FUNGSI ITU PADA AWAL UNIT TUTURAN
Katharina Endriati Sukamto Unika Atma Jaya, Jakarta Abstract The Indonesian distal demonstrative pronoun itu ‘that’ is traditionally said to have a deictic meaning, in the sense that it refers to something that is distant from the speaker. In spontaneous spoken discourse, however, itu indicates a significant pragmatic function in the communication of information or ideas. This paper aims to show that itu occurring at the initial position of an intonation unit plays an important role in establishing referents, propositions, and ideas. Apart from that, itu also functions as an effective device for marking the flow and continuity in communication. 1. PENDAHULUAN
Apabila kita bercakap‐cakap, kita menggunakan alat wicara seperti paru‐paru, tenggorokan, mulut, dan lidah, sehingga kita dapat menyampaikan informasi kepada pendengar kita. Melalui udara, informasi yang berupa suara (speech sounds) itu ditransmisikan ke pendengar kita. Seperti disebutkan oleh Ochs (1979), bahasa lisan dapat direncanakan (planned) atau tidak direncanakan (unplanned). Bahasa lisan yang direncanakan misalnya pidato, yang dapat dibacakan atau dihafalkan. Bahasa lisan yang tidak direncanakan bersifat spontan, dalam arti bahwa setiap tuturan yang keluar dari mulut penuturnya merupakan pengaktifan langsung suatu informasi yang ada di benak si penutur. Oleh karena itu bahasa lisan yang bersifat spontan tidak dapat dilihat, diubah, atau direvisi. Dalam bertutur, manusia memiliki keterbatasan bio‐neurologis, dalam arti bahwa ia tidak dapat mengeluarkan apa yang ada dalam benaknya dalam satu kali tuturan sekaligus. Ia perlu bernapas bila bertutur; ia perlu pula berpikir sebelum bertutur. Karena itu, secara otomatis informasi yang keluar dari mulutnya akan terdengar tidak mulus atau
Fungsi Itu Pada Awal Unit Tuturan (Katharina Endriati Sukamto)
terpenggal‐penggal (ada jeda di antara satu tuturan dengan tuturan berikutnya). Apabila tuturan‐tuturan itu direkam dan kemudian ditranskripsi, kita dapat membacanya dalam bentuk unit‐unit tuturan. Chafe (1994) menyebut unit‐unit tuturan itu dengan intonation units dan Cruttenden (1997) menyebutnya dengan intonation groups. Setiap unit tuturan merupakan bagian wacana yang dibatasi oleh ciri‐ciri nada, yaitu jeda atau pola intonasi lainnya (Du Bois dkk. 1993: 47, Cruttenden 1997: 68). Unit‐unit tuturan yang saling berkesinambungan itulah yang ditangkap oleh pendengar sebagai suatu informasi yang utuh. Kebersinambungan informasi yang diekspresikan melalui unit‐unit tuturan itu dapat terealisasi apabila penutur menggunakan bentuk‐bentuk acuan (referring expressions) yang tepat. Salah satu bentuk acuan yang dipakai untuk menunjukkan kebersinambungan informasi adalah demonstrativa pronomina itu. Makalah ini akan membahas penggunaan demonstrativa pronomina itu yang muncul pada awal unit tuturan yang digunakan sebagai alat untuk menunjukkan adanya kebersinambungan informasi di antara unit‐unit tuturan yang ada dalam wacana lisan spontan.
1
2. SUMBER DATA Analisis data dalam makalah ini berdasarkan rekaman sebuah teks bahasa Indonesia ragam lisan yang diambil dari salah satu sesi tanya‐jawab mengenai makalah yang dibentangkan oleh Prof. Soenjono Dardjowidjojo pada PELBBA 10,1 yang durasinya sekitar 30 menit. Teks lisan itu kemudian ditranskripsi dengan mengikuti teori Du Bois dkk. (1993). Ada 1.147 unit tuturan dalam teks ini. Demonstrativa pronomina itu pada awal unit tuturan yang menjadi objek penelitian ini muncul sebanyak 50 kali. Kodifikasi data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel. Tiap baris unit tuturan, yang didahului dengan nomor, menunjukkan urutan unit tuturan dalam teks tersebut. Dalam teks lisan ini peserta wicaranya adalah pemakalah sendiri dan beberapa penanya (peserta seminar); namun karena setting wacananya adalah pertemuan ilmiah, sebagian besar percakapan didominasi oleh pemakalah. 3. UNIT‐UNIT TUTURAN DAN KEBERSINAMBUNGAN INFORMASI
Seperti halnya aktivitas melihat, aktivitas bertutur merupakan sebuah proses yang berkelanjutan tetapi juga terbatas. Disebut proses yang berkelanjutan karena baik aktivitas melihat maupun bertutur berkaitan dengan periode waktu yang bergerak maju dari detik ke detik. Disebut proses yang terbatas karena keduanya tidak dapat berlangsung terus menerus tanpa adanya jeda atau pause. Kita harus mengedipkan mata apabila kita melihat sesuatu; kita harus berhenti sejenak untuk bernapas dan berpikir apabila kita bertutur. Dalam wacana lisan, apabila seorang penutur ingin menyampaikan suatu informasi, tuturan demi tuturan yang keluar dari mulutnya tidak berdiri sendiri‐sendiri melainkan saling berkaitan. Dengan demikian terbentuklah rangkaian tuturan yang berkesinambungan, yang ditangkap oleh pendengar sebagai suatu informasi. Rangkaian
2
tuturan yang saling berkaitan itu menggambarkan topik wacana (discourse topic). Sebuah percakapan dapat berisi lebih dari satu topik wacana. Adanya keterbatasan bio‐neurologis pada manusia menyebabkan seorang penutur tidak dapat menyampaikan suatu topik wacana kepada pendengarnya sekaligus. Ia perlu bernapas dan berpikir; dan karena itu ia harus menyampaikan topik wacana itu dengan memenggal‐menggalnya dalam unit‐unit tuturan. Setiap unit tuturan, yang mengandung informasi, secara kontekstual harus berkaitan dengan unit‐unit tuturan berikutnya agar topik wacana yang utuh dapat terwujud. Gee (2005) mendefinisikan unit tuturan sebagai berikut: An “intonation unit” is all the words that precede a pitch glide and the words following it, over which the glide continues to move (fall or rise). The next intonation unit begins when the glide is finished. The speaker often hesitates a bit between intonation units (usually we pay no attention to these hesitations) and then steps the pitch up or down a bit from the basic pitch of the last intonation unit on the first word of the next unit (regardless of whether it is a content word or not) to “key” the hearer that a new intonation unit is beginning. Dengan kata lain, kita dapat menentukan awal dan akhir suatu unit tuturan bukan dari keras tidaknya suara yang diproduksi oleh penutur melainkan pada awal dan berakhirnya suatu nada bicara tertentu. Awal suatu unit tuturan akan diikuti oleh kata atau rangkaian kata, sedangkan akhir unit tuturan akan diakhiri oleh jeda pendek, yang digambarkan oleh Gee (2005) sebagai speaker’s hesitation ‘keragu‐raguan penutur,’ yang sebenarnya menggambarkan keterbatasan sorang penutur dalam mengekspresikan apa yang ingin dikatakannya dalam satu kali tuturan sekaligus. Perhatikan contoh berikut, di mana penutur menyampaikan suatu topik wacana mengenai wujud bahasa yang dikuasai oleh manusia. Setelah ditranskripsi, topik wacana itu dapat kita lihat dalam bentuk segmen‐segmen
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 1‐6
tuturan. Setiap segmen tuturan, yang disebut dengan unit tuturan dalam makalah ini, berisi kata atau kata‐kata yang direpresentasikan dengan satu baris. Ada 8 unit tuturan, yang dalam makalah ini masing‐masing didahului oleh angka untuk menunjukkan urutan unit tuturan dalam data. Penjelasan mengenai simbol‐simbol transkripsi dapat dilihat pada apendiks. Untuk selanjutnya unit tuturan akan disingkat dengan UT. (1) 79 80 81 82 83 84 85 86
Wujud bahasa yang dikuasai oleh manusia, ...itu ditentukan oleh input yang masuk. Jadi kalau input yang masuk itu adalah bahasa Indonesia, ...di Indonesia, ..maka yang akan keluar, ...juga bahasa Indonesia. Kalau input‐nya itu bahasa Cina, …yang akan keluar.. bahasa Cina.
