BAB I PENDAHULUAN Film adalah lakon atau cerita berupa gambar hidup yang ditujukan bagi penontonnya. Film sebagai produk akhir rangkaian produksi yang sedemikian rupa sangat erat kaitannya dengan makna yang coba disampaikan oleh pihak produksi dan kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. Makna yang coba disampaikan pihak produksi melalui media film ini mungkin saja dalam prosesnya mengalami pergeseran-pergeseran, baik penggemukan maupun reduksi ketika sampai pada penontonnya. Film Jagal – The Act of Killing dan Senyap – The Look of Silence, merupakan film yang menceritakan kembali sejarah kelam Bangsa Indonesia pasca peristiwa G30S. Kedua film ini terbilang kontroversial karena keluar dari arus utama tafsir sejarah yang disepakati oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Film Jagal secara garis besar memandang peristiwa pasca G30S dari perspektif pelaku pembunuhan massal terhadap PKI dan underbouw-nya di Indonesia: Anwar Congo (nama sebenarnya). Film Jagal pada kali pertama kemunculannya menuai pro dan kontra dalam masyarakat, meskipun pro dan kontra yang muncul dalam merespon Film Jagal tidak sampai ke taraf yang menyebabkan pecahnya konflik terbuka. Berbeda dengan Film The Look of Silence, Film yang membawa penonton masuk ke perspektif kerabat korban pembunuhan: Adi (bukan nama sebenarnya) ini menuai reaksi yang bahkan mencapai taraf konflik terbuka. Salah satu konflik terbuka inilah yang menjadi concern utama dalam penelitian ini.
1
A. LATAR BELAKANG Konflik adalah pertentangan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Konflik sering diartikan sebagai sebuah bentrokan antar kelompok yang terdapat unsur kekerasan di dalamnya. Namun secara sosiologis, terminologi keberadaan konflik dalam masyarakat terbagi menjadi beberapa tingkatan: Tidak ada konflik, Konflik laten, Konflik permukaan, dan Konflik terbuka. Konflik terbuka inilah yang sering diartikan masyarakat sebagai konflik itu sendiri, dimana konflik yang tadinya laten mencuat ke permukaan dalam bentuk nyata. “Konflik bukan merupakan sesuatu yang bebas nilai. Makna normatif-positif konflik, bilamana tidak dikelola dengan baik, konflik akan cenderung destruktif. Bentuk transformasi konfliknya dapat berupa kekerasan, kerusuhan hingga perang.”1 Konflik dapat membangun ketika ada rekonsiliasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, dan ketika rekonsiliasi tidak terjadi, maka konflik cenderung bersifat destruktif bagi pihak yang terlibat atau ada kemungkinan menjadi laten lagi dan hal ini berarti masyarakat menjadi rentan terhadap kemungkinan konflik baru. Pada hari Rabu tanggal 17 Desember 2014, atmosfer kebebasan sedikit terusik. Sebuah penolakan terhadap pemutaran Film “Senyap” atau “The Look of Silence” di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM terjadi. Film “Senyap” sebenarnya sudah beberapa kali diputar di berbagai tempat yang berbeda, namun konflik terbuka terjadi ketika pemutaran film di kampus FISIPOL dilakukan. Ketakutan masyarakat tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terasa hingga sekarang. PKI dianggap sebagai momok yang sangat dihindari bahkan tabu untuk diperbincangkan. Hal ini dapat terlihat salah satunya dari penolakan yang dilakukan sebagian oknum kelompok masyarakat terhadap pemutaran Film “Senyap”, sebuah film karya sutradara Amerika Serikat (AS) Joshua Oppenheimer. Film ini mengangkat peristiwa pembantaian anggota
1
Surwandono, J. Kalla, Manajemen Konflik Separatisme (Pustaka Pelajar, 2013), hlm. v
2
dan orang-orang yang dianggap memiliki afiliasi dengan PKI di Medan, Sumatera Utara pada 1965-1967. Film “Senyap” adalah sebuah film yang menceritakan tentang seorang penjaja kacamata optik keliling yang merupakan adik dari korban pembantaian terhadap PKI, dalam film ini dia disebut Adi. Film ini mencoba membuka kejadian pasca-G-30-S kepada publik. Joshua Oppenheimer membawa penonton lewat filmnya ke dalam sudut pandang korban pembunuhan massal PKI. Film ini dibuka dengan beberapa adegan tentang keadaan keluarga Adi, dan adegan seorang guru yang mengajar pelajaran sejarah kepada murid-muridnya di SD. Dalam adegan pelajaran sejarah, sang bapak guru menggambarkan betapa kejamnya PKI yang menyayat tubuh dewan jenderal dengan silet ribuan kali, serta mencungkil keluar mata dewan jenderal. Adi mencoba untuk mencari pembunuh kakaknya, dan mencari tahu bagaimana sebenarnya kakaknya menemui ajalnya. Digambarkan dalam film tersebut, Adi selalu bertanya tentang peristiwa tersebut kepada pembelinya yang telah berusia lanjut, dengan harapan mereka mengalami dan menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Hingga akhirnya Adi bertemu dengan pelaku-pelaku pembantaian yang mengetahui bagaimana kakaknya menemui ajalnya. Pemutaran Film tersebut ternyata memancing penolakan, bahkan aksi radikal beberapa kelompok yang mengasosiasikan diri sebagai kelompok Islam. Penolakan tersebut bukanlah hal baru dalam politik Indonesia. Sejak era orde baru, ada beberapa hal seperti: Pemberlakuan sensor ketat terhadap seluruh media kreatif yang diterbitkan oleh individu, pelarangan dan pemusnahan
3
benda-benda yang berbau komunisme2, dan pelarangan keluarga dan kerabat eks-anggota PKI untuk masuk dalam sistem pemerintahan.3 Penolakan tersebut terjadi karena komunisme PKI dan teisme NU sudah berselisih yang terlihat jelas sejak peristiwa 30 September 1965. Ketika perang dingin terjadi, liberalisme dan kapitalisme barat AS menyebarkan sayap ke negara-negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Paham liberalisme dan kapitalisme yang memang bertentangan dengan paham komunisme ditentang oleh PKI.4 Dalam arti paham komunis yang bersifat kolektif dan sosialis tidak dapat berjalan beriringan dengan paham barat yang lebih kapital – individualis. Pada tahun 1959, kader-kader PKI mengawal pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria dengan semboyan “tanah untuk rakyat”. Perampasan tanah milik Kiai dan tuan tanah dilakukan oleh PKI untuk kemudian dibagikan kepada orang miskin, hal ini disebut dengan Land Reform. Acara hiburan rakyat diadakan oleh PKI dengan judul-judul yang provokatif, seperti: “Tuhan Telah Mati”, “Gusti Allah Mantu”. Gerakan-gerakan ini kemudian menyulut amarah para Kiai, ulama, dan para tuan tanah yang merasa dirugikan oleh tindakan PKI.5 Kronologi peristiwa Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G-30-S/PKI; Gestapu) PKI masih merupakan misteri hingga saat ini. Banyak teori yang menawarkan beberapa nama dalang di balik G-30-S/PKI : PKI, Soekarno, Soeharto, Pihak Militer, dan Asing (CIA). Sejarah yang dipahami mayoritas orang Indonesia adalah G-30-S/PKI adalah gerakan pengkhianatan besar-besaran terhadap negara. Penculikan dewan jenderal ke lubang buaya dianggap sebagai langkah kudeta PKI daripada langkah penyelamatan Presiden Soekarno dari kudeta militer. Berita yang dibesar2
Herlambang, Wijaya, Kekerasan Budaya Pasca 1965. Hal. 4 Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September: latar belakang, aksi, dan penumpasannya. Hal. 4750 4 Edman, Peter, Komunisme Ala Aidit. Hal. 45-47 5 Kurniawan et al., Pengakuan Algojo 1965 (Tempo Publishing, 2013), hlm. 20-25. 3
4
