BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara sederhana Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atau Intellectual Property Rights adalah suatu hak yang timbul bagi hasil pemikiran yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. HaKI bisa juga diartikan sebagai hak bagi seseorang karena ia telah membuat sesuatu yang berguna bagi orang lain. Prinsipnya, setiap orang harus memperoleh imbalan bagi kerja kerasnya.1 HaKI menjadi sangat penting untuk menggairahkan laju perekonomian dunia yang pada akhirnya membawa kesejahteraan umat manusia.2 Kalau di suatu negara orang hanya mau memanfaatkan sesuatu secara cuma-cuma, maka tidak akan ada orang-orang berbakat yang mau bersusah payah membuat sesuatu. Pada akhirnya bangsa itu sendiri yang akan rugi karena tidak bisa mencapai kemajuan. Agar orang mau berkreasi, mereka harus dijamin akan memperoleh imbalan sepantasnya. Jika mereka kemudian berlomba-lomba membuat aneka penemuan atau karya baru, maka pada akhirnya bangsanya yang akan beruntung karena terdorong terus untuk maju. 3 Hak Cipta (copyright), merupakan suatu konsep yang tercakup dalam pengertian HaKI, Hak cipta merupakan hak atas kekayaan intelektual yang diberikan khusus dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hukum hak cipta positif di 1
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten dan Seluk beluknya,Erlangga, Jakarta, 2008, hal. 2 2 Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 5 3 Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Op. Cit, hal. 2
1
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2
Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (untuk seterusnya disingkat UUHC), dalam UUHC ini ditentukan ciptaan apa saja yang diberikan perlindungan hukum, yang salah satunya adalah “arsitektur” (pasal 12 ayat 1 huruf g). Indonesia sebagai negara sedang berkembang menempatkan pembangunan sebagai orientasi bagi kesejahteraan rakyat. Perkembangan pembangunan terutama pembangunan fisik secara nyata dapat dilihat melalui banyaknya bangunan indah dan megah dengan gaya arsitektur yang bervariasi antara satu dengan lainnya. Konstruksi bangunan ini dapat berupa perumahan penduduk, perkantoran pemerintah dan swasta, pusat perbelanjaan, pusat rekreasi, pusat pendidikan dan keagamaan, yang menyimpan nilai-nilai artistik tersendiri dan kadang-kadang berbentuk khas (unik), karya para arsitek. Para arsiteklah yang merencanakan suatu bangunan, sehingga disamping nyaman untuk digunakan juga indah dipandang mata. Dengan kata lain, suatu bangunan disamping harus memenuhi syarat-syarat teknis konstruksi, juga memiliki nilai artistik tersendiri yang dihasilkan melalui kreatifitas para arsitek.4 Kemampuan merancang atau mendesain seorang arsitek didapat melalui suatu proses pendidikan, pelatihan, pengalaman, disiplin.5 Karya dari arsitektur yang telah dihasilkan oleh para arsitek tersebut haruslah mendapat perlindungan dan penghargaan, jika dipandang dari sudut ekonomi, mereka perlu mendapatkan kembali
4
Sanusi Bintang, dkk., Laporan Hasil Penelitian Perlindungan Hak Cipta Karya Arsitektur (Suatu Penelitian di Banda Aceh), Unsyiah, Banda Aceh, 1996, hal. 1 5 Fanny Puspita, Perlindungan Hukum Hak Cipta Arsitektur Perumahan, Thesis Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, 2009, hal. 5
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3
modal atau mendapatkan keuntungan dari hasil karyanya. Jika dipandang dari sudut moral maka penghargaan yang diberikan kepada arsitek sebagai pencipta tidaklah dapat dinilai dengan uang, namun dapat dihargai dengan memberikan kekuasaan atau wewenang tertentu kepadanya untuk melakukan sesuatu apabila ada orang yang melanggarnya. Hak moral juga menyatakan bahwa suatu ciptaan merupakan refleksi pribadi dari pencipta, karena itu ia mutlak tidak dapat dibagi-bagi maupun dilakukan perubahan. Dengan adanya perlindungan ini maka diharapkan agar lebih dapat mendorong kreativitas arsitek untuk menghasilkan arsitektur yang lebih banyak variasinya dan lebih tinggi nilai artistiknya.6 Salah satu cara efektif pemberian penghargaan di atas adalah melalui pelaksanaan hukum hak cipta (copyright). Hak cipta tersebut melekat pada diri seorang pencipta atau pemegang hak cipta, sehingga lahirlah dari hak cipta tersebut hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Seorang pencipta (dalam hal ini arsitek) diberikan hak khusus (eksklusif) oleh hukum untuk mengontrol penggunaan hasil ciptaannya, yang mencakup memperbanyak atau mengumumkan. Hanya pencipta sajalah yang mempunyai kekuasaan demikian, pihak lainnya baru boleh melakukan hal-hal yang serupa apabila telah memperoleh izin dari penciptanya, yang biasanya melalui perjanjian lisensi dengan pembayaran sejumlah royalti tertentu kepada pencipta. Definisi arsitektur itu sendiri adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan 6
Sanusi Bintang, Op. cit, hal. 1
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4
membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.7 Kata Arsitek berasal dari bahasa Yunani, Architekton yang merupakan rangkaian dua kata yaitu Archi yang berarti pemimpin atau yang pertama, dan Tekton yang berarti membangun. Jadi Arsitek adalah pemimpin pembangunan (master builder).8 Seperti halnya dokter, akuntan dan pengacara, arsitek adalah profesi yang menjual jasanya kepada masyarakat. Keberadaan arsitek diakui untuk mengurusi segala permasalahan mengenai rancang bangun, mulai dari penyusunan konsep perancangan hingga pengawasan berkala sampai akhirnya menjadi sebuah produk arsitektural. Selain itu, seorang arsitek juga mempunyai tanggung jawab secara moral seumur hidup terhadap karya-karyanya.9 Banyak tantangan yang dijalani oleh seorang lulusan sarjana arsitektur dewasa ini, demi memulai kariernya sebagai seorang arsitek profesional. Tetapi pada umumnya, fresh graduate lulusan jurusan arsitektur yang ingin menjalani karirnya sebagai arsitek profesional akan bergabung dengan konsultan perencana dan 7
Artikel non-personal, 13 januari 2011, Dunia Arsitek dan Arsitektural, http://indofiles.showthread.php.htm /[Artikel]Dunia Arsitek dan Arsitektural, Internet, diakses tanggal 14 Februari 2012 8 Budiharjo, Jati Diri Arsitek Indonesia. Penerbit Alumni. Bandung, 1997, hal. 9 9 Dwiyanto, Agung, 20 September 2011, Arsitek Profesional dan Perannya dalam Dunia Kerja. Jurnal Ilmiah Perancangan Kota dan Permukiman, http://
[email protected], Internet, diakses tanggal 15 Februari 2012
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5
perancangan untuk bekerja mencari nafkah sekaligus ilmu yang bersifat praktek untuk nantinya menjadi bekal bagi dirinya untuk menjadi arsitek profesional. Selain itu, para lulusan baru ini juga dapat bergabung dengan konsultan pengawas ataupun perusahaan pengembang perumahan (Real Estates development) yang secara langsung sangat memerlukan keahlian para arsitek.10 Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor l8 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk seterusnya disingkat UUJK) disebutkan “bahwa para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi adalah pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa”. Sedangkan dalarn pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan pihak penyedia jasa adalah: “Perencana Konstruksi, Pelaksana Konstruksi, dan Pengawas Konstruksi”. Tetapi dalam hal ini arsitek yang bekerja pada perusahaan perencana konstruksi lah yang paling bersinggungan dengan hak milik intelektual, karena di perusahaan jenis ini dihasilkan dokumen perencanaan perancangan yang telah dibuat oleh arsitek. Berprofesi sebagai Arsitek berarti melaksanakan janji komitmen untuk berkarya sebaik-baiknya melalui hubungan antara arsitek dan masyarakat yang membutuhkan keahliannya dan mempercayainya. Interaksi dalam hubungan kerja ini merupakan hal yang terpenting dalam profesi ini, hubungan kerja ini terutama didasarkan oleh saling percaya. Aturan hubungan professional harus diwujudkan dalam bentuk pegangan yang disatu pihak berbentuk landasan hukum untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat yang menggunakan jasa professional
10
Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
6
itu, serta untuk menjamin nafkah bagi dan dapat dihasilkannya karya yang terbaik oleh si profesional.11 Dalam Pasal 22 ayat (3) UUJK ditentukan pula bahwa kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan diharuskan memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual, dimana hasil inovasi perencanaan konstruksi dalarn suatu pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaan dan/atau bagian-bagiannya kepemilikannya dapat diperjanjikan. Hukum adalah dasar kehidupan dari setiap masyarakat yang beradab. Semua hal kini diatur secara jelas dalam hukum, termasuk soal kepemilikan. dalam hubungan kepemilikan hak cipta terhadap arsitektur yang dihasilkan oleh pegawai atau karyawan suatu lembaga atau perusahaan, UUHC dalam Pasal 8 mengatur sebagai berikut: (1) Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas. (3) Jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak. Menurut penjelasan pasal 8 ayat (l), (2) dan (3) UUHC Tahun 2002 yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian antara pegawai 11
Ismantoro Dwi Yuwono, Memahami Berbagai Etika Profesi & Pekerjaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 475
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
7
negeri dengan instansinya, ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Hak Cipta yang dibuat oleh seseorang berdasarkan pesanan dari instansi pemerintah tetap dipegang oleh instansi pemerintah tersebut selaku pemesan, kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan kerja atau berdasarkan pesanan disini adalah ciptaan yang dibuat atas dasar hubungan kerja di lembaga swasta atau atas dasar pesanan pihak lain. Jadi, arsitek sebagai orang yang menghasilkan ciptaan arsitektur yang dalam hal ini bekerja sebagai pegawai atau karyawan di suatu lembaga atau perusahaan dapat berkarya melalui 2 (dua) cara yaitu bekerja dalam suatu hubungan dinas atau dalam suatu hubungan kerja. Tetapi dalam penelitian ini peneliti hanya rnembatasi pada kepemilikan hak cipta atas arsitektur dalam suatu hubungan kerja saja. Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHC Tahun 2002 disebutkan bahwa ciptaan arsitektur yang dikerjakan oleh arsitek dalam suatu hubungan kerja atau berdasarkan pesanan maka hak ciptanya dipegang oleh arsitek itu sendiri, kecuali telah disepakati sebelumnya yakni dalam perjanjian kerja bahwa kepemilikan hak cipta atas arsitektur tersebut ada pada perusahaan.Sedangkan dalam pasal 22 ayat (3) UUJK ditentukan bahwa kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual. Berdasarkan penelitian, perusahaan perencana konstruksi (sebagai majikan) tidak pernah membuat perjanjian dengan arsitek (sebagai pekerja) tentang kepemilikan hak cipta arsitektur. Namun kenyataannya semua hasil ciptaan arsitektur tersebut tetap menjadi milik perusahaan. Bahkan ketika arsiteknya tidak bekerja di
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
8
perusahaannya lagi, ciptaan arsitekturnya masih tetap digunakan untuk diwujudkan dalam bentuk bangunan tanpa memberikan fee atau royalti. Status kepemilikan hak cipta arsitektur menjadi tidak jelas ketika didalam kontrak kerja tidak memuat klausul tentang kepemilikan hak cipta. Dalam prakteknya banyak yang beranggapan Perusahaanlah yang berhak karena telah memberi gaji, tapi undang-undang menentukan hak cipta itu melekat pada penciptanya (arsitek) kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua belah pihak. Hak Cipta Arsitektur belum pernah didaftarkan dan Pengadilan di Indonesia belum pernah menangani kasus hukum seorang arsitek mempersoalkan plagiarisme arsitek lain terhadap bangunan yang dibuatnya, ataupun arsitek mempersoalkan perusahaan tempatnya bekerja karena melanggar hak ciptanya. Sehingga peneliti tertarik ingin mengetahui apa yang salah dalam hal ini. Belinda Rosalina dalam disertasinya yang bertajuk ‘Perlindungan Karya Arsitektur Berdasarkan Hukum Hak Cipta: Perspektif Similaritas Substansial pada Sengketa Hak Cipta Karya Arsitektur’, di hadapan sidang doktoral, ia mengatakan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah gagal melindungi plagiarisme terhadap karya arsitektur. Ia menjelaskan walaupun perlindungan bagi karya arsitektur telah ada dalam UU Hak Cipta, pada kenyataannya ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan oleh pencipta maupun pemegang hak cipta atas karya arsitektur. Hal ini
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
9
dapat dibuktikan dengan belum adanya kasus hukum sengketa hak cipta terhadap karya arsitektur di pengadilan Indonesia12 Alasan keengganan untuk menuntut sesama arsitek ataupun pihak lain yang telah meniru ciptaannya menjadi misteri gelap dari dunianya. ’Mimesis mimeseos’ atau tiruan atas tiruan, ternyata cukup mewarnai bangunan-bangunan yang saat ini ada. Tanpa ingin menyebutkan bangunan yang mana meniru yang mana, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa warna kota kita menjadi seragam. Bahkan daerahdaerah bangunan konservasi perlahan-lahan melenyap terkikis modernisme dalam wajah bangunan-bangunan minimalis yang semakin merajalela.13 Jadi, berdasarkan uraian di atas maka ciptaan arsitektur yang dikerjakan oleh arsitek sebagai perencana di perusahaan perencana konstruksi berdasarkan hubungan kerja, ketika tidak ada memuat perjanjian sebelumnya mengenai hak ciptanya, dalam hal ini tidak jelas siapa yang memegang hak ciptanya, padahal UUJK telah dengan tegas mensyaratkan harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual dalam kontrak kerja konstruksi. Penelitian ini juga menjadi penting karena data dari Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, Hak Cipta Arsitektur ini belum pernah dilakukan pendaftaran baik di Kota Medan maupun di Indonesia, padahal Arsitektur merupakan salah satu materi yang telah mendapatkan perlindungan dalam UUHC.
12
Ali, 21 Juni 2010, UU Hak Cipta Belum Bisa Melindungi Karya Arsitektur, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c1f7d1492475/, Internet, diakses tanggal 1 April 2012. 13 Belinda Rosalina, 8 Januari 2008, Arsitek, lindungilah karya ciptamu, http://belindarosalina.wordpress.com, diakses tanggal 1 april 2012.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pendaftaran Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan? 2. Mengapa Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan tidak dimanfaatkan/ didaftarkan oleh arsitek penciptanya? 3. Bagaimanakah status kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang dibuat dalam suatu hubungan kerja? C. Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pendaftaran Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan; 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengapa Hak Cipta Arsitektur yang dibuat berdasarkan hubungan kerja di Kota Medan tidak dimanfaatkan/ didaftarkan oleh arsitek penciptanya; 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang status kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang dibuat dalam suatu dalam suatu hubungan kerja D. Manfaat Penelitian Secara teoritis peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi manfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
11
pengetahuan dalam hal ”Status Kepemilikian Hak Cipta Arsitektur yang dibuat Berdasarkan Hubungan Kerja (Suatu Penelitian di Kota Medan)” Secara praktis peneliti mengharapkan agar hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para pihak, pemerintah, penegak hukum, akademisi, mahasiswa, masyarakat umum, terutama para arsitek, perusahaan konstruksi, dan pengguna jasa arsitek. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap berbagai literatur dan hasil penelitian pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa topik dan permasalahan yang dibahas yang berhubungan dengan “Status Kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang dibuat Berdasarkan Hubungan Kerja (Suatu Penelitian di Kota Medan)” untuk judul yang sama belum pernah dilakukan penelitian. Akan tetapi telah ada ulasan ataupun penelitian tentang hak cipta arsitektur, yaitu: dengan judul tesis Perlindungan Hukum terhadap Karya Arsitektur Ditinjau dari UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang ditulis oleh L.K. Safrida Manik, Mahasiswi Magister Kenotariatan, Nomor Induk Mahasiswi 027011032. Akan tetapi tesis tersebut lebih fokus kepada perlindungan hukumnya berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta, dengan pendekatan/ perumusan masalah yang berbeda, yaitu: 1. Apakah peraturan hak cipta di Indonesia telah cukup mengatur perlindungan karya arsitektur?
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
12
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya pelanggaran atas Hak Cipta Karya Arsitektur? 3. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi pelanggararan atas hak Cipta Karya Arsitektur? sehingga judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti yang diuraikan diatas, dengan ini dapat dikatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam penulisan tesis ini tidak melanggar hak cipta pihak lain baik secara langsung ataupun tidak langsung termasuk dalam pengutipan dari sumber lain. Oleh karena itu, dapat dipertanggung jawabkan bahwa hasil penelitian ini (tesis) memiliki keaslian atau originalitas. Disamping itu masalah pemahaman, pengkajian dan penelitian dalam hubungan dengan konteks persoalan Hak Cipta Arsitektur masih termasuk langka dan jarang. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada
fakta-fakta
yang
dapat
menunjukkan
ketidakbenarannya 14. Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena
14
J.J. M. Wuisman, dan M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
13
berdasarkan
teori
tersebut
variabel
bersangkutan
memang
dapat
mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab. 15 selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji, disamping itu teori ini dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan. 16 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan ( problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis 17. Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul.
15
hal. 35
Lexy J. Molloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
16
Mukti Fajar ND. & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, yokyakarta, 2010, hal. 144 17 M. Solli Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
14
Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum. Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan. 18 Hukum dibentuk bukan tanpa visi atau dibuat secara tak bermaksud, hukum pada umumnya dibentuk atau dibuat dengan visi atau tujuan untuk memenuhi rasa keadilan, kepastian, dan ketertiban. 19 Penganut aliran normatif positivisme, secara dogmatis lebih menitikberatkan hukum pada aspek kepastian hukum bagi para pendukung hak dan kewajiban. 20
18 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal 158 19 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan sosiologi), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal. 85 20 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 57
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
15
Penganut aliran positivisme lebih menitikberatkan kepastian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi subjek hukum dari kesewenang-wenangan pihak yang lebih dominan. Subjek hukum yang kurang bahkan tidak dominan pada umumnya kurang bahkan tidak terlindungi haknya dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Kesetaraan hukum adalah latar belakang yang memunculkan teori tentang kepastian hukum. Hukum diciptakan untuk memberikan kepastian perlindungan kepada subjek hukum yang lebih lemah kedudukan hukumnya. 21 Kepastian hukum bermuara pada ketertiban secara sosial. Dalam kehidupan sosial, kepastian adalah menyaratakan kedudukan subjek hukum dalam suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Dalam paham positivisme, kepastian diberikan oleh negara sebagai pencipta hukum dalam bentuk undang-undang. Pelaksanaan kepastian dikonkretkan dalam bentuk lembaga yudikatif yang berwenang mengadili atau menjadi wasit yang memberikan kepastian bagi setiap subjek hukum. 22 Dalam hubungan secara perdata, setiap subjek hukum dalam melakukan hubungan hukum melalui hukum kontrak juga memerlukan kepastian hukum. Pembentuk undang-undang memberikan kepastiannya melalui pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian yang
21
Mario A. Tedja, 4 desember 2012, Teori Kepastian dalam Perspektif Hukum, http://mariotedja.blogspot.com/2012/12/teori-kepastian-dalam-prespektif-hukum.html, Internet, diakses tangal 30 Desember 2012 22 Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
16
berlaku sah
adalah
undang-undang
bagi
para
subjek
hukum
yang
melakukannya dengan itikad baik. Subjek hukum diberikan keleluasaan dalam memberikan kepastian bagi masing-masing subjek hukum yang terlibat dalam suatu kontrak. Kedudukan yang sama rata dipresentasikan dalam bentuk itikad baik. Antar subjek hukum yang saling menghargai kedudukan masing-masing subjek hukum adalah perwujudan dari itikad baik. 23 Kepastian dalam melakukan kontrak tidak hanya dari suatu akibat suatu kontrak yang hendak diinginkan, akan tetapi juga pada substansi kontrak itu sendiri. Pembentuk undang-undang juga mewajibkan kepastian dalam merumuskan suatu kontrak. Pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan juga harus jelas sehingga tidak dapat menyimpang dari penafsiran yang sudah dijelaskan. Oleh karena kontrak merupakan undang-undang bagi para subjek hukum maka segala sesuatu yang tertulis harus pasti diartikan oleh para subjek hukum. Jika suatu kontrak tidak memberikan kepastian dalam hal isinya maka kedudukan subjek hukum yang lemah akan tidak terlindungi dan menjadi tidak pasti. 24 Selain teori kepastian hukum, penelitian ini membutuhkan juga bantuan dari suatu konsep mengenai kepemilikan dari Locke, Hak Cipta
23 24
Ibid Ibid
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
17
dikatakan berakar dari hukum alam sehingga mau tidak mau mengharuskan kita mempelajari pandangan dari John Locke. Dalam pandangan John Locke, hak kepemilikan adalah sesuatu yang sah
dan
diakui
karena
memelihara/mempertahankan
setiap
orang
dirinya.
Oleh
mempunyai karena
itu
hak
untuk
setiap
orang
mempunyai hak untuk makan, minum dan segala sesuatu yang secara natural manusia akan mengusahakannya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut Locke menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak atas benda tertentu sebagai hak pribadinya. Atas dasar pemikiran ini maka Locke ingin membangun teori hak kepemilikan bahwa secara natural setiap orang memang sejak awal sudah mempunyai hak-hak untuk menjadi kebutuhan pokoknya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. 25 Locke dalam gagasannya mengenai kepemilikan, berkonsep bahwa Tuhan memberikan bumi kepada semua manusia secara sama, demi mendukung kehidupan manusia. 26 Hak milik yang didasarkan pada pemberian Tuhan mempunyai sifat yang masih umum, kepemilikan ini masih menunjukkan kepemilikan bersama. 27 Persoalan yang muncul kemudian ialah bagaimana supaya kepemilikan bersama itu beralih menjadi kepemilikan pribadi. Dasar apa yang melegitimasi hak milik pribadi. 25
Ridwan, Hak Milik: Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis, Purwokerto, STAIN Press, 2010, hal. 112 26 Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002. hal. 336. 27 Keraf, Sony, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal. 62.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
18
Locke mengatakan sesuatu yang telah disediakan oleh alam secara alamiah diberikan bagi seluruh umat manusia. Namun, hak kepemilikan itu muncul apabila seseorang melakukan usaha-usaha kepemilikan yakni dengan adanya The ‘labor’ of his body and the ‘work’ of his hands atau telah memperkerjakan badannya dan menghasilkan karya dari tangannya. Dengan kata lain, kerja merupakan dimensi mendasar dari hidup manusia, karena kerja membuat hidup manusia lebih manusiawi. Kerja mempunyai peranan yang sangat penting untuk melegitimasi milik umum menjadi milik pribadi. 28 Negara berusaha mengatur hak-hak kepemilikan objek Hak Cipta selaku Hak Atas Kekayaan Intelektual dengan membuat aturan-aturan dalam perundang-undangan. Aturan-aturan ini berusaha menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan publik. Perbedaan kepentingan ini pada akhirnya juga menimbulkan perbedaan pandangan atas kepemilikan hak dalam hukum Hak Cipta sehingga berdampak pada perlindungan hak-hak, baik ekonomi maupun moral dari seorang Pencipta. Berangkat dari inilah, teori Locke akan digunakan pada penelitian ini yang berjudul Status Kepemilikan Hak Cipta Berdasarkan hubungan Kerja. 29 2. Kerangka Konsepsional a. Status adalah keadaan, kepastian, kedudukan hukum seseorang.
