BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Di dalam memenuhi kebutuhan berbahasanya, manusia memilih beragam
penggunaan tuturan dalam komunikasinya dengan mitra tutur. Tuturan tersebut dipilih untuk mencapai berbagai fungsi. Menurut Finocchiaro (1977) via Sumardi (1992:75) fungsi bahasa dibedakan menjadi lima bagian yaitu (1) fungsi personal, (2) fungsi interpersonal, (3) fungsi direktif, (4) fungsi referensial, dan (5) fungsi imajinatif. Fungsi personal adalah kemampuan penutur untuk menyatakan pikiran atau perasaan. Fungsi interpersonal adalah kemampuan penutur untuk membina dan menjalin hubungan kerja dan hubungan sosial dengan mitra tutur. Fungsi direktif adalah upaya penutur untuk dapat mengajukan permintaan, saran, membujuk, dan meyakinkan. Fungsi referensial adalah kemampuan untuk menulis dan berbicara dengan lingkungan. Fungsi imajinatif adalah kemampuan untuk dapat menyusun irama dan sajak baik secara tertulis maupun lisan. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi guru dan murid mengandung fungsi interpersonal karena komunikasi yang terjadi antar penutur tersebut terjadi dalam jangka waktu lama yang bertujuan mendidik sehingga ada proses pembinaan hubungan sosial di dalamnya. Seorang guru tidak hanya membutuhkan wawasan luas dalam bidang studi yang diajarkannya namun juga membutuhkan kemampuan
komunikasi
interpersonal
1
yang
akhirnya
sekaligus
dapat
2
mempersuasi siswanya. Betapapun ahlinya seorang guru dalam bidangnya, apabila guru tidak mampu melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berdaya guna maka usahanya akan gagal. Guru yang lebih banyak berceramah, berbicara searah, dan berteori akan kurang berhasil mengubah tingkah laku peserta didiknya. Dalam hal ini, komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam sebuah kontek belajar mengajar akan berpengaruh terhadap hasil pembelajaran. Komunikasi ini menentukan proses penerimaan informasi dari guru kepada murid. Apabila terjadi kegagalan dalam komunikasi antara guru dan murid, maka informasi atau pengetahuan yang ingin disampaikan bisa ditolak atau bahkan tidak mampu difahami. Dalam komunikasinya, tuturan antara guru dan murid juga terkandung sebuah tindakan. Hal ini oleh Austin (1962: 94-95) disebut sebagai tidak tutur (speech act). Menurut Austin (1962: 94-101) ada tiga jenis tindak tutur yaitu tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindakan untuk menyatakan sesuatu (an act of saying something), tindak ilokusi adalah tindakan untuk melakukan sesuatu (an act of doing something), dan tindak perlokusi adalah tindakan untuk mempengaruhi mitra tutur (an act of affecting someone) (Wijana, 1996: 17-20). Nadar (2009:14) menyatakan dari ketiga jenis tindak tutur tersebut, tindak ilokusi menjadi tindak terpenting dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Tindak ilokusi berdasarkan fungsinya ini menurut Searle (2005: viii) terbagi menjadi lima yaitu ilokusi asertif, direktif, komisif, ekspresif, serta deklarasi. Sementara itu melalui modus kalimatnya dibagi menjadi dua, yaitu
3
kalimat langsung dan tidak langsung. Umumnya, tindak ilokusi diungkapkan dengan modus kalimat dan makna sintaktik yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penutur misalnya menggunakan kalimat berita untuk memberikan informasi, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk memerintah. Penggunaan ini yang disebut dengan tindak tutur langsung. Sedangkan penggunaan tindak tutur tidak langsung terjadi apabila modus kalimat berbeda dengan fungsi kalimat. Berikut contoh dialog yang mengandung ilokusi tidak langsung: Erin Gruwell : Ben, do you have anything to say? (Ben, apakah ada yang ingin kamu katakan? [Ben apa pendapatmu?] Ben
: Can I please get out of here? [Apakah aku bisa pergi dari sini?]