besarkan terhadap rakyat adalah PKI sebagai sebuah kelompok kejam yang tidak memiliki perikemanusiaan. Sejak 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto resmi mengambil alih komando Angkatan Darat karena A. Yani diculik dan dibunuh pada pukul 1.00 WIB di hari yang sama. Secara keseluruhan, para peserta G-30-S melakukan empat operasi di Jakarta pada hari itu : Merebut stasiun RRI dan menyiarkan pernyataan mereka, menduduki Lapangan Merdeka, mengirim tiga perwira ke istana presiden, dan secara terselubung menculik dan membunuh enam orang jenderal dan satu orang letnan. 6 Peristiwa G-30-S/PKI memicu perlawanan besar-besaran dari masyarakat terhadap PKI. Soeharto menuduh PKI sebagai dalang dari gerakan tersebut. Penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh PKI dimulai Oktober 1965. Masyarakat yang memang telah memiliki dendam terhadap PKI didukung oleh militer, sehingga pembantaian besar-besaran terhadap PKI dan orangorang yang berhubungan dengan PKI terjadi. Pemberantasan komunisme pada waktu itu bukan hanya sekadar konflik ideologis semata, namun juga merupakan sebuah kontestasi mobilisasi politik. Kemenangan massa PKI dalam pemilu 19557 ditekan oleh pihak negara – melalui militer – pada 12 Maret 1966 dengan mengeluarkan doktrin yang salah satunya menyatakan bahwa PKI adalah organisasi terlarang.8 Kelompok-kelompok Ansor dari berbagai daerah melakukan penyerangan, pembunuhan, dan pembakaran terhadap para anggota PKI. Kelompok Ansor atau juga dikenal dengan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) difasilitasi oleh negara, khususnya militer.9 Mereka bekerjasama untuk membinasakan PKI dari Indonesia. Namun pihak
6
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal (Hasta Mitra, 2008), hlm. 3-15. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September: latar belakang, aksi, dan penumpasannya. Hal. 2729 8 Sudirjo, Radik Utoyo. Supersemar. Hal 13 9 Kurniawan et al., Pengakuan Algojo 1965. Hal. 16 7
5
militer tidak turun tangan secara langsung dalam membunuh korban-korban PKI, kecuali dalam beberapa kasus khusus: “TNI Seperti nabok nyilih tangan”10. Hegemoni politik ketakutan jelas dilakukan oleh negara untuk melakukan represi terhadap masyarakat pada waktu itu. Langkah tersebut jelas memiliki implikasi pada persepsi masyarakat mengenai PKI serta komunisme, komunis sering dianggap juga bagian dari ateisme, hal ini sering menimbulkan anggapan bahwa Teisme dan Komunisme adalah sesuatu yang sama sekali bertentangan.11 Penelitian ini diadakan atas rasa ingin tahu penulis mengenai sebuah peristiwa yang terjadi pada sebuah acara pemutaran Film Senyap: pemboikotan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya Forum Ummat Islam (FUI). Penelitian ini bertujuan untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi FUI mengadakan penolakan terhadap pemutaran Film Senyap di Kampus FISIPOL UGM. Dalam bagian ini telah dijelaskan beberapa penjelasan mengenai terminologi konflik, sekilas mengenai isi Film Senyap, kemudian selanjutnya penulis menjelaskan Peristiwa G-30-S/PKI, dan beberapa kemungkinan mengapa penolakan itu terjadi. Pemutaran film “Senyap” di Kampus FISIPOL UGM diboikot oleh FUI. FUI secara terangterangan melarang pemutaran film berbau PKI tersebut di Kampus FISIPOL. Mahasiswa UGM dan FUI merupakan kaum intelektual yang sama-sama memiliki pengetahuan atas peristiwa G-30S/PKI. Perbedaan sikap yang diambil oleh Mahasiswa UGM dan FUI terhadap sebuah film mengenai G-30-S adalah buah dari perbedaan persepsi mengenai peristiwa dan ideologi komunisme. Mahasiswa UGM memiliki persepsi bahwa film ini adalah sebuah fakta yang harus diketahui oleh kaum intelektual pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. FUI yang
10 11
Kurniawan et al., Pengakuan Algojo 1965 Hal. 13. Kurniawan et al., Pengakuan Algojo 1965 Hal. xi.
6
melarang film tersebut ditayangkan hanya menyebutkan bahwa PKI adalah komunis dan film tersebut tidak seharusnya ditayangkan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mencari tahu mengapa muncul perbedaan tendensi dalam persepsi antara FUI dan Mahasiswa UGM yang berujung kepada konflik terbuka. Perbedaan persepsi sangat mungkin untuk muncul dalam merespon sebuah media, namun yang perlu digarisbawahi adalah konflik yang muncul ke permukaan antara dua kelompok ini.
B. RUMUSAN MASALAH Dari penjabaran di atas mengenai kasus ini, dapat ditarik rumusan masalah dari aksi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat yang mengatasnamakan golongan agama Islam – Forum Ummat Islam – terhadap pemutaran film Senyap oleh Mahasiswa UGM: Bagaimana konstruksi makna di kalangan mahasiswa SINTESA FISIPOL UGM dan FUI terhadap Film Senyap? Hal ini memiliki implikasi pada kehidupan masyarakat kontemporer khususnya dalam hal pemaknaan terhadap sejarah kelam bangsa Indonesia. Pemutaran Film Senyap adalah sebuah entry point yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis hal yang lebih besar: Pemaknaan terhadap komunisme. C. TUJUAN PENELITIAN Dari rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang diharapkan memberikan kontribusi bagi dunia akademis. Adapun beberapa tujuan yang diharapkan terpenuhi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Mengetahui faktor-faktor yang membuat Sintesa mengadakan pemutaran Film Senyap. 2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan FUI menolak pemutaran Film Senyap 3. Memaparkan doktrin anti-komunisme yang ditanamkan sejak pra-orde baru oleh pemerintah terhadap masyarakat Indonesia. 4. Mengetahui hal-hal yang menjadi pendukung munculnya gerakan-gerakan pro-komunisme dewasa ini.
D. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini tidak bisa lepas dari aspek historis mengenai PKI, komunisme, dan sejarah politik bangsa Indonesia meskipun arena yang dianalisis bersifat kontemporer. Beberapa literatur hasil studi yang dapat menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain : 1. Menolak Lupa, Terus Bercerita (Studi Tentang Proses Penceritaan Kembali Mengenai Sejarah Tragedi 1965 Dalam Versi Berbeda Melalui Pertunjukan Teater Boneka) Skripsi ini ditulis oleh seorang Alumni Sosiologi FISIPOL UGM tahun 2014. Suryo Hapsoro, meneliti tentang bagaimana Kasus G-30-S/PKI diceritakan kembali dalam sebuah pertunjukan teater boneka, dan bagaimana perbedaan versi cerita oleh Papermoon dan versi Negara yang selama ini disetujui. Skripsi ini cukup relevan untuk dijadikan sebuah acuan dalam penelitian ini. Skripsi ini memiliki metode cultural studies, yang berbeda dengan penelitian ini karena penelitian ini mencari tahu bagaimana perbedaan makna G-30-S/PKI dan Komunisme melalui sebuah Film. Secara komprehensif tulisan ini menjelaskan bagaimana proses rememorasi dilakukan oleh Papermoon Puppet Theatre dalam pertunjukkannya yang berjudul “Mwathirika”. Suryo menjelaskan dalam karyanya: “…“Mwathirika”, sebagai judul pertunjukan teater boneka ini 8
diambil dari bahasa Swahili, sebuah suku di Afrika. Artinya, Korban. Pertunjukan ini ingin menceritakan bahwa korban bukan hanya mereka yang harus kehilangan nyawa saja. Mereka yang mengalami rasa kehilangan pun juga bisa menjadi korban. Anak kecil, orang dewasa, laki-laki dan perempuan semua bisa menjadi korban dalam suatu peristiwa. Papermoon kemudian memiliki arti sendiri untuk menjelaskan tentang “korban” menurut versi mereka di masa kini, “Korbannya adalah mereka, orang muda yang tidak tahu cerita sejarah ini. Bukan lagi mereka yang dibunuh, bukan yang hilang” (Iwan Effendi, 2012). Untuk itulah pertunjukan ini dibuat dan didedikasikan untuk para korban pembantaian paska peristiwa G30S di Indonesia… “12 Pandangan mengenai “korban” inilah yang menarik, dimana Mwathirika mencoba menceritakan peristiwa G30S dari perspektif yang lebih fleksibel serta kontemporer. Hal ini berarti doktrim-doktrin anti-komunisme, anti-Marxisme-Leninisme versi Negara sudah mulai luntur digantikan sikap kritis oleh “penonton” G30S. Setiap masyarakat Indonesia dewasa ini adalah korban, korban dari keabu-abuan sejarah kelam Bangsa yang selama ini terkesan ditutupi dan bahkan terkesan tabu untuk diperbincangkan. Narasi anti-komunisme versi Marx dan Stalin inilah yang kemudian terus dijejalkan kepada masyarakat sebagai sebuah narasi tunggal oleh pemerintah. Pemerintah memiliki kuasa dan terlibat langsung dalam G30S meskipun siapa dalang sesungguhnya dan motifnya sangat beragam dan berbeda-beda tergantung perspektif pihak-pihak tertentu. Bukanlah hal yang mengejutkan jika kemudian pemerintah memberikan narasi tunggal terhadap masyarakat melalui fasilitas-fasilitas yang dimiliki, seperti Radio, Surat Kabar, dan Aparatur Negara.
