BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perkembangan ilmu pengetahuan serta olah pikir manusia yang berevolusi terus menerus, menjadi hal yang mungkin apabila melalui olah pikir manusia tersebut menghasilkan suatu ciptaan atau penemuan yang baru serta mengembangkan penemuan yang telah ada sebelumnya yang berguna bagi keberlangsungan hidup manusia. Hasil yang timbul dari olah pikir manusia tersebut dikenal dengan istilah Hak Kekayaan Intelektual atau Intellectual Property Rights, yang merupakan basis dari industri modern yang timbul dari hasil olah pikir intelektual manusia sebagai suatu bentuk penemuan, invensi, kreasi, desain maupun percobaan baru dan perkembangannya. Hak Kekayaan Intelektual tersebut timbul sebagai suatu apresiasi dalam bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada sang pencipta atas segala upaya yang dilakukan dan melalui pemikirannya tercipta suatu karya yang baru. Sebagai salah satu negara yang turut serta menandatangani persetujuan pembentukan organisasi pedagangan dunia, World Trade Organization (“WTO”), Indonesia terikat dengan perjanjian mengenai aspek-aspek perdagangan yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual, yakni Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPs”). 3 Persetujuan Internasional tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Tade Organization. Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam perlindungan atas HKI, beberapa perjanjian internasional serta konvensi lainnya yang terkait turut diratifikasi, antara lain sebagai berikut:4 a. Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) pada tahun 1883 yang kemudian direvisi pada tahun 1967 serta Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (WIPO) tahun 1967 diratifikasi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997; b. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under the Patent Cooperation Treaty tahun 1970 yang direvisi pada tahun 1984, diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997; c. Trade Mark Law Treaty
tahun 1995 diratifikasi melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1997 ;
3
Candra Irawan, 2011, Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, hlm. 1.. 4 Ibid., hlm. 2-3.
d. Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Berne Convention) tahun 1886 dan direvisi terakhir pada tahun 1971 diratifikasi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997; e. World Intellectual Property Organization Copyright Treaty (WCT) tahun 1996 diratifikasi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 19 Tahun 1997; dan f.
WIPO Performance and Phonograms Treaty (WPPT) tahun 1996 yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2004. Menurut WIPO, yang terdapat dalam golongan kategori HKI meliputi
literary, artistic and scientific work, performances of performing artists, phonogram and broadcasts, invention in all field of human endeavour, scientific discoveries, industrial designs, trademarks, service marks and commercial name and designations and protection against unfair competition. 5 Sedangkan menurut ketentuan TRIPs, bidang-bidang dalam HKI dapat dikelompokkan
menjadi
copyrights
and
related
aspects,
trademarks,
geographical indication, industrial designs, patents, layout designs (topography)
5
Michael Blakeney, 1996, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights: A Concise Guide to the TRIPs Agreement, Sweet & Maxwell, London, hlm. 10.
of integrated circuits, protection of undisclosed information, serta control of anti competitive practices in contractual licenses. 6 Sebagai konsekuensi dari ratifikasi tersebut, Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang- undangan nasional dengan ketentuan yang termuat dalam WTO, termasuk yang berkaitan dengan Persetujuan TRIPs. Beberapa bidang HKI yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan Indonesia pasca Persetujuan TRIPs adalah Hak Cipta yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002; Paten yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2001; Merek yang diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001; Perlindungan Varietas Baru Tanaman yang diatur dalam UU No. 29 Tahun 2000; Rahasia Dagang yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2000; Desain Industri yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2001; serta Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2000. 7 Sebagai anggota WTO, Indonesia diharuskan untuk memenuhi ketentuan minimum yang ada dalam Persetujuan TRIPs. 8 Salah satu ketentuan yang wajib dipenuhi adalah terkait dengan sistem perlindungan hukum terhadap Hak Desain Industri yang tercantum dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Persetujuan TRIPs. Pasal 25 ayat (1) Persetujuan TRIPs menyatakan bahwa hak Desain Industri d iberikan 6
Part II Pasal 9 hingga Pasal 40 Perjanjian TRIPs OK Saidin, 2013, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 17. 8 Andriensjah Soeparman, 2013, Hak Desain Industri Berdasarkan Penilaian Kebaruan Desain Industri, Alumn i, Bandung, hlm. 1. 7
untuk Desain Industri yang baru atau orisinal. Suatu desain akan dinyatakan sebagai desain yang baru atau orisinal apabila terdapat perbedaan yang signifikan atau bukan merupakan gabungan dari Desain Industri yang telah ada sebelumnya. Prinsip free to determine seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Persetujuan TRIPs menyatakan bahwa tiap negara anggota WTO memiliki kebebasan dalam menentukan batasan perlindungan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Persetujuan TRIPs tersebut. 9 Pemerintah Indonesia telah memenuhi ketentuan mengenai perlindungan Hak Desain Industri melalui UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (UU Desain Industri) yang disahkan pada tanggal 20 Desember 2000. Sejak diberlakukannya UU Desain Industri tersebut hingga pada tahun 2011, diketahui sebanyak 42.644 permohonan desain industri yang masuk ke Direktorat Jendral HKI. Hal ini menunjukkan adanya harapan bagi para pendesain kepada Negara untuk melindungi kepentingan hukum atas hasil desainnya. Berikut adalah data statistik permohonan desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jendral HKI:10
9
Pasal 1 ayat (1) Perjan jian TRIPs menyatakan bahwa Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may, but shall not be obliged to implement in their law more extensive protection than is required by this Agreement. Members shall be free t o determine the appropriate method of implementing the provisions of this Agreement within their own legal system and practice. 10 Andriensjah Soeparman, Op. Cit., hlm. 2.
6
5 4 3
Jumlah Permohonan 2
1 0 Juni Des 2001
2002
2003
2004
2005
2006
Grafik I Catatan : dalam satuan ribuan
UU Desain Industri terbentuk sebagai konsekuensi dari Pemerintah yang telah menyepakati Persetujuan TRIPs, hal tersebut tercantum pada bagian “Menimbang” dalam UU tersebut. Sekalipun demikian, perlu diperhatikan bahwa UU Desain Industri tersebut selayaknya diatur sesuai dengan kondisi sosialbudaya yang berlaku di Indonesia, terutama pengaturan mengenai prinsip kebaruan yang terkandung dalam UU Desain Industri. Dampak yang timbul akibat tak terbendungnya informasi dalam era komputerisasi saat ini, salah satunya adalah mendorong perkembangan desain industri. Namun layaknya mata uang, terdapat pula dampak yang merugikan dari era ini, yakni adanya kemudahan bagi orang yang tidak memiliki niat baik dalam
peniruan desain industri secara illegal, yang tentunya dapat merugikan pendesain serta konsumen yang ada. 11 Atas dasar prinsip free to determine tersebut, maka adanya perbedaan kriteria pemberian hak terkait desain ind ustri sangat dimungkinkan terjadi, meskipun dengan syarat tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Persetujuan TRIPs ini. Indonesia melalui UU Desain Industri, mengatur mengenai prinsip kebaruan dalam Pasal 2, yang menyatakan bahwa hak atas suatu desain industri diberikan kepada desain industri yang baru. Sebuah desain, akan dinyatakan baru apabila pada saat Tanggal Penerimaan, desain tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Penjelasan dalam UU Desain Industri tersebut tidak dirinci lebih lanjut mengenai penggunaan kata “tidak sama” tersebut, sehingga timbul penafsiran atas kata “tidak sama” tersebut. Penafsiran yang pertama adalah dengan adanya sedikit perbedaan, perbandingan antara dua desain industri dapat dikatakan tidak sama. Sedangkan dalam penafsiran yang kedua memberikan suatu opini agar perbedaan antara dua desain industri harus dapat menunjukkan adanya perbedaan yang secara signifikan, sehingga sedikit perbedaan diantara dua desain industri tersebut
11
Ahmad M. Ramli, 2010, Cyber Law dan HKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 6.
tetap dapat dinyatakan sama secara substansial sejauh kesan keseluruhannya masih terlihat sama. 12 Dalam praktiknya di Indonesia, penilaian terkait kebaruan Desain Industri, baik yang dilaksanakan oleh pemeriksa Desain Industri pada proses pendaftaran yang dilakukan oleh kantor HKI maupun dalam perkara pembatalan hak desain industri di Pengadilan Niaga, sering terdapat perbedaan dalam memberikan penilaian terhadap kebaruan ini, terutama yang berhubungan dengan desaindesain yang memiliki kemiripan (similarity). Permasalahan tentang penentuan kriteria terhadap kata yang “tidak sama” dalam Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri terjadi pada beberapa perkara di Pengadilan Niaga, salah satunya perkara pembatalan hak Desain Industri “Mesin Gergaji Tipe STIHL 070” antara Precision Tooling de ngan Andreas STIHL AG & Co. KG.13 Dalam perkara tersebut terdapat penafsiran terkait penerapan prinsip kebaruan (novelty) dalam yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU Desain Industri oleh hakim. Majelis Hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa sebuah desain industri dapat dinyatakan sebagai sebuah desain yang baru apabila telah mengalami perubahan pada penampakan visual yang signifikan. Sehingga apabila
12
Ansori Sinungan, 2011, Perlindungan Desain Industri; Tantangan dan Hambatan dalam Praktiknya di Indonesia, Alumn i, Bandung, hlm. 326. 13 Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 02/Desain Industri/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst
hanya merupakan suatu modifikasi dari desain industri yang telah ada, maka tidak dapat disebut sebagai suatu desain industri yang baru. Lain halnya dalam putusan Pengadilan Niaga terkait perkara pembatalan hak Desain Industri Karung Plastik Anti Slip antara PT Boma Internusa dengan PT PPEN Rajawali Nusantara. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa sebuah desain industri dapat dinyatakan baru apabila telah mengalami perubahan atau modifikasi dari desain industri yang sebelumnya. Atas dasar putusan ini, dapat ditafsirkan bahwa sebuah desain industri dapat dinyatakan baru tanpa perlu adanya perubahan yang signifikan yang terjadi pada desain industri yang sebelumnya. Adanya ketidakpastian dalam penafsiran hukum terka it dengan prinsip kebaruan (novelty) dalam UU Desain Industri mengakibatkan timbulnya kerugian bagi para pendesain yang memiliki itikad baik dalam pelaksanaan perlindungan atas desain industri tersebut.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian-uraian latar belakang masalah, penulis menggagas rumusan masalah untuk diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perbedaan pengertian aspek kebaruan dalam Persetujuan TRIPs (yang menggunakan kata “significantly differ”) dengan UU No. 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri (yang menggunakan kata “tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya”)? 2. Bagaimanakah penerapan aspek kebaruan dalam praktik putusan pengadilan di Indonesia atas perkara Desain Industri?
C. KEASLIAN PENULISAN Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang dilakukan penulis terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan FH UGM, perpustakaan tesis UGM, dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis belum menemukan permasalahan yang sama dengan penulisan ini. Beberapa karya tulis yang ditemukan hanya meneliti mengenai desain industri secara parsial, penerapan prinsip kebaruan dalam suatu desain industri dalam UU Desain Industri, dengan rumusan masalah yang berbeda. Salah satunya yakni penelitian dengan judul Analisis Yuridis Penilaian Unsur Kebaruan (Novelty) dalam Desain Industri pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 010/PK/HAKI/2005. 14 Pada tesis ini memiliki kesamaan dengan tesis tersebut dalam hal pembahasan mengenai penerapan prinsip kebaruan dalam desain industri. Namun terdapat perbedaan, yakni tesis ini lebih dikhususkan kepada perbedaan 14
Adi Prasetyo, Tesis yang ditulis pada tahun 2010, Mahasiswa Magister Huku m Un iversitas Gad jah Mada Yogyakarta.
pengertian
mengenai aspek
kebaruan dalam Persetujuan
TRIPs
(yang
menggunakan kata “significantly differ”) dengan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (yang menggunakan kata “tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya” serta penerapan aspek kebaruan dalam praktik putusan pengadilan di Indonesia atas perkara desain industri. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya orisinil penulis, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
D. TUJUAN PENULISAN Dalam penulisan ini, penulis memiliki dua tujuan antara lain : a. Tujuan Obyektif 1) Untuk mengetahui perbedaan mengenai aspek kebaruan dalam Persetujuan TRIPs (yang menggunakan kata “significantly differ”) dengan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (yang menggunakan kata “tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya”) dalam ketentuan mengenai Desain Industri yang dianut di Indonesia; 2) Untuk mengetahui penerapan aspek kebaruan dalam praktik putusan pengadilan di Indonesia atas perkara desain industri. b. Tujuan Subyektif 1) Untuk memperoleh data konkrit berkaitan dengan obyek yang diteliti guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar “M.H”
pada Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; dan 2) Untuk pengendapan ilmu pengetahuan hukum Hak Kekayaan Intelektual yang berkaitan dengan Desain Industri pada khususnya.
E. MANFAAT PENULISAN a. Manfaat Akademis Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi pengembangan
hukum Hak
Kekayaan
Intelektual, khususnya mengenai Desain Industri. c. Manfaat Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah khususnya mengenai pengaturan prinsip kebaruan dalam sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual, khususnya Desain Industri.
F. METODE PENELITIAN Metode penelitian dalam tesis ini menggunakan penulisan kepustakaan (library research), dikarenakan penelitian ini adalah penulisan hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto, penulisan hukum normatif adalah penulisan hukum
kepustakaan. 15 Penulisan hukum kepustakaan dalam konteks penulisan ini adalah pengumpulan data dengan jalan mempelajari literatur- literatur dan sumbersumber hukum yang berkaitan dengan tema penerapan prinsip kebaruan dalam perspektif hukum Hak Kekayaan Intelektual. Penulisan kepustakaan dilakukan dalam rangka mencari data, yaitu variabel- variabel yang terkandung dalam permasalahan yang hendak diteliti. 16 Penulisan hukum kepustakaan dalam konteks penulisan ini adalah pengumpulan data dengan jalan mempelajari literatur- literatur dan sumber-sumber hukum yang berkaitan dengan tema prinsip kebaruan, Persetujuan TRIPs dan Hak Kekayaan Intelektual pada media cetak maupun elektronik. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari tiga bahan hukum yaitu: 1. Bahan hukum primer, adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, yaitu berupa: Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (“ Persetujuan TRIPs”), UU Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri; 2. Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: 15
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penulisan Hukum, UI press, Jakarta, hlm. 53. F. Istanto Sugeng, 2005, Uraian Tambahan Petunjuk Penulisan Usulan Penulisan Dan Thesis Pada Program Pascasarjana UGM Program Studi Hukum, Yogyakarta, h lm. 6. 16
a. Buku-buku yang berkaitan dengan tema prinsip kebaruan, Persetujuan TRIPs dan Hak Kekayaan Intelektual baik cetak maupun elektronik. b. Majalah, jurnal, artikel-artikel ilmiah, baik dari surat kabar maupun internet yang relevan dengan penulisan. 3. Bahan hukum tertier, adalah bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa: Kamus Umum, Kamus Bahasa Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa InggrisIndonesia. Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif, sedangkan analisis dan konstruksi data dilakukan secara deduktif, yaitu dengan cara menarik kesimpulan dengan menjabarkan permasalahan dari hal- hal yang bersifat umum ke hal- hal yang bersifat khusus. Setelah data dikumpulkan, penulis melakukan pengolahan data dengan melakukan pemeriksaan kembali mengenai kelengkapan informasi dan relevansi informasi bagi penelitian. Alat penulisan yang digunakan dalam penulisan adalah dokumendokumen dan kepustakaan. Maksud dari penggunaan studi dokumen dalam penulisan ini adalah untuk mempelajari, menganalisis dan mengkaji bahan hukum primer dan sekunder terkait dengan objek yang diteliti. Jalan penulisan yang dilakukan dalam penulisan ini dibagi menjadi empat tahap penulisan, yaitu :
1. Persiapan penulisan; Dalam tahapan ini pengumpulan dokumen terkait permasalahan dan materi penulisan untuk memperoleh pengetahuan dan objek penulisan. Setelah mendapatkan data awal kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan bimbingan dan persetujuan serta dilanjutkan dengan menyusun instrumen penulisan dan alat pengumpul data. 2. Pelaksanaan penulisan; Tahapan ini penulis berupaya mengumpulkan dan melakukan kajian atas keseluruhan data sekunder yang terdiri dari data bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan penulisan. 3. Penulisan draft; Tahapan ini dilakukan penulisan setelah melakukan pengumpulan keseluruhan data yang ada. Penulisan tersebut ditulis secara lengkap yang terdiri dari Bab I (Pendahuluan) hingga Bab V (Penutup) yang dibuat dalam bentuk draft tesis. 4. Penulisan akhir penulisan; Draft penulisan akhir merupakan berkas yang dianggap selesai diperiksa oleh dosen pembimbing, dalam artian bahwa draft tersebut telah ditandantangani dan siap dipresentasikan. Analisis data adalah cara mengolah data yang diperoleh untuk mendapatkan kebenaran yang dicari dalam penulisan. Keseluruhan data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk mencar i
kebenaran kualitatif. Kebenaran kualitatif, yaitu kebenaran dalam arti kesesuaian dengan ukuran yang menetapkan persyaratan kualitas tertentu yang harus dipenuhi. 17
G. SISTEMATIKA TESIS Adapun sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan dan sistematika tesis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA, bab ini terdiri dari: (1) Hak Kekayaan Intelektual; (2) Persetujuan TRIPs; (3) Desain Industri; dan (4) Teori Kebaruan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN, bab ini terdiri dari pengertian, jenis dan pendekatan penelitian, cara penelitian, sumber data, dan analisis data BAB IV HASIL PENULISAN DAN PEMBAHASAN, bab ini membahas dan menjawab rumusan masalah tentang (i) perbedaan pengertian aspek kebaruan (novelty) yang terkandung dalam Persetujuan TRIPs (yang menggunakan kata “significantly differ” dengan UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (yang menggunakan kata “tidak sama dengan pengungkapan yang sebelumnya”) ; (ii) serta penerapan aspek kebaruan dalam praktik putusan pengadilan di Indonesia atas perkara desain industri.
17
F. Sugeng Istanto, 2007, Penulisan Hukum, CV. Ganda, Yogyakarta, h lm. 60.
BAB V PENUTUP, bab ini merupakan kesimpulan akhir dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis.