BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban
manusia. Kebudayaan juga bisa menunjukan ciri kepribadian manusia atau masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia, di dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai atau nilai-nilai yang perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya (Sunjata, 1996:2). Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini berproses.
Kepercayaan
itu
bisa
berupa
pandangan-pandangan
atau
interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasanpenjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan akal sehat, kebijaksanaan suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut (Maran, 2003:38). Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Pattangan menyerupai Totem, yang dapat dipercayai oleh manusia sebagai dasar dalam bertindak atau bersikap. Setiap suku bangsa biasanya memiliki kepercayaan tersendiri terhadap totem. Para penganut kepercayaan totemisme meyakini bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau bahwa mereka dan para anggota dari totem 1
sejenis merupakan “saudara”. Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok dan menganggapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan. Totem dipercayai dapat membantu dan menjaga manusia dari gangguan ataupun serangan, totem juga dijadikan sebagai simbol yang menguntungkan1. Pattangan merupakan kata yang menggambarkan bahwa manusia dan hewan memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan kekeluargaan. Masyarakat beranggapan bahwa ada hubungan istimewa antara manusia dengan hewan. Hubungan yang terjadi antara hewan dan menusia adalah saling menguntungkan. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu suku bangsa yang berasal dari Sumatera Utara. Suku bangsa Simalungun memiliki berbagai marga, dan marga pertama suku bangsa Simalungun yaitu marga Damanik2. Sementara ada tiga marga pendatang yaitu Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga-marga inilah yang menjadi empat marga besar di Simalungun. Masyarakat
Simalungun
memiliki
berbagai
kepercayaan
yang
berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” atau dukun disertai persembahan kepada nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada tiga Dewa yang disebut Naibata. Naibata
Atas
(dilambangkan
warna
putih),
Naibata
Tengah
(dilambangkan warna merah), dan Naibata bawah (dilambangkan warna
1 2
Dhavamony, Mariasusai. 2010. Fenomenologi Agama. (cet. ke-11) Yogyakarta: Kanisius Damanik merupakan marga pertama dan merupakan marga asli Simalungun 2
hitam). Bukan hanya itu saja, ajaran Hindu-Budha juga pernah mempengaruhi kehidupan di Simalungun (Sinaga 2008 : 35). Hal ini terbukti dari peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu), sang Buddha yang menunggangi gajah (Budha). Akan tetapi, jauh sebelum kepercayaan ini memperngaruhi masyarakat Simalungun, mereka sudah percaya akan “Pattangan”3. Pergaulan hewan dengan manusia telah membentuk suatu tanggapan yang religius, hewan lebih banyak memiliki kelebihan dibanding manusia, seperti mata hewan yang lebih tajam, pendengaran hewan yang lebih tajam dibanding manusia. Masyarakat menganggap bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka. Masyarakat yang menganggap hewan adalah bagian dari dirinya, maka dari situlah akan terdapat kekuatan dari hewan tersebut4. Hewan dipercayai dapat membantu manusia di dalam kesusahan maupun kesulitan. Dari hewan itulah manusia percaya dan menganggapnya sebagai kekuatan dari dewa. Di India, sapi merupakan salah satu hewan yang dianggap suci dan sebagai pelindung. Menurut seorang antropolog Marvin Harris, alasan pragmatis untuk tidak membunuh sapi adalah karena alasan ekonomis di mana sapi sangat dibutuhkan untuk melalukan pekerjaan-pekerjaan berat, penghasil susu dan sangat membantu dari sisi tenaga.
