BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ada dua terjemahan resmi atas istilah Intellectual Property Rights (IPR), yaitu hak milik intelektual atau hak atas kekayaan intelektual. Hal ini dapat terlihat dari GBHN 1993 maupun GBHN 1998 yang menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights dengan hak milik intelektual. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 menerjemahkan istilah Intellectual Property Rights (IPR) dengan hak atas kekayaan intelektual. 3 Namun untuk selanjutnya dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan istilah Hak atas Kekayaan Intelektual (yang disingkat HKI) sebagai terjemahan dari Intellectual Property Rights. Karena sebagaimana dikemukakan oleh Saidin 4, yang menjadi objek dari hak kekayaan intelektual adalah benda yang tidak berwujud berupa hak (benda immaterial). Seseorang yang memiliki hak kekayaan intelektual tidak mudah diketahui secara langsung, dikarenakan seseorang tidak menguasai obyeknya secara nyata. Sedangkan hak milik lebih ditujukan pada penguasaan sesuatu benda (objek) secara fisik dan nyata.
3
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 1. 4 Saidin, 1997, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 7.
HKI sudah dikenal sejak lama untuk melindungi hasil kreativitas manusia dan perdagangan. Pada awalnya berlaku pada merek dagang yang telah berlangsung sejak 3500 tahun yang lalu, ketika para perajin gerabah menjadikan suatu tanda (merek) tertentu dari hasil kerajinannya tersebut. 5 Tidak ada pemahaman tunggal di seluruh dunia tentang HKI. Definisi HKI sudah banyak dikemukakan oleh para penulis, tetapi pada umumnya lebih banyak berisi paparan tentang jenis-jenis HKI, seperti hak cipta, paten, merek dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan varietas baru tanaman. 6
Tim Lindsey dkk. 7 juga mengemukakan bahwa HKI sulit untuk
didefinisikan. Uraian mengenai HKI secara umum dapat digambarkan secara umum. Sebagai contoh, HKI melindungi merek (sebagai contoh nama dan/atau simbol yang digunakan oleh sebuah perusahaan), yang telah dikembangkan oleh perusahaan untuk melambangkan reputasi mereka dan menempatkannya dalam pasar. Jika orang lain menggunakan merek tersebut, konsumen mungkin berpikir bahwa mereka sedang membeli sesuatu yang dibuat oleh perusahaan yang telah menemukan merek tersebut. Ini berarti bahwa perusahaan yang telah menciptakan merek yang bersangkutan dapat menderita kerugian. Hukum HKI mengizinkan perusahan untuk menuntut orang-orang yang telah meniru merek mereka tanpa izin.
5
Candra Irawan, 2011, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia Kritik terhadap WTO/TRIPs Aggreement dan Upaya Membangun Hukum Intelektual demi Kepentingan Nasional, Mandar Maju, Bandung, hlm. 43. 6 Ibid. 7 Tim Lindsey, et.al. (ed), 2006, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, hlm. 2.
Namun secara sederhana HKI dapat diartikan sebagai suatu hak yang timbul bagi hasil pemikiran yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia atau hak bagi seseorang karena ia telah membuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Prinsipnya setiap orang harus memperoleh imbalan bagi kerja kerasnya. 8 Menurut Zaeni Asyhadie 9, HKI adalah hasil pemikiran, kreasi dan desain seseorang yang oleh hukum diakui dan diberikan hak atas kebendaan sehingga hasil pemikiran, kreasi dan desain tersebut dapat diperjualbelikan, sehingga seseorang yang memiliki hak kekayaan intelektual dapat diberikan royalti atau pembayaran oleh orang lain yang memanfaatkan atau menggunakan hak kekayaan intelektualnya tersebut. Menurut Sudaryat dkk. 10, HKI merupakan hak untuk menikmati hasil kreativitas intelektual manusia secara ekonomis. Oleh karena itu, objek yang diatur dalam HKI adalah karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. Abdul R. Saliman 11 mengemukakan HKI adalah hak-hak hukum yang diperoleh dari aktivitas intelektual di bidang industri, ilmu pengetahuan dan seni, yang meliputi hak dalam bidang seni (hak cipta), hak kepemilikan industri (desain industri, paten, merek, rahasia dagang, tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis dan varietas tanaman).
Menurut Agus
Sarjono 12, HKI identik dengan komersialisasi karya intelektual, sedangkan Tim
8
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk Beluknya, Jakarta, Esensi, hlm. 2. 9 Zaeni Asyhadie, 2014, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 215. 10 Sudaryat, et.al, 2010, Hak Kekayaan Intelektual, Memahami Prinsip Dasar, Cakupan, dan Undang-Undang yang berlaku, Oase Media, Bandung, hlm. 1. 11 Abdul R. Saliman, 2014, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 131. 12 Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung , hlm. 6.
Lindsey. dkk 13 menyatakan HKI berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang memiliki nilai komersial. Sebagai kekayaan pribadi, maka HKI dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya. Dalam HKI, kreativitas merupakan produk pemikiran atau aset intelektual (intellectual assetsi) yang berupa ideas, inventions, and creative expressions. Negara memberikan status atas hasil dari produk pemikian manusia tersebut melalui institusi hak sebagai wujud perlindungannya yang disebut Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights). 14 Berbicara mengenai perlindungan, pemikiran perlunya perlindungan terhadap sesuatu hal yang berasal dari kreativitas manusia, yang diperoleh melalui ide-ide manusia sebenarnya telah mulai ada sejak lairnya revolusi industri di Perancis. Perlindungan mengenai hak atas kebendaan yang diatur dalam hukum perdata yang berlaku saat itu dianggap tidak memadai, terlebih lagi dengan mulai maraknya kegiatan perdagangan internasional. Hal itulah yang kemudian melahirkan konsep perlunya suatu ketentuan yang bersifat internasional yang dapat melindungi kreativitas manusia tersebut. 15 Dalam kerangka hukum HKI, terdapat dua kategori utama hak yang dilindungi. Kategori pertama yaitu hak cipta dan hak-hak yang terkait dengan hak cipta beserta program
komputer dan database. Kategori kedua berupa hak
kekayaan industri (industrial property rights) yang meliputi hak atas paten, 13
Tim Lindsey, et.al, op.cit, hlm. 3 Titon Slamet Kurnia, 2011, Perlindungan Hukum terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, hlm. 106. 15 Gunawan Widjaya, 2001, Seri Hukum Bisnis Rahasia Dagang, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17. 14
merek, indikasi geografis, varietas tanaman, desain industri, desain tata letak/sirkuit terpadu dan rahasia dagang. Dengan demikian salah satu hak dalam HKI yang perlu mendapat perlindungan hukum adalah merek. Karena merek adalah properti dan hukum berfungsi untuk melindungi properti. 16 Pada hakikatnya, merek merupakan produk
dari proses/kegiatan
intelektual manusia, karena merek merupakan hasil pemikiran dan kecerdasan manusia yang dapat berbentuk penemuan. Walaupun level dari proses/kegiatan intelektual untuk menghasilkan sebuah merek sebagai tanda dengan daya pembeda yang jelas digunakan dalam kegiatan perdagangan barang/jasa lebih rendah dibandingkan misalnya dengan kegiatan invensi untuk memperoleh paten (sehingga kemudian disimpulkan bahwa merek tidak murni kreasi intelektual) tetap saja untuk menghasilkan sebuah merek dibutuhkan suatu proses/kegiatan intelektual, sehingga juga tidak terlampau keliru ketika menyimpulkan bahwa merek merupakan perwujudan dari proses/kegiatan intelektual yang dapat dilakukan manusia. Karena berkaitan erat dengan persoalan proses/kegiatan intelektual manusia yang hasilnya adalah merek, tanda yang memiliki daya pembeda yang jelas untuk digunakan dalam kegiatan perdagangan barang/jasa, adalah tepat pula jika hak atas merek kemudian dimasukkan ke dalam kategori HKI yang memperoleh perlindungan dari negara. 17
16
Titon Slamet Kurnia, op.cit, hlm. 104. Ibid. hlm. 106.
17
Merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengindentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran. 18 Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena publik sering mengaitkan suatu imej, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan aset riil perusahaan tersebut. 19 Merek sebagai salah satu bagian dari HKI memiliki peranan yang sangat penting karena dengan menggunakan merek atas barang-barang yang diproduksi, dapat membedakan asal-usul mengenai produk barang dan jasa. Merek juga digunakan dalam dunia periklanan dan pemasaran karena menurut Eddy Damian 20, publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi barang dan jasa dengan merek tertentu dimana merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial, dan karena adanya merek tersebut, dapat membuat harga-harga suatu produk menjadi mahal bahkan lebih bernilai dibandingkan dengan perusahaan yang memproduksinya. Merek berguna untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan, merek mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini disebabkan
oleh
fungsi
merek
itu
sendiri
untuk
membedakan
dalam
memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda. Pendaftaran suatu merek yang terdaftar 18
Tim Lindsey, et.al., hlm. 131. Ibid. 20 Ibid. 19
dalam Daftar Umum Merek (DUM), berarti telah dapat diterapkan salah satu strategi pemasaran, yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen, dimana kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi, merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek mempunyai kualitas yang baik dan dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar. Bahkan persepsi terhadap merek merupakan gengsi bagi kalangan tertentu. Gengsi seseorang terletak pada barang dan jasa yang digunakannya dengan alasan yang sering muncul adalah karena kualitas, bonafiditas, atau investasi sehingga merek sudah menjadi gaya hidup. Merek juga dapat membuat seseorang menjadi percaya diri atau bahkan menentukan kelas sosialnya. Beragamnya merek-merek produk yang ditawarkan produsen kepada konsumen menjadikan konsumen fanatik terhadap merek-merek tertentu. Sebab konsumen dihadapkan pada berbagai macam pilihan, bergantung kepada daya beli atau kemampuan konsumen. Dimana masyarakat menengah ke bawah dalam menggunakan barangbarang merek terkenal dengan cara membeli barang palsunya. Walaupun barangnya palsu, imitasi, dan bermutu rendah, tidak menjadi masalah asalkan dapat membeli barang yang mirip dengan merek barang terkenal. Tujuan bagi pemilik merek dalam menggunakan merek atas barang-barang produksinya adalah untuk memantapkan pertanggungjawaban pihak produsen atas kualitas barang yang diperdagangkan selain itu dimaksudkan untuk mengawasi batas-batas teritorial perdagangan suatu jenis barang tertentu dengan merek tersebut, nilai suatu barang menjadi penting di mata konsumen. Oleh sebab itu,
suatu produk tanpa identitas atau merek maka dapat dipastikan akan menemui kesulitan dalam pemasaran, karena dengan merek merupakan ”penjual awal” bagi suatu produk untuk dijual kepada konsumen. Para konsumen biasanya untuk membeli produk tertentu dengan melihat dari mereknya, karena menurut konsumen bahwa merek yang dibeli berkualitas tinggi dan aman untuk dikonsumsi sebagai reputasi dari merek. Merek merupakan suatu basis dalam perdagangan modern di era perdagangan bebas saat ini. Dikatakan demikian, karena merek dapat menjadi dasar perkembangan perdagangan modern yang ruang lingkupnya mencakup reputasi penggunaan merek, lambang kualitas, standar mutu, sarana menembus segala jenis pasar, dan diperdagangkan dengan jaminan guna menghasilkan keuntungan besar. Terdapatnya merek dapat lebih memudahkan konsumen membedakan produk yang akan dibeli oleh konsumen dengan produk lain sehubungan dengan kualitasnya, kepuasan, kebanggaan, maupun atribut lain yang melekat pada merek. Tahapan suatu merek dari suatu produk menjadi sebuah merek yang dikenal oleh masyarakat konsumen dan menjadikan merek itu sebagai aset perusahaan adalah tahapan yang sangat diharapkan oleh pihak produsen maupun pemilik merek, tahapan ini disebut sebagai ekuitas merek. Setelah suatu perusahaan mencapai tahapan yang menjadikan merek dikenal luas oleh masyarakat konsumen, dapat menimbulkan terdapatnya para kompetitor yang beritikad tidak baik untuk melakukan persaingan tidak sehat dengan cara peniruan, pembajakan, bahkan mungkin dengan cara pemalsuan produk bermerek
dengan mendapatkan keuntungan dagang dalam waktu yang singkat. Apabila terjadi pemalsuan terhadap merek di Indonesia, maka perdagangan tentunya tidak akan berkembang dengan baik dan akan semakin memperburuk citra Indonesia sebagai pelanggar HKI. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk tertentu. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek selanjutnya disebut UU Merek disebutkan pengertian merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek dapat dibedakan atas dua jenis yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasajasa sejenis lainnya. Merek tidak lain dapat berupa nama, simbol, tanda, desain atau gabungan di antaranya untuk dipakai sebagai identitas suatu perorangan, organisasi atau perusahaan pada barang dan jasa yang dimiliki untuk membedakan dengan produk jasa lainnya. Merek dagang, kemasan, logo, dan slogan adalah aset perusahaan yang harus dilindungi, bukan saja karena semuanya itu dihasilkan lewat proses kreatif,
melainkan karena semuanya itu merupakan ciri yang dipakai konsumen untuk mengenali suatu produk. 21 Merek perlu dilindungi karena merupakan kekayaan immaterial yang dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang tinggi atau bernilai mahal. Hal ini dapat terjadi apabila digunakan untuk memasarkan suatu produk tertentu. Kualitas tingginya suatu produk ditandai oleh merek terkenal yang melekat pada barang dagangan. Terhadap merek tersebut harus didaftarkan untuk memperoleh landasan dan kekuatan hukum suatu merek yang beredar di pasaran. Merek dapat dilindungi apabila merek tersebut didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual selanjutnya disebut Dirjen HKI. Demikian pula dalam perjanjian TRIPs yang ditandatangani Indonesia dan juga dalam UU Merek disebutkan bahwa merek terdaftar memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak ketiga yang tanpa seizin dan sepengetahuan pemilik merek tersebut untuk memakai merek yang sama untuk barang dan/atau jasa yang telah didaftarkan terlebih dahulu, namun perlindungan hukum terhadap merek terdaftar tersebut bukan merupakan jaminan, adakalanya apabila terdapat cukup alasan-alasan, pendaftaran merek di Dirjen HKI dapat dihapus atau dibatalkan. Merek harus didaftar dengan itikad baik. Jika seseorang mencoba mendaftarkan sebuah merek yang disadarinya sebagai merek milik orang lain atau serupa dengan milik orang lain, merek tersebut tidak dapat didaftarkan. Persyaratan itikad baik juga berarti bahwa untuk dapat didaftarkan, sebuah merek 21
Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 73.
harus digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dalam perdagangan barang dan atau jasa. Jika sebuah merek diajukan di Indonesia oleh seseorang yang tidak bermaksud memakai merek tersebut dan bertujuan untuk menghalangi pihak lain masuk ke pasar lokal, atau menghambat pesaing memperluas jaringan bisnisnya, merek tersebut tidak dapat didaftarkan di Indonesia. 22 Prinsip-prinsip yang penting yang dijadikan sebagai pedoman berkenaan dengan pendaftaran merek adalah perlunya itikad baik (good faith) dari pendaftar. Berdasarkan prinsip ini, hanya pendaftar yang beritikad baiklah yang akan mendapat perlindungan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa Dirjen HKI di Indonesia berkewajiban secara aktif untuk menolak pendaftaran merek bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu merek yang didaftar atas dasar itikad tidak baik. Dalam perspektif Undang-undang Merek, pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. Itikad
tidak
baik
dari
peniru
setidak-tidaknya
patut
diketahui
unsur
kesengajaannya dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal. 23 Dalam hal ini Dirjen HKI sebagai pihak yang berwenang harus berpedoman kepada ketentuan Pasal 4 UU Merek yang menentukan bahwa merek
22
Tim Lindsey, op.cit., hal. 141. Pasal 4 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.
23
tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik (bad faith). Secara tepat itikad baik yang dijadikan dasar utama dari sistem per-merekan. Jika seorang telah berhasil mendaftarkan mereknya tetapi dia melakukan itu dengan tidak beritikad baik, maka dapat dibatalkan. Dengan tegas disebutkan dalam Undang-undang Merek bahwa pendaftaran hanya dapat dilakukan atas permintaan dari pemilik merek yang beritikad baik. Penerapan itikad tidak baik dalam pendaftaran merek dijadikan sebagai alasan pembatalan merek menurut Undang-undang Merek, bertujuan untuk mengetahui adanya penerapan persamaan pada pokoknya dan itikad tidak baik dalam suatu gugatan pembatalan pendaftaran merek. Alasan terjadinya suatu pembatalan pendaftaran merek yang didasarkan pada persamaan pada pokoknya dan itikad tidak baik serta hal-hal yang dibuktikan pada persamaan pada pokoknya sama dengan yang dibuktikan pada itikad tidak baik dalam suatu gugatan pembatalan terhadap pendaftaran merek. Perbuatan beritikad tidak baik yang merupakan pelanggaran Pasal 4 Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, sebenarnya merupakan tindakan curang untuk membonceng merek yang sudah terkenal atau sesuatu yang sudah banyak dikenal masyarakat luas, sehingga dengan menggunakan merek yang demikian, suatu produk ikut menjadi dikenal di masyarakat. Sudah tentu perbuatan ini tidak sesuai dengan etika intelektual yang telah diatur dengan undang-undang. Suatu hasil karya orang lain tidak dapat ditiru begitu saja, tetapi terlebih dahulu harus dengan izin pemiliknya, suatu merek yang dihapus karena adanya pengajuan gugatan keberatan oleh pihak lain selain
pemilik merek, masih ada perlindungan hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik merek yang keberatan mereknya dihapus. Dalam hal adanya itikad tidak baik dari pemohon pendaftaran merek, maka menjadi suatu persoalan hukum yang penting untuk diteliti.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, ditemukan tiga pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana pelaksanaan azas itikad baik dalam pendaftaran merek menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek? 2. Kendala-kendala apa yang timbul dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, khususnya yang menyangkut pendaftaran merek harus diajukan oleh pemohon yang beritikad baik dan cara menanggulanginya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini sebagaimana perumusan masalah di atas adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan azas itikad baik dalam pendaftaran merek menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala apa yang timbul dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek,
tentang azas itikad baik dalam pendaftaran merek yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat dijadikan bahan rujukan ataupun dapat diketahui perbedaannya dibandingkan dengan penelitian ini. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan, penulis menemukan 3 (tiga) penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan. Berikut ini akan penulis sajikan penelitianpenelitian dimaksud sebagai perbandingan dengan penelitian yang penulis lakukan sendiri, yaitu : Pertama, penelitian yang dilakukan oleh SARJIMAN 24 dengan judul penelitiannya “Gugatan Penghapusan Merek Terhadap Merek Terdaftar Yang Didaftarkan Atas Dasar Itikad Buruk” dan permasalahan yang diteliti tentang prosedur tuntutan penghapusan terhadap merek yang terdaftar yang didaftarkan bukan atas dasar itikad baik dan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan penghapusan merek terdaftar yang didaftar; Penelitian yang dilakukan Sarjiman tersebut, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : -
Bahwa prosedur dalam mengajukan gugatan di Pengadilan Niaga pada prinsipnya sama, kecuali dalam hal upaya hukum ada perbedaan, dimana upaya hukum di Pengadilan Negeri dikenal dengan adanya upaya hukum banding, sedangkan di Pengadilan Niaga tidak dikenal upaya hukum banding.
-
Bahwa dalam perkara gugatan penghapusan merek terdaftar yang didaftarkan atas dasar itikad buruk yang penulis teliti, azas peradilan cepat, sederhana dan 24
Sarjiman, 2005, Gugatan Penghapusan Merek Terhadap Merek Terdaftar Yang Didaftarkan Atas Dasar Itikad Buruk, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
biaya ringan tidak terlaksana, karena Hakim Agung yang menyidangkan upaya hukum Peninjauan Kembali telah memberikan penafsiran berbeda dari putusan Hakim Agung yang menyidangkan dalam upaya hukum kasasi, dimana Hakim yang menyidangkan Peninjauan Kembali hanya berdasar pada ketentuan hukum semata tanpa memberikan rasa keadilan terhadap pihak-pihak yang jelas-jelas dirugikan. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Sutoyo Wijaya 25 dengan judul “Itikad Baik Yang Terdeteksi Pada Trade Dress Sebuah Produk salah Satu Bentuk Persaingan Curang (Analisis Kasus Extra Joss Vs Enerjos)” dan permasalahan yang diteliti tentang apakah itikad tidak baik yang muncul dalam Pendaftaran Merek berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek disengaja oleh pemohon atau memang karena undang-undangnya yang mempunyai celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pemohon untuk melaksanakan itikad tidak baiknya, bagaimana mengidentifikasi munculnya itikad tidak baik dalam pendaftaran merek terkenal dan merek tidak terkenal berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan bagaimana memberi perlindungan hukum yang maksimal kepada pemilik merek terdaftar dari adanya unsur-unsur persaingan curang yang berhubungan dengan aspek itikad tidak baik sehubungan dengan adanya pelanggaran pada trade dress sebuah produk. Penelitian Sutoyo Wijaya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
25
Sutoyo Wijaya, 2006, Itikad Baik Yang Terdeteksi Pada Trade Dress Sebuah Produk salah Satu Bentuk Persaingan Curang (Analisis Kasus Extra Joss Vs Enerjos), Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta.
-
Itikad tidak baik yang muncul dalam pendaftaran merek berdasarkan Undangundang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ternyata bukan karena disengaja oleh pemohon merek, namun karena undang-undang tersebut mempunyai sejumlah kelemahan. Terutama yang menyangkut Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6.
Kelemahan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 menyebabkan
terwujudnya itikad tidak baik menjadi sebuah tindakan membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran pihak lain demi kepentingan usahanya. Dimana tindakan tersebut mengakibatkan kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang dalam sebuah sengketa merek. -
Saat ini sengketa merek sudah berkembang pesat. Itikad tidak baik yang tertuang dalam unsur persamaan pada pokoknya tidak lagi dapat dilihat secara kasat mata pada merek yang dimaksud. Apalagi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak memuat secara tegas tentang media tampilan apa yang harus digunakan ketika melakukan pendaftaran merek. Sehingga proses pendaftaran merek ditindaklanjuti denganmasih menggunakan etiket merek seperti yang dimuat dalam Pasal 2 huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1993 tentang Tata Cara Permintaan Pendaftaran Merek.
-
Pendaftaran merek dengan menggunakan etiket merek berakibat tidak dapat terjeratnya itikad tidak baik pada saat pemeriksaan substantif. Pemeriksa merek pada saat melakukan pemeriksaan substantif akan sulit mendeteksi itikad tidak baik pendaftar merek pada selembar etiket merek yang berukuran terbatas. Itikad tidak baik baru dapat terdeteksi setelah trade dress (product
packaging) beredar di pasaran. Masalahnya menjadi semakin rumit karena Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tidak secara tegas dan spesifik menyebutkan tentang trade dress (product packaging). -
Pengertian tentang trade dress (product packaging) tidak terbatas hanya pada kemasan sebuah produk yang ditinjau berdasarkan unsur pembeda (bentuk visual dari label, bentuk, warna, ukuran maupun desain dari merek produk yang dimaksud) maupun ciri-ciri non-fungsional saja, namun lebih luas daripada itu trade dress (product packaging) adalah pelayanan sebuah jasa dan bahkan strategi marketing yang dilakukan sebuah merek.
-
Perlindungan hukum kepada pemegang merek yang dulu mendaftarkan mereknya masih dapat menggunakan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6. Namun pasal-pasal tersebut masih harus diperluas dalam menafsirkan pemahamannya berdasarkan perkembangan dari masing-masing kasus.
-
Pisau analisis tentang persamaan pada pokoknya yang digunakan oleh Yahya Harahap sangat membantu dalam memutuskan perkara sengketa merek yang menggunakan itikad tidak baik yang terdeteksi pada trade dress (product packaging). Keterbatasan dalam menafsirkan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 jelas akan mengakibatkan itikad tidak baik yang terdeteksi pada trade dress (product packaging) sebuah produk mengakibatkan kerugian terhadap pemegang merek yang mereknya lebih dulu terdaftar.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh RR. Putri Ayu Priamsari 26 dengan judul penelitian “Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali)” dan permasalahan yang diteliti tentang penerapan itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan merek berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan dampak dari penerapan itikad baik terhadap pemilik merek beritikad buruk. Penelitian yang dilakukan RR. Putri Ayu Priamsari menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Merek harus didaftar dengan itikad baik. Artinya jika seseorang mencoba mendaftarkan sebuah merek yang disadarinya sebagai merek milik orang lain atau serupa dengan milik orang lain, maka merek tersebut tidak dapat didaftarkan. Masalah itikad baik tersebut juga akan timbul jika seseorang dapat membuktikan bahwa dia sudah menggunakan merek tersebut, maka usaha mendaftarkan merek itu oleh orang lain dapat dicegah dengan menyebut usaha tadi sebagai itikad tidak baik. Sedangkan dalam konsepsi penggunaan merek, persyaratan itikad baik berarti bahwa untuk dapat didaftarkan, sebuah merek harus dimaksudkan untuk digunakan dalam perdagangan barang dan/atau jasa. 2. Sebagai konsukuensi adanya perlindungan hukum atas merek, pemilik merek terdaftar mempunyai hak untuk mengajukan : 26
RR. Putri Ayu Priamsari, 2010, Penerapan Itikad Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali), Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
-
Gugatan perdata berupa ganti rugi jika mereknya dipergunakan pihak lain tanpa hak atau izin darinya. Ganti rugi disini dapat berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immateriil. Ganti rugi materiil berupa kerugian nyata yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan ganti rugi immateriil berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh penggunaan merek dengan tanpa hak, sehingga pihak yang berhak menderita kerugian secara moral.
-
Tindakan pembatalan pendaftaran merek.
Tindakan pembatalan ini
hanya digunakan di dalam sengketa merek yang berhubungan dengan kepemilikan hak atas merek bukan terhadap sengketa merek mengenai penggunaan hak atas merek. Artinya tindakan pembatalan ini hanya diterapkan di dalam sengketa merek yang salah satu pihaknya telah memperoleh hak atas merek dengan itikad buruk. -
Tuntutan provisi yang tujuannya untuk mencegah kerugian yang lebih besar diderita oleh penggugat. Tuntutan provisi tersebut berisi supaya pihak tergugat diperintahkan Hakim untuk menghentikan perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek secara tanpa hak. Sementara permasalahan penelitian yang diangkat penulis dalam penelitian
ini merupakan penajaman dari permasalahan dalam penelitian dari penulis-penulis sebelumnya yakni untuk mengkaji lebih dalam dan fokus pada pelaksanaan azas itikad baik dalam pendaftaran merek menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan azas itikad baik dalam pendaftaran merek serta cara menanggulanginya.