1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Di dalam pergaulan masyarakat setiap hari terjadi hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainya. Pergaulan tersebut menimbulkan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat menggerakkan peraturan
hukum.1
salah
satu
contoh
peristiwa
tersebut
adalah
penyalahgunaan narkoba. Narkoba berasal dari singkatan narkotika, psikotropika dan bahanbahan berbahaya lainya, disingkat dengan istilah ”narkoba” karena untuk mempermudah penyebutannya dan memudahkan orang berkomunikasi sehingga tidak menyebutkan istilah yang tergolong panjang. Masalah penyalahgunaan narkoba sudah menjadi masalah nasional maupun internasional yang tidak pernah henti-hentinya di bicarakan. Hampir setiap hari terdapat berita mengenai penyalahgunaan narkoba. Penggunaanya sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai narkoba khususnya anak sebagai generasi muda. Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang bekelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara. Sehingga sangat di perlukan adanya upaya pembinaan dan juga perlindungan
1
Chainur Arrasjid.2000. Dasar-Dasar ilmu hukum, PT Sinar Grafika, Jakarta, hlm 134
2
terhadap anak agar terhindar dari penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba yang di lakukan anak adalah merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum. adapun Faktor yang mempengaruhi narkoba yang di lakukan oleh anak biasanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri dan dari luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan juga pengaruh kehidupan emosionalnya yang berganti-ganti, rasa ingin tahu yang lebih dalam terhadap sesuatu yang baru, kadangkala membawa mereka ke dalam hal-hal yang negatif, apalagi ketika anak tersebut bergabung ke dalam lingkungan orangorang yang sudah menjadi pecandu narkoba. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkoba sendiri telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum, penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkoba, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdaganganya di masyarakat. Mengenai penegakan hukum pidana, dapat dilihat dari cara penegakan hukum pidana yang dikenal dengan sistem penegakan hukum atau criminal law enforcement sebagai bagian dari criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan. Penegakan hukum pidana sebagai bagian dari upaya
penanggulangan
penyalahgunaan
narkoba
berfungsi
untuk
memperbaiki suatu penyimpangan tingkah laku dari anak, agar anak tidak dengan mudah terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba, hal ini sebagai upaya untuk mencegah tidak semakin luasnya bahaya narkoba yang
3
mengancam masa depan anak, tentu dengan menggunakan aturan hukum yang baik sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat. Dalam penanggulangan kejahatan dibutuhkan dua sarana yakni penegakan hukum tanpa menggunakan sanksi pidana atau non penal dan menggunakan penal atau sanksi pidana. Tetapi bicara mengenai sanksi pidana bagi anak seringkali menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis baik secara yuridis, sosiologis maupun secara filosofis, terdapat dilema paradigmatis berkaitan dengan pendekatan yang dilakukan terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika. Secara yuridis, anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai pelaku tindak pidana. Tetapi secara konseptual, oleh karena penyalahgunaan narkotika masuk
kualifikasi
kejahatannya
sebagai crime
adalah
pelaku
whiteout
sendiri,
victim yang
maka
dalam
berarti hal
korban
terjadinya
penyalahgunaan narkotika yang menjadi korban (kejahatan) itu adalah pelaku. Dengan demikian, secara konseptual anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika, selain kualifikasinya sebagai pelaku, ia juga adalah korban. Kemudian masalah apakah kejahatan yang dilakukan oleh anak dengan latar belakang kenakalan dan karena perkembangan sikap mental yang belum stabil, harus diperlakukan sama dengan orang dewasa, Secara manusiawi harus dibedakan perlakuannya, sebab dilihat dari fisik dan pikirannya berbeda dengan orang dewasa. Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengangkatnya dalam skripsi
ini
dengan
judul
“PENANGGULANGAN
NARKOBA OLEH ANAK MELALUI HUKUM PIDANA”
PENYALAHGUNAAN
4
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana penanggulangan penyalahgunaan narkoba oleh anak dalam hukum pidana di Indonesia? b. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap anak yang terlibat penyalahgunaan narkoba?
3. Penjelasan Judul a. Definisi Penyalahgunaan Pengertian penyalahgunaan adalah menggunakan kekuasaan dan sebagainya tidak sebagaimana mestinya.2 Dengan menyalahgunakan sesuatu baik itu kekuasaan, atau benda seseorang ingin mendapatkan sesuatu
yang
menurut
mereka
dapat
menguntungkan
mereka.
Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan seseorang dapat diartikan sebagai menggunakan narkotika tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini
tentu
saja
penyalahgunaan
di
luar
narkotika
pengawasan di
dalam
seorang masyarakat
dokter.
Terjadinya
tentunya
sangat
mempengaruhi masyarakat itu sendiri. Pengaruh itu bisa berupa pengaruh terhadap ketenangan dalam masyarakat, pengaruh terhadap timbulnya kejahatan dalam masyarakat dan lain sebagainya. Demikian juga dengan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja dapat mempengaruhi keadaan dan lingkungan di sekitarnya, baik lingkungan keluarga, pergaulan atau masyarakat di tempat tinggal mereka. 2
Poerwadarmanto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. 1985. Hal 85
5
Dalam lingkungan keluarga dapat membuat orang tua cemas serta gelisah dengan keadaan anak dan dalam lingkungan pergaulan seseorang pecandu narkotika dapat mempengaruhi teman-temannya untuk mencoba narkotika. Sedangkan di dalam masyarakat terjadinya penyalahgunaan narkotika dapat menimbulkan kecemasan dan rasa takut bagi masyarakat tersebut
karena
dengan
adanya
penyalahgunaan
narkotika
dapat
menimbulkan kejahatan. Kejahatan tersebut dapat berupa pencurian, perampokan, pemerasan dan bahkan pembunuhan. Bagi mereka yang menyalahgunakan narkotika yang secara materi tergolong mampu mungkin tidak akan terlalu menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya tapi bagi mereka yang tidak mampu dapat menimbulkan kejahatan karena harga dari narkotika tergolong mahal, sehingga mereka akan berusaha untuk memenuhi ketergantungan mereka dengan cara apapun. b. Definisi Narkoba dan Penggolonganya Dalam asumsi masyarakat luas narkoba merupakan singkatan dari narkotika dan obat-obat berbahaya. Kedua kata ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebab semua obat-obat yang berbahaya cenderung di pahami sebagai obat yang mengandung narkotika. Berdasarkan surat edaran Badan Narkotika Nasional No.03 / IV /2002 / BNN 3. Bahwa istilah baku yang di pergunakan adalah narkoba, sebagai akronim dari narkotika, psikotropika dan bahan-bahan adiktif lainya. Di Indonesia, istilah narkotika berasal dari bahasa Inggris, narcotics yang berarti obat bius, yang sama artinya dengan kata narcosis dalam
3
http : // www.BNN.Org.id
6
Bahasa yunani artinya menidurkan atau membius. Arti narkotika secara umum adalah zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan, atau penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi susunan saraf pusat. Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 22 Tahun 1997 tentang narkotika, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sentetis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketrgantungan. Adapun pengolongan narkotika menurut lampiran UU No 22 Tahun 1997 adalah sebagai berikut : a. Narkotika golongan I Dalam lampiran UU No 22 Tahun 1997 di jelaskan yang di maksud narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat di gunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak di gunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatka ketergantungan. Narkotika golongan I berjumlah 26. b. Narkotika golongan II Dalam lampiran UU No 22 Tahun 1997 dijeaskan yang di maksud narkotika
golongan
II
adalah
narkotika
yang
berkhasiat
untuk
pengobatan yang di gunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat di gunakan dalam terapi / untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai
potensi
tinggi
Narkotika golongan II berjumlah 87.
mengakibatkan
ketergantungan.
7
c. Narkotika golongan III Dalam lampiran UU No 22 Tahun 1997 di jelaskan yang di maksud narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak di gunakan dalam terapi dan / tujuan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan
ketergantungan. Narkotika Golongan III berjumlah 14. Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang mengakibatkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku. Adapu penggolongan psikotropika dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997 adalah sebagai berikut : a. Psikotropika golongan I Dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997 di jelaskan yang di maksud psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat di gunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak di gunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan I berjumlah 26. b. Psikotropika golongan II Dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997 di jalskan yang di maksud psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat di gunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan II berjumlah 14.
8
c. Psikotropika golongan III Dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997 di jelaskan yang di maksud psikotropika golngan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak di gunakan dalam terapi dan / untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sidroma ketergantungan. Psikotropika golongan III berjumlah 9. d. Psikotropika golongan IV Dalam lampiran UU No 5 Tahun 1997 di jelaskan yang di maksud dengan psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas di gunakan dalam terapi dan / ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sidroma ketergantungan. Psikotropika golongan IV berjumlah 60. Menurut pasal I angka 12 UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, bahan atau zat adiktif adalah bahan yang penggunaanya dapat menimbulkan ketergantungan psikis. Yang termasuk dalam zat adiktif ini adalah a. Nikotin Nikotin terdapat dalam tembakau yang merupakan stimulant susunan saraf pusat. Penggunaan nikotin yang berlebihan dapat menimbulkan penyakit jantung koroner. b. Caffeine Caffeine adalah alkoholida yang terdapat dalam buah tumbuhan coffea liberika, coffea Arabica, dan coffea cnephora. Caffeine pada dasarnya menimbulkan rasa cemas dan akan mengakibatkan gangguan terhadap jantung dan pembuluh darah.
9
c. Minuman beralkohol Alkohol di peroleh dari fermentasi mikro bakteri terhadap karbohidrat, misalnya, bulir padi, singkong, anggur dan lain-lain yang menghasilkan
kadar
alcohol
ethanol,
sedangkan
penggolongan
minuman beralkohol adalah sebagai berikut : 1. Golongan A minuman beralkohol yang berkadar ethanol 1% - 5%, seperti bir bintang dan green sand. 2. Golongan B minuman beralkohol yang berkadar ethanol 5% - 20%, seperti anggur Malaga. 3. Golongan C minuman beralkohol yang berkadar ethanol 20% - 50%, seperti wisky, jenever, brandy. Undang – undang nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 ayat 1, narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Yang dimakud narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika,
apabila
penyalahgunaannya
dapat
menimbulkan
akibat
ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-
10
sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1 Narkotika. 1. Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. c. Definisi Anak Mengenai definisi anak sampai sekarang belum ada persamaan persepsi mengenai batasan umur anak atau di bawah umur dalam ketetapan yang berlaku di Indonesia. antara lain sebagai berikut : 1. Menurut pasal 1 angka (5) UU No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana, orang anak adalah seseorang yang belum berusia (18) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
11
2. Menurut pasal 1 angka (16) UU no 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ; anak adalah stiap orang yang berumur di bawah 15 ( lima belas ) tahun. 3. Menurut pasal 1 angka (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak ; anak adalah seseorang yang belum berusia (18) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4. Menurut pasal 1 angka (5) UU No 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah (18) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentinganya. 5. Menurut pasal 1 angka (1) UU No 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, anak adalah orang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Selanjutnya menurut pasal 1 angka (2) UU No 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, anak nakal adalah : a. Anak yang melakukan tindak pidana b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan 6. Menurut pasal 1 angka (2) UU No 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21(dua puluh satu) dan belum pernah kawin. 7. Menurut pasal 1 Kepres No 36 Tahun 1990 tentang pengesahan konvensi hak-hak anak, anak adalah setiap orang yang berusia di bawah
12
18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi yang di tentukan bahwa usia dewasa di tentukan lebih awal. 8. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara lain pada Pasal : Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun, yaitu : Pasal 45 berbunyi :Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman; atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 536, dan 540 dan perbuatan itu dlakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu peanggaran itu atau suatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu 9. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.
13
4. Alasan Pemilihan Judul Banyaknya kasus narkoba yang marak akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan, apalagi kasus yang terjadi banyak diantaranya dialami oleh anak, anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional yang perlu untuk di lindungi. Penyalahgunaan narkoba yang di lakukan anak merupakan suatu penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang pada akhirnya merugikan dirinya sendiri dan masa depan anak itu, banyak sekali akibat
yang
di
timbulkan
dari
penyalahgunaan
tersebut,
sehingga
penanggulangan sangat perlu untuk mengantisipasi meluasnya kasus narkoba yang di lakukan oleh anak. mengingat sudah ada aturan mengenai upayaupaya dalam menanggulangi narkoba tetapi masih ada saja bahkan semakin lama semakin meningkat. Inilah yang menjadi alasan penulis menulis skripsi ini untuk mengetahui bagaimana penanggulangan penyalahgunaan narkoba oleh anak dalam hukum pidana sekaligus bagaimana penerapan sanksi pidananya.
5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Tujuan Objektif 1. Untuk
mengetahui
bagaimana
penanggulangan
penyalahgunaan
narkoba oleh anak dalam hukum pidana di indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkoba oleh anak.
14
b. Tujuan Subjektif 1. Memperoleh data sebagai bahan utama penyusunan skripsi untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. 2. Mengembangkan dan memperluas aspek hukum dalam teori maupun praktek. 3. Memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. 4. Meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis peroleh selama berada di bangku kuliah.
6. Manfaat penelitian a. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian dapat di gunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana. 2. Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan dan dokumentasi ilmiah. b. Manfaat Praktis Bagi Penulis diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika.
7. Metode Penelitian Penelitian dalam karya ilmiah, merupakan bagian yang sangat penting,oleh karena itu untuk memperoleh penelitian yang bermutu, baik,
15
sistematis sekaligus dapat dipertanggungjawabkan, maka diperlukan metode penelitian tertentu sesuai dengan permasalahan di atas. a. Tipe Penelitian penelitian tersebut menggunakan tipe penelitian yang bertumpu pada telaah perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang berkaitan dengan pokok masalah yang di bahas dalam penelitian hukum tidak di kenal, variable bebas dan variable terikat, hipotesis, populasi dan sumpling, data dan teknik pengumpulan data, analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian hukum normatif yang akan memberikan jawaban bagaimana hukum yang seharusnya dan seyogyanya, bukan hukum yang senyatanya, dengan sumber penelitian berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang kemudian di analisa. b. Pendekatan Masalah Pendekatan yang di gunakan di dalam penelitian hukum ini normative adalah hukum perundang-undangan ( statute approach). Pendekatan perundang-undangan yaitu melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan lainya yang berlaku, yang berkaitan dengan pokok masalah yang di bahas. c. Bahan Hukum Objek penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer berbentuk peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum narkotika. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu bahan literatur berbentuk buku dan diktat-diktat yang membahas masalah hukum narkotika
16
d. Prosedur pengumpulan dan Pengolahan bahan hukum Adapun langkah yang di gunakan adalah pertama, melakukan pengumpulan
dan
menginventarisir
bahan-bahan
hukum
dengan
menggunakan studi kepustakaan, dengan bantuan daftar katalog dapat di ketahui bahan-bahan hukum yang pembahasanya menyangkut dengan pokok masalah yang di bahas ini. Langkah kedua adalah bahan-bahan yang sudah di kumpulkan di klasifikasi dengan cara memila-milah bahan hukum dan kemudian di susun secara sistematis agar mudah di pelajari dan di pahami. Langkah ketiga, dalam menganalisa bahan-bahan hukum di gunakan metode deduktif yaitu suatu metode penelitian yang di awali dengan menemukan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum dan kemudian di terapkan pada pokok masalah yang akan di bahas. Langkah ke empat, untuk sampai pada jawaban permasalahan yang akan di bahas, di gunakan penafsiran yang di dasarkan pada hubungan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya.
8. Sistematika Penulisan Di bawah ini adalah sistematika penulisan atau gambaran isi skripsi yang tersusun sebagai berikut : BAB I Pendahuluan. Dalam bab ini di uraikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini, permasalahan, penjelasan judul, alasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian, meliputi tipe penelitian, pendekatan masalah, bahan hukum, prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum, serta sistematika pertanggung jawaban.
17
BAB II Penanggulangan penyalahgunaan narkoba oleh anak dalam hukum pidana di indonesia. Pembahasan meliputi devinisi penyalahgunaan narkoba, dan upaya penanggulangan narkoba yang di lakukan terhadap anak. BAB III penerapan sanksi pidana dalam penyalahgunaan narkoba oleh anak, pembahasan meliputi devinisi pidana, ketentuan hukum yang berkaitan dengan anak, jenis-jenis sanksi pidana anak. BAB IV Penutup, merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari bagian kesimpulan dan bagian saran, bagian kesimpulan merupakan jawaban singkat terhadap permasalahan yang di rumuskan. Sedangkan bagian saran merupakan sumbangan pemikiran, masukan dalam khasanah hukum.