3 4
Pattangan merupakan istilah lain dari totem yang berasal dari suku bangsa Simalungun www.tuanguru.com/2012/10/kepercayaan-totemisme.html 3
Tetapi bagi umat Hindu sapi adalah hewan yang suci. India sebagai negara
dengan
mayoritas
pemeluk
Hindu
terbesar
memberlakukan
perlindungan kepada hewan ini dengan mengesahkannya melalui peraturan undang-undang yang melarang pembantain terhadap sapi dan anak sapi. Pemimpin
perjuangan
India
seperti
Mahatma
Gandhi
sangat
menghormati hewan ini dan menganggap sapi sebagai hewan yang merepresentasikan salah satu bentuk perlawanan yang diajarkan oleh Gandhi yaitu Ahimsa. Pada perayaan Keagamaan Hindu, Krisna dilambangkan sedang menunggang sapi maka dari itu Krisna adalah pelindung Sapi, sehingga sapi harus dilindungi oleh manusia terkhusus bagi masyarakat India.5 Masyarakat Simalungun terbagi atas empat marga besar, setiap marga di Simalungun memiliki hewan larangan karena di anggap nenek moyang mereka. Damanik sebagai marga tertua memiliki pattangan yaitu Ular Sibaganding Tua. Ular Sibaganding Tua ini tidak bisa di pelihara ataupun di bunuh karena ular ini merupakan sumber keberuntungan bagi masyarakat bermarga Damanik. Saragih dipantangkan untuk memakan burung perkutut. Marga Sinaga juga tidak dapat memilihara ataupun membunuh ular dan teringgiling, karena hewan tersebut sangat berjasa bagi marga Sinaga. Demikian pula halnya dengan marga Purba. Purba memiliki larangan untuk membunuh ular, karena ular merupakan nenek moyang dari marga Simalungun. Purba dilarang membunuh ular karena Purba pernah menikahi perempuan yang mengaku sebagai anak ular dan dibesarkan oleh ular tersebut. 5
http://www.academia.edu/5002694/Asas-asas_Antropologi_Dr._Abdullah_Taib._DBP_1985 4
Kepercayaan masyarakat Simalungun ini memiliki pro-kontra, ada yang mengatakan dongeng dan ada juga yang mengatakan bahwa cerita itu adalah sejarah. Akan tetapi, penelitian ini bukan membahas kebenarannya melainkan bagaimana pandangan masyarakat Simalungun terhadap totem tersebut. Peneliti untuk meneliti bagaimana pandangan masyarakat Simalungun pada masa kini terhadap sistem kepercayaan masyarakat terhadap hewan dan menjadikan hewan sebagai nenek moyang atau sebagai salah satu pelindung. Dimana pada saat sekarang melihat bahwa teknologi semakin canggih serta pemikiran manusia yang semakin berkembang, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.
1.2.
Tinjauan Pustaka Istilah totemisme berasal dari kata Ojibawa (suku bangsa Algonkin
dari Amerika Utara) ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Durkheim mengembangkan suatu defenisi mengenai religi yang dapat mengatasi segala jenis aneka warna-warni ekspresi keagamaan yang di kenal manusia di muka bumi ini (Thouless 1995 : 144). Dalam hal itu Durkheim menentang konsep religi J.G Frazer yang memandang religi dalam masyarakat manusia itu gejala-gejala yang bersangkutan dengan suatu alam dunia yang ada di luar batas kemampuan akal manusia, yang oleh Frazer disebut “dunia gaib” atau dunia supernatural. Hal itu disebabkan karena pada penduduk pribumi Australi seolah-olah tidak ada
5
batas antara dunia yang ada di dalam batas akal manusia dan dunia gaib yang ada di luarnya. Banyak contoh di mana orang-orang Australia itu menghubungkan benda-benda atau kekuatan-kekuatan yang dapat mereka kuasai penuh dengan akal mereka sebagai benda-benda keagamaan. Durkheim juga tidak setuju dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan azasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki apa yang menguasai hidupnya dan alam sekitarnya itu, dan dari masalah itu timbulah gagasangagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh, dan Tuhan. Keberatan Durkheim adalah bahwa walaupun manusia sekarang sudah banyak menemukan kekuatan yang menguasai hidupnya dalam alam sekitarnya, religi dan agama tetap belum terdesak dari hidupnya. Lagipula banyak religi dalam berbagai kebudayaan di Dunia tidak mengenal adanya dewa-dewa atau roh-roh. Namun, kata Durkheim ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan makhluk manusia, yaitu perasaan atau sentimen bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama yaitu bersifat profan. Dengan demikian ia sampai pada suatu defenisi kerja mengnai religi, yang berbunyi: “suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinankeyakinan dan upacara-upacara yang keramat artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorintasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut umat (Koentjaraningrat 2007:95).
