BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Goodenough, kebudayaan masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui dan diyakini manusia agar bertindak dengan satu cara yang dapat diterima oleh anggota masyarakat, agar dapat berperan sesuai dengan peran yang diterima anggota masyarakat dan pengetahuan ini diperoleh secara sosial (Wardaugh, 1986: 211 dalam Sibarani, 2004: 3). Melihat pernyataan Goodenough di atas, kebudayaan tidak dimiliki secara personal oleh seseorang dalam kelompok etnisnya, melainkan secara zusammen (bersama-sama). Berkenaan dengan perilaku ini, kemudian dikenal dua jenis kebudayaan menurut Ralp Linton dalam Sibarani (2004: 6) yakni covert culture (kebudayaan inti yang tersimpan dalam diri manusia) seperti nilai budaya, ide, dan norma serta overt culture (kebudayaan luar) seperti tindakan berpola dan wujud benda hasil karya manusia. Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat didengarkan verbalnya (overt culture) dan dapat dilihat non verbalnya serta dipahami secara implisit (covert culture) makna di dalam sistem kognisinya. Bahasa yang pada kenyataannya berfungsi sebagai alat komunikasi manusia, dimana pemakaiannya bukan saja dilihat dari segi struktur melainkan dari segi konteks pemakaiannya. Di sinilah wacana menemukan arti kebermaknaannya dalam bidang linguistik.
1
2
Alat komunikasi bagi masyarakat tutur di daerah Bima ialah nggahi (bahasa) Mbojo, dimana bahasa merupakan sarana mengungkapkan ide, gagasan, dan maksud yang ingin disampaikan oleh masyarakat tutur bahasa Mbojo. Alat komunikasi ini dapat berupa lambang atau simbol bahasa, baik tulis maupun lisan membentuk satu kesatuan yang utuh yang disebut wacana. Demikian pula dengan wacana, dapat dibedakan menjadi dua yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Yang termasuk wacana lisan bisa berupa pidato, ceramah, khotbah, siaran berita, tembang, dan lain-lain. Sedangkan wacana tulis bisa berupa surat kabar, majalah, buku-buku, teks, koran naskah kuno dan lain sebagainya (Sumarlam, 2003: 15). Di sini lirik Rawa (nyanyian) Mbojo termasuk ke dalam salah satu contoh jenis wacana lisan, karena dinyanyikan oleh satu orang atau lebih dan didengarkan oleh penikmat lagu/penonton Rawa Mbojo. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan antara lain; pertama, masih minimnya penelitian akademis tentang Bima dari segi bahasa, khususnya tentang wacana yang berobjekkan lirik Rawa Mbojo. Hal ini tercermin dari terbatasnya referensi yang terkait. Kedua, sedikitnya jumlah pemain dan peminat rawa mbojo yang berasal dari kalangan anak muda. Mengingat generasi muda sebagai penerus tradisi Mbojo yang seharusnya dapat mewarisi tradisi ini sebagai sebuah tradisi lisan dou (orang) Mbojo yang utuh dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dijunjung oleh kelompok etnisnya. Ketiga, ketertarikan atau rasa suka penulis terhadap rawa mbojo menambah keyakinan dan semangat untuk memilih topik ini menjadi tesis penulis.
3
Rawa Mbojo dengan berbagai jenis iramanya merupakan nyanyian yang sifatnya tradisi. Sangat disayangkan jika nyanyian ini punah ditelan jaman. Kehilangan nyanyian ini berdampak buruk terutama bagi orang Mbojo. Karena sebagian kebudayaan yang terekam lewat bahasa ikut terbawa banjir era globalisasi. Oleh karena itu, penelitian ini di samping membahas wacana dalam lirik Rawa Mbojo juga dapat membantu mendokumentasi dan merevitalisasi kembali tradisi lisan yang dimiliki dou Mbojo.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas didapatkan empat rumusan masalah, yaitu: a.
Bagaimanakah unsur-unsur pembentuk Wacana Rawa Mbojo?
b.
Bagaimanakah struktur Wacana Rawa Mbojo?
c.
Bagaimanakah kohesi dan koherensi Wacana Rawa Mbojo?
d.
Aspek kebahasaan apa sajakah yang menjadi ciri khas pada wacana Rawa
Mbojo?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, diperikan empat tujuan penelitian ini: a. Untuk mendeskripsikan unsur-unsur pembentuk Wacana Rawa Mbojo. b. Untuk mendeskripsikan struktur pembentuk Wacana Rawa Mbojo. c. Untuk mendeskripsikan kohesi dan koherensi pada Wacana Rawa Mbojo. d. Untuk mendeskripsikan aspek kebahasaan apa saja yang menjadi ciri khas dalam wacana Rawa Mbojo.
4
1.4
Manfaat Penelitian Terdapat dua manfaat yang dapat disumbangkan dari penelitian ini, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat praktis Secara praktis dapat dimanfaatkan oleh pembaca dalam memahami isi wacana Rawa Mbojo. Selain itu juga dapat memotivasi generasi Mbojo agar mau membuka pikiran mereka untuk mengetahui keadaan dan menghargai Rawa Mbojo serta agar menyadari perannya sebagai penentu pelestarian atau penentu kematian Rawa Mbojo.
1.4.2 Manfaat teoritis Penelitian ini dapat memberi sumbangan untuk teori-teori linguistik, khususnya teori wacana dalam bahasa Mbojo, sehingga dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini. Selain manfaat yang tersebut di atas, dapat juga sebagai dokumentasi mengenai Rawa Mbojo yang juga merupakan warisan budaya lisan atau tradisi lisan yang dimiliki oleh orang Mbojo.
1.5
Tinjauan Pustaka Kajian mengenai bahasa Mbojo tampaknya belum banyak dilakukan, terutama
yang terkait dengan linguistik pragmatik dan wacana, beberapa tulisan yang sudah
5
ada antara lain: Studi Linguistik Komparatif Historis Antara Bahasa Bima dan Komodo (Fernandes, 1995), Fonologi Bahasa Bima (Tama, 1996), Struktur Bahasa Donggo (Sunihati dkk, 1997). Tulisan lama karya Fernandes (1995) mencoba melihat kedekatan bahasa mbojo atau Bima dengan bahasa Komodo yang digunakan dan tersebar di seberang pulau Sumbawa tempat orang Bima bermukim. Sedangkan tulisan I Wayan Tama (1996) mencoba mendeskripsikan fonologi bahasa mbojo. Yang cukup membingungkan adalah tulisan Sunihati dan kawan-kawannya (1997) yang kurang secara tegas membedakan bahasa mbojo dialek donggo (pegunungan) dengan bahasa mbojo dialek Raba (pesisir). Sedangkan yang terkait dengan kajian wacana bahasa mbojo dalam sebuah nyanyian, sejauh pengamatan penulis, juga belum ada. Oleh karena itu, kajian tentang wacana dapat meninjau pada tulisan Silowati (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Bahasa Jawa dalam Sepuluh Lirik Lagu Campur Sari Karya Didi Kempot (suatu tinjauan kohesi dan koherensi)” yang menitikberatkan pada bentuk (kohesi) baik aspek gramatikal maupun leksikal serta koherensinya. Tambahan lain tentang kajian wacana yang membahas ciri khas lagu dapat melihat tulisan Sumarlam, dkk (2004) dalam bukunya yang berjudul “Analisis Wacana Iklan, Lagu, Puisi, Cerpen, Novel, Drama”. Penelitian ini pada dasarnya lebih menitikberatkan pada aspek gramatikal dan leksikal. Meskipun demikian, setidaknya ada sedikit tulisan pengantar tentang Rawa Mbojo yang ditulis oleh M. Hilir Ismail (1996) yang menjadi bahan ajar di sekolah dasar di Bima. Oleh karena sifatnya hanya pengantar di sekolah dasar,
6
tulisan ini tidak memberikan pembahasan yang lebih detil mengenai ciri, karakter ataupun wacana dari rawa mbojo. Selain itu terdapat pula beberapa tulisan yang masih berkaitan dengan Rawa Mbojo ini, yaitu yang pertama buku tentang struktur dan isi pantun Bima yang ditulis oleh Anwar Hasnun (2004); kedua, buku yang berjudul Makna dan Fungsi Puisi Bima dikarang oleh Anwar Hasnun juga pada tahun 2008; dan buku ketiga yang berjudul Patu Mbojo (2014) yang ditulis oleh Ahmad Badrun yang diangkat dari disertasinya. Tulisan Hasnun yang pertama (2004) memberikan gambaran umum tentang bentuk dan isi dari pantun mbojo, sedangkan yang kedua (2008) lebih memberikan penjelasan pantun mbojo dari segi makna dan fungsi di dalam masyarakat. Begitu juga dengan Badrun (2014) yang memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan tulisan sebelumnya, hanya lebih detil dan lengkap mengenai pantun atau patu mbojo. Jika dilihat ketiganya, tampaknya mereka menyamakan arti dan posisi antara patu mbojo dengan rawa mbojo. Ketiga tulisan ini pun membahas rawa mbojo dari sudut pandang sastra dan mencoba membuat generalisasi makna pada rawa mbojo. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memposisikan diri menjadi usaha memahami proses produksi rawa mbojo dan pemaknaannya dalam sebuah konteks peristiwa atau wacana. Tulisan ini pun mencoba memberikan deskripsi yang lebih rinci mengenai rawa mbojo dan patu mbojo. Posisi penelitian ini lebih fokus pada kajian linguistik dan melihat rawa mbojo secara konkret.
