BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan diplomatik merupakan hal yang penting untuk dijalin oleh sebuah negara dengan negara lain dalam rangka menjalankan peran antar negara dalam pergaulan internasional. Untuk menjalin hubungan diplomatik ini, sebuah negara akan mengirimkan utusannya untuk menjalankan fungsifungsi tertentu yang berkaitan dengan kepentingan negara yang diwakilinya dengan negara mana ia ditempatkan. Utusan negara yang kemudian disebut sebagai pejabat diplomatik (diplomatic agent) terdiri dari kepala perwakilan diplomatik dan staf diplomatik. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961, klasifikasi dari kepala perwakilan diplomatik antara lain: 1.
Ambassador atau Nuncio
2.
Envoy, Minister Plenipotentiory, atau Internuncio
3.
Charges de Affaires
sedangkan untuk kategori staf diplomatik dijabat oleh seseorang yang berstatus sebagai: Minister, Conselor, First Secretary, Secound Secretary, Third Secretary, dan Attache. Di dalam hukum internasional telah diatur pengaturan mengenai hubungan negara satu dengan negara lain yang menempatkan perwakilan dari negara mereka dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya. Segala ketentuan tersebut tertuang dalam Vienna
1
Convention on the Diplomatic Relations 1961, Vienna Convention on the Conselor Relations 1963, dan Convention on Special Missions 1969. Namun dalam pembahasan tulisan ini hanya akan dikhususkan untuk membahas mengenai pejabat diplomatik sebagaimana yang diatur dalam Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961. Salah satu fasilitas yang diberikan kepada pejabat diplomatik menurut Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961 adalah pemberian hak kekebalan dan keistimewaan. Hak kekebalan patutnya dibedakan dari keistimewaan yang nanti akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya, namun yang menjadi fokus dalam tulisan ini hanya terbatas pada hak kekebalan saja. Hak kekebalan bagi pejabat diplomatik tidak hanya diberikan pada diri pejabat diplomatik namun juga diberikan pada anggota keluarga yang tinggal bersamanya dan bahkan pada staf pembantu rumah tangganya seperti sopir, pelayan, atau juru masak. Sejarah pemberian hak kekebalan sebagaimana dikemukakan oleh Narinder Mehta dalam tulisannya yang berjudul International Organization and Diplomacy (1976), muncul pada abad ke 17 sebagai kebiasaan internasional dan berlandaskan asas resiprositas atau timbal balik. Pada tahun 1706, pernah terjadi satu kasus dimana duta besar Rusia di Britania Raya telah ditangkap dengan tuduhan suatu penipuan. Segera setelah terjadi peristiwa itu, Kaisar Rusia telah mengirimkan ultimatum kepada Ratu Anne dari Inggris bahwa Rusia akan mengumumkan perang terhadap Britania Raya kecuali jika pemerintah Inggris mengajukan permintaan maaf. Namun
2
kemudian, pemerintah Inggris telah mengajukan RUU di kedua majelis parlemen yang menyatakan : “bahwa setiap wakil asing haruslah dianggap suci dan tidak dapat diganggu gugat”. Di samping itu undang-undang juga memuat ketentuan bahwa para diplomat asing dibebaskan dari yurisdiksi perdata dan pidana. Undang-undang tersebut kemudian terkenal sebagai “7 Anne, Cap.12.2/706”, yang ternyata dokumen tersebut menjadi dasar bagi kekebalan dan keistimewaan para diplomat masa kini.1 Pemberian hak kekebalan ini pada dasarnya bersifat mutlak dan eksklusif sehingga tidak dapat disimpangi. Misalnya saja pemberian hak kekebalan yang menyebabkan pejabat diplomatik tidak dapat dituntut dalam lingkup perkara pidana atau perkara civil dan administration (dengan beberapa pengecualian) berdasarkan hukum nasional negara mana ia ditempatkan.2 Hal ini akan menimbulkan suatu permasalahan yang cukup penting mengingat untuk perkara pidana, yang mana sangat menjunjung tinggi asas keadilan untuk penegakan hukumnya. Lantas bagaimanakah penyelesaian terhadap kasus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh pejabat diplomatik di wilayah yurisdiksi negara penerima apabila ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum nasional negara penerima? Sebenarnya dalam ketentuan Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961 terdapat beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh jika terjadi kasus seperti di atas, seperti pemberian deklarasi persona non grata, penanggalan hak kekebalan, dan pemutusan hubungan diplomatik. 1
2
Sumaryo Suryokusumo, 2005, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, PT Alumni, Bandung, hlm 51. Lihat Pasal 31 ayat 1 Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961.
3
Akan tetapi fokus penulisan ini hanya akan ditekankan pada masalah penanggalan hak kekebalan saja, sedangkan untuk pemberian deklarasi persona non grata dan pemutusan hubungan diplomatik hanya akan dibahas sekilas sebagai tambahan informasi belaka. Penanggalan hak kekebalan diatur dalam Pasal 32 ayat (1): “The immunity from jurisdiction of diplomatic agents and of persons enjoying immunity under Article 37 may be waived by the sending state.”, yang berarti bahwa hak kekebalan atau hak immunity terhadap yurisdiksi negara penerima yang dimiliki oleh pejabat diplomatik dan orang-orang yang juga menikmati hak serupa sebaimana diatur dalam Pasal 37 Vienna Convention on the Diplomatic Relations 1961 dapat ditanggalkan oleh negara pengirim. Namun hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi mengingat sebagaimana telah disebut di atas bahwa pemberian hak kekebalan bagi pejabat diplomatik ini pada dasarnya bersifat mutlak dan ekslusif, sehingga apabila suatu ketika hak kekebalan tersebut ditanggalkan, apakah hal ini akan mengurangi esensi dari mutlak dan eksklusif itu? Penanggalan hak kekebalan ini juga dapat berpengaruh terhadap hubungan diplomatik antara negara pengirim dan negara penerima. Sebagai pihak yang menanggalkan hak kekebalan dari pejabat diplomatiknya, negara pengirim pasti akan mempertimbangkan secara matang-matang sebelum akhirnya memutuskan untuk mengabulkan atau menolak permintaan penanggalan hak kekebalan dari negara penerima, sehingga negara penerima dapat melaksanakan yurisdiksinya untuk mengadili pejabat diplomatik yang bersangkutan. Pertimbangan tersebut tentunya mencakup alasan-alasan yang
4
mendasari untuk mengabulkan atau menolak serta konsekuensi-konsekuensi yang harus diterima dari keputusan yang telah diambilnya tersebut, baik yang bersifat politis, ekonomi, dan lain sebagainya. Sehingga tidak jarang juga ditemui adanya penolakan terhadap permintaan penanggalan hak kekebalan yang kemudian dimungkinkan malah akan menimbulkan masalah baru tersendiri. Setelah mengetahui adanya hal-hal tersebut, lantas akan seberapa efektifkah tindakan penanggalan hak kekebalan ini apabila dibandingkan dengan penyelesaian secara diplomasi atau pemberian status persona non grata? Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis sangat tertarik sekali untuk melakukan penelitian dengan harapan dapat menemukan solusi yang tepat dengan menganalisis permasalahan-permasalahan yang menjadi poin-poin penting dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah praktik negara dalam melaksanakan penanggalan hak kekebalan bagi pejabat diplomatik? 2. Bagaimanakah pelaksanaan yurisdiksi oleh negara penerima terhadap pejabat diplomatik sehubungan dengan adanya tindakan penanggalan hak kekebalan?
5
C. Tujuan Penelitian Secara subyektif, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan demi memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Secara obyektif, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui penerapan penanggalan hak kekebalan bagi pejabat diplomatik. 2. Mengetahui pelaksanaan yurisdiksi oleh negara penerima terhadap pejabat diplomatik sehubungan dengan adanya tindakan penanggalan hak kekebalan.
D. Keaslian Penelitian Sebelum melakukan penelitian ini, penulis menemukan bahwa terdapat penelitian sebelumnya dengan tema yang sama, yaitu Penulisan Hukum oleh Dona Agustina Pohan pada tahun 2002 dengan judul “Tinjauan Hukum Internasional Atas Penanggalan Kekebalan Diplomatik Sebagai Bentuk Perlindungan Bagi Negara Penerima”. Penulisan hukum tersebut hanya mengupas mengenai prosedur pelaksanaan penanggalan hak kekebalan bagi pejabat diplomatik dengan memberikan contoh-contoh kasus yang pernah ada sebelumnya, kemudian menganalisis hubungannya dengan adanya perlindungan bagi negara penerima apabila penanggalan hak kekebalan tersebut dilaksanakan. Sedangkan yang menjadi pembeda dalam tulisan ini antara lain bahwa penulisan hukum yang sebelumnya memandang tindakan
6
penanggalan hak kekebalan hanya sebagai bentuk perlindungan untuk negara penerima, sedangkan dalam penulisan hukum ini memandang bahwa tindakan penanggalan hak kekebalan dimungkinkan untuk dijadikan sebagai suatu keharusan bagi negara pengirim sehingga dengan demikian negara penerima dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap pejabat diplomatik.
E. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis Penulis berharap agar hasil dari penelitian dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dalam ilmu hukum internasional khususnya hukum diplomatik mengenai penanggalan hak kekebalan bagi pejabat diplomatik saat ini mulai banyak dipraktikkan dalam hubungan diplomatik antara negara-negara.
2.
Secara Praktis Apabila suatu saat nanti negara Republik Indonesia dalam posisinya baik sebagai negara pengirim atau sebagai negara penerima sedang menemui permasalahan terkait untuk memutuskan akan mengabulkan atau menolak penanggalan hak kekebalan bagi pejabat diplomatiknya, maka penulis sangat berharap tulisan ini dapat menjadi salah satu referensi dalam pertimbangannya.
7