12
Hapsoro, Suryo. Menolak Lupa, Terus Bercerita. Hal. 3
9
Korban dari sejarah secara langsung maupun tidak langsung adalah korban narasi tunggal yang dipaparkan oleh pemerintah pada masa itu. “Sejarah dibuat, dicipta, direka, dimanipulasi, apapun istilahnya itu, bisa digunakan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar. Menurut beberapa sumber, rangkaian kejadian di tahun 1965-1966 “dimanfaatkan” oleh Soeharto untuk melanggengkan rencananya memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia”13. Beberapa versi tulisan menyalahkan Soeharto yang bekerjasama dengan AS, meskipun jelas dalam “Buku Putih” dijelaskan bahwa PKI-lah yang sepenuhnya bertanggungjawab atas peristiwa G30S serta rangkaiannya. Buku Putih juga senada dengan beberapa buku versi pemerintah yang membahas isu serupa, yang menjelaskan bahwa PKI telah mengadakan coup dan komunisme, marxisme-leninisme adalah sebuah ideologi yang dapat membahayakan ideologi Bangsa: Pancasila. 2. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto Buku ini ditulis oleh John Roosa. John Roosa adalah sejarawan dari University of British Columbia. Buku ini hasil penelitian yang dilakukan terhadap pembantaian 1965. Buku ini menelusuri peristiwa G-30-S/PKI secara komprehensif sehingga dapat digunakan sebagai bahan analisis menelusuri proses doktrinisasi anti-komunisme oleh rezim Suharto. Studi yang dilakukan John Roosa sangat historis, sehingga jelas berbeda dengan penelitian yang dilakukan terhadap FUI. Buku ini memiliki informasi yang cukup mendalam mengenai peristiwa G-30S/PKI, dan tidak memandang peristiwa 1965 - 1966 dari satu sudut pandang saja. Buku ini menginspirasi penulis untuk memperdalam pengetahuan mengenai peristiwa tersebut sehingga dapat menjadi dasar analisis untuk penelitian ini agar tidak keluar konteks.
13
Hapsoro, Suryo. Menolak Lupa, Terus Bercerita. Hal. 11
10
Buku ini memaparkan fakta-fakta yang terfragmentasi dari berbagai arsip dan catatancatatan mengenai peristiwa G30S. Sedikit dijelaskan dalam buku ini mengenai frase “G-30S/PKI” yang dilembagakan oleh pemerintah, bahwa frase tersebut adalah bentuk konstruksi yang terus dilakukan untuk memperjelas bahwa pelaku G30S adalah PKI, bukan siapapun yang lain, namun PKI. Walau demikian, buku ini tidak menyudutkan satu belah pihak. Selain memaparkan fakta, Joh Roosa menyajikan analisis dari beberapa kejanggalan yang ia temukan ketika mempertemukan arsip Soepardjo, Sjam, Aidit, serta Soeharto dan CIA. Sesuai dengan judulnya, “Dalih Pembunuhan Massal” mengantarkan pembaca dengan terlebih dahulu memahami G30S dari berbagai sudut pandang, sebelum akhirnya sampai pada bagian “Serangan Suharto Terhadap G-30-S” yang menjadi awal mula bagaimana tragedi 1965-1966 terjadi di Indonesia. Babak pertama konfrontasi PKI melawan pemerintah bukan terjadi 30 September 1965, melainkan ruam-ruam tersebut sudah mulai timbul di Jawa khususnya, sejak 1929, ketika PKI – saat itu ISDV – menginfiltrasi tubuh Sarekat Islam. Pemberontakan dan perlawanan-perlawanan kecil juga sering timbul di tingkat desa dan daerah. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah “pembenar” tindakan pemerintah mengopresi dan menumpas PKI serta organisasi afiliasinya pasca G30S. John Roosa menyelesaikan tulisannya dengan perandaian, sembari menegaskan bahwa dalam peristiwa ini tidak ada yang jahat dan yang baik. Seluruh pihak pada waktu itu melakukan gerakan politis demi meraih kuasa atas Negara Kesatuan Republik Indonesia. “…Orang boleh memandang pembunuhan politik terhadap PKI yang diatur Angkatan Darat merupakan hasil dari pertikaian amoral untuk memperebutkan kekuasaan negara: Jika G-30-S berhasil dan PKI menang, Angkatan Darat dan orang-orang sipil nonkomunis yang memihak Angkatan Darat akan mengalami penderitaan yang sama. Kedua belah pihak bisa dilihat 11
sebagai para petinju. Bahasa yang digunakan saat itu pun memperlihatkan analogi, misalnya: “Memuluk atau dipukul” dan “Pukulan yang menentukan”…”14 Indonesia pada waktu itu terombang-ambing oleh gejolak politik dan ideologi yang belum sepenuhnya matang. Memang, untuk negara yang baru saja merdeka, terlebih dengan kondisi geografis Indonesia, hal semacam ideologi sangat mewah untuk dapat menjadi sebuah pemersatu dan pedoman bernegara. 3. Kekerasan Budaya Pasca 1965 Buku ini merupakan hasil disertasi doktoral Wijaya Herlambang di University of Queensland. Judul asli tulisan ini adalah “Exposing State Terror: Violence in Contemporary Indonesian Literature”. Buku ini menerangkan bagaimana proses doktrinisasi anti-komunis dilakukan di Indonesia pada era orde baru. Kekerasan kebudayaan dalam hal ini adalah pelarangan beberapa jenis media seni yang berbau komunis untuk dapat masuk ke masyarakat. Sensor dilakukan pemerintah terhadap setiap media informasi yang akan masuk ke masyarakat dengan sangat ketat. Hal ini menjadi penjara kreativitas seniman dan sastrawan dan juga memperkokoh doktrin anti-komunis masyarakat Indonesia pada masa itu. Buku ini menggambarkan bagaimana pemerintah melakukan sensor pada karya-karya film dan tulisan-tulisan mengenai G-30-S/PKI. Meskipun beberapa karya film yang sejalan dengan pandangan pemerintah justru mendapatkan dukungan penuh dengan wajib tayang di bioskop seperti film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Produk produk kebudayaan seperti film tersebut dibahasakan Wijaya Herlambang sebagai sebuah “agresi simbolik” yang digunakan untuk menciptakan dan memelihara nilai-nilai moral dan ideologis dalam konteks sejarah
14
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal. Hal. 320.
12
kebudayaan dan politik Indonesia. Buku ini menginspirasi penulis untuk meninjau kasus ini dari segi historis politik yang lebih empiris agar lebih kontekstual dengan topik penelitian. Penelitian ini memiliki kemiripan kasus yang relevan dengan buku ini, karena melibatkan media sebagai aspek penting dalam menganalisis komunisme dan PKI. 4. Islam dan Ideologi Ideologi Modern Ishomuddin, penulis buku ini, adalah guru besar sosiologi masyarakat Islam di Universitas Muhammadiyah Malang. Buku ini mengulas ideologi, ideologi marxis, ideologi fasis, ideologi Islam dan liberalisme secara komprehensif. Meskipun bernuansa islami, buku ini tidak memojokkan salah satu ideologi di atas dengan menyatakan bahwa satu ideologi adalah salah. Buku ini menjadi penting ketika membahas mengenai ideologi Islam, penulis banyak mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penjelas suatu tindakan dalam bermasyarakat bagi Ummat Islam. Buku ini menginspirasi penulis untuk meninjau kasus pemboikotan Film Senyap tersebut dari sudut pandang yang lebih terbuka. Dari beberapa penelitian di atas, penulis mengelompokkan penelitian-penelitian tersebut ke dalam beberapa kelompok keberpihakan: Radikalisme Islam, Analisis Historis Komunisme, serta Penelitian yang menggabungkan kedua hal tersebut ke dalam satu entitas. Posisi penelitian ini terletak di studi yang mendalam mengenai komunisme serta konstruksi makna tentangnya. E. PERSPEKTIF TEORI Penelitian ini secara umum menggunakan perspektif Ideologi Peter L. Berger sebagai pisau analisa utama. Dalam memahami perspektif Berger, dirasa penting untuk menjelaskan bagaimana pemikiran ini muncul dan dalam konteks apa. Sehingga dalam menganalisis kasus yang dibahas, penulis tidak terlalu jauh menurunkan teori ke dalam konteks kasus. 13
1. Peter L. Berger: Social Construction of Reality Suatu proses konstruksi yang dilakukan oleh setiap individu terhadap lingkungan maupun sebaliknya terdiri dari 3 proses dialektis: eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Hal ini dikemukakan oleh Peter Ludwig Berger pada buku yang ditulisnya bersama Thomas Luckmann “The Social Construction of Reality”: “Externalization and objectivation are moments in a continuing dialectical process. The third moment in this process – is internalization.” 15. Berger juga menjelaskan bahwa “Society is a human product. Society is an objective reality. Man is a social product.”16 Berger menjelaskan hal tersebut dengan tipifikasi tersebut, yang mana: Masyarakat adalah produk manusia (Eksternalisasi), Masyarakat adalah realitas obyektif (Obyektivasi), serta Manusia adalah produk sosial (Internalisasi). Buku “The Social Construction of Reality” disusun dalam kurun waktu 4 tahun sebelum akhirnya diterbitkan oleh Anchor Books, New York, pada 1966: “The project of which this book is the realization was first concocted in the summer of 1962, in the course of some leisurely conversations at the foot of and on top of the Alps of western Austria.”17 Buku ini merupakan hasil dari perdebatan dan diskusi mengenai hal ini antara Berger, Luckmann, Hansfried Kellner, dan Stanley Pullberg. Diskusi antar kalangan akademisi sejak awal bermula, selalu dikemas oleh dasar pemikiran akademisi terdahulu, dalam perdebatan Berger, adalah Durkheim dan Weber yang menjadi panutan dalam pemikirannya. Pola pemikiran Berger, meskipun juga dipengaruhi oleh Durkheim, lebih condong ke Weber.Pola pikir Berger yang seorang Weberian juga terpengaruh
15
Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal.61 Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal.61 17 Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal. vi 16
14
oleh pemikiran Schutz – yang juga seorang Weberian – dalam menyusun buku “The Social Construction of Reality”. Maka bukanlah sebuah hal yang mengejutkan jika kemudian pemikiran Berger sejalan dengan pola pemikiran rasional milik Weber. Konstruksi sosial, adalah sebuah proses sistematis terhadap suatu obyek yang terus menerus terjadi dalam masyarakat hingga akhirnya melembaga dan menjadi sebuah realitas yang diterima oleh tiap individu. Seperti yang telah dipaparkan dalam paragraf awal bagian ini, bahwa manusia adalah produk yang juga menghasilkan masyarakat sebagai produk sosial. Dalam bagian ini dijelaskan secara sistematis tentang dialektika Berger dalam menjelaskan sebuah konstruksi sosial: a. Eksternalisasi Berger dalam bukunya menjelaskan proses ekternalisasi sebagai berikut: “…As man externalizes himself, he constructs the world into which he externalizes himself. In the process of externalization, he projects his own meanings into reality.”18 Ketika seseorang mengeksternalisasikan makna, ia memproyeksikan sebuah “kenyataan” yang menurutnya adalah benar ke dalam lingkungannya. Dapat dikatakan bahwa proses ini adalah proses mengeksiskan diri manusia terhadap dunia luar. Ekternalisasi adalah bentuk kuasa individu atas lingkungan. Meskipun pada akhirnya hal ini menjadi sebuah dialektika resiprokal dalam prosesnya, ini adalah sebuah kemenangan ego dalam diri manusia untuk memproyeksikan pengartian-pengartian individu ke dalam kesepakatan lingkungan.
18
Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal. 104
15
b. Obyektivasi Dalam penelitian, obyektivasi dapat disebut sebagai intervening variable. Obyektivasi terjadi di antara proses ekternalisasi dan internalisasi. Weber menjelaskan proses obyektivasi sebagai perantara untuk memperjelas bagaimana realitas sosial terbentuk: “It is important to keep in mind that the objectivity of the institutional world, however massive it may appear to the individual, is a humanly produced, constructed objectivity.”19 Seberapapun nyata dan besarnya sebuah realitas nampak pada diri seseorang, perlu diingat bahwa
hal
tersebut
adalah
obyektivitas
yang
dikonstruksikan.
Siapa
yang
mengonstruksikan hal tersebut juga adalah manusia. Berger tidak menyebutkan realitas adalah hasil dari ekternalisasi maupun internalisasi semata, namun merupakan hasil dari proses sistematis yang ia kemukakan. Proses obyektivasi ini adalah bentuk preservasi terhadap sebuah realitas atas obyek yang telah dikonstruksikan sebelumnya. c. Internalisasi Internalisasi adalah proses yang terjadi sejak seseorang dilahirkan ke dunia. Internalisasi adalah sebuah proses penyerapan nilai, norma, dan makna yang ada di lingkungan oleh individu. Dijelaskan oleh Berger dalam buku yang sama: “The same is true of the individual member of society, who simultaneously externalizes his own being into the social world and internalizes it as an objective reality.”20
19 20
Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal.60 Berger, Peter L. The Social Construction of Reality. Hal. 129
16
Proses ini kemudian menjadi sebuah lingkaran sempurna yang terus melegitimasikan dirinya dalam lingkungan manapun. Maka menjadi jelas, proses ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk melahirkan sebuah realitas sosial. 2. Karl Mannheim: Ideologi dan Utopia Teori sosiologi pengetahuan milik Karl Mannheim digunakan sebagai teori pendukung untuk menganalisis kasus ini. Pandangan Mannheim yang juga seorang Weberian21 menjadi sejalan jika digunakan dengan perspektif Berger yang juga seorang Weberian. Meskipun Mannheim terpengaruh pemikiran Marx tentang ideologi, namun ia bukanlah seorang Marxis.22 Dalam pandangan Mannheim, pengetahuan individu ditentukan oleh kehidupan sosial23. Dinyatakan juga oleh Mannheim “Sosiologi pengetahuan adalah salah satu dari cabang-cabang termuda dari sosiologi; sebagai teori cabang ini berusaha menganalisis kaitan antara pengetahuan dan eksistensi; sebagai riset sosiologis-historis, cabang ini berusaha menelusuri bentuk-bentuk yang diambil oleh kaitan itu dalam perkembangan intelektual manusia.”24 Konsep sosiologi pengetahuan menurut Mannheim menjadi penting dibahas untuk memperjelas bagaimana kaitan perkembangan pengetahuan terhadap tindakan individu. Teori ini memperjelas apa sebenarnya ‘konstruksi’ yang terjadi di dalam kedua belah pihak berkonflik. Konstruksi dalam konteks ini menjadi kurang jelas jika hanya dijelaskan menggunakan perspektif Berger, perlu adanya suatu teori pendukung yang berbasis pada
21
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 87 Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 87 23 Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 87 24 Mannheim, 1979:237; 1991:287 22
17
riset sosio-historis dalam hal ini teori Mannheim. Tesis utama Mannheim yang kemudian membentuk sebuah paripurna dalam pemikirannya sosiologi pengetahuan adalah gagasan mengenai ideologi dan utopia. Menurut Mannheim, pertentangan antara gagasan ideologi dan utopia adalah sebuah realitas yang selalu terjadi25, untuk memperjelas hal ini penulis menyusun pengertian ideologi dan utopia menurut Mannheim dalam poin a dan b di bawah: a.
Ideologi Dalam KBBI, pengertian ideologi adalah “kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup”. Pengertian Mannheim mengenai ideologi lebih khusus, Arief Budiman dalam pengantar buku Ideologi dan Utopia milik Mannheim menerangkan: “Ideologi tidak didasarkan pada informasi faktual dalam memperkuat kepercayaannya. Orang yang menerima sebuah sistem pikiran tertentu ini cenderung menolak sistem pikiran lain yang tidak sama dalam menjelaskan kenyataan yang sama.” Artinya adalah ideologi adalah pengetahuan yang lebih sarat dengan keyakinan subjektif seseorang daripada fakta empiris.26 Mannheim membagi pengertian perspektif ideologi menjadi 2: arti partikular dan arti total. Sebelumnya perlu dipahami bahwa Mannheim menganalisis dan membagi konsep-konsep gagasan ideologi ini dari perspektif individu dalam kelompok baik melihat ke dalam maupun ke luar (kelompok lain). Arti Ideologi Partikular menurut Mannheim lebih pada taraf psikologis, karena melihat ideologi individu suatu kelompok dari kepentingan-kepentingan yang dianut oleh pemegang ideologi tertentu. Konsep Partikular
25 26
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 88 Budiman, Arief. Pengantar Ideologi dan Utopia. Hal. xvii
18
menurut Mannheim hanya melihat acuan pada isi pernyataan-pernyataan lawan, dengan kata lain konsep partikular ini hanya melihat pada level individu secara psikologis dan hanya melihat hal-hal yang tampak saja tanpa mengacuhkan landasan konseptual ideologi tersebut. Berbeda dengan pengartian perspektif ideologi partikular, konsep total mengenai ideologi mempersoalkan Weltanschauung total lawan hingga peralatan konseptualnya. Konsep ideologi total memandang perbedaan struktural dalam pikiran-pikiran yang berlangsung dalam latarbelakang sosial yang berbeda. Konsep ideologi total ini juga menggambarkan bahwa ada korespondensi antara suatu situasi sosial dan suatu wawasan. Jika dalam konsep ideologi partikular disebutkan mengenai kepentingan individu, konsep total menganalisa hal ini dengan fungsional dan formal. Konsep inilah yang dapat menjelaskan kelompok secara keseluruhan daripada terpisah-pisah di level individu. Konsep ideologi Mannheim dalam penelitian ini adalah ideologi total, karena dalam penelitian ini concern penulis adalah kelompok, dan pengetahuan yang dibangun secara kolektif, bukan pengetahuan subjektif individual. Ideologi adalah pemikiran kelompok-kelompok yang berkepentingan dalam mempertahankan kemapanan sosial, kelompok yang pro status quo. Kelompok yang berkepentingan dalam hal ini adalah elit, karena sangat kecil kemungkinan bahwa ideologi muncul dari bawah secara struktur sosial. Dengan kata lain Ideologi adalah sebuah senjata praksis elit untuk mengakomodir strategistrategi biopolitiknya. b. Utopia Pengertian umum mengenai utopia adalah sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam khayalan, dan sulit bahkan tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. 19
Sulit diwujudkan dalam kenyataan, adalah salah satu macam utopia menurut Mannheim, yaitu utopia relatif. Utopia relatif sulit diwujudkan karena sistem kemasyarakatan ini berlainan dengan status quo, bahkan bertentangan. Mannheim juga menyatakan satu macam utopia selai relatif, yakni utopia absolut, yang mana utopia ini tidak mungkin diwujudkan sama sekali. Singkatnya, utopia adalah sistem yang menentang status quo. Pernyataan Lamartine yang dikutip Mannheim “Les utopies ne sont souvent ques des verites prematurees”27- “Utopia-utopia kerapkali hanya merupakan kebenaran-kebenaran yang tiba terlalu dini” menjadi penjelas bahwa selain tidak pro status quo, kaum utopis mencoba melampaui keadaan kini dengan memusatkan perhatian pada masa yang akan datang.28 Pandangan Mannheim mengenai ideologi dan utopia pada dasarnya berkutat pada konflik mayoritas dan minoritas, mereka yang pro status quo dan yang menentang status quo. Hal inilah yang kemudian menjadi pengantar bagi pengertian luas sosiologi pengetahuan. Sebagai analogi, “kata yang sama, atau konsep yang sama dalam kebanyakan kasus memiliki arti yang sangat berbeda bila dipergunakan oleh orang-orang yang memiliki situasi yang berbeda-beda.”29 Konsentrasi Mannheim dalam hal ini bukan sekadar untuk membuktikan bahwa ‘arti’ yang diterima oleh individu berbeda, melainkan sebab-sebab yang menggiring individu untuk sepakat mengenai arti tersebut, yakni kehidupan sosial yang dideterminasikan oleh kepentingan biopolitik elit.
27
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia. Hal. 221 Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 88 29 Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia. Hal. 296 28
20
3. Lewis Coser: Fungsi Konflik Pemikiran Lewis Coser mengenai teori konfliknya berakar dari kritik-kritik yang diberikan terhadap teori-teori konflik dan teori-teori fungsionalisme struktural. Coser merupakan satu dari beberapa akademisi yang berusaha untuk merekonsiliasikan teoriteori ini untuk merespon kritik tersebut. Coser mengintegrasikan kedua teori ini dalam bukunya “The Function of Social Conflict”.30 Lewis Coser menyatakan bahwa konflik memiliki fungsi kohesi dalam masyarakat. Fungsi kohesi yang dimaksud adalah dengan adanya konflik yang menghadapkan dua kelompok yang tadinya berkonflik atau tidak kepada sebuah ‘musuh bersama’. ‘Musuh bersama’ inilah yang membuat dua kelompok yang tadinya berbeda menanggalkan identitas kelompoknya untuk berintegrasi dengan kelompok lainnya. Fungsi konflik dalam hal ini disebut sebagai ‘katup penyelamat’ karena dapat mencegah pecahnya konflik yang lebih berbahaya dan mengintegrasikan kelompok-kelompok sebelum akhirnya dapat direkonsiliasikan. Sebagai analoginya, Bung Karno pada era kepemimpinannya tepatnya 1964, melancarkan kebijakan konfrontasi dengan Malaysia yang sering dikenal dengan “Ganyang Malaysia”.31 Selain untuk mencegah tumbuhnya neo-kolonialisme, karena Malaysia pada kala itu juga merupakan salah satu proxy AS di Asia Tenggara, slogan yang disebutkan di atas merupakan salah satu perwujudan ‘musuh bersama’ bagi segenap rakyat Indonesia. Ini adalah sebuah upaya nyata Bung Karno untuk menyatukan rakyat Indonesia yang dalam perkembangan politiknya tersegmentasi ke dalam partai-partai dan golongan
30
Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Hal 159
31
Sulastomo, Dibalik Tragedi 1965, Hal. 15
21
yang berbeda-beda dan rawan terhadap munculnya konflik terbuka maupun konfrontasi antar rakyat Indonesia sendiri. Film adalah sebuah media yang sangat dekat dengan masyarakat. Film dapat beredar dan juga diinterpretasikan dengan bebas dalam lingkungan masyarakat. Film Senyap, seperti beberapa media lainnya seperti: Novel September karya Noorca M. Massardi tahun 2006, Film Sang Penari produksi Ifa Isfansyah tahun 2011, Film Gie karya Riri Riza, dan Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer tahun 2012, merupakan sebuah media yang mencoba menyuguhkan perspektif berbeda dari perspektif arus utama yang beredar di Indonesia. Film Senyap berbeda dengan Film Pengkhianatan G-30-S/PKI sebagai legitimasi kekerasan anti-komunis. Film Pengkhianatan G-30-S/PKI sekarang bahkan sudah tidak diputar lagi setiap September seperti masa Orde Baru, karena dianggap Film tersebut menyuguhkan citra yang tidak sesuai dengan data yang ada di lapangan. Film dan media, memengaruhi konstruksi yang dibangun dalam lingkungan sosial mengenai suatu hal. Dalam bagian ini, penulis memaparkan bagaimana kasus ini diturunkan ke dalam perspektif teori konstruktivisme Peter L. Berger. Kasus ini adalah kasus yang kompleks, dimana konstruksi yang dibangun oleh proses sejarah panjang mengenai komunisme terus beredar di masyarakat Indonesia. Berger memperkenalkan konsep analisis objektivasi, institusionalisasi, dan legitimasi terhadap masalah-masalah sosiologi bahasa, teori tindakan sosial, dan sosiologi agama. Teori ini dianggap relevan untuk digunakan dalam kasus ini, dimana semua masalah di atas menjadi saling terkait satu sama lain. “More generally, we would contend that the analysis of the role of knowledge in the dialectic of individual and society, of personal identity and social
22
structure, provides a crucial complementary perspective for all areas of sociology.”32 Berger memperjelas posisi analisis peran pengetahuan memengaruhi struktur sosial masyarakat. Dimana proses pertukaran makna individu dan lingkungan terus terjadi dan saling melengkapi. Reproduksi Pengetahuan yang terjadi pada tiap-tiap lingkungan kemudian menjadi komoditas dalam interaksi individu. Hal inilah yang kemudian menjadi konstruksi makna yang memengaruhi tiap individu dalam merespon setiap stimulus. Konstruksi yang terjadi dalam lingkungan tidak bebas nilai, tiap individu pasti membawa nilai-nilai yang mereka perjuangkan untuk melakukan proses eksternalisasi pada lingkungannya. Nilai ini yang kemudian menjadi penggerak bagi setiap individu dalam bertindak. Berger memaparkan sebuah analogi tentang realitas: Apa yang sesungguhnya nyata bagi golongan A, belum tentu nyata bagi golongan B. Perspektif ini dapat menjelaskan makna apa yang sebenarnya terkonstruksikan dalam kedua belah pihak terlibat terhadap Film Senyap, dan bagaimana makna tersebut dapat memunculkan respon berbeda dari kedua belah pihak. F. KERANGKA KONSEPTUAL Dalam menganalisis kasus pelarangan pemutaran Film Senyap, penulis memandangnya dari segi konstruktivisme. Realitas yang disepakati dalam masyarakat, adalah konstruksi yang dibangun oleh proses-proses pertukaran sosial. Masyarakat adalah sebuah arena pertukaran yang di dalamnya terdapat proses eksternalisasi dan internalisasi makna oleh individu, ini adalah sebuah sistem sosial. “Suatu sistem sosial terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu … hal ini berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat”33. Konstruksi selain memengaruhi identitas dan fakta sosial, juga
32 33
Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. The Social Construction of Reality. Hal. 186. Dr. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Rajawali, 2011), hlm. 15
23
memengaruhi pemikiran individu dalam memahami suatu hal. Dalam kasus ini, konstruksi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia sejak peristiwa G-30-S/PKI hingga sekarang, memengaruhi cara pandang masyarakat mengenai komunisme dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Konstruksi makna yang dialami dari generasi ke generasi tentu tidak sama, apalagi generasi yang berbeda dari daerah yang berbeda. Mahasiswa UGM yang berasal dari berbagai daerah belum tentu mengalami proses konstruksi yang sama dengan FUI. Latar belakang akademis dan agama yang berbeda juga memengaruhi bagaimana konstruksi tersebut dapat bertahan atau diperbarui. Dalam penelitian ini, pertukaran-pertukaran ideologi yang terjadi dalam masyarakat disebut sebagai konstruksi. Perbedaan makna mengenai Film Senyap oleh dua kelompok yang berbeda adalah indikator bahwa konstruksi yang dialami oleh kedua pihak berbeda, sejauh mana perbedaan tersebut menjadi alat analisis bagaimana pergeseran makna komunisme oleh masyarakat, dalam hal ini mahasiswa dan FUI. Kerangka konsep konstruktivisme digambarkan dalam bagan di bawah untuk menjelaskan bagaimana korelasi konstruksi sosial memengaruhi peran aktor dalam peristiwa pemutaran Film Senyap. Latar belakang dari pihak yang berselisih menjadi indikator bagaimana pihak terlibat mengambil peran dalam pemutaran Film Senyap.
24
Gambar 1 : Bagan Alir Kerangka Konseptual
Bagan di atas menunjukkan konsep konstruktivisme bekerja dalam kasus pemutaran Film Senyap. Tindakan setiap individu pasti didasari oleh suatu hal, oleh karena itu penulis menempatkan masing-masing 3 faktor yang mungkin memengaruhi tindakan aktor dalam merespon pemutaran Film Senyap, yaitu: Reproduksi pengetahuan, Lingkungan, dan Basis gerakan. Dalam bagan di atas, Reproduksi pengetahuan adalah sebuah landasan utama dari logika sistematis penelitian. Pengetahuan dimiliki oleh kedua Subjek penelitian, yaitu Mahasiswa UGM dan Ormas FUI. Reproduksi pengetahuan dalam hal ini lebih spesifik mengenai peristiwa 19651966, PKI, dan Komunisme. Reproduksi pengetahuan kemudian mengonstruksikan aktor yang ada dalam lingkungan yang berbeda. Respon dari setiap aktor terhadap pemutaran Film Senyap dipengaruhi oleh konstruksi sosial. Selain itu, kedua belah pihak yang berselisih dalam kasus ini adalah bagian dari konstruksi sosial dan terus mereproduksi pemikiran pemikiran baru dalam lingkungan, oleh karena itu arah panah yang digambarkan memiliki dua sisi.
25
Faktor utama yang memengaruhi tindakan aktor diasumsikan penulis sebagai Reproduksi Pengetahuan. Reproduksi Pengetahuan dalam kasus ini lebih khususnya adalah pengetahuan mengenai kronologis, aktor, dan peristiwa pra dan pasca G-30-S/PKI. Pengetahuan yang dimiliki setiap orang akan dibawa dan dieksternalisasikan dalam lingkungan, sehingga proses konstruksi makna terus terjadi dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Proses ekternalisasi dan internalisasi mengenai suatu makna terjadi dalam interaksi keseharian dan menjadi konsensus dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Pengetahuan yang dibawa untuk dipertukarkan dan dipertahankan dalam suatu lingkungan, baik Mahasiswa maupun FUI, akan memengaruhi sikap dan reaksi terhadap suatu stimulan, dalam hal ini pemutaran Film Senyap. Kasus ini bukanlah sebuah peristiwa reaksi atas stimulus yang sesederhana kertas menjadi abu karena terbakar api. Beberapa penjelasan lain menyebut ketegangan seputar komunisme di Indonesia disebabkan oleh kontestasi identitas & ideologi politik. Kapitalisme dan Sosialisme terutama pada era Perang Dunia II adalah dua ideologi yang saling bertentangan. Hal ini terlihat dari langkah Amerika mendukung Indonesia dalam mengajak Timor Leste bergabung dengan Indonesia yang pada waktu itu diduduki oleh Portugal. Portugal pada masa Perang Dunia II menganut paham sosialis, bertentangan dengan Amerika yang pro kapitalis. Penulis merumuskan 4 (empat) hal yang dapat menjadi dasar mengapa peristiwa ini dapat terjadi: Identitas dan Ideologi, kontestasi politik – militer, doktrin jihad, dan langkah eksistensi diri. Identitas pihak-pihak yang berkonflik dalam pro dan kontra pemutaran film Senyap di kampus FISIPOL dapat digolongkan menjadi dua golongan: pihak mahasiswa UGM dan FUI. Identitas kedua kelompok tersebut terbentuk dari ruang sosial tempat mereka melakukan interaksi dalam kesehariannya. Tentu saja setiap individu memiliki ideologi masing-masing yang mereka ajukan terhadap kelompoknya dalam interaksi sehari-hari. Ideologi dari setiap individu inilah yang 26
berperan dalam membentuk identitas subjek dalam masyarakat. “Identity is, of course, a key element of subjective reality, and like all subjective reality, stands in a dialectical relationship with society. Identity is formed by social processes.”34 Identitas kemudian melekat dalam diri seseorang – embeddedness – keterlekatan identitas ini yang menjadi sebuah pengikat antar golongan yang sama, terutama dalam konflik. Identitas “Muslim” yang dibawa oleh FUI untuk memboikot pemutaran Film mengenai peristiwa pasca G-30-S/PKI jelas mengindikasikan adanya sentimen teisme terhadap komunisme. 1. Kepentingan Politik – Militer Kontestasi politik sejak pemilu 1955 hingga sekarang terus berkembang. Banyak pihak yang menginginkan kekuasaan atas sistem pemerintahan Indonesia. Pada malam sebelum kudeta militer 1965 (G-30-S/PKI), PKI adalah partai komunis yang paling besar di dunia selain negara komunis. PKI berkomitmen untuk memenangkan kekuasaan melalui pemilu dengan mengajak masyarakat Indonesia dan organisasi underbouw-nya seperti afiliasi serikat buruh dan koperasi petani gurem. Pada era orde baru, ketika Suharto telah berhasil melakukan kudeta merangkaknya, pemerintahan didominasi oleh Partai Golongan Karya dan Militer. Kala itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dwifungsi, selain sebagai fungsi hankam, juga memiliki fungsi sosial dan politik. Dewasa ini, ABRI yang telah dilebur menjadi TNI-AD, TNI-AL, TNI-AU, dan Polri sudah tidak lagi mengimplementasikan Dwifungsi tersebut dalam masyarakat. Jika dwifungsi tersebut memang sudah dilakukan, seharusnya tidak ada lagi campur tangan angkatan bersenjata dalam ruang sosial dan politik. Gerakan FUI yang
34
Peter L. Berger, Thomas Luckmann,The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1967), hlm. 173.
27
sedemikian beDR nampaknya tidak mungkin dilakukan tanpa ada dukungan baik persetujuan maupun dana dari pihak lain. 2. Doktrin Jihad FUI adalah organisasi yang membawa Nama Islam dalam gerakannya. Sebelum masuk lebih dalam, perlu dijelaskan mengenai religi menurut Durkheim: “Religi merupakan sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sacred, yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal di mana masyarakat memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya”35. Terminologi Jihad tidak selalu dipahami dengan senada oleh setiap individu. Beberapa kelompok Islam radikal bahkan melakukan serangan bom bunuh diri terhadap masyarakat sipil, kelompok tersebut antara lain : Al-Qaeda – Osama bin Laden dan Jama’ah Islamiyah – Hambali, Amrozi cs. FUI yang mengatasnamakan Islam, mungkin saja memiliki paham Jihadisme sebagai dasar gerakan mereka. Pertanyaan muncul ketika mengapa hanya gerakan berbau komunisme yang dilawan oleh FUI? Karena jika memang perbandingannya sama, maka seharusnya perlawanan terhadap teisme lain yang tidak menyembah Allah SWT juga harus dilakukan. Dugaan sementara adalah, agama lain meskipun tidak sejalan dengan mereka, tetap memiliki Tuhan. Hal ini mengindikasikan bahwa doktrin bahwa komunisme sama dengan ateisme yang menjadi dasar gerakan. 3. Mengeksistensikan diri Pengakuan masyarakat terhadap sebuah gerakan adalah sebuah indikator yang menunjukkan keberhasilan sebuah gerakan tertentu.
35
“Gaining the mass news media’s
Emile Durkheim, Sejarah Agama/The Elementary Forms of the Religious Life (IRCiSoD,2005)
28
attention is critical to the struggles of political advocacy and social movement organizations (SMO); gaining coverage is a measure of an SMO’s cultural influence)”36 Sebagai ormas, FUI membutuhkan pengakuan terhadap organisasinya. Dengan mengadakan penolakan di Kampus UGM, FUI mendapat perhatian dari masyarakat, minimal dari golongan mahasiswa. Banyak pemberitaan mengenai penolakan Film ini di Internet, baik tulisan-tulisan di blog, maupun media massa. Peristiwa ini menjadi perhatian paling tidak di Yogyakarta selama beberapa minggu di akhir tahun 2014 hingga awal 2015. FUI tidak berusaha menutup diri, malah terkesan memanfaatkan adanya media untuk menyuarakan argumen mereka mengenai komunisme lewat mahasiswa dan media. Basis gerakan dalam kasus ini secara sederhana dapat diasumsikan sebagai Agama dan Akademik. Namun penelitian ini tidak serta merta menganggap bahwa FUI memiliki basis gerakan Agama meskipun nama yang mereka bawa adalah “Islam”, begitupun dengan mahasiswa yang merupakan civitas akademik dari Universitas Gadjah Mada, belum tentu memiliki basis gerakan akademik yang pro atau kontra terhadap komunisme. Basis gerakan inilah yang kemudian menjadi pisau analisis utama dalam meneliti penolakan atau pemboikotan pemutaran Film Senyap oleh FUI di Kampus FISIPOL UGM.
G. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah sebuah cara ilmiah untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Inspirasi penelitian ini muncul karena penulis ingin mengetahui bagaimana sebenarnya Film Senyap dipandang oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut.
36
Edwin Amenta et al, The Social Movement Reader (Blackwell Publishing Ltd, 2015), hlm. 302.
29
1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Lebih terperinci lagi, penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan jenis deskriptif. Penelitian ini menggali sebuah makna yang besar mengenai komunisme di Indonesia dari sebuah kasus yang terlihat sederhana: Penolakan pemutaran Film Senyap yang diadakan Sintesa oleh FUI. Dari pintu masuk sederhana tersebut, ada kepentingan-kepentingan di baliknya yang sudah dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga hal ini terjadi. Kepentingan inilah yang kemudian menjadi value dari konstruksi yang dibangun, hal ini dijelaskan secara deskriptif dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pendekatan secara personal terhadap anggota dari pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa pemboikotan Film Senyap dan menggali secara terperinci pendapat dan pandangan mereka mengenai Film dan pemboikotan yang terjadi. Dengan pendekatan personal, penelitian ini diharapkan memiliki data yang credible untuk kemudian dianalisis. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di lingkungan kampus FISIPOL UGM, dan lingkungan markas FUI, Yogyakarta. Penelitian dilakukan di kedua lingkungan tersebut untuk menggali fakta dari informan terkait mengenai peristiwa pemutaran Film Senyap. Karena kedua lokasi penelitian berada di Yogyakarta, maka penulis tidak menemukan kendala berarti terkait lokasi penelitian. 3. Sumber Data Secara garis besar, subjek dari penelitian ini adalah Kelompok. Adapun kelompok yang dimaksud adalah 2 kelompok yang beroposisi dalam kasus pemutaran Film Senyap ini: FUI dan Sintesa. Meskipun demikian, penulis tidak mengambil data dari seluruh anggota 30
kelompok, melainkan beberapa informan yang telah dipilih. Oleh karena itu, sumber data dalam penelitian ini adalah keterangan-keterangan dari anggota kelompok yang dianggap mewakili ide besar kelompok mengenai pemutaran Film Senyap. Sumber data dalam penelitian ini didapat dari anggota FUI yang berjumlah 4 orang, Anggota Sintesa berjumlah 4 orang, dan 1 orang anggota SKKK yang terlibat dan memahami tentang konteks pemboikotan Film Senyap di Kampus FISIPOL UGM. Data digali dari kedua belah pihak untuk mendapat hasil yang seimbang antara pro dan kontra Film Senyap, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa ada mahasiswa yang kontra terhadap Film ini, begitupun sebaliknya. Data yang diberikan dari pihak SKKK juga penting untuk mengetahui kronologis kedatangan FUI, perijinan pemutaran Film, hingga bagaimana pihak militer terlibat dalam kasus ini. Anggota FUI yang menjadi informan merupakan anggota yang terlibat langsung dalam penolakan Film Senyap, dan anggota FUI yang memahami konten serta konteks Film Senyap. Empat orang anggota FUI ini dirasa cukup memberikan keterangan dan data mengenai kasus ini, data yang didapat juga relatif sama, maka dari itu 4 orang dianggap sudah mewakili FUI secara keseluruhan. Informasi dasar serta alasan para informan ini dipilih dapat dilihat dari Tabel 1 (lihat hal. 33). Anggota Sintesa yang terpilih menjadi informan adalah anggota Sintesa yang terlibat secara langsung baik dari persiapan hingga penyelenggaraan pemutaran Film Senyap tanggal 17 Desember 2014. Selain terlibat dan ada pada acara tersebut berlangsung, informan yang terpilih juga memiliki peran penting dalam pemutaran Film Senyap ini. Keempat orang informan dianggap memberikan data yang sama, sehingga 4 orang informan ini sudah
31
mewakili sikap Sintesa secara umum mengenai pemutaran Film Senyap ini. Informasi dasar serta alasan para informan ini dipilih dapat dilihat dari Tabel 1 (lihat hal. 33). Anggota SKKK diperlukan untuk memberikan informasi mengenai rincian kronologis penolakan ini terjadi. Pihak SKKK yang merupakan pihak keamanan kampus memberikan informasi yang lebih netral dalam mengemukakan kasus ini, karena memang wawancara terhadap SKKK lebih ditekankan untuk menggali informasi mengenai kronologis kedatangan FUI dari tahap peringatan hingga kedatangan 250 anggota laskar FUI. Penulis merasa cukup untuk menggali informasi dari 1 orang SKKK saja, karena data yang diberikan sudah cukup mengulas kronologi peristiwa ini secara keseluruhan.
4. Fokus Penelitian Fokus Penelitian ini adalah bagaimana konstruksi sosial memengaruhi pemaknaan Film Senyap oleh kedua pihak. Konstruksi dapat berbentuk reproduksi pengetahuan yang dalam hal ini sejarah kelam peristiwa 1965 dan PKI. Intrepertasi terhadap sejarah yang sama oleh kedua belah pihak dan lingkungan yang berbeda dapat memengaruhi bagaimana individu bereaksi terhadap stimulus. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi, indepth interview, dan studi literatur. Observasi dan dokumentasi dilakukan di kedua lokasi penelitian dengan output berupa gambar atau foto. Data interview didapat dari perwakilan Mahasiswa dan FUI yang memiliki pengetahuan maupun keterlibatan dalam kasus pemboikotan Film
32
Senyap di Kampus FISIPOL UGM. Adapun informan yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan data dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball. Ketika berada di lapangan, penulis melakukan observasi dengan kunjungan singkat ke markas FUI dan Sekretariat Sintesa. Selain itu, penulis juga menggali data mengenai kronologis peristiwa pemboikotan Film Senyap dari perspektif kepolisian. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat ada aparat yang turun ke lokasi pada saat itu, namun tidak ada tindakan konkrit dari aparat untuk mencegah FUI datang. Usaha telah dilakukan, namun tidak ada respon dari pihak kepolisian meskipun surat izin penelitian telah sampai ke tingkat Polres. Demi kredibilitas data, serta kelangsungan hidup penulis, penulis melakukan pendekatan personal terhadap “petinggi” FUI: AF, saat melakukan observasi. Hal ini penting untuk dilakukan karena penelitian terhadap hal semacam ini masih sensitif dan terkesan tabu untuk diadakan secara terang-terangan. Oleh karena itu penulis tidak secara serampangan mengulik informasi dengan pertanyaan-pertanyaan eksplisit. Setelah pendekatan ini berhasil, kemudian penulis meminta AF untuk menunjuk informan yang terpercaya dalam memberikan keterangan terkait kasus ini. Setelah melakukan observasi, penulis memilih beberapa orang untuk menjadi Informan dalam penelitian ini. Informan yang dipilih dalam penelitian ini antara lain:
Tabel 1 : Data Informan
Nama
Organisasi/Jabatan
Alasan dipilih
33
YA
Sintesa/Pemimpin Umum 2015
YA terlibat langsung dalam proses pemutaran Film Senyap. YA adalah anggota bidang penelitian dan pengembangan (Litbang) dalam Sintesa pada waktu acara itu dilangsungkan. YA yang sekarang menjabat sebagai Pemimpin Umum Sintesa dianggap sebagai sumber data yang memiliki kredibilitas dalam memaparkan kronologi kasus ini.
YD
FUI/Anggota FUI – Ketua GPK
YD adalah seorang anggota FUI, yang juga menjabat sebagai ketua umum GPK 2015. YD ikut turun ke lapangan pada waktu itu, sehingga dianggap memiliki data yang valid mengenai alasan-alasan FUI melarang pemutaran Film tersebut.
SE
SKKK/Anggota SKKK Bag. Fak.
SE adalah salah satu anggota SKKK yang sedang bertugas ketika kasus ini terjadi. SE mengetahui secara rinci,
ISIPOL mengenai bagaimana surat himbauan dari Polsek sampai dan diturunkan dengan garis koordinasi ke SKKK Fakultas. Kronologi kasus versi SE menjadi pelengkap teka-teki yang mengisi kekosongan keterangan dari pihak yang netral dalam arti tidak terlibat di kedua kelompok terlibat. KF
Sintesa/Anggota Sintesa
KF
merupakan
perwakilan
Sintesa
yang
ketika
pemboikotan berlangsung, maju mewakili Sintesa. KF mewakili Sintesa untuk menemui FUI karena kebanyakan
34
panitia pada waktu itu wanita. Kondisi inilah yang kemudian menjadikan KF pantas menjadi seorang informan kunci yang memahami betul bagaimana kronologi serta apa yang disampaikan FUI pada waktu itu. AF
FUI/Kabid. Humas AF, merupakan tokoh yang berpengaruh dalam FUI. AF FUI
adalah “mesin penggerak” FUI yang aktif menerima dan menyebarkan informasi tentang isu-isu yang terkait concern FUI.
AH
FUI/Anggota FUI
AH, meskipun terbilang baru dalam organisasi FUI, memiliki kelebihan karena sudah pernah menonton Film Senyap. Selain itu, AH juga mengetahui langsung mengenai pertikaian tentang teisme dan komunisme di Indonesia, karena Ayah AH merupakan anggota HMI, dan AH sendiri pernah menjadi anggota Kelompok Belajar Mentari (KBM).
TI
Sintesa/Kabid Litbang 2014
Bidang Litbang dalam Sintesa merupakan bidang yang menginisiasi diskusi-diskusi serta pemutaran Film. TI juga memiliki hubungan dengan pihak-pihak Film sejenis, sehingga menjadi penting bagi penelitian ini untuk menggali data dari TI.
AM
FUI/Ketua TPF – Dosen JPP
AM adalah seorang informan kunci dalam penelitian ini. AM berada dalam kedua kelompok yang terlibat konflik,
FISIPOL UGM
35
sebagai Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) – yang merupakan anggota FUI – juga sebagai dosen JPP FISIPOL UGM. DR
Sintesa/Pemimpin Umum 2014
DR dipilih karena ketika peristiwa ini terjadi, DR menjabat sebagai
pemimpin
umum
dan
juga
sebagai
penanggungjawab berlangsungnya acara ini. Sumber : Data Primer
6. Teknik Analisa Teknik Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Penulis menggali fakta bagaimana konstruksi sosial bekerja dalam kedua pihak tersebut hingga memengaruhi respon mereka terhadap Film Senyap. Penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam kedua pihak dan menganalisis fakta tersebut, sehingga sejauh mana pemaknaan Film Senyap dapat terukur dengan fakta yang diperoleh dari wawancara dan observasi. Penulis melakukan wawancara terhadap 9 orang informan pada waktu yang berbeda. Wawancara dilakukan empat mata untuk meminimalisir adanya intervensi argumen serta memberikan ruang pada informan untuk menyatakan hal yang sebenarnya. Wawancara terhadap informan rata-rata menghabiskan waktu sekitar 30-70 menit. Penulis sempat mengalami kesulitan untuk mencari informan dari pihak FUI yang sudah pernah menonton Film Senyap secara utuh, hingga akhirnya memutuskan untuk menggunakan data dari informan FUI yang dianggap kredibel dan memiliki pengetahuan atau keterlibatan atas kasus ini. Hal ini tidak menjadi masalah besar karena pemutaran Film Senyap dalam penelitian ini sekali lagi hanya entry point untuk menggali fakta yang lebih besar: Pemaknaan terhadap komunisme.
36
Data yang dianalisa dalam penelitian ini tidak hanya bersumber pada keteranganketerangan para informan. Penulis juga melakukan studi literatur terhadap beberapa buku terkait PKI, Komunisme, dan Pan-Islamisme. Penelitian ini menjadi menarik karena selain melakukan analisa terhadap literatur yang berbau “kiri”, penulis juga melakukan studi terhadap buku-buku “kanan” keluaran pemerintah yang menjelaskan kronologis G30S dari sudut pandang pemerintah.
37