BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara, pemerintah dengan
persetujuan DPR RI telah berhasil menetapkan paket perundang-undangan di bidang keuangan negara yaitu Undang-undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara,
dan
UU
Nomor
15
tahun
2004
tentang
Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Ketiga UU tersebut menjadi dasar bagi reformasi di bidang keuangan negara dari administrasi
keuangan
(financial
administration)
menjadi
pengelolaan
keuangan (financial management). Adanya reformasi di bidang keuangan Negara mengakibatkan perlunya perubahan – perubahan di berbagai bidang untuk mendukung agar reformasi di bidang keuangan dapat berjalan dengan baik. Perubahan yang signifikan salah satunya adalah perubahan di bidang akuntansi pemerintahan agar dapat terselenggaranya good governance yang merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita – cita bangsa dan negara. Perubahan di bidang akuntansi pemerintahan ini sangat penting karena melalui proses akuntansi 1
dihasilkan informasi keuangan yang memadai serta tersedia bagi berbagai pihak untuk digunakan sesuai dengan tujan masing – masing. Dalam mewujudkan hal tersebut diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur dan memiliki legitimasi sehingga
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
dapat
berlangsung secara berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Tuntutan terhadap terciptanya good governance sudah menjadi kehendak sebagian besar masyarakat. Untuk menjawab tuntutan itu, pemerintah
terus
berupaya
untuk
bersikap
lebih
transparan
dalam
pertanggungjawaban publiknya. Salah satu upaya peningkatan transparansi pertanggungjawaban kepada publik adalah di bidang pengelolaan keuangan negara. Saat ini format APBN/APBD telah berubah dari format anggaran berimbang dan dinamis menjadi format anggaran defisit, sehingga dapat memperlihatkan sumber pembiayaan pemerintah untuk menutup defisit tersebut, atau dengan kata lain dapat memperlihatkan besarnya hutang negara. Upaya untuk mewujudkan akuntabilitas keuangan negara yang lebih baik, sebenarnya telah dirintis oleh Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN) sejak tahun 1982, yaitu dengan melakukan modernisasi terhadap akuntansi pemerintah yang selama ini berjalan, dengan suatu sistem akuntansi pemerintah baru yang disebut Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat (SAPP).
2
Secara teknis pemahaman konsep, sistem dan prosedur akuntansi masih perlu diperdalam secara terpisah dari konteks regulasi. Konsekuensi logis dari reformasi tersebut dapat dirinci dari ide pembaharuan sebagai berikut : 1. Reformasi anggaran melalui perubahan struktur dan format anggaran, proses penyusunan anggaran, perubahan administrasi pelaksanaannya, serta penerapan standar akuntansi ; 2. Reformasi pendanaan melalui perubahan kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana, prinsip pengelolaan kas, cadangan, penggunaan dana pinjaman dan pembelanjaan defisit; 3. Reformasi
pelaporan
melalui
pengembangan
standar
akuntansi
pemerintah, penyederhanaan sistem dan prosedur akuntansi, proses audit internal dan eksternal dan pengembangan pelaporan kinerja. Salah satu hal penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003,
adalah
adanya
kewajiban
Presiden
menyusun
dan
menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diperiksa oleh BPK. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tersebut terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan. Sedangkan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca dan Catatan atas Keuangan. Selanjutnya diatur dalam penyusunan laporan keuangan dimaksud berdasarkan Standar 3
