BAB I PENDAHULUAN
A. Pejabat Publik: Elit Berwatak Predatoris (?) Studi ini akan mengkaji dinamika politik di tingkat lokal. Secara lebih abstrak ingin melihat bagaimana sebenarnya interaksi aktor institusi dengan lingkungannya dalam mengelola daerah. Mengelola daerah memang tidak semudah membalik telapak tangan, perlu inovasi dan kreatifitas untuk melaksanakannya agar birokrasi tidak terkesan kaku. Tentunya inovasi dan kreatifitas disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Pertanyaan mendasar yang muncul; bagaimana sebenarnya pemerintah mengelola daerah? Perdebatan mengenai penting tidaknya peran pemerintah dalam prosesproses politik di bidang ekonomi pada umumnya merupakan salah satu isu perspektif-perspektif sentral di dalam ekonomi-politik. Tak bisa dibantah, bahwa terdapat kebiasaan dan kepentingan - terbuka dan terselubung masing-masing aktor yang akan berpengaruh terhadap relasi dalam mengelola institusi demokrasi. Dalam kasus reklamasi Teluk Benoa misalnya; rencana pembangunan dalam tajuk revitalisasi Teluk Benoa melalui SK Gubernur sebagai program terobosan pembangunan pariwisata. Pariwisata adalah sebuah ilusi besar; dahulu, struktur pemerintahan yang sentralistik menjadikan Bali pusat sirkulasi modal ekonomi melalui pembangunan industri pariwisata.1 Argumen penting yang disuguhkan dalam
Sirkulasi modal ini pun berpusat dalam lingkaran Soeharto dan kroninya (penguasa jakarta) sehingga di era ini, Bali disebut sebagai ‘Koloni Jakarta’. Namun, setelah Soeharto lengser - yang menandai era reformasi - peta perputaran modal di Bali menjadi jauh lebih kompleks akibat kembalinya model pemerintahan ‘raja-raja kecil’ dan para pengejar rente. Mereka sangat antusias dalam mendorong dan meluaskan investasi melampaui rencana yang ditetapkan Sceto di awal 1970an. Lihat, Agung Wardana. 2014. Membaca kerja kapitalisme. dalam indoprogress.com. Diakses pada April, 2014. 14.05 WIB. Sedangkan pada Tahun 1998, gelombang reformasi membawa perubahan baru bagi struktur politik dan ekonomi Indonesia, serta perubahan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya liberalisasi politik, ekonomi dan lahirnya undang-undang otonomi daerah. Meskipun begitu, perubahan tersebut belum membawa Indonesia pada sistem politik yang demokratis sebagaimana diramalkan oleh para pengamat sebelumnya (Nordholt & Klinken, 2007:2). 1
1|P a ge
studi ini, bahwa Bali saat ini menjadi lokomotif pembangunan dalam pengembangan kepariwisataan. Terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur No. 2138/02-C/HK/2012 mendatangkan daya tarik yang luar biasa bagi banyak kalangan, termasuk raja-raja kecil yang berlomba-lomba berebut kursi pemerintahan. Pada pemilu legislatif tahun 2013 misalnya; calon legislatif yang memenangkan pemilu didominasi oleh kalangan pengusaha. Di sisi lain, hadirnya borjuasi membuat pemerintah sulit untuk melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Karena mereka semakin menjadi elit-elit yang berwatak predatoris (predatory satate) yang memiliki kecenderungan untuk menguasai sumber daya ekonomi daerah (local resources).2 Hal ini dibuktikan dengan semakin mesranya hubungan pengusaha-pengusaha yang bermain di Bali, bahkan politisi-pengusaha di aras legislatif. Perubahan tren politik saat ini banyak ditemukan pada tingkatan pemerintahan daerah; termasuk Bali yang mulai tergerus oleh arus kapitalisme. Faktor modal ekonomi dalam keberhasilan politik juga memberikan sumbangsih pemahaman bahwa politik dengan ekonomi merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan. Kepentingan-kepentingan elit lokal - yang tergabung di dalamnya para elit birokrasi, pengusaha dan politisi-pengusaha saling beraliansi- berhasil menata diri ke dalam sistem ekonomi dan politik.3 Beberapa refleksi serius tentang kaitan pemerintah dan bisnis di Bali mempunyai warna yang mirip. Warna mirip itu mungkin bisa diringkas lebih sederhana meski asalnya dari hubungan kolusif, para kapitalis akan menjadi kekuatan besar yang mengubah kecenderungan otoriter tata pemerintahan serta praktik-praktik kolusif’.4 Artinya bahwa kebijakan ekonomi dan politik di daerah tidak ditentukan oleh kemauan pemerintah, melainkan oleh ‘mobilitas modal’ dan kontrol atas ‘modal yang mudah bergerak’ dalam bingkai ekonomi global. Karena perkembangan Robison, Richard. 1991. Indonesia: The Rise of Capital. Sydney: Allen & Unwin Hadiz, V. R. 2010. Localizing Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspektif. Stanford, Calif: Stanford University Press 4 Jeffrey Winters. 1996. Power in motions. Dalam Heri Priyono. 2000. Demokrasi dan Kapitalisme. Uni Social Demokrat. 2013 2 3
2|P a ge
kapitalisme akan selalu bergandeng tangan dengan perlawanan terhadap eksploitasi dan keterasingan. Apalagi dikaitkan dengan pemerintah yang notabene adalah pengambil dan pemegang kebijakan. Sehingga tidak menutup kemungkinan menimbulkan adanya konspirasi antara pengusaha dan penguasa.5 Pasca pemilihan umum Gubernur Bali tahun 2008, jabatan publik di Provinsi Bali banyak dikuasai oleh kelompok pengusaha lokal. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemilu legislatif 2009,6 hampir 90 persen dari 55 anggota legislatif memiliki latar belakang sebagai pengusaha. Sebagian dari mereka, dulu sebelum menjadi callon legislatif termasuk orang-orang yang memiliki koneksi dengan penguasa. Fenomena pemilu caleg tahun 2014 kembali terjadi, 52 persen anggota DPRD Provinsi Bali masih tetap di dominasi oleh wajah lama,dan pada periode ini jumlah politisi-pengusaha mencapai angka 92 persen. Bertolak dari fenomena di atas yang kemudian menjadi bagian dalam melihat relasi yang terbangun antara elemen-elemen tersebut, mengingat jumlah politisi-pengusaha di DPRD Bali yang selalu meningkat setiap periodenya. Fenomena semakin gencarnya pengusaha untuk menduduki kekuasaan publik ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Disatu sisi, dominasi pengusaha dilembaga dewan menunjukkan bahwa liberalisasi politik telah membuka kran baru bagi semua kalangan untuk ikut serta dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik, dimana pada zaman Orde Baru di dominasi oleh kalangan militer dan birokrat, serta pengusaha yang memiliki afiliasi dengan rezim orde baru; Tapi disisi lain, dengan diterapkan demokrasi elektoral telah menciptakan kampanye lingkaran politik menjadi mahal, sehingga tidak semua warga negara dapat maju dan berkompetisi memperebutkan jabatan publik, kecuali mereka-mereka yang memiliki kantong besar. Mas’oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 42 6 Wawancara dengan ketua sekretariat DPRD Provinsi Bali I Wayan Ketut Yasa pada Desember 2014. 5
3|P a ge
Dalam konteks kebijakan pemerintah Provinsi Bali melalui Keputusan Gubernur Bali No. 2138/02-C/HK/2012, bukan tidak mungkin; dalam rencana reklamasi ini, pemerintah menjaring kerja sama dengan perusahaan untuk membangun hubungan kooperatif dengan tujuan yang saling menguntungkan. Bekerja secara bersama-sama sebagai sebuah keluarga, mengarahkan dua kekuatan ini untuk menghasilkan keuntungan bagi masyarakat dan perusahaan. Namun yang harus diantisipasi adalah kelompok pengusaha dapat mengubah lembaga korporatis untuk melayani tujuan‐tujuan mereka sendiri.7 Pengusaha memiliki potensi yang besar dengan menggunakan modal ekonomi sebagai ajang persaingan yang ketat untuk terjun dalam kontestasi politik. Wajah politik lokal Indonesia masih berada dalam cengkraman dan kekuasaan elit-elit lokal yang sangat predatoris. 8 Di satu sisi para pemimpin politik dapat secara top – down dalam membuat kebijakan, kekuatan legislatif juga dapat menjadi kekuatan yang tak dapat terelakkan dalam mendukung kebijakan. Keterlibatan investor-investor baik lokal maupun nasional patut dipertanyakaan. Mereka bermain dalam sektor pembangunan pariwisata Bali merupakan
salah
satu
faktor
meningkatnya
perekonomian
Bali.
Pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang dibangun, diolah oleh swasta menunjukkan bahwa peran pemerintah dalam meningkatkan ekonomi lebih lemah daripada peran swasta. Sehingga bisnis dapat menghadapi pemerintah yang mempunyai kekuasaan atau hak berkuasa.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, tulisan ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana pola relasi politik dan bisnis antara elit MacIntyre, Andrew. 1992. Business and Politics in Indonesia. North Sydney: Allen & Unwin. Hal. 56 8 Richard Robison, Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routladge 7
4|P a ge
birokrasi, politisi-pengusaha dan pengusaha dalam kebijakan reklamasi Teluk Benoa tahun 2013-2015?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Melihat cara kerja aktor negara sebagai fasilitator bagi terbukanya akses kapitalisasi sumberdaya lokal yang terbingkai dalam pembangunan industri pariwisata. 2. Untuk memetakan aktor penentu dalam perpolitikan lokal Bali hingga dinamika peran pemerintah dalam rencana Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa sebagai penjamin terciptanya kesejahteraan ekonomi lokal sekaligus sebagai aktor yang berpotensi merubah sumber daya alam ekonomi menjadi sumber daya politik. 3. Untuk mengungkap pengaruh borjuasi lokal yang mendominasi DPRD terhadap kebijakan pembangunan daerah. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam penelitian tentang fenomena politik dan bisnis. 2. Untuk memberikan pemahaman empiris terhadap transformasi relasi politik dan bisnis yang diyakini sangat rentan terhadap berbagai kepentingan (vested interest). D. Literatur Review Keberlanjutan dalam penelitian ini tidak lepas dari penelitian politik dan bisnis tidak lepas dari penelitian terdahulu saat peta politik Indonesia masih sentralistik di zaman Orde Baru. Studi‐studi yang dilakukan pengamat saat itu lebih menitik beratkan pada bisnis dan politik dalam skala nasional
5|P a ge
(perspektif nasional) seperti Yahya A. Muhaimin (1991), MacIntyre (1992), Liddle (1996), Robinson (1986) dan Kuntjoro Jakti (1981). Tabel. 1.1 Pemetaan perspektif melalui studi literatur Topik
Metode/ Pendekatan
Intisari
Richard Robison (1986), ‘Indonesia: The Rise of Capital’
Pendekatan ekonomi-politik untuk melihat kemunculan borjuasi dan kekuatan modal dalam relasi politik dan masyarakat.
Klaim tiadanya kelas kapitalis di Indonesia tidak berlaku lagi di akhir 1970an. Sehingga kaum kapitalis di Indonesia bukan para borjuis yang independen dari pemerintah, melainkan para pejabat negara (elit politik) itu sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta para pedagang Cina yang dekat dengan mereka.
Syarif Hidayat (2001) “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”
Perspektif ekonomi-politik
Kooptasi pengusaha dan kekuasaan terbentuk dikarenakan pola persinggungan bisnis dan pengusaha relatif memiliki kedekatan yang sangat erat dengan kekuasaan. Suksesi bisnis pengusaha sangat tergantung oleh pemerintahan pusat baik berkenaan dengan modal usaha mapun kebijakan‐kebijakan yang mempermudah bisnis pengusaha.
Didik J. Rachbini (2004).
Perspektif Pola ketergantungan dan Patrimonialism perselingkuhan disebabkan oleh, dalam pertama, hubungan itu di latar menjelaskan belakangi motif kekuasaan dan hubungan politik dominasi ekonomi. Kedua, saling dan bisnis yang menguntungkan (simbiosis berkembang mutualisme), patron dan klien sangat pesat mempertukarkan lisensi, akses pasca Soeharto. terhadap sumber daya material dan dukungan politik. Ketiga, interaksi dengan klien dibatasi mekanisme dan aturan main tertentu hanya dengan kroni kapitalisme tertentu. Terakhir patron memiliki posisi dan kekuasaan politik terhadap klien.
‘Ekonomi Politik, Kebijakan dan Strategi Pembangunan.’