28
Ibid, hal. 67 Belinda Rosalinda, Perlindungan Karya Arsitektur Berdasarkan Hak Cipta, PT. Alumni, Bandung, 2010, hal. 37 29
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
19
b. Kepemilikan adalah kekuasaan yang didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan menggunakannya untuk tujuan pribadi. c. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan fikiran, imajinasi, kecekatan, keterampian atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. d. Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan yang telah diekspresikan secara nyata akan melahirkan hak cipta. e. Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu, dengan tudak mengutangi pembatasan-pembatasan menutut perundangaundangan yang berlaku. f. Pelanggaran Hak Cipta adalah perbuatan merugikan orang lain dan akan mempengaruhi laju pembangunan dalam bidang intelektual yang menghambat upaya meningkatkan kecerdasan bangsa. g. Arsitek adalah sebutan ahli yang mampu membuat rancang bangun dan memimpin konstruksinya, yang mempunyai latar belakang atau dasar pendidikan tinggi arsitektur dan/atau yang setara h. Arsitektur adalah seni gambar bangunan, seni gambar miniatur, dan seni gambar maket bangunan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
20
i. Hubungan kerja adalah hubungan hukum yang terbentuk berdasarkan perjanjian kerja antara arsitek dengan pengusaha yang bergerak di bidang perencanaan konstruksi, yang terjalin akibat adanya penugasan dan kesepakatan antara dua pihak. j. Perjanjian kerja adalah suatu ikatan hubungan kerja secara tertulis yang mempunyai kekuatan hukum antara pihak pengguna jasa/ perusahaan perencana dan arsitek yang menjalin hubungan kerja, dimana didalamnya diterangkan dengan jelas dan tegas tentang syarat-syarat pekerjaan. k. Perusahaan perencana/ konsultan perencana adalah perusahaan yang melaksanakan tugas konstruksi dalam bidang perencanaan karya bangunan atau perencanaan lingkungan beserta kelengkapannya. l. Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa/perusahaan perencana dengan asitek dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis empiris yang merupakan penelitian lapangan dengan sifat penelitian deskriptif analisis yaitu menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan
menganalisis
peraturan
yang
berlaku
berkaitan
dengan
Status
Kepemilikan Hak Cipta Arsitektur yang Dibuat Berdasarkan Hubungan Kerja.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
21
Penelitian
yuridis
empiris
adalah
penelitian
hukum
mengenai
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. 30 Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (penelitian terhadap data primer) yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian digabungkan dengan data dan prilaku yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Data/materi pokok dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari para responden melalui penelitian lapangan, yaitu para arsitek di kota Medan yang pernah melakukan penciptaan atas suatu arsitektur yang bekerja di perusahaan jasa konstruksi. Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian ini tidak didasarkan kepada peninjauan satu disiplin ilmu hukum saja, tetapi didasarkan kepada perspektif dari disiplin ilmu arsitektur yang relevan. Walaupun penelitian yang dilakukan menggunakan perspektif disiplin ilmu arsitektur, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian hukum, karena perpektif disiplin ilmu arsitektur di pakai hanya sekedar alat bantu dalam pelaksanaan penelitian ini. 2.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian lapangan adalah di Kota Medan. Alasan dipilihnya lokasi ini
karena Kota Medan adalah termasuk salah satu kota besar di Indonesia, ibukota Sumatera Utara ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, sehingga 30
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm 134
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
22
pembangunannya berkembang cukup pesat, termasuk juga di bidang konstruksi bangunan hasil karya para arsitek. 3.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah para arsitek sebagai pencipta suatu arsitektur