18
BAB II PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH ANAK DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA 1. Penyalahgunaan Narkoba Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya dan karena pengaruhnya tersebut sehingga narkoba banyak disalahgunakan. Sifat pengaruh pada narkoba adalah sementara sebab setelah itu akan timbul perasaan tidak enak. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak tersebut maka seseorang harus mengkonsumsi narkoba lagi, hingga terjadilah kecanduan atau ketergantungan. Walaupun memang tidak berlangsung seketika tetapi melalui rangkaian proses penyalahgunaan. Ketergantungan terhadap penyalahgunaan narkoba bagi anak dapat memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan berupa gangguan kejiwaan, jasmani dan fungsi soial. Berikut ini adalah dampak dari penyalahgunaan narkoba pada anak : a. Dampak fisik : 1. Gangguan
pada
system saraf
seperti
kejang-kejang,
halusinasi
gangguan kesadaran. 2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah, seperti gangguan peredaran darah dan infeksi otot. 3. Gangguan pada kulit, seperti alergi, penanahan. 4. Gangguan pada paru-paru, seperti kesukaran bernafas, penekanan fungsi pernafasan 5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
19
6. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian. b. Dampak Psikis 1. Lamban, ceroboh, sering tegang dan gelisah. 2. Hilang kepercayaan diri dan sering menghayal. 3. Tingkah laku menjadi brutal dan kasar. 4. Sulit berkonsentrasi, perasaan cepat marah dan tertekan. 5. Cenderung menyakiti diri, perasaan selalu tidak aman bahkan bunuh diri. c. Dampak Sosial 1. Gangguan mental, anti sosial dan di kucilkan oleh lingkungan. 2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga. 3. Pendidikan menjadi terganggu. 4. Masa depan menjadi suram.
2. Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan anak sebagai generasi muda, oleh sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas. Marjono Reksodiputro merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika ini akan diawali dengan upaya preventif dan preemtif, yaitu berupa pencegahan / penangkalan / pengendalian) atau non penal yang kemudian
20
dilanjutkan dengan upaya “penal” atau dengan upaya repressive (penindasan / pemberantasan / penumpasan) sesudah tindak pidana narkotika itu terjadi. 2.1 Penaggulangan secara non penal Sebelum kita mengetahui lebih jauh apa saja penanggulangan narkoba dalam hukum pidana kita bahas terlebih dahulu upaya penanggulangan di luar hukum pidana di mana aturan tersebut tidak terdapat dalam hukum pidana, karena lebih condong kearah pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Kebijakan non penal terhadap upaya penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika penting dilakukan sedini mungkin sebab mencegah tentunya lebih baik dari pada mengobati", dalam arti bahwa upaya pencegahan lebih baik, murah, dan lebih hemat biaya dari pada upaya lainnya. Selain itu juga menjadi upaya strategis untuk meniadakan resiko. Kebijakan non penal dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika perlu dilakukan terhadap anak. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa anak seringkali dijadikan sebagai target bagi jaringan narkotika untuk menggunakan atau mengedarkan narkotika, apalagi dengan jiwa muda mereka yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkait dengan kebijakan non penal ini maka Muhammad Joni dan
Zulchaina
Tanamas
setidaknya
merekomendasikan
beberapa
alternatif untuk menangani masalah anak yakni: a. Merumuskan program aksi nasional untuk perlindungan anak dan penegakan hak-hak anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah,
21
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan lembaga yang konsern lainnya. b. Melakukan kampanye nasional perlindungan anak sebagai upaya membangkitkan penyadaran masyarakat (public awareness rising) terhadap masalah yang melanda anak-anak. c. Membentuk
lembaga
khusus
yang
bekerja
untuk
memberikan
perlindungan anak-anak. d. Melakukan kajian dan pengembangan masalah anak, hukum anak dan perangkat pendukung penegakan hak-hak anak. e. Melakukan pengembangan sumber daya manusia dan penguatan lembaga (capacity building) khususnya lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan masalah anak dan hak-hak anak.4 Permasalahan psikologis oleh anak juga dapat menjadi pemicu penyalahgunaan narkotika oleh anak. Oleh sebab itu komunikasi antara orang tua, guru, lingkungan sosial dengan anak perlu dilakukan dengan optimal. Kebijakan non penal juga dapat dilakukan dengan penyuluhan, tatap muka dan pengedaran pamflet untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selain itu di perlukan sosialisasi pada tingkat desa atau kelurahan yang ditujukan kepada warga desa atau kelurahan
maupun
beranggotakan
para
secara
khusus
pemuda
di
kepada
desa
atau
Karang
Taruna
kelurahan
yang
setempat.
Pendekatan juga bisa dilakukan pada tokoh agama dan tokoh adat agar dapat mengawasi dan memberikan panutan bagi generasi muda. 4
Muhammad Joni dan Zulchaina Tanamas, 1999, Aspek Hukum Perlindungan anak dalam Perspektif Kovensi Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 4-5.
22
2.2 Penanggulangan Secara penal (hukum pidana) Kebijakan penanggulangan dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undangundang pidana merupakan bagian integral dari kebijakan perlindungan masyarakat serta merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai
kesejahteraan
masyarakat
dan
sekaligus
mencakup
perlindungan masyarakat.5 a. Undang-Undang Narkotika Dalam Undang – undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika menunjukkan adanya upaya-upaya dalam memberikan efek psikologis kepada masyarakat agar tidak terjerumus dalam tindak pidana narkotika, telah ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yang sangat mengancam ketahanan, keamanan nasional di Indonesia. Mengenai perbuatan apa yang dikriminalisasikan dapat dilihat pada ketentuan pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika meliputi: 1. Perbuatan
tanpa
hak
atau
melawan
hukum
menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
5
Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta, hal. 22
23
2. Perbuatan
menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon. 3. Perbuatan
tanpa
hak
atau
melawan
hukum
memiliki,
menyimpan,menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman. 4. Perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan NarkotikaGolongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram. 5. Perbuatan
tanpa
hak
atau
melawan
hukum
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. 6. Perbuatan
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor,
atau
menyalurkan Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5
(lima) gram. 7. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. 8. Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram.
24
9. Perbuatan
tanpa
hak
atau
melawan
hukum
membawa,
mengirim,mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. 10. Perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram. 11. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. 12. Perbuatan
penggunaan narkotika terhadap
orang
lain
atau
pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 13. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. 14. Perbuatan
perbuatan
memiliki,
menyimpan,
menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 15. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. 16. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 17. perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II. 18. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
25
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 19. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. 20. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. 21. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain. 22. Perbuatan penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 23. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. 24. Perbuatan
perbuatan
memiliki,
menyimpan,
menguasai,
menyediakan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 25. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. 26. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
26
beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III. 28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. 30. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. 31. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain. 32. Perbuatan
penggunaan
Narkotika
tehadap
orang
lain
atau
pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen. 33. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap penyalahguna berupa Narkotika Golongan I bagi diri sendiri; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri; dan Narkotika Golongan III bagi diri sendiri 34. Perbuatan yang dilakukan oleh Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor. 35. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan
mengekspor,
atau
Narkotika; menyalurkan
memproduksi, Prekursor
mengimpor,
Narkotika
untuk
pembuatan Narkotika; menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
27
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. 36. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa
dengan
ancaman,
memaksa
dengan
kekerasan,
melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana. 37. Perbuatan dimana Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri. 38. Perbuatan dimana keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika. 39. Perbuatan dari pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 40. Perbuatan
yang
menempatkan,
membayarkan
atau
membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan,
menginvestasikan,
menyimpan,
menghibahkan,
mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika; menerima penempatan,
pembayaran
atau
pembelanjaan,
penitipan,
penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan
28
atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. 41. Perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan 42. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 atau Pasal 28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 43. Perbuatan dimana Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 44. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik
BNN
yang
tidak
melaksanakan
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 45. Perbuatan Kepala kejaksaan negeri yang melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
29
46 Perbuatan dimana Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum. 47. Perbuatan berupa saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan. 48. Perbuatan
dimana
pimpinan
rumah
sakit,
pusat
kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk
kepentingan
pengembangan
ilmu
pengetahuan;
atau
pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu ada juga kebijakan yang penting dalam ketentuan pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu: 1. Untuk
melindungi
Narkotika
masyarakat
dari
bahaya
penyalahgunaan
dan mencegah serta memberantas peredaran gelap
30
Narkotika, diatur mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undangundang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. 2. Diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan narkotika. 3. Untuk
lebih
mengefektifkan
pencegahan
dan
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota.
Dalam
Undang-Undang
ini,
BNN
tersebut
ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
BNN
berkedudukan
di
bawah
Presiden
dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai
instansi
vertikal,
yakni
BNN
provinsi
dan
BNN
kabupaten/kota. BNN dalam melaksanakan upaya penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika mempunyai tugas : - menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
31
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - berkoordinasi Indonesia
dengan dalam
Kepala
Kepolisian
pencegahan
Negara
dan
Republik
pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; - memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - memantau,
mengarahkan,
dan
meningkatkan
kegiatan
masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun
internasional,
guna
mencegah
dan
memberantas
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; - mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika. - melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor Narkotika; dan - membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
32
4. Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan
pelaksanaan
pencegahan
dan
pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial. 5. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih. Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. 6. Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. 7. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi
33
anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. b. Undang-Undang Psikotropika Pada tanggal 11 maret 1997 pemerintah mengundangkan undang-undang no 5 tahun 1997 tentang psikotropika yang di undangkan dalam lembaran Negara RI No 3671 yang mulai berlaku sejak di undangkan. Pembentukan undang-undang ini tidak dapat di lepaskan dari adanya konvensi-konvensi sebagai berikut : 1. Konvensi Psikotropika 1971(Convention on psychotropic substances 1971) yang di ratifikasi dalam undang-undang No 8 1996 2. Konvensi
pemberantasan
peredaran
gelap
Narkotika
dan
psikotropika 1988 ( Coventiont against illicit trafict in narcotic drugs and psychotropic substances 1988) yang di ratifikasi dalam undangundang no 7 tahun 1997. 6 Dalam undang-undang psikotoprika secara khusus mengatur ketentuan pidana berjumlah 14 pasal, pada Bab XIV pasal 59 sampai pasal 72 di mana seluruh perbuatan-perbuatan yang di ancam dengan hukuman pidana merupakan kejahatan (pasal 68).
6
Hari Sasangka. 2003, Narkotika Dan Pikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm 12
34
Tindak pidana di bidang psikotropika antara lain berupa meproduksi, Atau mengedarkan secara gelap maupun penyalahgunaan psikotropika.7 Dari seluruh tindak pidana yang diatur dalam undang-undang psikotropika di lihat dari
segi perbuatanya maka dapatlah di
kelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1. kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika di atur dalam pasal 59 ayat (1) huruf b, pasal 59 ayat (2) dan ayat (3), pasal 60 ayat (1). 2. Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika yang di atur dalam pasal 59 ayat(1) huruf c, dan pasal 60 ayat (2), ayat (3). 3. Kejahatan yang menyangkut eksport dan import psikotropika yang di atur dalam 59 ayat (1) huruf d, pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 63 ayat (1). 4. Kejahatan yang menyangkut eksport dan import psikotropika yang di atur dalam 59 ayat (1) huruf d, pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), dan pasal 63 ayat (1). 5. Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika yang di atur dalam pasal 59 ayat (1) huruf e, pasal 62 ayat (1) huruf a. 6. Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika yang di atur dalam pasal 59 ayat (1) huruf a. 7. Kejahatan
yang
menyangkut
pengobatan
dan
rehabilitasi
psikotropika yang diatur dalam pasal 64. 8. Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika yang diatur
7
Gatot Supramono. 2004, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm 65
35
dalam pasal 63 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c. 9. Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika yang di atur dalam pasal 63 ayat (1) huruf b dan huruf c. 10. Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika yang di atur dalam pasal 65. 11. Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika yang di atur dalam pasal 66. 12. Kejahatan yang pemusnahan psikoropika yang di atur dalam pasal 63 ayat (2) huruf d. Selain mengatur tentang jenis-jenis kejahatan di bidang psikotropika undang-undang psikotropika ini juga mengatur tentang pembantuan dan percobaan pasal (69), pemufakatan jahat yang di perberat ( pasal 71 ayat 2), hukuman terhadap korporasi pasal 70, serta hukuman yang di perberat terhadap residivis (pasal 72).
36
BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK YANG TERLIBAT PENYALAHGUNAAN NARKOBA 1. Pengertian Pidana Dan Sanksi Pidana Sejatinya ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan.8 Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”. 9 Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana, Sebagai pengertian khusus, masih juga ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.10 Menurut Moeljatno,11 istilah “hukuman” yang berasal dari kata “Straf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Moeljatno mengungkapkan jika “straf” diartikan “hukum” maka strafrechts” seharusnya diartikan hukuman”. Menurut 8
“hukum
beliau seseorang yang “dihukum” atau menjalani
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, ( Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005), hal 98 9 Subekti dan Tjitrosedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradya Paramita, 1980), hal 83 10 Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan Pemidanaan di Indonesia (Jakarta Ghalia Indonesia, 1983) 11 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni 1948, hal
37
hukuman berarti ” diterapi hukum”, baik itu hukum pidana maupun hukum perdata. Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.12 Menurut Alf Ross pidana adalah merupakan tanggung jawap sosial di mana terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum yang dibuat. Tanggung jawab untuk menegakkan aturan dilaksanakan oleh lembaga yang mengatas namakan penguasa. Selanjutnya Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat melainkan agar jangan berbuat kejahatan lagi.13 Pengertian Sanksi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman, dsb) untuk memaksa orang menepati perjanjian dan menaati ketentuan perundang-undangan, sedangkan menurut Terminologi Hukum Pidana, sanksi pidana adalah akibat hukum terhadap pelanggaran ketentuan pidana yang berupa pidana dan/atau tindakan.14
2. Ketentuan Hukum Yang Berkaitan Dengan Anak 2.1 Perlindungan Anak Di dalam undang-undang perlindungan anak ini terdapat beberapa pasal mengenai perlindungan terhadap anak baik sebagai pelaku maupun sebagai korban kejahatan. bagian ke lima pada bagian khusus pasal 59
12
Muladi dan Brda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana Op Cit, hal 2 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1978 hlm 5 14 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta 2008 hal 138 13
38
Dinyatakan bahwa : “ pemerintah dan lembaga lainya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara seksual, anak yang di perdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat-zat adiktif lainya, anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik maupun mental, anak yang menyandang cacat, anak korban perlakuan salah dan penelantaran“ Sedangkan dalam pasal 64 ayat (1) memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menjadi pelaku atau yang sedang konflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Adapun yang termasuk dalam perlindungan khusus yang di berikan kepada anak pelaku tindak pidana menurut pasal 64 ayat (2) adalah sebagai berikut : a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak b. penyediaan petugas perlindungan c. penyediaan sarana dan prasarana khusus d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan Anak yang berhadapan dengan hukum f.
pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi Di dalam undang-undang 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pemerintah telah mengatur tentang ketentuan pidana yaitu yang terdapat dalam pasal 77 sampai dengan pasal 90. Apabila di perinci maka
39
ketentuan pidana dalam undang-undang ini ditijau dari perumusan sanksi pidana
(strafsoort) menggunakan perumusan jenis-jenis komulatif
alternatif, sedangkan segi lamanya sanksi pidana maksimum (strafmaat) menggunakan system pidana maksimum dan system batas minimum / maksimum lamanya pidana. 15 2.2 Hak-Hak Anak Yang Berlawanan Dengan Hukum Hak tersangka meliputi: Hak untuk mendapatkan surat perintah penahanan atau penahan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (2) KUHAP); Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (3) KUHAP); Hak untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat(7) KUHAP); hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagai tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai
tindakan perlindungan
terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan) : hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik mental, dan sosial atau penyimpangan
perilaku
sosial;
hak
didahulukan
dalam
proses
pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan. Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, 15
Lilik Mulyadi. 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Djambatan Jakarta, hlm 77
40
membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemeriksaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum. Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), Hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP) Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku:
a. Hak mendapatkan penjelasan dengan jelas mengenai apa yang di dakwakan kepadanya . (Pasal 51 (b) KUHAP)
b. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasehat selama persidangan ( pasal 54 KUHP)
41
c. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya. (Pasal 56 ayat (1) (2), pasal 57 ayat (1), pasal 58, pasal 60 KUHAP)
d. Hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapa saja dan dalam bentuk apapun yang dapat mempengaruhi mental. (Pasal 117 ( 1) KUHAP)
e. Hak untuk menyatakan pendapat. ( Pasal 52 KUHAP) f. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (Pasal 95 ayat (1) KUHAP)
g. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai
manusia
seutuhnya. (Pasal 97 ayat (1) KUHAP)
h. Hak akan persidangan tertutup demi kepentinganya. (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) Pengembanan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu keluarga, masyarakat, penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak.16
16
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung. PT Refika Aditama. 2010, hlm 113
42
2.3 Pengadilan Anak Pengadilan anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, seimbang. Oleh karenanya, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak dilakukan secara khusus. Meskipun demikian, hukum acara yang berlaku (KUHAP) diterapkan pula dalam acara pengadilan anak, kecuali ditentukan lain dalam UU Pengadilan Anak, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 40 UU Pengadilan Anak. a. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Anak Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Pengadilan Anak yakni Pengadilan Anak adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilan umum. Meskipun sebagai pengadilan khusus, pengadilan anak tetap dalam lingkungan pengadilan umum. Hal itu sesuai dengan ketentuan pasal 25 Undang-Undang No 48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan
Kehakiman
yang
menegaskan
lingkungan
peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara dan mahkamah konstitusi. Pada setiap badan tersebut memiliki kekuasaan dan wewenang masing-masing dalam tugasnya menyelesaikan perkara. Mengenai tugas dan kewenangan pengadilan anak (sidang anak) ketentuan Pasal 3 UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa sidang
anak
bertugas
dan
berwenang
memeriksa,
memutus,
menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam Undangundang. Ketentuan Pasal 21 menegaskan bahwa sidang anak
43
berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dalam hal perkara anak nakal. Pada prinsipnya, tugas dan kewenangan pengadilan anak sama dengan pengadilan perkara pidana lainnya. Meski prinsipnya sama, namun yang tetap harus diperhatikan ialah perlindungan anak merupakan tujuan yang utama. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus dan harapan keluarga. Di situlah letak pentingnya pengadilan anak sebagai salah satu sarana bagi perlindungan anak yang terganggu keseimbangan mental dan sosialnya sehingga menjadi anak nakal. b. Kekhususan Pengadilan Anak Ketentuan mengenai penyelenggaraan Pengadilan anak secara khusus, diatur dalam UU No 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. Garis besar kekhususan pengadilan anak antara lain sebagai berikut : 1. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1). 2. Aparat penegak hukum yang berperan dalam proses peradilan anak yaitu Penyidik adalah Penyidik Anak, Penuntut Umum adalah Penuntut Umum. 3. Anak, Hakim adalah Hakim Anak hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir (5), (6) dan (7).
44
4. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasehat Hukum serta petugas lainnya dalam sidang anak tidak memakai toga atau pakaian dinas hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6. 5. Untuk melindungi kepentingan anak pada prinsipnya pemeriksaan perkara anak dilakukan dalam sidang tertutup. Kecuali dalam hal tertentu dapat dilakukan dalam sidang terbuka, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas dan pemeriksaan perkara ditempat kejadian perkara hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2). 6. Pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan hanya yang ditentukan dalam UU Pengadilan Anak hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22. 7. Ketentuan pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana/anak nakal sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak, antara lain sebagai berikut : a) Pidana penjara dapat di jatuhkan paling lama 1/2 ( satu per dua ) dari ancaman pidana bagi orang dewasa. b) Apabila melakukan tindak pidana yang di ancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup maka pidana penjara yang dapat di jatuhkan paling lam 10 (sepuluh) tahun. c) Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang di ancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka anaka nakal tersebut di jatuhi tindakan. d) menyerahkan
kepada
Negara
pembinaan dan latihan kerja.
untuk
mengikuti
pendidikan
45
e) Apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang di ancam pidana mati atau tidak diancam pidana seumur hidup maka anak tersebut di jatuhi salah satu tindakan. f) Pidana kurungan yang dapat di jatuhi paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum amcaman pidana kurungan
bagi orang
dewasa. g) Pidana denda yang di jatuhi palin lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. h) Apabila pidana denda tidak dapat di bayar maka diganti dengan wajib latihan kerja dan lama latihan kerja paling lama 90 hari dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak di lakukan pada malam hari. i) Pidana bersyarat dapat di jatuhkan oleh hakim paling lama 2 tahun. c. Ketentuan Umur Pengertian anak nakal ini ada dua kelompok, UU Pengadilan Anak telah merumuskan anak nakal dalam ketentuan Pasal 1 butir (2) yaitu sebagai berikut : 1. Anak yang melakukan tindak pidana; atau 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan hukum lain yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu tolak ukur pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal adalah umur. Dalam hal itu, masalah umur merupakan masalah
46
yang penting bagi terdakwa untuk diajukan dalam sidang anak Umur dapat berupa umur minimum maupun umur maksimum. Masalah umur tentunya juga harus dikaitkan dengan saat melakukan tindak pidana. Sehubungan masalah umur, ketentuan Pasal 4 UU Pengadilan Anak menetapkan sebagai berikut : a. Batas umur anak nakal yang dapat diajukan sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. b. Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke sidang anak. Pernyataan di atas menegaskan bahwa batas umur anak nakal minimum adalah 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin. Sedangkan maksimum untuk dapat diajukan ke sidang anak adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun, asalkan saat melakukan tindak pidana belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Tetapi jika tersangka belum berumur 8 (delapan) tahun, maka dengan tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah dan demi kepentingan/perlindungan anak maka UU Pengadilan Anak, Pasal 5 menentukan sebagai berikut :
47
a. Jika anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemerikaan oleh penyidik. b. Apabila penyidik berpendapat bahwa anak tersebut masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya maka Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada kedua orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. c.Jika penyidik berpendapat bahwa anak tersebut tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
3. Jenis-Jenis Sanksi Pidana Anak Berlakunya Undang-Undang Nomor.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat dengan UU Pengadilan Anak) antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud anak. Undang-undang ini berlaku lexspecialis terhadap KUHP, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dengan adanya UU Pengadilan Anak, menjadi acuan pula dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru berhubungan dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian, tidak akan terjadi tumpang tindih atau saling bertentangan. UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Yang dimaksud anak nakal adalah :
48
a. Anakyang melakukan tindak pidana, atau b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Apabila kita kaitkan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan maka status anak nakal tersebut berdasarkan putusan pengadilan dapat sebagai anak pidana atau anak negara. Disebut anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembagapermasyarakatan (LP) anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Kemudian sebagai anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LP anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Menurut UU Pengadilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Berdasarkan pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Anak diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal. a. Pidana Pokok Ada beberapa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, yaitu: 1. Pidana penjara, 2. Pidana kurungan, 3. Pidana denda, atau 4. Pidana pengawasan.
49
b. Pidana Tambahan Seperti telah disebutkan bahwa selain pidana pokok maka terhadap anak nakal dapat juga dijatuhi pidana tambahan yang berupa : 1. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau 2. Pembayaran ganti rugi. c. Tindakan Beberapa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah : 1. Mengembalikan kepada orang tua asuh.
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau 3. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan pelatihan kerja. Selain tindakan tersebut, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk
melapor
secara
periodik
kepada
pembimbing
kemasyarakatan
didasarkan pada penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU Pengadilan Anak. Penjatuhan tindakan oleh Hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, menurut peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan.
50
Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) tahun sampai 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapaN belas) tahun dijatuhkan
pidana.
Hal
itu
dilakukan
mengingat
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
4. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Penerapan sanksi pidana bagi anak memang tidak lain adalah untuk memberikan pembinaan kepada anak itu sendiri dan memberikan efek jera, Tetapi penerapan sanksi pidana terhadap anak juga mempunyai pengaruh negatif terhadap pembinaan anak, meliputi: a. Dehumanisasi Yaitu proses pengasingan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap mantan
narapidana
(anak).
Dehumanisasi
hakikatnya
merupakan
penolakan terhadap kehadiran seorang mantan narapidana baik secara psikis maupun secara sosiologis. Dengan demikian, dehumanisasi akan menempatkan mereka dalam keterasingan terhadap lingkungannya. b. Stigmatisasi Stigmatisasi pada dasarnya merupakan pemberian label atau cap jahat kepada mereka yang pernah mengalami penerapan pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan. Dalam konteks masyarakat, stigmatisasi tidak dapat dihindarkan, mengingat kultur masyarakat yang tidak begitu bersahabat dengan mantan narapidana. Stigmatisasi oleh masyarakat justru seringkali menjadi social punishment yang jauh lebih berat ketimbang pidana yang diberikan oleh lembaga pengadilan, sebab
51
stigmatisasi biasanya berlangsung dalam waktu yang cukup lama, bahkan seumur hidupnya. Untuk hal tersebut maka diperlukan konsep pemidanaan yang lebih humanis namun demikian, tidak berarti pidana penjara adalah sanksi yang paling tepat bagi anak, Bagi anak seharusnya kebijakan untuk melihat permasalahan justru lebih dipentingkan. Apalagi apabila dilihat dari sudut ilmu Kriminologi,
bahwa
anak-anak
yang
melakukan
kenakalan
lebih
dilatarbelakangi oleh pengaruh lingkungan Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanaan pidana atau tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan sosial. Mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya merugikan , dan perlu memperhatikan dasar etis bagi pemidanaan, yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan. Maka terhadap kasus penyalahguna narkoba akan lebih bijak kalau memberikan
putusan berupa rehabilitasi
Inilah yang menjadi tujuan
penjatuhan pidana yang sebenarnya bagi pengguna narkoba, agar sanksi yang dijatuhkan lebih bermanfaat bagi mereka bukan sanksi yang berupa pembalasan. karena ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Dalam hukum positif Indonesia, hak untuk mendapat rehabilitasi hanya diperuntukkan bagi pengguna yang telah kecanduan dalam mengkonsumsi
52
narkoba, artinya hanya bagi pecandu saja yang seharusnya berdasarkan undang-undang untuk mendapatkan hak rehabilitasi. Namun memperhatikan apa yang dikehendaki oleh masyarakat umum (melalui Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Badan Narkotika sendiri mengharapkan bahwa terhadap pemula-pun seharusnya mendapatkan hal yang sama. Usaha yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang mencita-citakan pengguna penyalahguna narkoba mendapatkan hak rehabilitasi, ternyata kemudian mendapatkan dukungan dari Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 7 tahun 2009 yang menyatakan bahwa memutuskan vonnis dalam bentuk rehabilitasi bagi para pengguna penyalahguna narkoba Dalam Surat Edaran tersebut, Ketua Mahkamah Agung menyatakan bahwa sebagian besar dari narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah termasuk katagori pemakai atau bahkan sebagai korban. Jika diilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya adalah orang yang menderita sakit. Oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan dan juga setelah mempertimbangkan kondisi lembaga pemasyarakatan yang ada saat ini tidak mendukung serta dampak negatif keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana psikotropika dan narkotika.17 Ada beberapa landasan pemikiran yang melatarbelakangi seorang pengguna narkoba mendapatkan hak untuk direhabilitasi, yaitu : 1. Bahwa setiap korban berhak atas hak-haknya sebagai korban 17
Badan Narkotika Nasional, Surat Edaran Mahkamah Agung Pemakai Narkoba Perlu Dirahabilitasi Bukan Di penjara. Jurnal BNN, Edisi 2 Tahun 2009
53
2. Bahwa hak atas pemulihan korban salah satunya adalah hak rehabilitasi 3. Bahwa istilah rehabilitasi adalah istilah yang sudah umum digunakan bila menyangkut pada pemulihan/reparasi korban, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum internasional. 4. Bahwa istilah rehabilitasi yang digunakan sebagai salah satu hak pemulihan dari korban baik dalam hukum nasional maupun dalam hukum internasional, dari definisi yang ada tidak ditemukan indikasi pelemahan hak-hak korban dan ataupun penurunan derajat korban sebagai manusia, justru sebaliknya
pengertian rehabilitasi yang ada secara substansial
adalah dalam upaya menjunjung harkat dan martabat korban sebagai manusia.18 Dengan rehabilitasi ini anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukanya untuk mengakhiri harapan juga potensi masa depannya.
18
I Wayan “gendo” Suardana, Urgensi vonnis Rehabilitasi Terhadap Korban Napza di Indonesia, Http: //www. che gendovara Blog Archive