Akuntansi Pemerintah (SAP) yang mengacu pada perkembangan standar akuntansi pemerintah secara internasional. Dengan penerapan penatausahaan keuangan berdasarkan sistem yang baru diharapkan sistem dan prosedur pengelolaan pembukuan keuangan mengalami perubahan dengan tersedianya kebijakan akuntansi, kode rekening, sistem dan prosedur akuntansi, dokumen dan formulir serta catatan akuntansi yang pada akhirnya diharapkan pemerintah dapat menyusun laporan keuangan pada hal ini Kementerian Sosial RI dapat menyusun Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan Atas Laporan Keuangan. SAP akhirnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Republik Indonesia tanggal 13 Juni 2005 dengan harapan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah di Indonesia. Pemberlakukan ketentuan SAP ini berlaku
efektif
untuk
laporan
keuangan
atas
pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran mulai tahun anggaran 2005. Dalam pelaksanaannya, LKPP disusun oleh Menteri Keuangan, berdasarkan laporan keuangan yang telah disusun oleh Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran (Laporan Keuangan atas pelaksanaan kegiatan
Dana
Dekonsentrasi/Tugas
Pembantuan
dilaporkan
secara
terintegrasi) dan laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan negara yang telah disusun oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Laporan tersebut disampaikan kepada Presiden dan selanjutnya 4
diteruskan kepada BPK untuk dilakukan pemeriksaan dalam rangka pemberian pendapat (opini) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab Keuangan Negara. Mulai tahun 2006, BPK tidak hanya memberikan pendapat (opini) atas LKPP tersebut tetapi juga memberikan pendapat (opini) atas Laporan Keuangan masing-masing Kementerian Negara/Lembaga. Pengembangan
sistem
memerlukan
suatu
perencanaan
dan
pengimplementasian yang hati-hati, untuk menghindari adanya penolakan terhadap sistem yang dikembangkan. Suatu keberhasilan implementasi sistem tidak hanya ditentukan pada penguasaan teknis belaka, namun banyak penelitian menunjukkan terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada kinerja Sistem Informasi Akuntansi, antara lain keterlibatan pemakai dalam pengembangan sistem, kemampuan teknik, personal SI, ukuran organisasi, dukungan manajemen puncak, formalisasi pengembangan SI, program pelatihan dan pendidikan pemakai (Soegiharto, 2001), Almilia dan Briliantien (2007). Penelitian tentang implementasi inovasi pengukuran kinerja
pemerintahan
dilakukan
oleh
Cavalluzzo
dan
Ittner
(2004)
menunjukkan bahwa beberapa faktor teknik dan faktor organisasional meliputi komitmen manajemen, otoritas pengambilan keputusan, pelatihan dan mandat dari legislatif berhubungan dengan implementasi inovasi sistem pengukuran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengimplementasian sistem baru, perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti komitmen dari sumber daya yang terlibat, dukungan manajemen puncak, kejelasan tujuan dan pelatihan. 5
Chenhall (2004) menyarankan untuk melakukan penelitian di bidang lain seperti implementasi sistem pengendalian manajemen, balance scorecard dan strategi-strategi inovatif lainnya. Penelitian ini mengacu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Komara (2005), Almilia dan Brilliantien (2007). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bukti empiris tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi implementasi Sistem Akuntansi Instansi khususnya di Kementerian Sosial RI. Penelitian ini tidak meneliti semua faktor yang mempengaruhi keberhasilan sistem seperti yang dilakukan oleh Komara (2005), Almilia dan Brilliatien (2007). Penelitian ini membatasi hanya pada 3 variabel dalam kaitannya dengan implementasi Sistem Akuntansi Instansi yang dilihat dari kepuasan user dan penggunaan sistem. Faktor-faktor tersebut antara lain: partisipasi pemakai, dukungan manajemen puncak, dan program pendidikan dan pelatihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Komara (2005) dan Almilia dan Brilliantien (2007) menguji 8 variabel yaitu keterlibatan pemakai, kemampuan teknik personal, ukuran organisasi, dukungan manajemen puncak,
formalisasi
pengembangan
sistem,
program
pelatihan
dan
pendidikan, keberadaan dewan pengarah, dan lokasi departemen sistem informasi. Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara,
dan
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.
