BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bank merupakan lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak kelebihan dana (surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan (Lukman Dendawijaya, 2009: 14). Bank mempunyai fungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga perantara, bank mendasarkan kegiatan usahanya pada kepercayaan masyarakat, maka bank juga disebut sebagai lembaga kepercayaan masyarakat (agent of trust). Selain berfungsi sebagai agent of trust bank juga berfungsi bagi pembangunan perekonomian nasional (agent of development) dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional (Malayu SP. Hasibuan, 2005: 4). Sedangkan menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efisien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat
1
2
pembayaran yang efisien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, yang berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan meningkat. Tanpa adanya arus dana ini uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, terdapat dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Kedua jenis bank tersebut dalam menjalankan kegiatan usahanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Bank Konvensional dan Bank Syariah. Sistem ekonomi syariah atau biasa disebut dengan Ekonomi Islam, semakin popular bukan hanya di negara-negara Islam tetapi juga di negara-negara barat. Banyak kalangan melihat Islam dengan system nilai dan tatanan normatifnya sebagai faktor penghambat pembangunan. (M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, hal. 3). Bank Syariah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan muslim yang perupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah dalam Islam. Secara filosofis bank syariah adalah bank aktivitasnya meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang
3
dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia Islam. Oleh karena itu, didirikan mekanisme perbankan yang bebas bunga (bank syariah). Perbankan Syariah didirikan berdasarkan alasan filosofis maupun praktis. Secara filosofis, karena dilarangnya pengambilan riba dalam transaksi keuangan maupun non keuangan. Secara Praktis, karena system perbankan berbasis bunga atau konvensional mengandung kelemahan. Menurut pasal 1 ayat (7) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Berdasarkan status pendirian system syariahnya, bank syariah dibedakan atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Pada BUS statusnya independen dan tidak bernaung dibawah system perbankan konvensional. Sementara UUS statusnya tidak independen dan masih bernaung dibawah aturan manajemen perbankan konvensional. Adanya krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 membawa dampak terhadap struktur perekonomian terutama struktur keuangan dan perbankan. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Sehingga puluhan bank konvensional banyak yang ditutup dan dimerger, sementara bank syariah justru berkembang. Sebelum krisis moneter hanya ada 1 Bank Umum Syariah (BUS) dan 9 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), pada tahun 2006 sudah menjadi 3 BUS, 20 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 105 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) (Novianto, 2008). Berdasarkan
4
Direktorat Syariah Republika (edisi Februari 2008), hingga akhir 2007 terdapat 7 Bank Umum Syariah (BUS), 26 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 114 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) serta terdapat 711 Kantor Bank Syariah. Pencapaian ini tidak lepas dari adanya dukungan pemerintah. Salah satu bentuk dukungan pemerintah yaitu system Office Channeling yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/3/PBI/2006, system ini memberikan peluang bagi bank konvensional yang mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) untuk memberikan pelayanan transaksi syariah tanpa perlu membuka cabang UUS di berbagai tempat. Bank Syariah menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menjauhi praktik riba, untuk diisi dengan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dari pembiayaan perdagangan. Industri perbankan syariah merupakan bagian dari system perbankan nasional yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian. Peranan perbankan syariah secara khusus antara lain sebagai perekat nasionalisme baru, artinya menjadi fasilitator jaringan usaha ekonomi kerakyatan, memberdayakan ekonomi umat, mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan, mendorong pemerataan pendapatan dan pengingkatan efesiensi mobilitas dana (Muhammad, 2005: 16). Berdasarkan laporan Bank Indonesia, asset total perbankan syariah pada Agustus 2011 mencapai Rp 120 triliun. Aset bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) mencapai Rp 116 triliun. Sedangkan, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) mencapai Rp 3,7 triliun. Aset total pada Desember 2010 mencapai Rp 100,26 triliun dengan rincian BUS dan UUS sebesar Rp 97,52 triliun
5
dan BPRS sebesar Rp 2,74 triliun. Sementara pada triwulan ketiga 2010 jumlah kantor bank umum syariah dan unit usaha syariah menjadi 1388 dibanding pada periode yang sama 2009 dengan 924 kantor (Republika, 2011). Tumbuh kembangnya asset bank syariah dikarenakan semakin baiknya kepastian disisi regulasi serta berkembangnya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah. Dalam suasana perkembangan yang sangat pesat tersebut, maka perbankan syariah mempunyai potensi dan peluang yang lebih besar dalam perannnya sebagai sumber pembiayaan bagi hasil perekonomian. Kinerja keuangan bank merupakan tampilan tentang kondisi keuangan bank selama periode waktu tertentu terkait dengan penghimpunan dana maupun penyaluran dananya. Penilaian terhadap kinerja suatu bank dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap laporan keuangan. Laporan keuangan bank berupa neraca memberikan informasi kepada pihak diluar bank, misalnya bank sentral, masyarakat umum dan investor, mengenai gambaran posisi keuangannya, yang lebih jauh dapat digunakan pihak eksternal untuk menilai besarnya resiko yang ada pada suatu bank. Laporan laba rugi memberikan gambaran mengenai perkembangan bank yang bersangkutan. Pengukuran tingkat kesehatan bank harus dilakukan oleh semua bank baik bank konvensional maupun bank syariah karena terkait dengan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, pengelola (manajemen) bank, masyarakat pengguna jasa bank. Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan bank, dan pihak lainnya. Informasi mengenai kondisi suatu bank dapat digunakan oleh pihak-pihak tersebut untuk mengevaluasi kinerja bank dalam menerapkan prinsip kehati-
6
hatian, kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dan manajemen resiko. Profitabilitas merupakan indikator yang paling tepat untuk mengukur kinerja suatu bank. Tingkat profitabilitas bank syariah Indonesia merupakan yang terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap asset (ROA), baik untuk kategori bank yang full fledge maupun untuk kategori Bank Umum Syariah. Return on Asset (ROA) digunakan untuk mengukur profitabilitas bank karena Bank Indonesia sebagai Pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan asset yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank dan semakin baik posisi bank tersebut dari segi penggunaan asset. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ROA digunakan sebagai ukuran kinerja perbankan. Dipilihnya industry perbankan karena kegiatan bank sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian sector rill. Serta lebih dikhususkan pada perbankan syariah karena penelitian tentang profitabilitas bank syariah masih jarang dilakukan. Terdapat beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Lyla Rahma Adyani (2011) menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil uji hipotesis variabel CAR tidak berpengaruh signifikan positif terhadap profitabilitas (ROA) bank. Berdasarkan nilai koefisien regresi variabel CAR mempunyai koefisien arah yang positif, ini berarti peningkatan rasio tersebut menyebabkan kenaikan profitabilitass (ROA) bank. Sedangkan variabel NPF dan
7
BOPO mempunyai koefisien arah yang negatif, artinya peningkatan rasio tersebut menyebabkan penurunan profitabilitas (ROA) bank. Hal tersebut terlihat bahwa hanya dua variabel independen yaitu : NPF dan BOPO yang mempengaruhi ROA bank umum syariah selama periode penelitian. Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Dhika Rahma Dewi (2009). Menurut penelitian Muh. Sabir. M, Muhammad Ali dan Abd. Hamid Habbe (2012) menyimpulkan bahwa variabel NPF tidak berpengaruh terhadap ROA pada Bank Umum Syariah sedangkan variabel BOPO berpengaruh negative dan signifikan terhadap ROA pada Bank Umum Syariah di Indonesia. Rasio-rasio keuangan yang akan dibahas dalam penelitian ini yang mempengaruhi ROA adalah CAR, NPF dan BOPO. Variabel pertama adalah Capital Adequancy Ratio (CAR) mencerminkan modal sendiri perusahaan. Semakin besar CAR maka semakin besar ROA, karena dengan modal yang besar, manajemen bank sangat leluasa dalam menempatkan dananya kedalam aktivitas investasi yang menguntungkan. Varibel kedua adalah Non Performing Financing (NPF) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur pembiayaan bermasalah pada suatu bank. Pembiayaan bermasalah disini adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. NPF dijadikan variable yang mempengaruhi profitabilitas karena besarnya kredit bermasalah dibandingkan dengan aktiva produktifnya dapat mengakibatkan kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari kredit yang diberikan sehingga mengurangi laba dan berpengaruh negatif pada profitabilitas bank (Wibowo, 2013: 4). Semakin tinggi NPF maka semakin kecil ROA karena pendapatan laba perusahaan kecil. Variabel ketiga adalah Biaya
8
Operasional
Pendapatan
Operasional
(BOPO)
yang
merupakan
rasio
perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional. BOPO menunjukan kemampuan bank dalam menjalankan operasionalnya secara efisien. Jika BOPO meningkat maka semakin ROA bank akan menurun, karena bank tersebut menjalankan operasionalnya tidak efisien sehingga menyebabkan ROA menjadi menurun karena biaya operasional menjadi tinggi. Penelitian
ini
dilakukan
untuk
menguji
faktor-faktor
yang
mempengaruhi profitabilitas Bank Syariah di Indonesia tahun 2010 – 2013. Adapun variabel-variabel yang digunakan antara lain, variable permodalan yaitu CAR, variable kualitas aktiva diukur dengan NPF dan variable Biaya dan Pendapatan Operasional (BOPO). Profitabilitas diukur dengan ROA untuk mengetahui kinerja asset yang dimiliki bank syariah dalam memperoleh laba. Berdasarkan penelitian terdahulu serta latar belakang yang dikemukakan tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah di Indonesia (Studi kasus pada Bank Umum Syariah di Indonesia Periode Tahun 2011-2013)”.
9
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penyusunan penelitian ini penulis terlebih dahulu merumuskan masalah sebagai dasar kajian penelitian yang dilakukan, yaitu: 1. Apakah CAR berpengaruh terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia? 2. Apakah NPF berpengaruh terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia? 3. Apakah BOPO berpengaruh terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia?
C. Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengaruh CAR terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh NPF terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia. 3. Menganalisis pengaruh BOPO terhadap ROA Bank Umum Syariah di Indonesia.
10
2. Kontribusi Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Kontribusi praktik : hasil penelitian ini dapat dipraktikan atau digunakan untuk memperbaiki praktik yang ada dengan lebih baik. b. Kontribusi kebijakan : penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dibidang perbankan khususnya perbankan syariah dalam hal meningkatkan profitabilitas.