dan perusahaan perencana konstruksi di kota Medan yang menggunakan tenaga kerja arsitek. Mengingat keterbatasan waktu dan biaya dikhawatirkan dengan jumlah populasi yang relatif cukup banyak, maka tidak mungkin dapat dilakukan penelitian terhadap semua populasi tersebut diatas, sehingga dari keseluruhan populasi yang ada akan diambil beberapa orang saja sebagai sampel penelitian. Penentuan sampelnya dilakukan secara kelayakan purposive sampling, yaitu sampel dari populasi yang diperkirakan dapat mewakili keseluruhan populasi. Untuk itu dari beberapa perusahaan perencana konstruksi yang ada di Kota Medan dipilih arsitek dari setiap perusahaan yang akan dijadikan responden sebagai sampel penelitian, yaitu sebagai berikut: a. Perusahaan Perencana Konstruksi di Kota Medan, sebanyak 5 perusahaan; b. Para arsitek sebagai pemilik/pemegang hak cipta, sebanyak 10 orang; Disamping responden, juga dipilih beberapa orang narasumber sebagai informan untuk mengontrol kebenaran data yang diberikan responden dan untuk lebih mempertajam analisis. Mereka ini adalah sebagai berikut : a. Pihak Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 1 orang;
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
23
b. Pihak pemerintah/penyidik khusus (PPNS-HKI) pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara, sebanyak 1 orang. 4.
Jenis Data Dalam penelitian ini, jenis data yang dipergunakan adalah data primer yang
dihasilkan dari penelitian lapangan yang diperoleh langsung dari responden dan informan yang terkait dengan judul penelitian. Dengan mengadakan studi/penelitian kepustakaan akan diperoleh data awal untuk dipergunakan dalam penelitian lapangan,31 dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku referensi, jurnal hukum, hasil-hasil penelitian karya ilmiah yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier
31
Burhan Bungin, “Metodologi Penelitian Sosial, Format -Format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlanggga University Press, Surabaya, 2001, hal. 101-102
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
24
Disebut juga bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu berupa kamus, majalah, surat kabar, dan media informasi lainya. 5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dipergunakan dalam pengumpulan data dilakukan melalui 2
(dua) cara, data diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan dengan mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku teks, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan ilmiah yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan pengumpulan data secara langsung dari pihak-pihak terkait dengan objek yang akan diteliti. Agar memperoleh data ini maka akan dilakukan dengan mewawancarai responden dan informan secara lisan dan terstruktur. 6.
Alat Pengumpulan Data Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: a. Studi dokumen, dilakukan secara tidak langsung digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
25
b. Observasi, dilakukan dengan mengamat-amati objek penelitian berupa karyakarya arsitektur yang tampak secara fisik atau hasil dari pada suatu ide atau gagasan, yang disebutkan dalam UUHC. c. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara, berupa wawancara terarah dan tersistematis yang ditujukan kepada responden dan informan. 7.
Analisis Data Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul (data sekunder dan data
primer), kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap data, baik melalui wawancara observasi, dan inventarisasi data tulis yang ada. Kemudian data diolah dan disususun secara sistematis. Terhadap data tersebut dilakukan analisis secara kualitatif, melalui kerangka berpikir induktif-deduktif sebagai jawaban atas permasalahan hukum yang ada dalam penelitian ini. Kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menjawab rumusan permasalahan dan menghasilkan kesimpulan permasalahan serta tujuan penelitian dapat terpenuhi.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA