untuk melestarikan pertahanan hidup
secara
sosial
sekaligus
keefektifan
sosial.
Saat
ini,
konservatisme relegius paling terwakili dalam orientasi pendidikan tradisi-tradisi protestan, seperti Lutheran dan baptisn; sedangkan yang sekuler diwakili oleh para kritisi yang tajam dari pendukung progresivisme dan permisivisme pendidikan, seperti pemikiran James Koerner serta Hymen Rickover.14 d. ideologi Pendidikan Liberal, Ideologi pendidikan liberal bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada, dengan cara mengajarkan kepada siswa bagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya secara efektif. Karena manusia adalah makhluk sosial yang bersandar pada orang lain untuk bertahan hidup pada masa bayi dan kanak-kanak, dan bergantung pada kondisi-kondisi budaya yang menjamin perilaku yang berhasil baik dalam persaingan antarspesies, maupun dalam persaingan antarmasyarakat dalam spesies (manusia) itu sendiri, atau pun persaingan antarindividu dalam sebuah masyarakat; maka kegiatan belajar secara personal selalu berlangsung dalam konteks pengalaman sosial, dan hakikat serta isi pengalaman sosial itu, secara logis maupun psikologis, mendahului penngalaman murni bersifat personal. Dengan begitu, maka seluruh pengalaman
14
O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 333.
10
personal sejalan dengan (atau cocok dengan) rumusan sosial mengenai kenyataan (rumus itu sudah ada lebih dulu dan sudah mendominasi). (inilah landasan relatifisme budaya). Tokoh ideologi pendidikan liberal ini diwakili oleh John Dewey.15 e. ideologi Pendidikan Liberasionisme, Dalam pandangan O’Neill tentang ideologi pendidikan liberasionisme, dimana sasaran puncak pendidikan mestilah
berupa penanaman
pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan (humanistik), menekankan perkembangan sepenuhpenuhnya dari potensi-potensi khas setiap orang sebagai makhluk manusia. Ini hanya bisa berlangsung di dalam kerangka kerja sebuah sistem sosial yang berkomitmen terhadap pengungkapan maksimum kebebasan-kebebasan kewarganegaraan individual dengan sebuah proses demokratis yang stabil dan tahan lama. Lebih khusus lagi, sekolah musti menyediakan informasi serta ketrampilan bagi para siswa supaya mereka bisa belajar secara efektif bagi mereka sendiri. Sekolah harus mengajarkan bagaimana caranya menyelesaikan persoalan-persoalan
praktis,
melalui
penerapan
teknik-teknik
pemecahan masalah secara individual maupun kelompok, yang didasarkan pada pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional. Sekolah harus membantu para siswa untuk mengenali dan menanggapi kebutuhan bagi pembaharuanatau perombakan apa pun yang tampaknya merupaka tuntutan zaman. Tokoh-tokoh gerakan ini diwakili oleh Paulo Freire dan Niel Postman.16 f. ideologi Pendidikan Anarkisme, bagi kaum ideologis pendidikan anarkis, individu secara deskriptif berada
di
bawah
masyarakat
(dalam
arti
psikologis
atau
developemental) karena individu ditentukan pada intinya oleh 15
O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm.356. 16 O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 466.
11
keanggotaan sosialnya. Disisi lain, individu secara deskriptif lebih tinggi kedudukannya (superior) ketimbang masyarakat (dalam arti filosofis murni), dan ia menjadi benar-benar manusia serta mencapai pewujudan diri, hanya ketika ia melampaui perintah-perintah atau keharusan-keharusan (imperatif) masyarakat terorganisir itu secara menyeluruh. Dengan kata lain, bagi kaum anarkis, kenyataan bahwa masyakat terorganisir belakangan lebih diutamakan ketimbang ungkapan diri individual adalah tepat , namun tetap saja situasi itu pantas
disesalkan,
lantaran
secara
objektif
individu
mampu
memantulkan perilaku moral secara langsung tanpa dipaksakan, dan perilaku semacam itu tidak butuh kekangan atau kontrol sosial dari luar. Bagi kaum anarkis, pendidikan yang dipandang sebagai sebuah proses yang harus ada untuk belajar melalui pengalaman sosial alamiah manusia sendiri jangan sampai dikacaukan dengan kegiatan sekolah, yang hanya sebuah corak pendidikan, dan merupakan kaki tangan dari negara otoriter. Akibat memerosotnya tanggung jawab personal, negara, dan sekolah membuat anak-anak menjadi tidak bisa dididik dalam arti pendidikan yang sejati; mereka seharusnya mendapatkan pendidikan sejati dan bukan hanya sekedar pelatihan. Sekolah sebagaimana negara sendiri, diadakan terutama untuk mengatur kebutuhan-kebutuhan ciptaannya sendiri. Kita memerlukan sebuah perubahan lembaga-lembaga deinstitusionalisasi yang radikal, termasuk perubahan lembaga sekolah (deschooling). Dalam sebuah masyarakat
desentralisasi, ter-de-institusionalisasikan, rakyat akan
dikembalikan kepada diri mereka sendiri, kepada sebuah dunia yang disederhanakan secara radikal, yang terdiri atas sebuah hubungan ”Aku-Engkau” (I-thou) yang didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang jauh lebih sedikit, dengan semangat hidup yang jauh lebih besar, peningkatan
rasionalitas,
dan
adanya
sejenis
moralitas
sejati
berdasarkan tanggung jawab personal yang tercerahkan. Tokoh
12
pemikiran dari ideologi diantaranya adalah Ivan Illich dan Erich Fromm.17
3. Ideologi Lima-i sebagai ideologi Pembelajaran Ideologi merupakan dasar pegangan yang sangat kuat terkait dengan ide, teori, ataupun sistem yang diakui kebenarannya, diikuti serta diperjuangkan dan dilaksanakan dalam praktek, dengan komitmen, dedikasi dan tanggung jawab yang setinggi-tingginya, jika perlu dengan pengorbanan apapun jua. Kegiatan pendidikan yang intinya adalah proses pembelajaran memerlukan ideologi sebagai landasan yang kuat dan kokoh. Seorang pendidik perlu dilengkapi dengan ideologi, agar pelaksanaan pendidikan yang menjadi tugas kewajibannya
terlaksana
dengan
mantap
dengan
benar-benar
dapat
dipertanggungjawabkan. Ideologi lima-i yang merupakan inti HMM perlu diwujudkan dalam diri dan kehidupan individu, tidaklah berlebihan kiranya ideologi lima-i dijadikan ideologi pendidik yang melandasi tugas pokok profesionalnya. Melalui
ideologi
lima-i
itu
pendidik
dapat
mengimplementasikan
pembelajaran untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Secara
operasional,
dan
teknis,
ideologi
lima-i
penerapannya
mensinkronisasikan energi-energi yang ada pada peserta didik, lingkungan dan pendidik menjadi energi pembelajaran dalam situasi pendidikan yang bersemangat, efektif dan efesien.Karena ideologi pembelajaran yang terkandung dalam ideologi lima-i menjadi obor penerang bagi kegelapan alam pendidikan hari ini, maka ia seharusnya di tempatkan sebagai rujukan, acuan, kompas, dan barometer semua yang terlibat dalam usaha menjadikan pendidikan alat untuk memajukan anak negeri sebagai bagian dari tujuan pendidikan yang di cita-citakan.
17
O’Neil. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 482-484.
13
Menurut Prayitno ideologi lima-i merupakan inti dari harkat dan martabat manusia (HMM) dan lima-i perlu diwujudkan dalam diri dan kehidupan individu, tidaklah berlebihan kiranya lima-i dijadikan ideologi bagi pendidik yang melandasi tugas pokok profesionalnya.18 Melalui ideologi itu pendidik mengimplementasikan proses pembelajaran untuk pengembangan potensi peserta secara optimal, yang tidak lain adalah perwujudan HMM pada diri dan kehidupan peserta didik. Ideologi lima-i dikuasai oleh pendidik dan menjadi landasan energi baginya untuk melaksanakan proses pembelajaran secara taat azas dan berhasil. Adapun konsep ideologi pendidikan sebagai ideologi pembelajaran yang unsurnya, terdiri, atas: (a) iman dan taqwa: meliputi segenap aspek Ketuhanan Yang Maha Esa dan perikehidupan keberagamaan, (b) inisiatif: berarti semangat, kemauan untuk memulai dan mencoba, berdaya upaya, pantang menyerah, mencapai sesuatu hasil yang berguna,(c) industrius: meliputi, kerja keras, tekun, disiplin, pertimbangan efesien-ekonomi, nilai tambah dan jujur, (d) individu: mencakup kualitas potensi, kemandirian individu, dan kemandirian beserta perbedaan antara individu, (e) intraksi: mengandung makna keterkaitan individu satu dengan individu lainnya19. Unsur-unsur lima-i saling terkait, saling mengisi, dan saling memperkuat serta bersama-sama mewakili seluruh unsur HMM. (diagram 1, Lima-I dalam HMM).
18
Prayitno. Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II) Padang: Universitas Negeri. 2009.hlm. 44 19 Prayitno. Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II) Padang: Universitas Negeri. 2009.hlm. 489
14
Diagram di atas, memperlihatkan bahwa ideologi lima-i merupakan inti dari HMM. Dalam pemahaman seperti itu, kelima unsur lima-i pada dasarnya dapat mewakili keseluruhan unsur HMM, dari sisi hakikat kemanusiaannya, dimensi kemanusiaannya, dan panca daya kemanusiaannya. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki ”jiwa lima-i” pada dirinya dan berperilaku serta menjalani kehidupannya dengan menuruti kaidah-kaidah lima–i, sesungguhnyalah pada diri orang itu telah terwujudkan HMM dalam sosok kediriannya dan dalam kehidupannya. Dengan kata lain, seluruh komponen proses pembelajaran dijiwai oleh niai-nilai lima-i. Ideologi lima-i menjadi roh penyelenggaraan proses pembelajaran. Penjiwaan lima-i dalam proses pembelajaran digambarkan melalui diagram 2, berikut ini:
(diagram 2, diadaptasi dari konsep dan pemikiran Prayitno, 2009) Keterangan:
1.
Pendidik,
2.
Kewibawaan,
3.
Tujuan
dan
materi
pembelajaran, 4. Kewiyataan, 5. Peserta didik, 6. Ideologi Lima-I lingkaran yang membingkai seluruh unsur proses pembelajaran, menjiwai pendidik dalam mewujudkan kewibawaan dan kewiyataan, menjiwai tujuan dan materi pembelajaran, serta ”membangun jiwa” peserta didikuntuk berlima-i.
III. Penutup
15
Hasil kajian analisis menyimpulkan bahwa, pentingnya ideologi lima-i sebagai ideologi pembelajaran bagi pendidik (termasuk dosen) dan peserta didik, tidak hanya sekedar memahami ideologi Lima-I, tetapi juga dapat dipraktekkan dalam pembelajaran bahkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai seorang guru maupun sebagai anggota masyarakat. Sebaiknya ideologi lima-i menjadi kompasatau mercusuar yang mampu memberi arah yang jelas, terukur, teruji, dan dapat dipertanggung jawabkan bagi pendidik. Ideologi lima-i yang unsur-unsurnya terdiri atas iman dan taqwa, inisiatif, industrius, individu, dan interaksi dalam
implementasinya
memberikan
penguatan wawasan, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, sikap dan nilainilai (WPKNS) pada kepribadian pendidik (Dosen). Implikasi dari pemahaman ideologi lima-i sebagai ideologi pembelajaran adalah, akan semakin mantap komitmen pendidik dan semua yang terlibat dalam proses pembelajaran, memiliki nilai-nilai sehingga senantiasa terbangun hubungan baik pendidik dengan peserta didik, serta lingkungan sekitar yang harmonis, berdayaguna, bermaknaguna, dan berkaryaguna sekaligus menjadi nafas bagi sebuah gerak jantung pendidikan. Pemangku kebijakan dan semua stakeholders yang terlibat dalam pendidikan, baik di lembaga Perguruan Tinggi mesti berupaya mendorong pendidik yang berkualitas paripurna, dan memiliki kompetensi yang diharapkan dunia pendidikan hari ini melalui berbagai aktivitas dan workshop yang berkelanjutan. Upaya yang sistematis dan teritegrasi harus dilakukan oleh pemangku kebijakan. Perguruan Tinggi dan pendidik (Dosen) tidak hanya terpaku pada sebatas tanggung jawab yang diberikan berupa aktivitas-aktivitas belajar saja secara formal di mana mereka bertugas. Lebih dari itu, bagaimana kemudian menjadikan ideologi lima-i mampu memberikan pengaruh yang luas bagi perkembangan dunia pendidikan melalui berbagai aktivitas pembelajaran dalam rangka melahirkan peserta didik yang cerdas dan berkualitas.
16
BIBLIOGRAFI Adeng Muchtar Ghazali. Civic Education Pendidikan Kewarganegaraan Perspektif Islam. Bandung: Benag Merah Press. 2004. Alexander, Robin. Culture & Pedagogy. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. 2001. Berns, Robert. M. Child, Family, School, Community Socialization and Support. New York: Thomson Learning, Icn. 2007. Baharuddin dan Moh. Makin. Pendidikan Humanistik Konsep, Teori dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007. Feinberg, Walter. School and Society. New York: Teacher College Press. 1986. Freire,
Paulo dkk. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Forum Mangunwijaya. Kurikulum yang Mencerdaskan
Visi 2030 dan Pendidikan
Alternatif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.2008. Giddens, Anthony. Social Theory Today.(penerjemah Yudi Santoso). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Karti Soeharto. Perdebatan Ideologi Pendidikan. Jurnal Nasional .Cakrawala Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Juni 2010. Th.XXIX, No.2 ISSN-0216-1370. 2010.
17
Leach, Jenny and Moon, Bob. The Power of Pedagogy. London: Sage Publications Ltd. 2008. Mohd. Abbas Abdul Razak. Globalization and its Impact on Education Culture. World Journal of Islamic History an Civilization. (WJIHC)1(1): 59-69, 2011. Volume 1, Number 1, 2011. ISSN 2225-0883. 2011. Mochtar Bochari. Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. 1994. ______________. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2001. ______________. Evolusi Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: INSIST Press. 2007. O’neil, F. William. Ideologi-Ideologi Pendidikan (alih bahasa Omin Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. Prayitno. Perspektif Tenaga Kependidikan Sekolah Menengah. (Makalah). Padang: IKIP Padang. 1999. ________ Sosok Keilmuan Ilmu Pendidikan. Padang: Fakultas Ilmu Pendidikan UNP. 2005. ________ Peta Keilmuan Pendidikan. Padang Fakultas Ilmu Pendidikan UNP. 2005. ________ Pendidikan Dasar Teori dan Praksis (jilid I dan II) Padang: Universitas Negeri. 2009. Syamsul Ma’arif. Selamatkan Pendidikan Dasar Kita. Semarang. Need’s Press. 2009. Tilaar. H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia.Jakarta: Gremedia 2002. ___________ Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dar Perspektif Studi Kultural. Magelang: IndonesiaTera. 2003. ___________. Kebijakan Pendidikan Pengantar untuk Memahami Kebijakan pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. ___________. Kekuasaan dan Pendidikan Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta. 2009. Thomson, B. John. Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. (Penerjemah Haqqul Yaqin). Yogyakarta: IRCiSoD. 2007. Utomo Dananjaya. Sekolah Gratis Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan. Jakarta: Paramadina. 2005. Winarno Surakhmad. Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas. 2009. Yusran Pora. Selamat Tinggal Sekolah. Yogyakarta: Media Pressindo. 2004.
18
Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional: Jakarta. 2003.
19