1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap tuturan yang diujarkan manusia mempunyai maksud tertentu di baliknya. Tuturan sebelumnya merupakan konsep yang berada pada pikiran yang didapat melalui pengalaman dan kognisi manusia sehingga ketika diujarkan, suatu tuturan akan berupa apa yang telah dikonsepkan. Selain itu melalui tuturan seseorang juga bisa mengungkapkan perasaan dan meluapkan emosinya. Jika seseorang mengalami peristiwa yang membuat hati senang, ujaran-ujaran yang dituturkan pun akan berupa ujaran-ujaran yang mengekspresikan kesenangannya. Begitu juga jika seseorang sedang marah dan kesal, akan sangat mudah untuk meluapkannya secara verbal. Dengan begitu manusia telah menggunakan bahasa untuk mengekspresikan emosi yang disebut sebagai fungsi ekspresif (Holmes, 1992: 286) atau fungsi emotif (Jakobson, 1993: 18). Kebebasan berbicara dan berekspresi memberikan kebebasan seluasluasnya kepada masyarakat untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka melalui bahasa. Akhirnya tampak suatu fakta bahwa pengaruh yang dibawa oleh seseorang melalui bahasa sangatlah kuat. Betapa bahasa bisa menjadikan medium yang mempunyai kekuatan untuk membuat orang emosional, sakit hati, ketakutan, depresi, stress, terancam, dibenci, dikucilkan bahkan hingga terbunuh atau dibunuh.
1
2
Sebuah ekspresi ungkapan yang membuat target merasa tersinggung dan tersakiti dianggap sebagai suatu hal yang tidak baik atau tidak santun. Jonathan Culpaper dalam tulisannya Impoliteness and Entertainment mendefinisikan bahwa ketidaksantunan merupakan kegiatan komunikatif yang terjadi ketika penutur secara sengaja berkomunikasi menyerang muka atau pendengar merasa bahwa penutur secara sengaja menyerang muka atau terjadi dengan kombinasi keduanya. Tindakan tidak sopan yang ditunjukan secara verbal ini terjadi karena dorongan situasi yang terjadi di lingkungan penutur dan pendengar baik dalam lingkup yang sempit maupun lingkup yang luas atau global. Tindakan yang ditunjukan secara verbal bukan sekedar rangkaian katakata saja melainkan ada suatu tindakan lebih yang menimbulkan efek tertentu. Ungkapan kebencian, yang juga mencakup tindak ketidaksopanan secara verbal, mempunyai efek yang sangat luar biasa bagi target pendengar dan pendengar yang bukan target. Penutur mempunyai sebuah motivasi dan unsur kesengajaan dalam berkata-kata demi sebuah tujuan dalam berkomunikasi yaitu ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan. Ungkapan kebencian atau hate speech menurut Fasold (2006:397) merupakan ujaran yang mengintimidasi orang dari kelompok-kelompok sosial tertentu yang berorientasi pada perbedaan, ras, asal negara, agama dan jenis kelamin. Sejalan dengan Fasold, Hirsch menjelaskan bahwa semua bentuk ungkapan kebencian baik melalui pesan teks, siaran radio, selebaran, dan yang diucapkan menimbulkan konflik karena ungkapan kebencian memprovokasi orang untuk menggunakan kekerasan, memancing permusuhan antar grup dan
3
melukai banyak orang yang mendengarnya. Dalam kajian Mapping and Analysing Hate Speech Online: Opportunities and Challenges for Ethiopia oleh Iginio Glagiordone, dkk (2014: 5) dijelaskan bahwa memang ugkapan kebencian mempunyai keterkaitan yang komplek dengan kebebasan berekspresi, hak-hak perorangan, kelompok dan kaum minoritas dan juga terkait dengan konsep-konsep martabat, kebebesan, persamaan, dan juga konteks. Ungkapan kebencian ini tengah banyak dibahas oleh pakar-pakar hukum di barat. Kebebasan berbicara dan berekspresi sebagai salah satu ciri demokrasi seolah menjadi boomerang di era digital ini karena pada praktiknya adanya kebebasan berbicara dan berekspresi ini menimbulkan ketidaknyamananketidaknyamanan bahkan konflik sosial di masyarakat dengan adanya ungkapan yang mengandung emosi negative seperti kebencian dan hinaan. Sehingga kajian mengenai ungkapan kebencian ini telah banyak dikaji dalam perspektif hukum untuk menemukan batasan-batasan akan kebebasan berbicara dan berekspresi dan dikaji pula dalam perspektif psikologi serta linguistik. Tuturan yang diujarkan seseorang membawa dampak bagi pendengarnya baik itu tersurat maupun tersirat. Bahkan suatu ungkapan juga akan membuat seseorang diseret ke meja hijau lantaran dianggap meresahkan. Misalnya ungkapan kebencian atau sering disebut hate speech yang marak diperbincangkan di Indonesia saat ini terkait akan wacana penindakan secara hukum bagi pelaku karena dianggap menyulut kebencian bagi kelompok-kelomok tertentu. Tak kalah kasus serupa juga rupanya telah banyak terjadi di U.S ataupun Eropa yang sejak dulu telah mendapat perhatian khusus sehingga banyak perdebatan mengenai
4
penindakan hukum. Ungkapan kebencian hate speech ini telah menarik perhatian penulis untuk dijadikan objek dalam penelitian penulis. Meskipun ungkapan kebencian pada esensinya sama, penulis akan lebih mengkhususkan ungkapan kebencian yang berkaitan dengan Islamophobia di United Kingdom. Ungkapan kebencian pada fenomena Islamophobia ini dituturkan oleh seseorang diluar pemeluk Islam dan yang menjadi target adalah Islam atau umat islam yang saat itu berinteraksi dengan penutur. Fenomena Islamophobia menjadi alasan yang sangat kuat karena berdasarkan survey yang dilakukan oleh EUMC (European Monitoring Centre on Racism and Xenophobia) masyarakat muslim di Eropa mengalami deskriminasi dan dibawah pengawasan sejak insiden 9 September 2011 di New York dan semakin memburuk di tahun-tahun berikutnya seiring dengan diikutinya insideninsiden lain di Eropa seperti pembunuhan direktur film Thoe Van Gogh, serta pengeboman di Madrid dan London. Dalam survey itu dikatakan pula bahwa masyarakat muslim lebih sering mendapatkan kekerasan verbal di tempat-tempat umum daripada kekerasan yang berupa fisik. Ungkapan kebencian menjadi perhatian khusus di United Kingdom sehingga pemerintah kerajaan Inggris membatasinya dalam undang-undang Racial and Religious Hatred Act 2006 yang merupakan hasil amandemen dari Public Order Act 1986. Terdapat
banyak sekali kejahatan kebencian yang terjadi di United
Kingdom seperti yang telah dilaporkan dalam koran-koran elektronik di Inggris seperti Daily Mail, Daily Mirror, Cambridge News, Manchester Evening News, Edinburg News, BBC News, The Herald, dsb. Di sebuah lembaga yang
5
memberikan pendampingan kepada umat Islam di Inggris yaitu MEND (Muslim Engagement and Development) mengadakan berbagai kegiatan-kegiatan positif untuk umat Islam di Inggris dan disini pula tercatat berbagai peristiwa yang dialami terkait Islamophobia baik berupa kekerasan fisik maupun verbal. Banyak ungkapan-ungkapan kebencian dalam fenomena ini yang bisa didapatkan untuk menjadi objek penelitian baik yang oral maupun tertulis dalam status di media sosial ataupun dalam bentuk grafiti. Untuk itu, mengacu pada seluruh kasus yang terekam oleh MEND itu, sumber data penelitian mengenai kejahatan kebencian yang mengandung ungkapan kebencian dapat mudah dilacak. Contoh-contoh ungkapan kebencian yang dilaporkan dalam suatu kasus melalui Majelis Muslim Inggris misalnya ungkapan ISIS bitches yang diucapkan oleh seorang wanita terhadap wanita muslim di dalam bus 206 Brent London Utara lalu disusul dengan ujaran bombs up their skirts dan meneriakinya dengan berkata fuck off back to your own country. Diberitakan bahwa ungkapan itu telah membuat korban ketakutan untuk keluar rumah hingga membuatnya mengalami susah
tidur
pada
malam
hari
(http://www.theguardian.com/uk-
news/2015/oct/19/woman-anti-muslim-bus-tirade-admits-racial-abuse).
Contoh
lain misalnya ujaran yang terdapat dalam kasus kekerasan verbal yang dilakukan oleh seorang wanita berusia 23 tahun berasal dari Blackpool terhadap keluarga Hussain. Wanita itu mencemooh istri Hussein dan kedua putrinya dengan ujaran yang dinyanyikan yang berbunyi Ban the Burka. Karena ujaran itu, para korban menjadi merasa terancam dan salah satu dari mereka ada yang tidak ingin
6
memakai hijab lagi (http://www.miror.uk/news/uk-news/racist-yobs-threatenmuslim-family-4990208). Setiap kebencian
yang diungkapkan dalam
ungkapan kebencian
mempunyai strategi-strategi dalam menyampaikannya. Ungkapan kebencian merupakan interaksi sosial yang negative dalam berkomunikasi yang tentunya melibatkan penutur, target dan pendengar. Karena komunikasi berkaitan dengan beberapa orang, akan sangat mungkin sekali timbul pandangan santun dan tidak santun dalam berkomunikasi. Dengan menggunakan teori ketidaksantunan Jonathan Culpeper strategi ungkapan kebencian dapat diungkap seperti pada ungkapan ISIS bitches, penutur menggunakan strategi ketidaksantunan positif yaitu strategi yang mengancam muka positif target. Sedangkan fuck off back to your own country dan Ban the Burka dapat digolongkan pada strategi langsung. Ungkapan kebencian yang secara hukum telah dbatasi di United Kingdom dapat dianalisis dari sudut pandang linguistik mengenai tindak tuturnya. Mengapa ungkapan-ungkapan itu dianggap kriminal dapat ditemukan jawabannya dengan teori tindak tutur yang diperkenalkan oleh J.L Austin. Menurut teori tindak tutur, ungkapan kebencian bukanlah sekedar tuturan belaka melainkan suatu tindakan yang dianggap sebagai suatu kejahatan sehingga harus dibatasi secara hukum. Pada ungkapan kebencian Moslem must die terdapat tindak tutur ilokusi go fight and kill all moslem yang mempromosikan suatu tindakan untuk membunuh setiap muslim yang ditemui. Dari ungkapan ini juga berakibat buruk pada pendengar yang merupakan orang-orang muslim yaitu orang-orang muslim akan merasa
7