Menurut Du Bois & Thompson (1991), kebersinambungan informasi merupakan suatu interaksi kognitif yang dinamis yang melibatkan peserta wicara (penutur dan pendengar) seiring dengan tuturan demi tuturan yang diproduksi oleh penuturnya. Kedinamisan kebersinambungan informasi itu menunjukkan adanya perubahan‐perubahan status kognitif suatu referen, keadaan, atau kejadian (Chafe 1994). Yang dimaksud dengan status kognitif suatu informasi adalah apakah informasi tersebut merupakan informasi yang sudah atau belum aktif di benak si pendengar. Setiap kali sebuah informasi disampaikan, status kognitif informasi itu akan tergantung pada sejauh mana keaktifan informasi itu di dalam benak pendengarnya. Informasi yang sudah aktif tidak memerlukan aktivitas kognitif yang terlalu lama di dalam benak si pendengar karena informasi itu masih ada dalam ingatan jangka pendek si pendengar tersebut. Sebaliknya, informasi yang baru memerlukan proses kognitif yang lebih panjang dari pada informasi lama. Bagaimana pendengar dapat mengidentifikasi informasi yang disampaikan oleh penutur? Identifikasi suatu informasi dapat diperoleh lewat bentuk acuan yang digunakan untuk merujuk informasi tersebut. Pada contoh (1) di atas, informasi yang terkandung pada UT 79 merupakan informasi baru, artinya informasi
Fungsi Itu Pada Awal Unit Tuturan (Katharina Endriati Sukamto)
tersebut belum aktif di benak si pendengar. Oleh karena itu, penutur harus menggunakan frasa nomina yang cukup panjang dan padat dengan informasi, dalam hal ini wujud bahasa yang dikuasai oleh manusia (UT 79). Itu yang muncul pada UT 80 merupakan informasi lama yang koreferensial dengan wujud bahasa yang dikuasai oleh manusia pada UT 79. Selanjutnya, input yang masuk pada UT 80 merupakan informasi baru yang koreferensial dengan input yang masuk itu pada UT 81, di mana itu berfungsi sebagai pemarkah definit. Demikian seterusnya. 4. ITU UNTUK PENGAKTIFAN INFORMASI LAMA DAN PENYAMBUNG INFORMASI Pada umumnya, suatu informasi diaktifkan oleh penuturnya dengan menggunakan bentuk‐bentuk acuan yang dapat diidentifikasi dengan mudah oleh pendengarnya (Chafe 1994: 97). Selama proses komunikasi berjalan, penutur selalu mengaktifkan informasi yang satu setelah informasi yang lain. Informasi‐informasi itu diaktifkan secara dinamis, dan status kognitifnya ditentukan dari waktu ke waktu oleh penutur selama proses penuturan berlangsung (Du Bois & Thompson 1991: 16). Pengaktifan informasi melibatkan asumsi penutur tentang model pikiran si pendengar pada saat dia bertutur. Maksudnya, bentuk acuan yang digunakan untuk mengaktifkan suatu informasi harus sesuai dengan kondisi kognitif pendengarnya. Chafe (1994) membedakan tiga kategori status kognitif suatu informasi berdasarkan tingkat keaktifan informasi itu di dalam benak pendengarnya: (1) informasi lama (given/old information), (2) informasi yang siap raih (accessible information), dan (3) informasi baru (new information). Yang dimaksud dengan informasi lama adalah suatu informasi yang sudah aktif di benak pendengar. Suatu informasi yang baru saja diaktifkan masih ada di ingatan jangka pendek si pendengar, karena itu apabila informasi yang masih aktif itu diaktifkan kembali, maka pengaktifannya tidak memerlukan proses yang lama. Suatu informasi yang telah diaktifkan dapat menjadi
3
semi‐aktif selang beberapa saat. Bila informasi yang semi‐aktif ini diaktifkan kembali, maka pengaktifannya pastilah lebih panjang dibandingkan dengan pengaktifan informasi lama. Informasi semacam ini disebut informasi siap raih. Kategori yang terakhir, informasi baru, adalah suatu informasi yang belum aktif di benak si pendengar karena memang belum pernah diaktifkan. Namun, sangat mungkin terjadi bahwa informasi ini sudah pernah diaktifkan, namun karena adanya informasi‐ informasi susulan lainnya, informasi ini hanya terekam di ingatan jangka panjang si pendengar. Temuan yang menarik dalam data saya adalah digunakannya pronomina demonstratif itu pada awal UT untuk mengacu pada referen, proposisi, atau informasi yang telah disebutkan pada UT sebelumnya. Dengan kata lain, informasi yang diaktifkan dengan bentuk acuan itu adalah informasi lama, karena pengaktifannya dilakukan secara langsung. Perhatikan contoh berikut:
Æ 24 …itu kalau anak kita hampir dapat semua, 25 Tetapi kita tahu di Jepang, Æ 26 …itu tidak dapat mengucapkan l.