7
1.6
Landasan Teori
1.6.1 Wacana Menurut Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata ana yang merupakan sufiks yang berarti ‘membedakan’ (nominalisasi). Sehingga kata wacana berarti tuturan, ucapan, perkataan. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana. Cukup banyak para ahli bahasa yang telah memberikan pengertian mengenai wacana yang antara lain: Tarigan (1987: 27) mengatakan bahwa wacana ialah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis. Menurut Moeliono (1988: 334) mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Di samping itu, wacana juga berarti satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf atau karangan utuh (buku), yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1984: 208). Dari semua penjelasan itu setidaknya terdapat beberapa hal penting yang menjadi bagian dari wacana yaitu bahwa (1) wacana merupakan satuan bahasa yang strukturnya lebih besar dan lengkap dan (2) bentuknya bisa tulisan
8
ataupun lisan. Selain itu, (3) yang terpenting adalah tetap terjaganya makna dari awal hingga akhir. Dalam konteks rawa mbojo, wacana pun memakai bahasa mbojo seharihari. Tapi yang menarik adalah rawa mbojo ini dapat diterapkan pada penerapan pemakaian dialog, monolog bahkan kedua-duanya. Di dalam Mulyana (2005: 47-63) terdapat pengelompokkan wacana, baik dari bentuk wacana, media penyampaian, jumlah penutur, isi, sifat wacana, gaya dan tujuan wacana. Menurut Robert E. Longacre dalam Mulyana (2005: 47) membagi wacana berdasarkan bentuknya menjadi 6 (enam) jenis, yaitu: wacana naratif, prosedural, ekspositori, hartatori, espitoleri, dramatik. Kemudian hasil ini dikembangkan oleh Wedhawati dalam Mulyana (2005: 47) yakni dengan menambah satu jenis wacana lagi, yaitu wacana seremonial. Berdasarkan media penyampaiannya, wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu wacana tulis dan
wacana
lisan.
Berdasarkan
jumlah
penuturnya,
wacana
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) wacana monolog dan (2) wacana dialog. Berdasarkan sifatnya, wacana dapat digolongkan menjadi dua, yaitu wacana fiksi dan non fiksi. Berdasarkan isinya, wacana dapat dipilah menjadi 8 (tujuh) jenis, yaitu (1) wacana politik, (2) wacana sosial, (3) wacana ekonomi, (4) wacana budaya, (5) wacana militer, (6) wacana hukum, (7) wacana kriminalitas, (8) Wacana Olahraga dan Kesehatan.
Berdasarkan gaya dan
tujuannya, wacana digolongkan ke dalam satu jenis wacana yaitu wacana iklan.
9
1.6.1.1 Unsur-Unsur Wacana Wacana memiliki dua unsur, yaitu unsur internal dan unsur eksternal. Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkaitan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana merupakan bagian dari wacana juga hanya saja tidak terlihat secara eksplisit. Unsur eksternal wacana merupakan pelengkap wacana. Kehadirannya berperan dalam mengutuhkan wacana. Unsur-nsur eksternal ini berupa implikatur, presuposisi, referensi, inferensi dan konteks. Menurut Anton M. Moeliono (1988: 336) dan Samsuri (1987: 4) dalam Mulyana (2005: 23), konteks terdiri atas beberapa hal, yakni situasi, partisipan, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, kode dan saluran. Dalam kajian sosiolinguistik, Dell Hymes dalam Mulyana (2005: 23) merumuskan ihwal faktor-faktor penentu peristiwa tutur tersebut, melalui akronim SPEAKING, yaitu: a.
Setting and Scene (Latar)
b.
Participants (Peserta)
c.
Ends (hasil)
d.
Act Sequences (Amanat)
e.
Key (Cara)
f.
Instrumentalistis (Sarana)
g.
Norm (Norma)
h.
Genre (Jenis)
Unsur-unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud dengan satuan kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk
10
menjadi susunan yang lebih besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung membentuk wacana (Mulyana, 2005: 7). Kata atau kalimat yang berkedudukan sebagai wacana harus memiliki makna yang lengkap, informasi dan konteksnya jelas untuk mendukung sebuah tuturan yang utuh. Memahami sebuah teks harus diturutkan juga konteks yang menyertainya. Jika salah dalam memahami konteks, maka pemahaman makna dalam teks tersebut juga akan terhambat. Paduan inilah yang disebut wacana.
1.6.1.2 Struktur Wacana Struktur wacana dalam Nababan (1999: 29) yang dikutip dari pendapat Sinclair dan Colthard meliputi: (1) unsur-unsur wajib, (2) unsur-unsur pilihan, (3) runtunannya, (4) yang dibandingkan satu sama lain, dan (5) unsur pengulangan. Unsur wajib adalah unsur yang wajib hadir dalam wacana, unsur pilihan merupakan unsur yang
mungkin hadir dan mungkin tidak,
sedangkan unsur pengulangan adalah unsur atau seperangkat unsur yang kehadirannya lebih dari satu kali dalam satu wacana. Kemudian struktur ini disingkat hanya menjadi struktur awal, struktur tengah, dan struktur akhir
1.6.1.3 Sarana Keutuhan Wacana Dalam usaha untuk memantapkan makna maka perlu memperhatikan unsurunsurnya baik pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan makna (koherensi). Kohesi terdiri dari kohesi gramatikal (referensi, subtitusi, ellipsis dan konjungsi) dan kohesi leksikal (repetisi, sinonim, antonim, kolokasi, hiponim dan
11
ekuivalensi). Sedangkan yang kedua, koherensi terdiri dari kaitan unit semantik lewat penafsiran dengan diluar teks (konteks) atau dengan kata lain mereferensi fungsi kepragmatisan bahasa sebagai alat komunikasi (Tarigan, 1987). Beberapa bentuk hubungan koherensi telah dideskripsikan oleh para ahli. D’Angelo (dalam Tarigan, 1987: 105) menyatakan bahwa yang termasuk unsurunsur koherensi wacana di antaranya mencakup: unsur penambahan, repetisi, pronomina, sinonim, totalitas-bagian, komparasi, penekanan, kontras, simpulan, contoh, paralelisme, lokasi-anggota dan waktu.
1.6.2 Tradisi lisan 1.6.2.1 Folklor : Nyanyian Rakyat Menurut Brunvand dalam Danandjaja (1986:141) menyatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Nyanyian rakyat dapat dibedakan ke dalam dua jenis nyanyian yaitu nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya dan nyanyian rakyat yang sesungguhnya (Brunvand dalam Danandjaja, 1986: 145-146). Nyanyian rakyat yang tidak sesunggguhnya dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu proto folksong atau wordless folksong (nyanyian rakyat yang bersifat permulaan, nyanyian rakyat yang liriknya jika dibandingkan dengan lagunya, tidak penting, atau sebaliknya), near song (nyanyian rakyat yang liriknya lebih menonjol daripada lagunya). Selanjutnya nyanyian rakyat yang tergolong nyanyian rakyat
12
yang sesungguhnya dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu nyanyian rakyat yang berfungsi, nyanyian rakyat yang bersifat liris, dan nyanyian rakyat yang bersifat berkisah. Nyanyian rakyat yang berfungsi tergolong dalam beberapa sub kategori, yaitu nyanyian kelonan, nyanyian kerja dan nyanyian permainan. Nyanyian rakyat yang bersifat liris terdiri dari sub kategori nyanyian yaitu nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya dan nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya dan yang terakhir ialah nyanyian rakyat yang berkisah tergolong ke dalam kategori balada dan epos. Berkiblat pada teori ini, Rawa Mbojo yang dikaji ialah Rawa Mbojo yang tergolong nyanyian rakyat yang sesungguhnya. Melihat bahwa folklor merupakan sebuah payung dari tradisi lisan atau yang bisa disebut juga dengan tradisi budaya, mempunyai ciri yang harus dimilikinya sebagai berikut: (1) merupakan kegiatan budaya, kebiasaan atau kebudayaan berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan; (2) memiliki kegiatan atau peristiwa sebagai konteks penggunaannya; (3) dapat diamati dan ditonton; (4) bersifat tradisional; (5) diwariskan secara turun temurun; (6) proses penyampaiannya dari mulut ke telinga; (7) mengandung nilai-nilai dan norma budaya; (8) memiliki versi-versi; (9) milik bersama komunitas tertentu; (10) berpotensi direvitalisasi dan diangkat sebagai sumber industri budaya (Sibarani, 2012: 43-46).
13
1.6.3 Kebudayaan : Sistem Pengetahuan Kebudayaan yang dipakai dalam studi ini adalah kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk ‘perceiving’ dan ‘dealing with circumstances’, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ada. Secara tidak langsung ini mencerminkan bahwa tindakan atau ucapan manusia mempunyai berbagai ragam makna bagi pelakunya atau orang lain. Dari makna-makna tersebut diusahakanlah pengungkapan tema-tema budaya yang ada di dalam masyarakat tertentu (Spradley dalam Ahimsa-Putra, 1985). Pernyataan di atas dapat diasumsikan bahwa makna suatu simbol dapat dipahami dengan menangkap hubungan antar simbol atau dengan kata lain bahwa terdapat hubungan semantik yang sifatnya universal. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah dibutuhkan usaha pemahaman yang mendalam (klasifikasi dan eksplanasi), tidak dengan model perbandingan. Diharapkan dengan pemahaman yang mendalam mengenai makna sebuah fenomena realitas, peneliti dapat mendapatkan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Semacam pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem masyarakat yang lain (Ahimsa-Putra, 1985: 110). Dalam konteks penelitian ini, dengan mengungkap makna – makna yang tersirat dan tersurat dari lirik rawa mbojo mantoi yang dipertunjukkan sebagai bagian dari perayaan tradisi orang mbojo, pembaca dapat mengetahui dan memahami sistem pengetahuan lokal orang mbojo secara umum.
14
1.7
Metode Penelitian Dalam kasus ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan teknik
dasar dan teknik lanjutan, teknik dasarnya ialah teknik pancing. Sedangkan teknik lanjutannya ialah menggunakan teknik Cakap Bertemu Muka pada beberapa informan kunci. Informannya ialah para penyanyi dan pemusik Rawa Mbojo. Dalam mengumpulkan data dilakukan pula dengan teknik Simak, sebagai teknik dasarnya ialah teknik Sadap dan teknik lanjutannya ialah teknik Simak Libat Cakap. Selain teknik-teknik di atas yang digunakan untuk mengumpulkan data, peneliti juga menggunakan metode observasi partisipatoris untuk mengumpulkan data tentang praktik dan tradisi pementasan Rawa Mbojo. Selanjutnya menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Perekaman menggunakan digital recorder dan handycam. Yang direkam ialah nyanyian (Rawa) Mbojo yang dipentaskan para penyanyi dan pemusik rawa Mbojo. Teknik catat menggunakan kartu data. Teknik catat dilakukan sembari teknik rekam dilakukan karena dikhawatirkan ketika di lapangan teknik rekam tidak dapat dilaksanakan atau karena ada hal yang kurang jelas saat teknik rekam berlangsung. Teknik catat juga dilakukan untuk melihat respon penonton atau situasi pada saat Rawa Mbojo berlangsung. Pencatatan data ini menggunakan transkripsi ortografis. Teknik analisis data ialah menggunakan metode agih atau distribusional dan metode padan. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis unsur bahasa secara internal, yakni penanda kohesi wacana lirik Rawa Mbojo. Sedangkan
15
metode padan digunakan untuk menganalisis unsur eksternal yang alat penentunya berada di luar bahasa seperti halnya koherensi dan konteks (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menggunakan metode informal dan formal. Metode informal ialah metode penyajian data dengan menggunakan kata-kata agar mudah dipahami. Sedangkan metode formal menggunakan pola gambar dan tanda-tanda, seperti tanda kurung biasa ( ( ) ), tanda garis miring (/), tanda pelesapan ( ), tanda untuk mengungkapkan tuturan atau ungkapan yang tidak gramatikal ( * ) dan tanda untuk menyatakan terjemahan dari satuan lingual yang disebut sebelumnya ( ‘ ‘ ).
1.8 Sistematika Penyajian Pada Bab I berisikan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II berisikan tentang penjelasan sedikit tentang tiga matra kebudayaan orang Bima, yaitu dana (tanah), dou (orang) dan nggahi (bahasa). Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan tentang Rawa Mbojo yang merupakan hasil dari ketiga matra tersebut. Bab III kemudian membahas unsur – unsur pembentuk dan struktur wacana rawa mbojo dan aspek kebahasaan yang menjadi ciri khas pada rawa mbojo. Bab IV membahas tentang kohesi dan koherensi Bab V berisikan kesimpulan