takut berada di ruang publik dan akan merasa tidak nyaman dalam menganut agama islam serta melaksanakan ibadahnya. Melihat contoh kasus di atas, betapa ujaran itu memiliki konsekuensi yang ditimbulkan baik pada pendengar maupun penuturnya. Austin via Russel (2012: 758) menjelaskan bahwa ujaran kebencian atau hate speech merupakan tindak tutur. Ujaran yang dikatakan oleh seseorang itu menyiratkan suatu tindakan lain yang ditujukan kepada pendengar yang disebut ilokusi sehingga menimbulkan efek yang dialami oleh pendengar dan disebut sebagai perlokusi. Dengan kata lain, ujaran kebencian mempunyai kekuatan untuk menyiratkan maksud lain dan memberikan efek negatif pada pendengarnya. Ungkapan kebencian sebagai luapan emosi negatif melalui kata-kata ini bisa dilihat dari perspektif mitra tutur/pendengar dan perspektif penutur. Ungkapan kebencian merupakan suatu ketidaksantunan jika dilihat dari perspektif mitra tutur/pendengar dan merupakan suatu tindakan yang mempunyai maksudmaksud jika dilihat dari perspektif penutur. Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana strategi-strategi ketidaksantunan dan realisasi dari strategi-strategi ketidaksantunan itu muncul dalam ungkapan kebencian berlatar belakang Islamophobia. Bertutur kata yang menurut teori tindak tutur bukan sekedar berkata-kata tetapi juga merupakan tindakan melakukan sesuatu melalui tuturan menjadi fokus selanjutnya dalam penenilitian ini karena telah banyak penutur ungkapan kebencian ini mendapat sanksi hukum. Lalu apakah yang penutur lakukan melalui ungkapan-ungkapan kebencian yang mereka tuturkan? Sehingga,
8
peneliti juga memfokuskan tentang tindak tutur ilokusi apa saja yang ada dalam ungkapan-ungkpan kebencian yang berlatar belakang Islamopobia ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang, terdapat tiga rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah strategi ketidaksantunan dalam ungkapan kebencian pada fenomena Islamophobia di United Kingdom? 2. Bagaimanakah ilokusi yang ditunjukan dalam ungkapan-ungkapan kebencian yang terdapat pada koran elektronik yang memuat berita mengenai Islamophobia di United Kingdom? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, terdapat tiga tujuan penelitian yaitu: 1. Mendeskripsikan strategi ketidaksantunan dalam ungkapan kebencian yang terdapat dalam fenomena Islamophobia di United Kingdom 2. Mendeskripsikan ilokusi yang ditunjukan dalam ungkapan kebencian yang terdapat pada koran elektronik yang memuat berita mengenai islamophobia di United Kingdom. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai ujaran kebencian yang muncul pada fenomena Islamophobia di United Kingdom ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
9
1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang kajian ujaran kebencian dengan mengaplikasikan teori ketidaksantunan berbahasa dan teori tindak tutur. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan gambaran mengenai ujaran kebencian oleh masyarakat United Kingdom yang mengalami fobia terhadap Islam disana. 5.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membuat masyarakat sadar dan berhati-hati dalam mengungkapkan gagasan, terutama ketika melihat keadaan suatu masyarakat melalui sebuah fenomena sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai
emosi telah dilakukan oleh Mastuti (2003)
berjudul Emotions and State of Mind dalam Dongeng Jawa “Jin Estri”. Penelitian ini membahas suatu emosi yaitu perasaan cinta. Dalam penelitiannya, Mastuti mengungkapkan karakteristik emosi cinta dan kondisi mental tokoh-tokoh yang terdapat dalam dongeng Jawa “Jin Estri”. Penelitian lain mengenai
emosi juga telah dilakukan oleh Sutami
(2003). Sutami dalam penelitianya berjudul “ Ketakutan dalam “Catatan Harian Si Sinting” karya Lu Xun” mengkaji mengenai kata, frase atau yang mengandung emosi perasaan rasa takut. Dalam penelitian itu, Sutami juga menjelaskan
10
hubungan antar komponen yang timbul dari proposisi perasaan takut dengan menggunakan teori ikonisitas. Siska Anggraeni (2014) juga telah meneliti ungkapan emosi berupa ungkapan kemarahan dengan judul “Ungkapan Kemarahan Orang Amerika (Studi Kasus Dalam Film A Raisin in The Sun dan The Help)”. Dalam penelitiannya dijelaskan mengenai wujud ungkapan kemarahan yang tergolong dalam 4 modus kalimat yaitu berupa imperatif, deklaratif, interogatif dan ekslamatif. Kemudian juga dijelaskan dalam penelitian itu mengenai vareasi-vareasi ungkapan kemarahan serta faktor-faktor susial yang berpengaruh dalam kemunculan sebuah ungkapan kemarahan. Penelitian berjudul A Pragmatic Analysis od Impoliteness in Paranorman Movie dilakukan oleh Nabella Primadianti mengenai aspek-aspek ketidaksantunan yang terdapat dalam film Paranorman. Hasil penelitiannya menunjukan adanya empat jenis strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam percakapan di film itu. Keempat strategi yaitu bald on record impoliteness, positive impoliteness, negative impoliteness dan sarcasm. Masing-masing strategi ketidaksantunan itu mempunyai pengejewantahan tersendiri. Bald on record impoliteness menjadi strategi ketidaksantunan yang paling sering muncul dengan pengejewantahan secara langsung, jelas, dan pernyataan yang tidak ambigu. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan adanya tiga macam respon terhadap ketidaksantunan yang terdapat dalam film Paranorman. Ketiga macam respon itu adalah dengan tidak member respon, menerima begitu saja, dan membalas menyerang muka.
11
Penelitian lain yang serupa berjudul An Analysis of Impoliteness Language Used by Matatu Conductors yang dilakukan oleh Merab Goro. Objek yang diteliti oleh Merab Goro adalah ungkapan-ungkapan tidak santun yang digunakan oleh kondektur matatu. Penelitian ini dilakukan dengan kerangka kerja strategi ketidaksantunan Culpaper yang diinisiasi dari teori kesantunan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat lima strategi ketidaksantunan yang digunakan dalam wacana konduktor matatu yaitu bald on record impoliteness, positive impoliteness, negative impoliteness, off record impoliteness, withholding impoliteness. Diantara kelima strategi itu ditemukan bahwa negative impoliteness dan positive impoliteness menjadi strategi ketidaksantunan yang dominan. Berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yang telah meneliti
tentang ungkapan perasaan cinta dan ungkapan kemarahan, penelitian ini akan memfokuskan pada suatu ungkapan emosi yaitu ungkapan kebencian. Perbedaan yang kedua adalah mengenai objek kajian. Objek kajian penelitian ini adalah merupakan berita-berita dari surat kabar elektronik terkait dengan Islamophobia yang terjadi di United Kingdom. Adapun data yang diteliti yaitu berupa ungkapan-ungkapan kebencian yang dilaporkan dalam berita-berita itu. Temuan data akan dianalisis dengan menggunakan teori strategi ketidaksantunan Culpaper dan juga teori tindak tutur. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang berjudul „Ungkapan Kebencian Yang Muncul Pada Fenomena Islamophobia di United Kingdom‟ ini meneliti tentang ungkapan
12
kebencian yang diujarkan oleh orang-orang non muslim yang tinggal di Inggris terhadap muslim di Inggris. Islamophobia yang terjadi pada warga Inggris memicu mereka mengungkapkan kebencian terhadap Islam. Peneliti akan mengambil data dari laporan-laporan insiden kejahatan kebencian (hate crime) diseluruh koran-koran elektronik di Inggris tahun 2014 dan 2015 baik yang berupa kata, frasa, hingga kalimat. Data dianalisis dengan dua teori yaitu teori ketidaksantunan Jonathan Culpaper dan teori tindak tutur Austin. 1.7 Landasan Teori 1.7.1 Pengertian Ungkapan Kebencian (Hate Speech) Kebencian menurut KBBI online adalah perasaan benci. Perasaan benci ini bisa timbul pada hal yang tidak disukai akan suatu hal yang tidak disukai dapat ditunjukan melalui perbuatan dan juga melalui bahasa. Perasaan benci yang ditunjukan melalui perbuatan misalnya yang berkaitan dengan kegiatan fisik seperti memukul, menampar dll yang biasanya menimbulkan efek yang terihat secara fisik. Sedangkan melalui bahasa, perasaan benci yang diungkapkan juga bisa
menimbulkan
efek
yang
lebih
berbahaya
seperti
memprovokasi,
menyebarkan kebencian bahkan hingga menimbulkan pembantaian sepertiyang terjadi di Rwanda yang menewaskan hingga 800 ribu lebih warganya. Istilah ungkapan kebencian (hate speech) menurut Raphael CohenAlmagor melalui Gagliardone (2014:9): “Hate speech is defined as bias-motivated, hostile, malicious speech aimed at a person or group of people because of some of their actual or perceived innate characteristics. It expresses
13
discriminatory, intimidating, disapproving, antagonistic, and/or prejudicial attitudes towards those characteristics, which include gender, race, religion, ethnicity, colour, national origin, disability or sexual orientation. Hate speech is intended to injure, dehumanize, harass, intimidate, debase, degrade and victimize the targeted groups, and to foment insensitivity and brutality against them. Dalam definisi itu dapat digaris bawahi bahwa ungkapan kebencian merupakan ungkapan yang bermotif jahat yang mengekspresikan diskriminasi, intimidasi, penolakan, praduga orang perseorangan atau sekelompok orang yang berkaitan dengan isu gender, ras, agama, etnik, warna, negara asal, ketidakmampuan atau orientasi seksual. Sehingga, dapat diketahui bahwa ungkapan kebencian merupakan ungkapan yang secara hukum bisa dimintai pertanggungjawabannya karena merupakan tindak kejahatan. Dalam sebuah studi mengenai kebencian The Individual Psychology of Group Hate orang-orang yang menjadi korban kejahatan kebencian adalah orangorang yang bukan menjadi tersangka utamanya namun semua orang yang dianggap satu kelompok dengan tersangka. Banyak kasus- kasus penembakan warga Afganistan, Pakistan dan Mesir di Amerika setelah peristiwa WTC 11 September dan juga pembantaian besar-besaran di Ruwanda setelah pembunuhan Presiden Juvenal Habyarimana terjadi karena adanya ungkapan kebencian yang telah mempengaruhi banyak pendengarnya. Ungkapan kebencian telah membawa pengaruh kepada pendengar yang bukan merupakan target kebencian berupa anjuran untuk membenci atau bahkan memprovokasi suatu tindakan yang melukai.
14
Johnston dalam tulisannya yang berjudul A Philosophical Analysis Of Hate Speech And Reclamation Efforts menjelaskan bahwa ungkapan kebencian merupakan ungkapan yang bersifat menghina atau merendahkan orang lain (merendahkan berdasarkan ras, orientasi sosial, jenis kelamin, agama dan lainlainnya) yang membawa kebencian dan sikap negatif terhadap target grup dan para anggotanya sehingga akan merendahkan, tidak berperikemanusiaan, melukai dan menundukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa ungkapan kebencian mempunyai semacam kekuatan yang mampu melukai. 1.7.2 Hukum Ungkapan Kebencian di United Kingdom Kekerasan merupakan satu-satunya yang paling mungkin dihasilkan dari ungkapan kebencian yang merenggut hak-hak sekelompok orang yang ditargetkan dengan menjadikannya sebagai obyek deskriminasi. Ungkapan kebencian juga bisa digunakan untuk membentuk stereotipe sebuah grup dengan menyoroti satu atau lebih yang dinilai negatif. Tak dapat dihindari jika pada akhirnya akan tercipta sebuah lingkungan dengan iklim perseteruan melawan anggota-anggota grup itu karena memang ungkapan kebencian mengandung konsekuensi yang buruk mulai dari sisi emosional orang perseorangannya ataupun grup yang menjadi sasaran untuk kemudian menjadi sebuah pemantik adanya kekerasan. Oleh karena itu tak heran jika terdapat suatu tekanan bahkan hingga tingkat Internasional untuk membuat undang-undang mengenai ungkapan kebencian dan akibat-akibatnya. Kebebasan berbicara jelas merupakan perihal yang paling prinsip dalam demokrasi baik pada tingkat internal maupun internasional. Namun tidak dapat
15
dipungkiri pula bahwa masih terdapat hal-hal lain yang harus dilindungi seperti menjaga reputasi, menjaga keamanan nasional serta kesehatan dan moral masyarakat. Sehingga pembatasan kebebasan berbicara ini dapat diturunkan pada kasus ungkapan kebencian untuk melindungi seseorang atau anggota-anggota grup dari ungkapan-ungkapan yang membawa kebencian dan memprovokasi deskriminasi, permusuhan dan kekerasan. Hal ini telah tertulis pada ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 2006 pasal 19 dan 201. United Kingdom merupakan negara monarki dengan sistem pemerintahan parlemen yang merupakan salah satu negara yang tergabung dalam proyek ICCPR di Uni Eropa. Negara ini mempunyai peraturan mengenai deskriminasi yang tertulis dalam Public Order Act (1986) yang kemudian telah diamandemen dengan menambahkan ras dan agama menjadi Racial and Religious Hatred Act 2006. Dalam undang-undang yang sudah diamandemen itu berisi aturan mengenai: (1) kebencian yang timbul berdasarkan agama ; (2) pelanggaran kebencian berdasarkan ras dan agama; (3) Uraian singkat, permulaan dan jangkauannya (Addison, 2007: 291). Meskipun ungkapan kebencian yang diungkapkan oleh seseorang tidak tertuju pada target sesungguhnya namun dianggap mempunyai kekuatan yang berpotensi melukai dan merendahkan seseorang atau semua anggota grup itu. 1
ICCPR 2006 article 20 “ any advocacy of national, racial or religious hatred that constitutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law”. (segala bentuk kebencian yang bersifat kebangsaan, rasa tau keagamaan yang mengandung hasutan yang memicu diskriminasi, perseteruan atau kekerasan sebaiknya dilarang secara hukum) ICCPR 2006 article 19 “the limitation of freedom of speech is necessary: (a) for respect of the rights or reputations of others; (b) for the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals”. (pembatasan kebebasan berbicara sangat perlu: (a)untuk menghormati hak-hak atau reputasi orang lain; (b) untuk perlindungan keamanan nasional, perundang-undangan, kesehatan masyarakat, dan moral)
16
Oleh karena itu ungkapan kebencian dilarang secara hukum demi melindungi hakhak manusia yang lainnya.
1.7.3 Teori Ketidaksantunan Bousfield
(2008:72)
dalam
bukunya
Impoliteness
in
Interaction
menjelaskan bahwa ketidaksantunan merupakan bentuk komunikasi verbal yang berpotensi menimbulkan konflik mengancam muka. Senada dengan definisi Tracy mengenai ketidaksantunan ,“communicative acts perceived by members of a social community (and often intended by speakers) to be purposefully offensive” (Culpaper melalui Kecskes (2014: 200). Keduanya cukup jelas bahwa komunikasi verbal yang cenderung menyakiti hati dan menimbulkan konflik pada mitra tutur atau
pendengar
dalam
komunitas
sosial
tertentu
merupakan
tindak
ketidaksantunan. Meski definisi terlihat begitu jelas, ketidaksantunan tidak dapat benar-benar dikatakan sebagai sesuatu yang absolut karena nilai santun dan tidak santun bukan ditentukan dari kata per kata namun juga ditentukan dari aspek lain seperti konteks, niat pembicara, pemahaman pendengar, anggapan pendengar, norma yang berlaku, keyakinan umum, dan budaya setempat. Kajian mengenai ketidaksantunan muncul karena adanya celah yang terdapat pada penelitian sebelumnya yang telah banyak dikaji mengenai kesantunan dalam berkomunikasi. Lachenict (1980), Austin (1990) dan Culpaper juga merupakan peneliti yang mengkaji ketidaksantunan dengan berawal dari teori
17
kesantunan Brown dan Levinson. Austin dan Culpaper mempunyai persamaan dalam memandang sebuah ketidaksantunan merupakan tindakan yang mengancam muka yang dengan demikian menimbulkan konflik sosial dan ketidakharmonisan. Brown dan Lavinson (1987:61) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tindakan mengancam muka (Face Threatening Act) adalah tindak tutur yang dapat merusak muka positif atau muka negative dari pendengar atau mitra tutur. Jika dalam kesantunan Brown Lavinson lebih cenderung melindungi muka dengan meminimalisir adanya tindakan mengancam muka (FTA), ketidaksantunan berlaku sebaliknya yaitu cenderung mengancam dan menyerang muka. Dalam praktik berkomunikasi antar sesama manusia tidaklah selalu mengenai interaksi sosial positif namun juga interaksi sosial yang negatif. Ungkapan-ungkapan yang mengandung penghinaan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial negatif dalam berkomunikasi yang mengancam muka mitra tutur. Definisi muka yang dimaksud adalah citra diri. Brown dan Levinson via Helen Spencer-Oatey (2000:12-13) mendefinisikan muka yang terdiri dari muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah muka yang mengacu pada citra diri yang ingin dibiarkan bebas oleh penutur untuk melakukan dan meyakini apa yang menjadi pilihan. Muka positif mengacu pada citra diri yang menginginkan segala bentuk perilaku, tindakan, dan keyakinan untuk diterima dan dihargai. Selanjutnya oleh Brown and Levinson dijelaskan pula bahwa dalam suatu interaksi sosial,muka atau citra diri dapat dihilangkan atau dirusak dengan kata lain bahwa tindakan mengancam muka positif ataupun muka negatif mitra tutur atau pendengar sangatlah mungkin bahkan terkadang tidak dapat dihindari.
18
Tindakan mengancam muka mitra tutur dapat diminimalkan dengan strategi-strategi kesantunan. Akan tetapi jika seseorang tidak berniat untuk meminimalisir tindakan mengancam muka itu dengan strategi-strategi kesantunan maka akan mengakibatkn emosi negatif pada orang lain. Emosi negatif pendengar timbul jika pendengar merasa tersinggung atau merasa bahwa harga diri telah dirusak dan hilang. Bousfield menyebutkan bahwa suatu tindakan verbal dapat dikatakan tidak santun jika disampaikan: a. Tanpa adanya filter, dalam konteks yang seharusnya ada filter dalam bertutur kata. b. Dengan disertai aggression atau serangan dengan ancaman muka yang memperburuk dan menjadi-jadi sedemikian rupa untuk memperparah akibat dari penyerangan muka. Ketidaksantunan dikatakan berhasil jika mitra tutur paham atas kesengajaan penutur untuk merusak muka. Berikut adalah ringkasan bilamana suatu ketidaksantunan itu terjadi: a. Jika penutur secara sengaja merusak muka mitrat tutur dan mitra tutur/pendengar menangkapnya sebagai tindakan yang telah merusak mukanya. b. Jika penutur secara sengaja merusak muka mitra tutur namun mitra tutur /pendengar tidak memahaminya sebagai hal yang merusak muka maka bukan disebut ketidaksantunan.
19
c. Jika penutur tidak bermaksud menyerang muka mitra tutur/pendengar tapi diterima oleh mitra tutur/pendengar sebagai kesengajaan telah mengancam mukanya maka tetap apa yang dilakukan penutur itu adalah hal yang kebetulan mengancam muka (Accidantal Face-damage) karena pada akhirnya timbul suatu hinaan atau cercaan. d. Jika penutur tidak bermaksud merusak muka namun mitra tutur atau pendengar membentuk perkataan penutur menjadi sebuah ketidaksengajaan yang mengancam muka maka disebut juga Accidental Face –damage. (Bosfield, 2008:72-73) Culpaper juga menjelaskan bahwa ketidaksantunan setidaknya memiliki komponen-komponen sebagai berikut: a. Perkataan penutur tidak sesuai dengan norma-norma yang diharapkan oleh pendengar/ mitra tutur mengenai bagaimana seharusnya penutur bertutur kata kepadanya. b. Perkataan penutur diduga untuk menimbulkan perlokusi menghina atau menimbulkan emosi negatif bagi setidaknya yang mendengar perkataan penutur. c. Faktor lain seperti unsur kesengajaan dapat memperburuk hinaan, namun bukan dalam kondisi tertentu. d. Persepsi-persepsi yang muncul dipengaruhi oleh konteks-konteks.
20
Kajian
ketidaksantunan
yang
dilakukan
Culpeper
(1996)
juga
menyinggung masalah strategi-strategi dalam ketidaksantunan. Terdapat lima strategi ketidaksantunan menurut Culpaper yaitu strategi langsung, strategi ketidaksantunan positif, strategi ketidaksopanan negative, strategi sindiran atau kesantunan mencemooh, dan juga strategi kesopanan tersembunyi. Kelima strategi yang digunakan Culpaper itu sebenarnya sepadan dengan lima strategi untuk mengancam muka (Face Threatening Act) yang dikemukakan oleh Brown dan Levinson. Berikut adalah strategi ketidaksantunan Culpaper: 1.7.3.1 Ketidaksantunan secara langsung (Bald on record impoliteness) Ketidaksantunan secara langsung ini merupakan tindakan mengancam muka mitra tutur secara langsung, jelas, dan tidak ambigu sehingga bisa dikatakan bahwa penutur lebih mengutamakan konten percakapan yang disampaikan dripada aspek interpersonalnya. Seperti yang dicontohkan oleh Jonathan Culpaper, Derek Bousfield dan Anne Wichmann dalam jurnal pragmatic berjudul Impoliteness Revisited bahwa perkataan „shut up and act like a parking attendant‟ yang dikatakan secara langsung dan tegas kepada tukang parkir oleh seorang wali murid yang berhenti mengantarkan anaknya ke sekolah adalah merupakan tindakan yang tidak santun yang dilakukan secara langsung. Dalam situasi yang terjadi diantara wali murid dan tukang parkir itu sangat tidak pas jika wali murid menggunakan strategi kesopanan. Karena tidakadanya strategi kesopanan yang dipakai dalam konteks percakapan itu maka terdapatlah sebuah kesan yang kasar dan mengancam muka mitra tutur.
21
1.7.3.2. Ketidaksantunan Positif (Positive Impoliteness) Strategi ketidaksantunan ini digunakan untuk menyerang muka positif mitra tutur. Muka positif mengacu pada keinginan seseorang untuk dapat diterima dan diakui orang lain. Yang termasuk dalam perwujudan strategi ketidaksantunan positif ini menurut Culpaper (1996:357) adalah (1) mengabaikan, menghina, mencerca, dan tidak mengacuhkan ketertarikan, keinginan dan kebutuhan mitra tutur atau pendengar, (2) Memutuskan hubungan dengan orang lain (3) memecah belah dengan yang lainnya, (4) tidak memperdulikan, tidak memperhatikan dan tidak menarik simpati, (5) menandai suatu identitas dengan tidak patut, (6) menggunakan bahasa yang tidak jelas atau menggunakan kode-kode tertentu dalam berbahasa, (7) mengungkapkan ketidaksetjuan, (8) menghindari kata sepakat dengan mitra tutur atau pendengar, (9) menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain, (10) menggunakan bahasa tabu seperti umpatan, ungkapan kasar yang menentang mitra tutur/ pendengar, (11) memanggil nama mitra tutur dengan menggunakan kata atau julukan yang merendahkan, dll. 1.7.3.3. Ketidaksantunan Negatif (Negative Impoliteness) Strategi ketidaksantunan negatif digunakan untuk menyerang muka negatif mitra tutur atau pendengar. Berbeda dengan muka positif yang mengacu pada keinginan seseorang untuk dapat diterima dan diakui oleh orang lain, muka negatif mengacu pada keinginan untuk diberi kebebasan. Culpaper (2006: 86) menjelaskan
secara
detail
mengenai
linguistik
strategi
yang
termasuk
ketidaksantunan: (1) Menakuit-nakuti, (2) merendahkan, mencaci dengan
22
menekankan kekuasaan yang dimiliki, (3) Masuk privasi orang lain, (4) secara eksplisit menggunakan kata ganti untuk memanggil, misalnya menggunakan „aku‟ dan „kamu‟, (5) membuat pendengar merasa berhutang, (6) menghalang-halangi ketika sedang terjadi percakapan, menyela percakapan, dll. 1.7.3.4. Strategi sindiran atau kesopanan mencemooh (sarcasm or mock politeness) Pada strategi ini, penutur memberikan ujaran-ujaran yang terdengar positif namun sesungguhnya bertujuan untuk merusak muka seseorang. Strategi ini oleh Culpaper disebut juga dengan Off-record Impoliteness dimana ketidaksantunan itu dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan implikatur untuk menyerang muka seseorang. Culpaper dalam Bousfield (2008:87) juga menjelaskan, “ Here the face threatening acts are perfomed with the use of politeness strategies that are obviously insincere, and thus remain surface realizations”. Tindakan mengancam muka dilakukan dengan menggunakan strategi kesopanan oleh penutur dengan menunjukan sikap yang berpura-pura atau tidak tulus. Cara seperti inilah yang digunakan penutur untuk menyindir secara halus namun terdengar menyakitkan oleh pendengar atau mitra tutur. 1.7.3.5. Strategi kesopanan tersembunyi (Withhold politeness) Strategi kesopanan tersembunyi ini dilakukan dengan cara diam atau memberikan respon lain pada suatu kesempatan dimana seharusnya diharapkan ada respon tindak kesopanan sehingga cara inilah menyebabkan rusaknya muka target.
23
1.7.4 Teori Tindak Tutur Teori tindak tutur pertama kali diperkenalkan oleh J.L Austin dalam How To Do Things With Words. Beliau mengungkapkan bahwa mengatakan sesuatu sama dengan melakukan sesuatu. Terdapat tiga macam tindak tutur yang dibedakan oleh Austin; (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi (Austin 1976: 94). 1.7.4
Tindak tutur lokusi
Searle (1969:23-24) dan Wijana (2009:20-23) kemudian menjelaskan bahwa tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu yaitu apa yang kita sebut mengucapkan suatu kalimat yang mempunyai makna dan referen tertentu. 1.7.5
Tindak tutur ilokusi
Tindak tutur ilokusi adalah sebuah tuturan yang selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. 1.7.6
Tindak tutur perlokusi
Sedangkan tindak tutur perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan
oleh seseorang yang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarnya. Tindak ini disebut The Act of Affecting Someone.
24
1.8 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif – kualitatif yang mencoba memerikan data dengan apa adanya serta data bahasanya dilihat berdasarkan tipenya, bukan berdasarkan jumlahnya (Sudaryanto, 1993:5). Data penelitian ini diambil dari berita-berita mengenai insiden yang menggunakan ungkapan kebencian terkait Islamophobia yang dimuat dalam surat kabar – surat kabar elektronik di United Kingdom. Surat kabar elektronik itu diantaranya adalah yang surat kabar Daily Mail, Daily Miror, The Guardian, Evening News, Standard, The Sun, Independent, BBC, The Times, Asian Images, Islamophobia Watch, Croydon Advertiser, Edinburgh News, Manchester Evening News, Examiner, Birmingham Mail, dan Belfast Telegraph. 1.8.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode simak dengan teknik catat. Menurut Sudaryanto (1993: 133), metode ini dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa dan dilanjutkan dengan kegiatan pencatatan pada kartu data sehingga menjadi sebuah transkrip data yang telah diklasifikasikan. Dalam melakukan penelitian ini, data berupa ungkapan-ungkapan kebencian yang secara langsung dikutip dari video yang diunggah, status facebook, kolom komentar facebook, twitter, grafiti, dan poster-poster yang dimuat dalam berita di surat kabar elektronik. 1.8.2 Metode Analisis Data
25
Selanjutnya data diklasifikasikan berdasarkan strategi ketidaksantunan yang digunakan. Data dipilah-pilah mana yang merupakan ketidaksantunan langsung, ketidaksantunan positif, ketidaksantunan negatif dan ketidaksantunan tidak langsung. Setelah data dipilah-pilah data dianalisis berdasarkan teori ketidaksantunan untuk mencari bentuk pengejewantahan dari masing-masing strategi yang ada. Untuk mengetahui bentuk pengejewantahan dari masing-masing strategi ketidaksantunan, peneliti menggunakan pendekatan pragmatik. Kemudian data ditentukan ilokusinya dengan memperhatikan penutur, mitra tutur dan juga konteks-konteksnya yang meliputi konteks sejarah, budaya, sosial dan politik. 1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Cara penyajian hasil analisis merupakan hal yang sangat penting dalam menulis laporan penelitian. Menurut Mastoyo (2007:71) terdapat dua cara untuk menyajikan hasil analisis data, yaitu secara formal dan informal. Penyajian data secara informal dilakukan dengan menggunakan penjelasan yang berupa kata-kata yang jelas, sedangkan penyajian data secara formal dilakukan dengan sebuah kaidah. Hasil dari analisis data pada penelitian ini akan disajikan dalam bentuk informal, yaitu dalam bentuk deskripsi. 1.9 Sistematika Penyajian Hasil dari penelitian ini disajikan dalam empat bab. Bab 1 membicarakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjuan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II mendeskripsikan strategi-
26
strategi ketidaksantunan dalam ungkapan kebencian yang terdapat dalam fenomena Islamophobia di United Kingdom. Bab III mendeskripsikan ilokusi yang ditunjukan dalam ungkapan kebencian yang terdapat dalam koran elektronik yang memuat berita mengenai Islamophobia di United Kingdom. Bab IV berisi kesimpulan dan saran dari penelitian ini.