59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan 6
Pemerintah Pusat, maka setiap instansi atau lembaga pemerintah diwajibkan untuk
menyelenggarakan
Sistem
Akuntansi
Instansi
(SAI)
untuk
menghasilkan laporan keuangan. Sehubungan dengan pentingnya SAI dalam membuat laporan keuangan instansi, maka diharapkan setiap instansi pemerintah dan tidak terkecuali bagi Kementerian Sosial RI untuk menyelenggarakan SAI sebagai sistem akuntansi guna menyampaikan laporan keuangan instansi kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Implementasi di lingkungan Kementerian Sosial RI selama ini sudah berjalan dengan baik, tetapi masih ada kendala. Masih ada satuan-satuan kerja (Satker/UAKPA) sebagai pengguna anggaran mempergunakan mata anggaran yang tidak sesuai peraturan, sering terlambat dalam menyampaikan laporan keuangan oleh Satker ke KPPN dan UAPPA-W, dikarenakan dipengaruhi oleh sumber daya manusia (SDM) dan jarak antara Satker dengan KPPN dengan UAPPAW sangat jauh dan sulit terjangkau, sehingga kurang efektif dan efisien. Selain itu laporan keuangan masih terdapat kesalahan-kesalahan baik yang disebabkan oleh system error dan human error yaitu permasalahanpermasalahan yang sering timbul dalam proses penyusunan laporan keuangan seperti tidak tercantumnya pagu anggaran, realisasi belanja tanpa pagu, serta adanya realisasi belanja yang melebihi pagu (minus). Berdasarkan identifikasi kendala di atas, maka Sistem Akuntansi Instansi (SAI) saat ini sangat besar pengaruhnya terhadap laporan keuangan, karena kesalahan dan sanksi keterlambatan penyampaian laporan keuangan bagi 7
instansi dapat berdampak buruk bagi kinerja instansi di masa mendatang. Pengaruh kinerja yang dimaksud yaitu apabila masih ada kesalahan akan mengurangi keandalan dan keakuratan laporan keuangan yang pada akhirnya mempengaruhi opini laporan keuangan dan akibat jangka pendeknya mengakibatkan tertundanya rekonsiliasi dengan KPPN sehingga mengakibatkan tertundanya pencairan/penerbitan SP2D atas Surat Perintah Membayar (SPM) yang diajukan Satker. Kementerian
Sosial
RI
telah
dapat
mempertahankan
opini
pemeriksaan yang cukup signifikan atas LKKL yang disampaikan yaitu Wajar Dengan
Pengecualian
(WDP).
Hal
ini
harus
menjadi
pemicu
dan
penyemangat bagi Kementerian Negara/Lembaga untuk terus meningkatkan kualitas pelaporannya sehingga diharapkan opini pemeriksa pada periode pelaporan tahun berikutnya akan menjadi lebih baik dengan target opini Unqualified atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Mengingat pentingnya SAI dalam Laporan Keuangan pemerintah yang merupakan bagian dari tanggung jawab yang tidak terpisahkan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan (akuntabilitas), maka penulis
memilih
judul
“ANALISIS
FAKTOR-FAKTOR
YANG
BERPENGARUH TERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM AKUNTANSI INSTANSI (SURVEY PADA KEMENTERIAN SOSIAL RI).”
8
B.
Rumusan Masalah Untuk mengetahui bukti empiris faktor-faktor apa saja yang dapat
berpengaruh terhadap implementasi Sistem Akuntansi Instansi khususnya di Kementerian Sosial RI maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat pengaruh partisipasi pemakai pengembangan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) terhadap implementasi Sistem Akuntansi Instansi di Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial RI? 2. Apakah terdapat pengaruh manajemen puncak terhadap implementasi Sistem Akuntansi Instansi di Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial RI? 3. Apakah terdapat pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap implementasi Sistem Akuntansi Instansi di Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial RI? 4. Apakah terdapat pengaruh partisipasi pemakai, manajemen puncak, dan pendidikan dan pelatihan secara bersama-sama terhadap implementasi Sistem Akuntansi Instansi di Inspektorat Jenderal Kementerian Sosial RI?
C.
Tujuan dan Manfaat Sesuai dengan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
9
1. Untuk mendapatkan gambaran penerapan/implementasi SAI di Kementerian Sosial RI. 2. Menganalisis
pengaruh
faktor
partisipasi
pemakai,
dukungan
manajemen puncak dan program pelatihan dan pendidikan pemakai terhadap implementasi SAI. Penelitian ini untuk menguji kembali penelitian yang telah dilakukan Komara (2005) dan Almilia dan Brilliantien (2007) dengan menggunakan obyek penelitian yang berbeda yaitu Kementerian Sosial RI (sektor publik). Manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan pemikiran mengenai implementasi kebijakan sistem akuntansi instansi. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan kontribusi masukan informasi bagi Kementerian Sosial RI dalam pelaksanaan implementasi sistem akuntansi
instansi
penyempurnaan
sehingga
implementasi
dapat sistem
dilakukan akuntansi
perbaikan
dan
instansi
demi
tercapainya pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan bertanggungjawab.
10
D.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian adalah implementasi Sistem Akuntansi Instansi pada Kementerian Sosial RI wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan memfokuskan pada pengaruh partisipasi pemakai, dukungan manajemen puncak, dan program pelatihan dan pendidikan terhadap implementasi SAI.
11