Pronomina demonstratif itu pada UT 24 mengacu pada referen l (baca: huruf l) yang muncul pada UT 23. Itu pada UT 26 dapat dikenali oleh pendengar sebagai “anak‐anak Jepang” melalui analogi tuturan pada UT 23 dan 24, yaitu bahwa hampir semua anak Indonesia dapat mengucapkan huruf l. Referen “anak‐ anak Jepang” dapat diraih atau dijangkau oleh si pendengar karena penyebutan kata “Jepang” pada UT 25 dan proposisi “hampir semua anak Indonesia dapat mengucapkan huruf l” yang diungkapkan pada UT 23 dan 24. Itu tidak harus langsung mengacu pada unit tuturan yang muncul sebelumnya. Contoh di bawah ini menunjukkan bahwa itu yang muncul pada IU 673 tidak mengacu pada referen yang muncul pada IU 672 melainkan pada referen yang telah disebutkan pada IU 670 (tiga unit tuturan sebelumnya), yaitu cucu saya.
(2) 113 …kenapa sekarang misalnya, 114 …orang Indonesia, Æ 115 …itu dapat mengatakan ngomong, 116 ...sedangkan orang dari Amerika tidak bisa mengatakan ngo=mong, 117 ...tetapi no=mong, Æ 118 ...itu karena, 119 ...input yang masuk sejak dia kecil, Æ 120 ...itu tidak pernah ada yang berujud nge, 121 ...pada posisi awal.
(4) 670 ...cucu saya, 671 ...kecuali dalam.. 672 ...tiga bulan terakhir ini, Æ 673 ...itu tidak tinggal bersama dengan saya. 674 ..Tinggal dengan orang tuanya.
Itu muncul sebanyak tiga kali pada contoh di atas; ketiga‐tiganya merujuk pada informasi yang telah disebutkan pada UT sebelumnya. Perhatikan bahwa itu pada UT 115 mengacu pada referen orang Indonesia yang diekspresikan pada UT 114. Selanjutnya, itu muncul lagi pada UT 118, yang merupakan pengaktifan langsung dari proposisi yang diungkapkan pada UT 116 dan 117. Pada UT 120, itu mengacu pada referen yang disebutkan pada UT 119, yaitu input yang masuk sejak dia kecil. Selanjutnya, perhatikan contoh di bawah ini. (3) 23 …misalnya l,
(5) 748…dalam teori yang dikemukakan oleh Jakobson, Æ 749…itu ada tiga bunyi, 750…dasar dalam bahasa.
4
Penggunaan pronomina demonstratif itu tidak selalu berarti bahwa itu harus merujuk pada suatu referen atau proposisi. Perhatikan contoh di bawah ini:
Contoh (5) menunjukkan bahwa itu pada UT 749 tidak referensial karena tidak merujuk pada suatu objek tertentu. Informasi yang terkandung pada UT 748 dinyatakan dengan frasa yang didahului oleh proposisi (prepositional phrase). Dengan demikian fungsi itu di sini lebih sebagai penyambung antara informasi yang terkandung dalam UT 748 dan informasi yang terdapat dalam UT 749 dan 750. Contoh (6) berikut ini mirip dengan contoh (5). (6) 1032...seseorang anak yang belum mencapai umur duabelasan tahun,
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 1‐6
1033...ya, Æ 1034...itu dalam suatu teori yang ditemukan oleh Lenneberg, Æ 1035...itu anak masih mempunyai plastisitas yang sangat ..besar, 1036.. di dalam otaknya.
Pada UT 1034, dapat kita lihat bahwa itu tidak merujuk pada informasi yang telah disebutkan pada UT‐UT sebelumnya. Itu di sini berfungsi sebagai penyambung yang menghubungkan informasi yang terkandung dalam UT sebelumnya dengan informasi yang ada dalam UT 1034. Demikian pula dengan itu pada UT 1035 yang tidak referensial karena tidak ada referen atau proposisi yang dirujuk dengan itu. Dari beberapa contoh di atas, jelaslah bahwa itu tidak muncul begitu saja pada awal UT. Selain berfungsi untuk merujuk pada referen, proposisi, atau informasi yang telah disebutkan dalam UT sebelum itu, itu juga berfungsi sebagai penyambung yang secara langsung menghubungkan UT yang satu dengan UT yang lain. Dengan kata lain, itu pada awal UT dapat dipakai sebagai sarana pengikat untuk menunjukkan adanya kebersinambungan informasi di antara unit‐unit tuturan dalam wacana lisan. Gejala seperti ini juga muncul dalam bahasa To’aba’ita, sebuah bahasa Austronesia di sebuah pulau kecil di kepulauan Solomon dengan kurang lebih 6000 penutur (Lichtenberk 1996). Dalam bahasa tersebut, referen yang pertama kali disebutkan dalam sebuah UT akan “dipanggil” dengan pronomina atau frasa nomina pada unit tuturan berikutnya. Lichtenberk (1996) menamainya dengan immediate anaphora after first mention. Tabel di bawah ini menunjukkan frekuensi kemunculan itu pada awal UT berdasarkan kereferensialan (referentiality). Yang dimaksud dengan itu yang referensial adalah itu yang mengacu pada suatu referen atau proposisi, sedangkan itu yang non‐referensial adalah itu seperti yang disebutkan dalam contoh (5) dan (6). Tabel 1 Frekuensi itu berdasarkankereferensialan
Fungsi Itu Pada Awal Unit Tuturan (Katharina Endriati Sukamto)
Itu pada awal UT Referensial Non‐ referensial Total
Frekuensi kemunculan 36 14 50
Persentase 72% 28% 100%
5. KESIMPULAN Wacana lisan yang bersifat spontan selalu melibatkan kerjasama kognitif antara sedikitnya dua peserta wicara: penutur dan pendengar. Apabila seorang penutur menyampaikan informasi, ia selalu menggunakan bentuk‐bentuk acuan untuk merujuk pada referen atau proposisi tertentu. Lawan bicaranya dapat mengidentifikasi referen atau proposisi yang dimaksud berdasarkan bentuk acuan yang dipilih oleh penutur. Kebersinambungan informasi akan terjadi apabila kerja sama kognitif antara keduanya berjalan mulus. Dari analisis data di atas, dapat disimpulkan bahwa pemakaian bentuk acuan itu pada awal UT dikendalikan oleh konsep kognitif kebersinambungan informasi. Itu yang muncul pada awal UT tidak hanya digunakan untuk mengacu pada referen yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi juga berfungsi sebagai pengikat atau penyambung antara UT yang satu dengan UT yang lain dalam suatu teks wacana lisan. Dengan strategi ini, penutur dapat menciptakan kebersinambungan antara informasi satu dengan yang lainnya, yang masing‐masing terkandung dalam setiap UT. DAFTAR PUSTAKA Chafe, Wallace. 1994. Discourse, Consciousness, and Time. Chicago: The University of Chicago Press. Cruttenden, Alan. 1997. Intonation. 2nd edition. Cambridge: Cambridge University Press. Du Bois, John W. and Sandra A. Thompson. 1991. Dimensions of A Theory of Information Flow. MS: University of California, Santa Barbara. Du Bois, John W. Stephan Scheutze‐Coburn, Susanna Cumming, dan Danae Paolino.
5
1993. Outline of Discourse Transcription. Dalam Jane A. Edwards & Martin Lampert, eds. Talking Data: Transcription and Coding in Discourse Research, Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates, 45‐89. Gee, James Paul. 2005. An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method. 2nd edition. New York: Routledge. Lichtenberk, Frantisek. 1996. Patterns of Anahora in To’aba’ita Narrative Discourse. Dalam Barbara Fox, ed. Studies in Anaphora. Amsterdam: john Benjamins, 379‐411. Ochs, Elinor. 1979. Planned and Unplanned Discourse.”Dalam Talmy Givón, ed. Discourse and Syntax. New York: Academic Press, 51‐80. Apendiks: Simbol‐simbol Transkripsi . nada transisi akhir (final transitional continuity) , nada transisi yang berlanjut (continuing transitional continuity) ? nada tanya (appeal transitional continuity) ‐ kata yang terpotong ‐‐ unit tuturan yang terpotong = pemanjangan prosodis (prosodic lengthening) .. jeda pendek … jeda panjang @ suara tawa 1
PELBBA adalah singkatan dari Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya. Pertemuan ini diselenggarakan secara rutin oleh Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) Unika Atma Jaya, Jakarta.
6
ENGLONESIAN: Jurnal Ilmiah Linguistik dan Sastra, Vol. 1 No. 1, Mei 2005: 1‐6