[SC 21] Tuturan di atas merupakan penggalan percakapan dalam film Freedom Writers yang dituturkan oleh guru (Erin Gruwell) dengan seorang murid (Ben) di dalam kelas. Dalam dialog tersebut Gruwell bertanya kepada Ben (orang kulit putih) apakah Ben memiliki pendapat terkait dengan topik rasisme orang kulit putih yang sedang dibicarakan dalam kelas. Jawaban Ben yang justru menanyakan apakah dia bisa meninggalkan kelas mengimplikasikan bahwa dia tidak merasa nyaman dengan topik pembicaraan yang sedang berlangsung. Jika dia menjawab (sebagai orang kulit putih yang di kelas itu minoritas dan dibenci) Ben akan tetap mendapat celaan dari teman-temannya. Merasa keamanannya terancam oleh topik pembicaraan yang ada, Ben memilih memberikan jawaban yang tidak diinginkan oleh Gruwell berupa pertanyaan apakah dia bisa keluar kelas.
4
Dari contoh diatas diketahui bahwa terkandung fungsi direktif dalam dialog yang dituturkan oleh Ben menggunakan tindak ilokusi tidak langsung. Terlihat fungsi tuturannya menggunakan modus kalimat yang berbeda. Dengan demikian maksud dari tindak tutur tidak langsung tersebut dapat berbeda, beragam, serta tergantung pada konteksnya. Yule (1998: 56) menyebutkan bahwa penggunakan tindak tutur tidak langsung ini erat hubungannya dengan kesopanan, terutama di kalangan penutur bahasa Inggris. Dalam komunikasi interpersonal penggunaan tindak tutur tidak langsung ini akan membantu membangun hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Film Freedom Writers merupakan film yang diadaptasi dari kisah nyata tentang seorang guru yang mengajar di kelas multi ras. Di dalam kelas tersebut terjadi konflik rasial yang menyebabkan hubungan antar siswa dan hubungan guru dengan siswa tidak harmonis sehingga kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlaksana dengan baik. Untuk mengatasi situasi tersebut sang guru bekerja keras membangun komunikasi interpersonal dengan siswa-siswanya. Di dalam film ini terdapat pola dialog guru dengan murid yang bertujuan untuk membangun hubungan sosial dan menanamkan pemahaman yang benar hingga para siswa berubah tingkah lakunya dan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dialog-dialog yang bertujuan untuk membangun komunikasi interpersonal yang persuasif antara guru dan murid, menjelaskan bentuk tindak tutur yang terkandung di dalam dialog tersebut, serta menjelaskan faktor ekstralingual yang yang mempengaruhi penggunaan
5
tindak tutur guru dan
menunjang keberhasilan guru dalam membangun
komunikasi interpersonal. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dialog yang terjadi antara guru dan siswa dalam film Freedom Writers yang mengandung komunikasi interpersonal yang persuasif? 2. Bentuk tindak tutur apa yang terkandung dalam tuturan guru di dialog antara guru dan siswa dalam film Freedom Writers? 3. Faktor ekstralingual apa yang mempengaruhi penggunaan tindak tutur guru dan menunjang keberhasilan guru dalam membangun komunikasi interpersonal dalam film Freedom Writers? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, penelitian ini dilakukan
untuk: a. Mendeskripsikan dialog yang terjadi antara guru dan siswa dalam film Freedom Writers yang mengandung komunikasi interpersonal yang persuasif. b. Mendeskripsikan bentuk tindak tutur guru yang terkandung dalam dialog antara guru dan siswa dalam film Freedom Writers.
6
c. Menjelaskan faktor ekstralingual yang mempengaruhi penggunaan tindak tutur guru dan menunjang keberhasilan guru dalam membangun komunikasi interpersonal dalam film Freedom Writers 1.4
Manfaat Penelitian Seperti penelitian pada umumnya, dilaksanakannya penelitian inipun
diharapkan agar membawa manfaat, yaitu: a. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah dunia penelitian, khususnya yang terkait dengan tiga bidang bidang. Pertama, yang terkait dengan bidang studi pragmatik, yaitu dengan memberikan analisis makna tuturan yang dikaitkan dengan konteks, terutama komunikasi antara guru dan siswa. Kedua, terkait dengan kajian sosiopragmatik, yaitu dengan memberikan hasil analisis terhadap pengaruh faktor sosial dalam pemilihan tuturan oleh penutur. Ketiga, terkait dengan kajian linguistik terapan di bidang pendidikan, yaitu dengan memberikan analisis strategi pemilihan tuturan dalam pengajaran. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menjadi sebuah rujukan atau referensi baru untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan kajian analisis sosiopragmatik. Penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi sebuah rujukan bagi pendidik dalam mengaplikasikan strategi komunikasi dalam pengajaran.
7
1.5
Tinjauan Pustaka Terkait dengan penelitian komunikasi antara guru dan murid, ada beberapa
penelitian yang telah dipublikasikan. Penelitian pertama adalah penelitian oleh Courtney Cazden (1990: 436-439) berjudul “Classroom Discourse: The Language of Teaching and Learning”. Penelitian Cazden bertujuan untuk menemukan 1) pengaruh pola penggunaan bahasa dalam proses transfer ilmu pengetahuan dan pembelajaran di dalam kelas; 2) kompetensi komunikasi yang dibutuhkan untuk pola penggunaan bahasa tersebut; dan 3) bagaimana pola tersebut berpengaruh pada kesamaan kesempatan memahami dalam proses belajar. Cazden menemukan bahwa pola yang tepat digunakan untuk memudahkan pemahaman siswa adalah pola komunikasi yang mengandung banyak kesamaan dengan pola komunikasi umum yang pernah dialami oleh siswa di lingkungan rumahnya. Cazden juga menemukan bahwa
kemampuan guru untuk mengurangi dominasi instruksi
searah dan pemberian tugas individual akan berpengaruh pada hasil pembelajaran. Pengajaran akan lebih efektif jika diarahkan kepada diskusi verbal kelompok kecil karena akan berpengaruh pada sisi kognitif siswa. Cazden menganalisis komunikasi guru yang terjadi dalam penelitiannya menggunakan model kesopanan Brown dan Levinson terutama untuk menganalisis bagaimana guru mengontrol kuantitas, topik, dan gaya bicara. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Fadli Rozaq berjudul “Hubungan Komunikasi Interpersonal Antara Guru dan Siswa dengan Keaktifan Belajar Siswa Kelas XI Program Keahlian Teknik Otomotif Di SMK Muhammadiyah 4 Klaten Tengah Tahun Ajaran 2012/2013”. Penelitian Rozaq
8
bertujuan untuk mengetahui komunikasi interpersonal antara guru dan siswa kelas XI program keahlian teknik otomotif di SMK Muhammadiyah 4 Klaten Tengah tahun ajaran 2012/2013 dan korelasi komunikasi interpersonal antara guru dan siswa dengan keaktifan belajar siswa kelas XI program keahlian teknik otomotif di SMK Muhammadiyah 4 Klaten Tengah tahun ajaran 2012/2013. Hasil penelitian Rozaq menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara komunikasi interpersonal antara guru dan siswa dengan keaktifan belajar siswa kelas XI program keahlian teknik otomotif di SMK Muhammadiyah 4 Klaten Tengah tahun ajaran 2012/2013. Penelitian berbasis teks tertulis juga dilakukan oleh Kathryn Riley (1993) yang berjudul “Telling More Than the Truth: Implicature, Speech Act, and Ethicts in Professional Communication”. Penelitian ini membahas hubungan implikatur dan etika dalam komunikasi profesional. Dalam penelitiannya Riley menemukan bahwa penulis yang menulis artikel bisnis atau artikel yang berkaitan dengan profesi tertentu cenderung memakai tuturan yang mengandung implikatur dan tindak tutur tidak langsung. Implikatur dan tindak tutur tidak langsung ini digunakan oleh para penulis dengan beberapa tujuan yaitu untuk mengelabui pembaca terhadap makna sesungguhnya, mengurangi informasi negatif, dan untuk menunjukkan rasa hormat kepada pembaca yang awam atau yang memiliki status sosial tinggi. Faktor pembeda antara penelitian-penelitian diatas dengan penelitian ini adalah objek kajian dan fokusnya. Dalam penelitian ini objek kajiannya adalah percakapan film (didasari kisah nyata) yang melibatkan konflik multi ras. Setting
9
yang unik ini menjadi menarik untuk diteliti karena penelitian yang telah dilakukan sebelumnya cenderung meneliti bagaimana prinsip kesopanan, implikatur dan tindak tutur tidak langsung digunakan oleh penutur untuk persuasi dan menciptakan keselarasan percakapan dalam konteks situasi yang cenderung harmonis dan normal, namun dalam penelitian ini akan mendeskripsikan penggunaan tindak tutur tidak langsung dalam situasi konflik dan penyelesaian konflik di dalam ruang kelas sehingga tercipta situasi yang harmonis. 1.6
Landasan Teori 1.6.1 Komunikasi Interpersonal Secara konstektual, komunikasi interpersonal digambarkan sebagai suatu komunikasi antara dua individu atau beberapa individu, yang mana saling berinteraksi, saling memberikan umpan balik satu sama lain. Namun, memberikan definisi konstektual saja tidak cukup untuk menggambarkan komunikasi interpersonal karena setiap interaksi antara satu individu dengan individu lain berbeda-beda. Mulyana (2000: 73) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, gurumurid dan sebagainya. Muhammad (2005:159) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi diantara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui umpan baliknya. Dapat disimpulkan
bahwa
komunikasi
interpersonal
merupakan
proses
10
penyampaian informasi, pikiran dan sikap tertentu antara dua orang atau lebih yang terjadi pergantian pesan baik sebagai penutur maupun mitra tutur dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, mengenai masalah yang akan dibicarakan yang akhirnya diharapkan terjadi perubahan perilaku. Menurut De Vito (2011: 259-264), efektivitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). 1.6.1.1 Keterbukaan (Openness) Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Merupakan hal yang wajar jika penutur ingin mitra tutur
11
memberikan respon dan reaksi secara terbuka terhadap apa yang penutur ucapkan. Aspek ketiga menyangkut “kepemilikan” perasaan dan pikiran (Bochner dan Kelly: 1974 via De Vito: 2011). Terbuka dalam pengertian ini adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang dilontarkan adalah memang milik penutur dan penutur bertanggungjawab atasnya. 1.6.1.2 Empati (Empathy) Henry Backrack (1976) via De Vito (2011) mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk memahami apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang. Empati dapat diungkapkan baik secara verbal maupun non verbal. Secara nonverbal dilakukan dengan memperlihatkan (1) keterlibatan aktif dengan melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai; (2)
12
konsentrasi terpusat meliputi kontak mata, postur tubuh yang penuh perhatian, dan kedekatan fisik; serta (3) sentuhan atau belaian yang sepantasnya. 1.6.1.3 Sikap Mendukung (Supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Komunikasi yang terbuka dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Pengekspresian sikap mendukung dengan cara: (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin. 1.6.1.4 Sikap positif (Positiveness) Pengekspresian
sikap
positif
dalam
komunikasi
interpersonal dilakukan dengan dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang menjadi mitra tutur. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif.
13
1.6.1.5 Kesetaraan (Equality) Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara. Hal ini mengharuskan adanya pengakuan bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan. Ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. 1.6.2 Implikatur Istilah implikatur dipakai oleh Grice untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yang dikatakan penutur. Dengan perkataan lain implikatur dalam arti yang mudah adalah pesan yang tersirat, yang coba disampaikan oleh penutur dalam percakapan. Selanjutnya Grice kemudian
14
membagi implikatur atas dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional atau yang lazim dikenal dengan sebutan implikatur percakapan atau implikatur saja. Menurut Grice, implkatur bukan merupakan inferens semantic tetapi didasarkan pada dua unsur yang terkandung dalam ujaran, yakni : (i) apa yang diperkatakan (peringkat semantic); (ii) beberapa andaian khusus tentang sifat semula (peringkat pragmatic) (Brown & Yule, 1996:31) Berkaitan dengan kedua unsur di atas, Robyn Carston dalam (Rakhmat, 2008:193) mengatakan bahwa kita tidak dapat membentuk implikatur tanpa merujuk pada apa yang diperkatakan. Sesuatu yang diperkatakan merujuk pada ujuran yang tersurat atau eksplisit. Implikatur selalu disampaikan secara implisit sehingga implikatur sangat bergantung pada konteks tertentu, yang ternuat dalam ujaran sebelumnya. Menurut Purwo (1990:20) jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu antara lain, berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal
yang dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan.
Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat (yang dipersambungkan itu) secara lepas; maksudnya makna keterkaitan itu tidak terungkap secara “literal” pada kalimat itu sendiri. Itulah yang disebut implikatur percakapan. Tertaut dengan pandangan di atas, Wijana (1996) mengatakan bahwa dalam implikatur hubungan antara tuturan dengan yang disiratkan
15
tidak bersifat semantik tetapi kaitan keduanya hanya didasarkan pada latar belakang pengetahuan yang mendasari kedua proposisinya. Selanjutnya, Gazdar (1979 : 38) juga mengungkapkan bahwa implikatur adalah proposisi yang diimplikasikan dari sebuah tuturan meskipun proposisi tersebut bukan merupakan bagian dari bentuk yang dituturkan. Dengan demikian – sebagimana yang dikemukakan oleh Nababan (1989:29) – konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang diimplikasikan. 1.6.3 Konteks Situasi Tutur Halliday
(1992:6-13)
mengatakan
bahwa
untuk
menjelaskankeberhasilan orang dalam berkomunikasi langkah pertama yang harus ditempuh adalah memperkirakannya dari konteks situasi. Dalam hal ini kerangka yang dikutip antara lain konteks menurut Malinowski yang terbagi atas : (a) Konteks situasi, yaitu keseluruhan lingkungan tutur (verbal) dan juga lingkungan keadaan tempat teks diucapkan; (b) konteks budaya, yaitu latar belakang budaya secara keseluruhan, bukan hanya hal yang sedang terjadi pada saat itu sebab yang terlihat dalam interaksi kebahasaan jenis apapun, dalam pertukaran percakapan jenis apapun, bukan hanya pengamatan-pengamatan jarak dekat dan suara-suara yang mengitari peristiwanya tetapi juga sejarah budaya secara keseluruhan yang ada di belakang pemeran dan di belakang jenis kegiatan yang mereka lakukan, yang menentukan signifikannya bagi budaya yang bersangkutan.
16
Selanjutnya, Halliday juga mengutip konteks situasi yang diperikan oleh Firth berdasarkan pemikiran Malinowski. Pokok-pokok pandangan Firth adalah sebagai berikut : (1) Pelibat atau partisipan, yaitu orang dan tokoh-tokoh yang lebih kurang sepadan dengan apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai kedudukan dan peran pelibat; (2) Tindakan pelibat, yaitu hal yang dilakukan baik meliputi tindakan tutur maupun tindakan yang bukan tutur; (3) Ciri-ciri situasi lainnya yang relevan, yaitu benda-benda atau kejadian-kejadian sekitar, sepanjang hal itu memiliki sangkut paut tertentu dengan hal yang sedang berlangsung; (4) Dampak-dampak, yaitu bentuk-bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh pelibat dalam situasi. Mengenai konteks budaya yang dikemukakan oleh Malinowski akan dilengkapi juga dengan pandangan Silzer dan Koentjaraningrat yang dirangkum dari Chaer & Leonie (1995 : 222-225). Menurut Silzer, bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat bagai dua anak kembar siam atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa system bahasa dan pada sisi lain berupa system budaya. Makanya, apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa atau sebaliknya begitu
juga Koentjaraningrat,
mengatakan
bahwa
budaya sangat
mempengaruhi perilaku berbahasa. Artinya, budaya yang berbeda akan melahirkan pola tindak tutur yang berbeda . di sini budaya dilihatnya dalam arti luas, yang termasuk sikap dan sifat penutur. Hymes (dalam Halliday, 1992 dan Chaer, 1995) mengajukan seperangkat konsep untuk memerikan konteks situasi yang dalam banyak
17
hal serupa dengan yang diajukan Firth. Dia mengidentifikasikannya sebagai berikut : (1) Bentuk dan isi pesan; (2) Perangkat lingkungan yang khas (misal waktu dan tempat); (3) Pelibat; (4) Maksud dan dampak komunikasi; (5) Kunci atau petunjuk; (6) Perantara; (7) Genre; (8) Norma interaksi. Konsep ini kemudian lebih dikenal sebagai komponen tutur yang pada intinya meliputi : (1) Tempat dan suasana tutur; (2) Peserta tutur; (3) Tujuan tutur; (4) Pokok tuturan; (5) Nada tutur; (6) Sarana tutur; (7) Norma tutur; dan (8) Jenis tuturan. Untuk memudahkan penghafalan terhadap
komponen-komponen
tersebut,
diberikan
model
hafalan
memonik SPEAKING, yang berturut-turut dimaksudkan sebagai berikut : S (setting), P (participant), E (ends), A (act sequence), K (keys), I (instrumentalities), N (norms), dan G (genres). Sebagai penjabaran dan pengembangan dari konsep yang disampaikan Hymes, sesuai dengan menguraikan sedikitnya tiga belas komponen yang perlu diperhitungkan dalam setiap tindak tutur. Komponen-komponen itu meliputi hal-hal berikut : (1) Pribadi si penutur atau orang pertama; (2) Anggapan penutur terhadap kedudukan social relasinya dengan orang yang diajak bicara; (3) Kehadiran orang ketiga; (4) Maksud dan kehendak penutur; (5) Warna emosi penutur ; (6) Nada suara bicara; (7) Pokok pembicaraan; (8) Urutan bicara; (9) Bentuk wacana; (10) Sarana tutur; (11) Adegan tutur; (12) Lingkungan tutur; (13) Norma kebahasaan lainnya.
18
Bertalian dengan pandangan-pandangan di atas, Leech (1993) dalam kerangka pragmatic mencakup konteks dalam situasi tutur. Lebih lanjut, situasi tutur memiliki aspek-aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam kajian pragmatis, yaitu; (1) Penyapa dan pesapa; (2) Konteks urutan; (3) Tujuan tuturan; (4) Tuturan sebagai bentuk tindakan; dan (5) Tuturan sebagai hasil tindak verbal. 1.6.4 Tindak Tutur Menurut Searle, unit komunikasi dalam linguistik bukanlah symbol, kata, atau kalimat melainkan produk atau hasil dari symbol, kata, dan kalimat dalam wujud perilaku tindak tutur (Richard, 1995 : 6). Dikatakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya terdapat tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran. Ketiganya adalah tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak perlokusioner atau disingkat lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak tutur dengan kata, frasa , dan kalimat sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak lokusi tidak dipermasalahkan maksud atau fungsi tuturan yang disampaikan penutur. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan
maksud dan
fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi kerena terlebih dulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan
19
dimana, pada situasi yang bagaimana tindak tutur itu terjadi. Dengan demikian tindak ilokusi menjadi bagian inti atau sentral untuk memahami tindak tutur. Tindak perlokusi adalah adalah tindak yang menumbuhkan pengaruh atau efek kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut juga the act of affecting someone. Selanjutnya, Searle (2005) menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam lima macam bentuk tuturan, yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan itu dirangkum sebagai berikut : (i) Asertif, yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang dikemukakan, misalnya : menawarkan, menyarankan, membual, mengeluh, dan mengklaim; (ii) Direktif, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur mau melakukan tindakan, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menasehati, dan merekomendasi; (iii) Ekspresif, yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya: berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, manyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa; (iv) Komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya : berjanji, bersumpah, mengancam (Cutting: 2002), dan menawarkan
sesuatu;
(v)
Deklarasi,
yakni
bentuk
tutur
yang
menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya : berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum.
20
Satu hal mendasar yang perlu dicatat dari penggolongan tindak tutur ke dalam bentuk-bentuk tuturan menurut tokoh ini adalah kenyataan bahwa satu tindak tutur dapat memiliki maksud dan fungsi yang bermacam-macam.
Selanjutnya,
pengungkapan
maksud
di
dalam
berkomunikasi menurut Parker, sekurang-kurangnya dapat dibedakan atas empat, yakni : (i) Tindak tutur langsung; (ii) Tindak tutur tidak langsung; (iii) Tindak tutur literal; dan (iv) Tindak tutur tidak literal. Ada lagi empat tindak tutur lainnya bila keempat tindak tutur tersebut diinterseksikan, yakni : (v) Tindak tutur langsung literal; (vi) Tindak tutur tidak langsung literal; (vii) Tindak tutur lagsung tidak literal; dan (viii) Tindak tutur tidak langsung tidak literal (Wijana, 1996: 218) 1.6.5 Film Freedom Writers Freedom Writers adalah film buatan tahun 2007 yang dibintangi oleh Hillary Swank, Scott Glenn, Imelda Staunton and Patrick Dempsey. Film ini didasarkan kisah nyata dalam buku The Freedom Writers Diary yang ditulis oleh seorang guru Erin Gruwell. Buku ini ditulis didasarkan peristiwa di Woodrow Wilson Classical High School di Long Beach, California pada tahun 1992-1995. Film ini bermula dari adanya peristiwa di tahun 1992 yang disebut Los Angeles Riots (kerusuhan Los Angeles). Peristiwa ini merupakan peristiwa bentrokan rasial yang menewaskan banyak korban. Setelah peristiwa ini Woodrow Wilson Classical High School dibuka untuk siswa dari multi ras yang bermusuhan satu sama lain. Erin Gruwel adalah guru kulit putih yang ditugaskan di kelas multikultur
21
ini yang mendapat banyak tantangan dalam aktivitas mengajarnya. Berikut adalah tokoh dalam film Freedom Writers dan ras mereka. Tabel 1. Daftar Tokoh Film Freedom Writers
Tokoh
1.7
Peran
Ras
Erin Gruwell
Guru
White American
Eva Benitez
Siswa
Hispanic
Marcus
Siswa
Black American
Andre Bryant
siswa
Black American
Gloria Munez
siswa
White American
Sindy Ngor
siswa
Asian
Jamal Hill
siswa
Black American
Brian Gelford
guru
White American
Tito
siswa
Black American
Ben Samuels
siswa
White American
Victoria
siswa
Black American
Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan sebuah penelitian deskriptif
kualitatif yang mencoba untuk memerikan data bahasa dengan apa adanya. Bungin
(2007:
24)
mengatakan
bahwa
penelitian
deskriptif
kualitatif
menggunakan model deduktif, yaitu menempatkan teori sebelum pengumpulan dan analisis data. Penelitian deskriptif kualitatif ini dilakukan melalui tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, melalui teknik rekam dan catat. Data berupa kata, frase, atau kalimat dalam transkrip dialog film Freedom Writers. Selanjutnya data diklasifikasikan menurut fungsi dialog dan tindak
22
tuturnya. Setelah itu data dianalisis menggunakan metode interpretatif dan disajikan hasil analisisnya menggunakan metode deskriptif. Analisis data disebut juga pengolahan dan penafsiran data. Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna. Sifat analisis dalam penelitian ini adalah penguraian apa adanya konteks situasi yang terjadi dalam dialog (deskriptif) disertai penafsiran terhadap arti yang terkandung dibalik yang tampak (interpretatif). Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis interpretif dengan mengandalkan daya imajinasi, intuisi, dan daya kreasi peneliti dalam proses yang disebut reflektif dalam menangkap makna dari objek penelitian. Tujuan analisis tersebut adalah untuk menemukan makna peristiwa yang ada pada objek penelitian dan menginterpretasikan makna dari hal yang diteliti. 1.8
Sistematika Penulisan Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam lima bab. Bab I
membicarakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, serta metode penelitian. Bab II menjelaskan tentang dialog-dialog yang mengandung komunikasi interpersonal antara guru dan murid dalam film Freedom Writers. Sementara itu, Bab III berisi tentang bentuk tindak tutur yang terkandung dalam
23
tuturan pemeran utama film Freedom Writers. Bab IV mendiskusikan tentang faktor ekstralingual yang yang menunjang keberhasilan guru dalam membangun komunikasi interpersonal yang persuasif dalam film Freedom Writers. Akhirnya, Bab V akan memaparkan simpulan dari penelitian ini.