BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kasus HIV/AIDS bermunculan semakin banyak dan menyebar ke berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia, dilaporkan bahwa epidemi HIV dan AIDS dalam 5 tahun terakhir telah mengalami perubahan dari low level epidemic menjadi concentrated level epidemic. Dari hasil survey pada subpopulasi tertentu, menunjukkan prevalensi HIV di beberapa propinsi telah melebihi 5% secara konsisten, sehingga strategi pengendalian HIV saat ini dilaksanakan dengan memadukan pencegahan, perawatan, dukungan, serta pengobatan.1 Sesuai dengan Bab IV.2 Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS titik h, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1285/MENKES/SK/X/2002 tentang Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual, setiap prosedur untuk mendiagnosa infeksi HIV harus dilakukan secara sukarela yang didahului dengan memberikan informasi yang benar kepada yang bersangkutan (informed-consent), disertai konseling yang memadai sebelum dan sesudah diagnosis dilakukan. Dalam prosedur pemeriksaan darah untuk penderita AIDS, perlu diperhatikan beberapa hal khusus yang tidak boleh dilupakan, yaitu : 1. Perlu meminta persetujuan penderita untuk melakukan pemeriksaan darahnya (informed consent) 2. Perlu dilakukan konseling pra dan pasca tes (pre and post test counseling) 1
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, (Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono, 2001), Hal 107.
1
3. Harus menjaga kerahasiaan penderita (confidentiality).2 Rumah sakit adalah sarana pemberi pelayanan kesehatan yang sering kali sebagai pelabuhan terakhir bagi orang pengidap HIV positip dan sudah terjadi AIDS yang masuk dengan diagnosa lain. Pasien masuk Rumah Sakit dengan diagnosa yang tidak diketahui secara jelas oleh petugas kesehatan bahwa pasien tersebut pengidap HIV/AIDS, karena keluhan tidak khas bisa hanya demam biasa atau Diare atau Infeksi saluran napas atas atau bahkan dengan keluhan lain yang bermacam-macam. Setelah dilakukan pengobatan sekian lama tidak ada perubahan maka dokter memeriksa lebih lanjut dengan kesimpulan sampai pada kecurigaan diagnosa bahwa pasien tersebut adalah pengidap AIDS. Kecurigaan ini harus ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium darah terhadap adanya HIV dalam darah. Sesuai Keputusan Meteri Kesehatan RI No. 1507 Tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary counselling and Testing/VCT). Dimana diantaranya disebutkan untuk dapat melakukan pemeriksaan laboratorium guna tegaknya diagnosa harus mendapatkan persetujuan dari pasien yang lazim disebut informed consent.3 Akibatnya pasien dengan HIV positif atau sudah menderita AIDS baru dapat ditegakkan diagnosanya setelah dilakukan perawatan untuk waktu yang cukup lama di rumah sakit atau tidak dapat ditegakkan sama sekali. Untuk perawatan yang telah dilakukan sekian lama, karena gejala HIV/AIDS tidak khas tersebut diatas, maka pada saat pasien dicurigai HIV positif atau AIDS
2 Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1507/KEPMENKES/X/2005 Tentang Pedoman Pelayanan konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (VCT) 3 Ibid.,
2
kemudian pasien menolak pemeriksaan laboratorium maka tenaga kesehatan tidak mendapatkan perlindungan akan kemungkinan akan terkena HIV. Disisi lain rumah sakit harus tetap merawat pasien tersebut, sehingga para tenaga kesehatan merasa sebagai anak bangsa tidak memperoleh haknya atas perlindungan hukum sesuai Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dalam informed consent, hak asasi pasien sebagai manusia harus tetap dihormati. Pasien berhak menolak dilakukannya suatu tindakan terhadap dirinya atas dasar informasi yang telah diperoleh dari dokter yang bersangkutan. Pada dasarnya dalam praktek sehari-hari pasien yang datang untuk berobat ketempat praktek dianggap telah memberikan consent-nya untuk dilakukan tindakan-tindakan rutin untuk pemeriksaan fisik. Akan tetapi, untuk tindakan yang lebih kompleks, biasanya dokter memberikan penjelasan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesediaan dari pasien, misalnya kesediaan akan dilakukan suntikan. Sampai dengan Juni 2009 Center of Disease Control and prevention (CDC) melaporkan 152 kasus petugas kesehatan yang tertular HIV akibat kecelakaan di tempat kerja. Sedangkan 214 orang petugas kesehatan lain diduga juga terinfeksi di tempat kerja, namun catatan kejadiannya tidak lengkap. Para petugas kesehatan ini tidak mempunyai riwayat risiko penularan cara lain. Seratus Lima dua orang tertular akibat terpapar dengan darah, dua belas orang terpapar cairan tubuh yang bercampur darah, lima belas orang terpapar langsung dengan virus di laboratorium, sedang sepuluh orang lagi tak
3
jelas paparannya. Lima orang terpapar melalui tusukan atau luka benda tajam, lima orang terpapar melalui percikan cairan tubuh tercemar ke selaput lendir dan dua orang lagi terpapar melalui tusukan jarum dan percikan cairan tubuh.4 Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan : Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan dalam penelitian ini adalah dokter, paramedis perawat, paramedis penunjang perawatan. Tenaga kesehatan harus selalu mengevaluasi diri untuk memastikan tindakan telah sesuai dengan prinsip etik dan hukum. Hukum merupakan proses dinamis sehingga tenaga kesehatan juga harus selalu memperbaharui pengetahuan mereka tentang hukum yang berlaku saat ini. Prinsipnya bersikap jujur kepada pasien dan meminta informed consent atas semua tindakan atau pemeriksaan merupakan tindakan yang paling aman untuk menghindari implikasi hukum.5 Pasal 3 Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1), dan (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, menyatakan bahwa ; Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
4 Samsuridjal Djauzi dan Zubairi Djoerban, , Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar, (Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2009), Hal. 46 5 J.Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, (Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2003), Hal. 23.
4
Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Sesuai dengan Pasal 2 butir (d) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik
Indonesia
Nomor
68/MEN/IV/2004
tentang
Pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja bukan saja bagi pekerja sebagai penderita HIV/AIDS, tetapi juga menerapkan prosedur keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khusus untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan standar yang berlaku. Infeksi HIV menimbulkan masalah medis, psikologis dan sosial. Masalah medis yang timbul terutama yang berkaitan dengan infeksi oportunistik yaitu infeksi yang terjadi karena kekebalan tubuh yang sangat menurun dan infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroba yang semula bersifat komensal atau reaktivasi kuman atau parasit yang telah ada dalam tubuh atau infeksi baru.6 Sedangkan orang yang terinfeksi HIV mendapat beban psikologis yang cukup berat karena stigma negatif yang besar di masyarakat. Berbagai diskriminasi yang mungkin timbul menyebabkan orang yang terinfeksi HIV kurang dapat berfungsi secara sosial. Untuk itulah dalam penatalaksanaan infeksi HIV perlu dilakukan pendekatan holistik. Orang yang terinfeksi HIV harus ditatalaksana dari segi fisik, psikologis dan sosial. Dokter Spesialis Penyakit Dalam dapat berperan dalam penatalaksanaan infeksi HIV dengan baik. Hal ini ditunjang dengan dikeluarkannya regulasi
6
dalam bentuk
Ibid., Hal. 21
5
beberapa Peraturan, Surat Keputusan Menteri, yang lebih berpihak kepada pengidap sebagai perlindungan. Pencegahan penyakit merupakan prioritas dari upaya penanggulangan yang terutama diselenggarakan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (”KIE”) yang ditujukan kepada pemuda, remaja, dan kelompok masyarakat yang beresiko. KIE terutama menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang penyakit HIV/AIDS, cara-cara penularan dan cara-cara pencegahan yang dapat dilakukan oleh setiap orang sehingga setiap individu mampu melindungi diri masing-masing dan melindungi diri orang lain dari penularan penyakit HIV/AIDS. Setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar tentang HIV/AIDS guna melindungi dirinya dan orang lain terhadap penularan penyakit. Setiap pengidap HIV/AIDS tetap dilindungi kerahasiaannya kecuali bila ia membolehkan untuk diketahui oleh orang lain. Kerahasiaan pengidap menjadi sangat penting untuk mencegah stigmatisasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak azasi manusia. Setiap pengidap HIV wajib melindungi pasangan seksnya. Dokter sebagai manusia biasa adalah bagian masyarakat yang dihadapkan pada banyak masalah sewaktu harus menghadapi kasus-kasus AIDS. Dalam hal ini dokter hendaknya senantiasa tetap melakukan profesi menurut ukurannya yang tertinggi (Kode Etik Kedokteran Indonesia Bab I Pasal 1). Dalam program penanggulangan HIV/AIDS, terdapat tiga belas program, satu diantaranya adalah program pengembangan peraturan dan
6
perundang-undangan HIV/ AIDS, dengan kegiatan program antara lain memberdayakan pakar praktisi hukum, pengambil keputusan, pengelola dan pelaksana program, media masa, serta masyarakat untuk memahami dan mematuhi peraturan dan perundangan dan HAM yang berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS.7 Segi etik yang penting dalam hubungan dokter dengan pasien berada pada pihak dokter sendiri, yang tentunya sesuai dengan Pasal 10 KODEKI yang berbunyi “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani”.8 Untuk itu maka test yang dilakukan harus memenuhi persyaratan yaitu bersifat rahasia, bersifat sukarela atau tidak boleh dipaksa dan disertai dengan konseling. Suatu pajanan atau daerah terbuka yang mungkin menempatkan tenaga kesehatan pada risiko infeksi VHB, VHC atau HIV, didefinisikan sebagai cedera perkutaneus (seperti luka akibat jarum suntik atau tersayat benda tajam), atau kontak dengan selaput lendir atau kulit yang tidak utuh (seperti kontak dengan kulit yang merekah, tergores atau terkena dermatitis), dengan darah, jaringan atau cairan tubuh lain yang berpotensi infeksius. Ketentuan harus adanya informed consent untuk pemeriksaan laboratorium HIV pada pasien apapun alasannya sangat berhubungan dengan tidak terlindunginya tenaga kesehatan terhadap terpajan virus HIV dalam melaksanakan tugasnya.
7 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1285/MENKES/SK/X/2002 Tentang Pedoman Penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual. 8 Ratna Suprapti Samil, Op.Cit, Hal 48.
7
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis akan melakukan penelitian dalam suatu bentuk penulisan tesis yang berjudul “Tinjauan Hukum Mengenai Informed Consent Dalam Pemeriksaan Laboratorium HIV Bagi Pasien Sebelum Dirawat Inap Dan Hak Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Menurut Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran”.
B. Permasalahan Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah : 1. Bagaimana
kedudukan
Informed
Consent
dalam
pemeriksaan
Laboratorium HIV bagi pasien sebelum dirawat inap? 2. Bagaimana hak perlindungan hukum bagi tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui, memahami dan mengkaji mengenai kedudukan
Informed Consent
dalam pemeriksaan Laboratorium HIV bagi pasien
sebelum dirawat inap. 2. Untuk mengetahui, memahami dan mengkaji mengenai hak perlindungan hukum bagi tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan.
8
D. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Teoritis a). Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum khususnya
mengenai
kedudukan
Informed
Consent
dalam
pemeriksaan Laboratorium HIV bagi pasien. 2. Praktis a). Hasil penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai sumber kepustakaan berupa sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya bagi yang berminat untuk meneliti lebih lanjut tentang kedudukan Informed Consent dalam pemeriksaan Laboratorium HIV bagi pasien. b). Hasil penelitian ini mampu memberikan masukan dan umpan balik bagi para pihak yang berkompeten dalam pengembangan hukum perdata bisnis mengenai ketentuan Informed Consent
dalam
pemeriksaan Laboratorium HIV bagi pasien. c). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menentukan kebijakan di bidang kesehatan. d). Untuk mengadakan perbandingan antara ilmu pengetahuan yang diperoleh selama ini dengan kondisi yang terjadi di lapangan, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah ilmu pengetahuan tersebut sesuai dengan perkembangan yang ada.
9