6
Dengan defenisi tersebut, Durkheim kemudian meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Dalam hal itu ia tentu pertamatama membahas teori E.B Taylor tentang animisme. Seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhlukmakhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Taylor. Maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem yang lebih azasi, dan karena itu lebih tua dari animisme dan sistem religi, yaitu totemisme (Koentjaraningrat 2007:95) Durkheim mensurvei semua karangan yang pernah terbit mengenai masalah totemisme, untuk kemudian mengkhususkan kepada totemisme masyarakat penduduk pribumi Australi. Suatu gejala penting yang di temukannya dalam data yang dipelajari itu adalah hubungan erat antara organisasi sosial, sistem klan6, dan keyakinan kepada totem, yang sebenarnya tidak lain dari sebutan dan lambang dari klan dan sekaligus juga merupakan suatu jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda keramat. Binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda yang dianggap totem sama sekali bukan hal yang harus ditakuti atau yang mengesankan. Dan sering sekali hanya berupa batu atau pohon biasa yang tidak berbeda sama sekali dengan batu atau pohon lain, dan tanpa dijiwai oleh adanya suatu keyakinan akan adanya roh yang menempatinya. Namun totem melambangkan solidaritas klan, memberi nama yang merupakan identitas klan, timbul dalam upacara6
Klan merupakan sinonim dari kata kelompok ataupun suku 7
upacara klan dan seni hias mentato kulit, memberi nilai keramat kepada segala halyang ada sangkut pautnya. Dengan demikian bukan binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda itu sendiri yang sebenarnya penting dalam konsep totem, melainkan suatu prinsip yang menyebabkan dijadikan lambang dari suatu kesatuan sosial, yaitu prinsip yang oleh Durkheim disebut “ prinsip totem” (Koentjaraningrat 2007:97). Emosi keagamaan sebagai sebagai unsur elementer dalam kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif para warga klan, yang sebaliknya dapat diintensifkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam upacara totem itu (Saifuddin 2005 : 12). Kesadaran kolektif memberi semangat hidup baru yang dibutuhkan oleh tiap warga klan apabila mereka nanti dalam musim berburu harus kembali lagi kepada kehidupan mereka yang terpisah selama beberapa bulan untuk berjuang mencari nafkah. Agama yang di anggap paling primitif menurut Durkheim adalah totemisme. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu spesies tertentu dalam wilayah hewan atau tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku bangsa. Totemisme merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan “mistik” atau ritual
8
antara anggota-anggota kelompok sosial atau suatu jenis binatang atau tumbuhan. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau menganggu tanaman totem. Para anggota dari kelompok sosial itu juga percaya bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau bahwa mereka dan para anggota dari totem sejenis merupakan “saudara”. Mereka
menggunakan
totem
sebagai
simbol
kelompok
dan
mengangapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan mereka juga melakukan “upacara pengembangan” untuk menghasilkan perlipat gandaan jenis totem itu. Kebiasaan suku bangsa Indian Amerika, sebagai mana digariskan John Long, menekankan aspek pengajaran dari totemisme untuk individu yang nasibnya dihubungkan dengan nasib binatang totem itu. Roh penjaga suku bangsa Indian Amerika menjadi milik orang yang telah melihatnya dalam suatu penglihatan, bukan milik kelompok sosial. Totemisme tidak bisa dicampur adukkan dengan binatang pemujaan, totem tidak dipuja. Makhluk-makhluk totem tidaklah diseleksi atas dasar penampilan mereka yang mengesankan. Kesucian mereka hanyalah sekunder, yang lebih penting adalah lukisan makhluk-makhluk pada kayu dan batu. Dalam tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok. Dalam upacara-upacara ini tanda totem dilukiskan pada tubuh, atau tarian-tarian dilakukan dalam bentuk tanda totem. Pada umumnya tato adalah 9
ciri totem dan suku-suku Indian Amerika menghiasi diri mereka dengan bagian-bagian dari binatang totem, misalnya bulu-bulu sebagai hiasan kepala. Apakah makna religius dari fenomena totem, dimana manusia menemukan dasar mutlak dari hidupnya. Tentu saja ada suatu pengartian mencolok dari hubungan yang dekat antara manusia dan alam sekitarnya, suatu pengartian mengenai ketunggalan tertentu dengan kosmos dan mengenai partisipasi dengan totalitas kosmis. Totemisme memainkan peranan penting dalam perkembangan teori keagamaan abad 19 dan awal abad ke-20, terutama untuk pemikir seperti Emile Durkheim, yang memusatkan studinya ke kebudayaan primitif. Emile Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life (1915). Pandangannya bermula dari empat ide pokok, yaitu (a) bahwa agama primitif adalah kultus marga (khan), (b) kultur tersebut adalah totemisme, (c) tuhan marga adalah marga itu sendiri, dan (d) totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang ini. Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama
menurutnya
adalah suatu
kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lainlainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamakan jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya (Mariasusai, 2010 : 7). 10
Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupakan semacam Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat hubunganya dengan makna dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif. Menurut Robertson Smith totemisme, religi tertua umat manusia dalam tingkat kehidupan yang masih sederhana iyalah pemujaan terhadap totem. Totemisme adalah suatu religi dimana kelompok manusia menganggap bahwa diri mereka adalah keturunan dari suatu jenis binatang atau tumbuhan tertentu, sehingga mereka memuja binatang atau tuumbuh-tumbuhan totemnya serta membangun tiang totem sebagai tempat pemujaan. Binatang totem tabu untuk di bunuh atau di makan. Menurut P.P. Arnadit pada masyarakat flores terdapat sisa-sisa totemisme. Hal ini terlihat misalnya dari nama suatu klan di Maumere yaitu Kuat Era ( kuat artinya klan, sedangkan era artinya penyu) ada pula klan yang bernama Kuat Higite7 (Razak, 2007:54). Fungsional atau fungsi ditinjau dari segi etimologi adalah kegunaan lawan dari disfungsi, sedangkan menurut terminologi adalah suatu metode untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam suatu tataran masyarakat
(Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry,
Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994). Para peneliti sosial, kata Durkheim harus dapat mengkombinasikan penelitian untuk mencari asal-usul dan sebab (pendekatan historis), disatu pihak dan penentuan fungsi-fungsi dari suatu fenomena sosial (pendekatan 7
Kuat Higite artinya kerbau yang kuat 11
fungsional) dari pihak lain.kita harus menentukan apakah ada satu hubungan antara kenyataan sosial yang diteliti dengan kebutuhan umum organisme sosial. Kalau ada maka hal tersebut terdiri dari hal-hal apa saja, dan bagaimana prosesnya sehingga hubungan tersebut terjadi. Pendekatan fungsional di peloporioleh dua peneliti inggris yang hidup sezaman, yaitu Radcliffe Brown dan Malinowski. Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) merupakan salah satu tokoh antropologi
yang
menggagas
dan
berhasil
mengembangkan
teori
fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan. Teori Fungsionalisme dikembangkan selama Perang Dunia II mengisolir diri bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup mereka dengan jalan melakukan observasi berperan serta (participant observation). Ia mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat,
memerankan
fungsi
dasar
di
dalam
kebudayaan
yang
bersangkutan (Baharrudin, 2011:45). Malinowski mengacukan konsep budaya terhadap mikrokosmos masyarakat tribe (masyarakat sederhana, primitive, dan sebagainya) yaitu suatu masyarakat yang unsur-unsurnya berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Konsepsi yang melihat budaya dari sebuah masyarakat tribe 12
sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi adalah sebuah pemikiran baru dalam ilmu antropologi. Dari pandangan yang seperti inilah kemudian kita mengenal istilah, “budaya Jawa”, “budaya Batak”, “budaya Simalungun”. Malinowski menekankan betapa pentingnya mengkaji fungsi atau guna, dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya secara keseluruhan. Jadi disini Malinowski juga mengacukan konsep fungsi terhadap suatu sistem, bukan hanya pemenuhan terhadap pemenuhan atas kebutuhan psikobiologis manusia. Unsur-unsur penting dari budaya sebuah masyarakat adalah misalnya sistem politik, sistem kepercayaan, sistem ekonomi, dan sistem kekerabatan. Dalam hal ini Malinowski betapa pentingnya meneliti fungsi dari suatu sistem tersebut di atas bagi keutuhan kerja masyarakat/ budaya secara keseluruhan. Menurut Grabb Ada dua hal yang paling menonjol mengenai fungsionalis: 1. Pengamat berkeyakinan bahwa jika struktural fungsionalis menguraikan tugas-tugas masyarakat sebagai fungsi, maka mereka
sebenarnya
mempromosikan
pandangan
bahwa
struktur-struktur dan institusi-institusi dari masyarakat yang ada adalah baik dan ideal yang berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah, bahwa setiap perubahan dalam tatanan yang sudah mantap dalam konteks ini niscaya disfungional yakni terganggunya kerja masyarakat yang setabil, jadi para pengeritik berkeyakinan bahwa struktural fungsionalis secara tersirat mengadopsi begitu 13
saja pandangan bahwa struktur sosial itu tidak berubah, kadang-kadang
dikombinasikan
dengan
diabaikannya
perubahan sosial. 2. Gagasan
fungsi
berkenaan
dengan
bagaimana
kita
memutuskan, andai kata sesuatu berfungsi atau tidak berfungsi struktur atau institusi atas dasar apakah struktur atau institusi tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Bagi kritikus penilaian semata-mata atas dasar ini menyiratkan bahwa suatu struktur atau sistem aturan dianggap fungsional selama ini ia memenuhi tugas-tugas tertentu dalam masyarakat yang terpenting tak soal konsekwensi-konsekuensinya. Di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari banyak interaksi baik interaksi sosial maupun interaksi bermasyarakat, secara garis besarnya manusia akan selalu hidup dalam keadaan berinteraksi sosial. Karena disamping itu manusia juga sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.
1.3.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah 1. Bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun terhadap pattangan di Saribudolok. 2. Apa fungsi kepercayaan terhadap pattangan dalam kehidupan masyarakat Simalungun di Saribudolok. 14
1.4.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat etnografi dengan
tujuan untuk mengetahui bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun terhadap totem dan apa fungsi kepercayaan tersebut bagi masyarakat Simalungun. Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan khususnya bagi bidang antropologi untuk memperkaya literatur dan pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun yang saat ini dapat dikatakan semakin meredup dan kurang mendapatkan perhatian. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa antropologi untuk mengetahui lebih dalam lagi bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Simalungun pada masa lampau. Secara praktis bagi peneliti bermanfaat untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang telah didapat selama masa perkuliahan.
1.5.
Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian etnografi, yaitu dimana peneliti menjelasakan mengenai “Totem”. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2006:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode etnografi. Seperti yang tertuang dalam buku Metode Etnografi Spredlay, tujuan utama etnografi 15
adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan dengan dunianya.
Teknik Pengumpulan Data a. Teknik Observasi Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu gejala (tingkah laku ataupun peristiwa) dengan cara mengamati. Peneliti melakukan teknik observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang gejala tindakan, percakapan, tingkah laku, dan semua hal yang akan di tangkap panca indera terhadap apa yang dilakukan masyarakat yang akan diteliti di lapangan. Riduwan (2004:104)8 mendefenisikan observasi ataupun pengamatan yang dilakukan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang di lakukan. Pada dasarnya teknik observasi untuk melihat dan mengamati perubahan fenomena-fenomena social yang tumbuh dan berkembang yang kemudia dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut bagi pelaksana observasi untuk melihat obyek moment
tertentu, sehingga mampu
memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlakukan (Margono, 2007:159)9. Melalui observasi inilah diharapkan mampu membantu peneliti dalam memahami permasalahan yang akan diteliti secara mendalam.
8
Riduwan, Metode dan Teknik Menyusun Thesis, (Bandung : Alfabeta, 2004), cet. Kedua, halaman 104 9 Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), halaman 159 16
b. Teknik wawancara Didalam penelitian ini, peneliti telah mencoba mengumpulkan data melalui teknik wawancara. Wawancara ataupun interview adalah suatu percakapan yang memiliki pertanyaan yang sudah terstruktur (formal) dan dengan maksud tertentu antara pewawancara atau yang sering disebut dengan interviewer dengan informan yaitu orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Wawancara yang akan dilakukan yakni melakukan Tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan individu ataupun kelompok yang akan diteliti. Dengan melakukan wawancara dalam penelitian, peneliti telah mendapatkan keterangan secara lisan dari informan atau sering juga disebut dengan responden. Responden adalah seseorang yang diwawancarai dan diharapkan memberikan keterangan ataupun inforasi mengenai hal-hal yang ingin diketahui oleh si peneliti. Ada beberapa tipe informan seperti informan pangkal, informan kunci, dan juga informan biasa. Dalam penelitian antropologi, biasanya menggunakan istilah informan ini kepada orang-orang yang memberikan keterangan ataupun informasi. Wawancara yang dilakukan peneliti diolah melalui percakapanpercakapan sederhana dan biasa. Meskipun percakapan biasa yang dilakukan, peneliti tetap mengarahkan percakapan pada focus pertanyaan penelitian. Teknik wawancara ini dilakukan agar komunikasi antara subjek peneliti dengan peneliti diharapkan agar tidak membua subjek peneliti itu merasa
17
bosan. Selain itu, teknik ini dilakukan bertujuan untuk memperkuat data yang sebelumnya di dapat dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa alat pendukung guna mengumpulkan data. Selain pedoman wawancara, yang mana peneliti juga akan menggunakan alat perekam serta kamera digital untuk mempermudah saat mengumpulkan data. Penggunaan alat ini bertujuan untuk mencegah tidak terangkumnya data sewaktu melakukan wawancara, yang disebabkan oleh kurang jelasnya informasi yang ditangkap oleh panca indera.
18