6|P a ge
Thesis Oji Armuji(2004)
Pendekatan Pasca orde baru penguatan Strukturalis pengaruh pengusaha muncul dalam memihat setelah dominasi ulama dan ‘Konfigurasi periodis kebangkitan jawara. Baginya Kekuasaan Elite pergeseran peta kebijakan pembangunan yang Lokal: Dinamika kekuasan ulama, berorientasi ekonomi sebagai Ulama, Jawara, jawara dan leading sector yang diterapkan Dan Pengusaha di pengusaha. orde baru tak lepas memproduksi Kota Cilegon (Masa kelas-kelas pengusaha sebagai Orde Baru, Masa kekuatan sosial baru di Indonesia. Transisi, Dan Pasca Pola konglomerasi dan monopoli 2000)’ membentuk sentra kekuatan pengusaha yang terpusat serta imbahnya berakibat pada daerah yang menjadi obyek eksploitasi yang justru meminggirkan kontribusi kekuatan masyarakat daerah sehingga pengusaha pribumi belum mampu tempil sebagai komplemen pembangunan daerah. Thesis Maulidya widiarti ( 2012),
Menggunakan Adanya koneksi yang kuat antara pendekatan pengusaha dan tokoh politik lokal institusi informal yang kemudian melahirkan ‘Relasi penguasapengusaha klientalistik dari pengusaha di bumi dalam melihat relasi penguasaproses lembaga formal dan antasari” pengusaha di informal; sektor tambang Terjadinya transformasi pola relasi kedua aktor sebagai konsekwensi dari perubahan distribusi kekuasaan dan sumber daya; Fenomena local strongman dan shadow state mendominasi sistem tata kelola pertambangan lokal Sumber: diolah secara mandiri oleh penulis dari berbagai literatur Oleh karena itu dari beberapa kajian terdahulu, kajian ini dapat dikatakan berbeda dengan kajian-kajian tersebut, pertama, relasi politik dan bisnis akan dikaji dengan melihat lingkaran legislatif sebagai salah satu kelompok aktor pengambil kebijakan yang di dominasi oleh kalangan pengusaha atas relasinya dengan elit eksekutif. Kedua, kajian ini ingin melihat bagaimana pola relasi yang terbagun antara elit eksekutif, politisi-
7|P a ge
pengusaha dan pengusaha (swasta) ini yang membingkai praktek patronage, politik distributif dan politik transaksional, serta bagaimana bentuk relasi tersebut mempengaruhi jalannya tata kelola pemerintahan dan proses demokratisasi di tingkat lokal dalam konteks Reklamasi Teluk Benoa. Namun tren kasus politik dan bisnis saat ini mengalami perubahan bukan lagi bisnis mempengaruhi politik, melainkan dalam beberapa kasus bisnis saat ini sudah memiliki keterkaitan atau bahkan menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan politik.
E. Kerangka Teori Patronage, Politik Distributif dan Politik Transaksional: Elaborasi Teoritik Dalam membaca relasi antar aktor dalam pemerintah lokal yaitu elit eksekutif, elit legislatif dan pengusaha, maka dalam kajian ini digunakan teori patronage, political distributions dan political transactional sebagai kerangka analisis kajian. Meski tidak dapat ditampik bahwa teori tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri dalam menganalisa fenomena sosial-politik, tapi dalam kajian ini mencoba untuk menggabungkan dan mengelaborasi ketiganya dalam kasus rencana reklamasi Teluk Benoa karena beberapa alasan. Pertama, praktek birokrasi disini dilihat sebagai tipe pemburu rente (rent seeking) yang dilakukan oleh aparatur negara yang dibingkai dan bekerja dalam jaringan (formal maupun informal) patronase baik dalam bentuk transaksional maupun politik distributif. Kedua, secara praktis, ketiga teori tersebut sebenarnya memiliki kerja yang saling berkaitan. Dimana praktek yang dilakukan oleh negara dalam menguasali pubic goods seringkali bekerja dalam ikatan patronase, politik distributif dan bahkan politik transaksional. Patronage dalam hal ini banyak digunakan untuk melihat sistem politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hubungan patron-clien merupakan wujud nyata dari praktik-praktik politik formal dan informal. Praktik ini merujuk pada adanya aktifitas, aktor, saluran dan kesempatan informal yang 8|P a ge
menyetir proses pembuatan kebijakan formal. Praktik seperti ini bisa muncul dalam berbagai bentuk dengan variasi jenis eksploitasi dan penekanan. Secara umum ikatan patronase mempunyai karakteristik tersendiri, ada 3 ciri khas yang paling menonjol. Pertama, relasi terbentuk antara dua orang atau dua pihak antara aktor-aktor dengan status kekuasaan dan level kepemilikan sumberdaya yang berbeda. Kedua, dilandasi atas dasar hubungan timbal-balik diantara kedua belah pihak yang terlibat. Ketiga, hubungan
patron-clien
cenderung
bersifat
partikular
dan
private.
Kesepakatan yang terjadi antara patron-clien cenderung fleksibel dan lancar dalam tataran praktiknya lebih dikenakan karena adanya suatu ikatan pribadi atau personal yang sebelumnya terjalin diantara aktor-aktor tersebut.9 Dalam konteks studi ini relasi patronase yang dikembangkan sedikit berbeda dengan konseptual yang dikembangkan Scott. Tapi pijakannya tetap berangkat dari konseptual patronase Scott. Patronase yang bekerja dalam praktik kekuasaan disini dilihat sebagai praktek hubungan dari dua orang atau lebih (kelompok) yang di dalamnya mengandung praktek-praktek kolusi. Dalam kerangka studi ini patronage diharapkan dapat menjelaskan bagaimana jaringan interaksi antar aktor yang berada dalam level private sekaligus negara dengan pemerintah di level lokal. Dalam artian interaksi pertukaran jasa antara kelompok aktor yang berada dan menguasai institusi Lihat, Scott, JC .1972. Patron-client politics and political change in Southeast Asia. American Political Science Review 66 (1): 91-113 Lebih lanjut Scott menguraikan bahwa terdapat beberapa variasi dalam patron-client yaitu: (a) Patron berbasis sumber daya, dimana patron akan membentuk clien berdasarkan pada kemampuan client. Dalam hal ini patron akan menggunakan kemampuannya dan mengharapkan adanya sumber daya manusia yang diperoleh; (b) Client berbasis sumber daya. Dimana client dapat memberikan sumber daya yang berbeda dalam hubungannya dengan patron. Sumber daya tersebut misalnya sumber daya manusia dalam bentuk tenaga kerja, loyalitas sebagai kelompok pelindung bagi patron, ataupun bertindak sebagai kelompok pendukung politik; (c) Keseimbangan antara aspek sukarela dengan paksaan dimana aspek paksaan dalam hubungan patron-client memiliki beberapa tingkatan. Hal tersebut berkaitan dengan tidak adanya pilihan dalam diri client selain menjadi pengikut patron yang memiliki kontrol terhadap berbagai keperluan client; (d) Daya tahan yang berkaitan dengan lama tidaknya hubungan patron-Pclient dalam bertahan. pada umumnya, hubungan berjalan hingga salah satunya meninggal; (e) Homogenitas, dimana patron memiliki kemungkinan atas pengikut yang heterogen atau dapat pula homogen. Dalam hal ini, proporsi dari para pendukung patron yang berbagi karkateristik sosial dan bertentangan dengan karakter sosial tertentu akan menjadi ukuran bagi tingkat homogenitas tersebut, 9
9|P a ge
negara sekaligus ranah bisnis dengan kelompok aktor yang berada dalam ranah negara. Oleh karena itu, patronase politik dalam studi ini dimaknai sebagai interaksi diadik diantara aktor yang berada dalam pemerintah lokaleksekutif dan legislatif (politisi-pengusaha)-.10 Di satu sisi struktur perekonomian elit-elit pemerintah berusaha untuk mengintervensi dan mengendalikan berjalannya mekanisme pasar secara dominan untuk kepentingan akumulasi material dalam rangka memperkaya diri. Di sisi lain pemerintah elit-elit politik mengambil alih langsung dan mereka meminta sumbangan dari sang pengusaha sebagaimana dijelaskan oleh Kang 11: “ The predatory state is one in which the state takes adventage of a dispersed and weak business sector. Political elites pursue outright expropriation; they also solicit ‘donations’ from businessmen who in turn are their ‘shaken down’ by the regime or who volunteer bribes in return for favors an employ other means as well... potential state influence over economic life is vast, and those businessmen or groups privileged enough to receive low-interest loans or import quotas will benefit at the expense of others.” Relasi patronase politik antara elit elit politik dan elit pengusaha ini terjadi ketika bertemu dua kepentingan besar dari kedua belah pihak. Dimana pihak pengusaha mendapatkan perlindungan, kemudahan dan subsidi dari pemerintah atas berjalannya usaha mereka bertemu dengan kepentingan para elit politik yang notabene memiliki kendali langsung atas kuasa negara yang membutuhkan sumberdaya material yang banyak beredar dalam sektor bisnis yang miliki oleh pengusaha. Adanya rasa saling membutuhkan inilah yang kemudian menciptakan hubungan instrumental yang dilandasi suka sama suka tanpa ada ikatan keterpaksaan diantara keduanya. Argumen diatas senada dengan pendapat Scott12 bahwa:
Definisi ini tidak mensyaratkan antara elit eksekutif dan politisi pengusaha yang harus berada dan dihubungkan dengan aturan-aturan tradisional atau pertalian tradisional patronase sebagaimana yang digagas oleh Scott (1993). Ibid. Hal 83 11 Lihat, Kang david C. 2004, Crony capitalism: corruption and development in south korea and the philipines, cambridge university, UK. Hal. 16 dalam Kitschelt, Herbert and Steven I. Wilkinson (Ed). 2007. Patrons, Clients and Policies: Patterns of Democratic Accountability and Political Competition. Cambridge university press, UK 12 Ibid. HaL 77 10
10 | P a g e
“Hubungan patronase seperti halnya sebuah pertukaran hubungan kedua peran, seperti ikatan diadik (dua orang) yang terutama melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosial ekonomipolitik yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh, kekuasaan dan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan dan keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (client). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.” Hubungan paronase dalam politik kekuasaan ini tentu memiliki perbedaan yang mendasar dengan hubungan patronase yang ditegaskan oleh Scott. Perbedaannya terletak pada tidak adanya praktek kolusi dalam konseptual patronase yang digagas oleh Scott dan tidak adanya loyalitas yang tinggi dari pihak yang disebut klien. Hal ini tidak terlepas dari kerangka konseptual patronase yang bekerja dalam kehidupan masyarakat agraris yang tidak mensyaratkan hadirnya praktek kolusi diantara kedua belah pihak yang berelasi, yakni antara tuan tanah dan buruh tani. Kerangka patronage dalam studi rencana reklamasi Teluk Benoa ini sebenarnya patron menjadi jembatan untuk hubungan client dengan dunia yang lebih luas. Karena disinyalir relasi ini terjadi karena adanya pola menggantungkan hidup dengan mengeksploitasi sumberdaya dan meraih keuntungan material sebanyak-banyaknya.13 Pola hubungan ini merupakan hubungan yang berkelanjutan dan menjadi sebuah sistem yang berulang. Hal ini begitu terlihat pada aktivitas ekonomi yang mengatasnamakan pembangunan daerah. Lamanya hubungan yang telah berjalan tidak lantas selalu berhasil mempertahankan pola yang sama. Perubahan terjadi baik secara komoditas maupun akses terhadap kapital membuat hubungan ini mengalami pergeseran nilai. Salah satunya dengan masuknya swasta yang mampu membuka keterbatasan terhadap
peran pemerintah. Gejala
partonase pada patron dan klien memang tidak hanya tampak dan berpengaruh pada sistem masyarakat secara general.14 Sebab tidak bisa Ibid. Hal 22 Karakteristik Patronase: 1) hubungan patron-klien bersifat partikular dan tersebar secara sporadis; 2) interaksi di dasarkan pada pertukaran berbagai jenis sumber daya, bersifat 13 14
11 | P a g e
dihindari bahwa ada kepentingan para aktor yang berperan di dalam sistem tersebut yang akan berpengaruh terhadap sikap aktor. Oleh karenanya aktor menjadi penting dalam hubungan ini tidak hanya dalam kesatuan sistem melainkan pada tingkatan antar individu. Tekanannya pada pelembagaan praktek ini sebagai praktek yang tak semata-mata bersifat pragmatis antara patron dan klien tetapi bercerita tentang terintegrasinya patronase ke dalam setting budaya dan politik dalam masyarakat dimana praktek ini berlangsung.15 Kendati demikian menurut Eisedstandt, bentuk patonase yang lebih dominan adalah klientalisme. Dalam klientalisme, praktek patronase lebih bersifat korporatis. Klientalisme memadukan
model
pertukaran
langsung
individualistik dan
model
pertukaran yang digeneralisir. Fokusnya adalah pada bagaimana praktekpraktek ini menjadi terlembaga dalam arti menjadi praktek-praktek yang konkrit
dalam
organisasi-organisasi
sosial-politik
seperti
birokrasi
pemerintah baik legislatif maupun eksekutif, partai politik maupun lembaga agama lainnya.16 Kebijakan
desentralisasi
sebenarnya
membuka
peluang
baru
pembentukan aliansi kekuasaan baru akibat terfragmentasinya kekuasaan serta merekonstruksi dan memfasilitasi ruang interaksi bagi birokrasi dan pengusaha. Dalam interaksi tersebut akan terbentuk aliansi atau hubungan yang akan melahirkan tawaran-tawaran yang saling menguntungkan.
instrumental, politis dan ekonomis; 3) ada nuansa ketakbersyaratan dan kewajiban jangka panjang antara kedua pihak; 4) ada solidaritas yang kuat antara patron-dan klien termasuk soalidentitas dan harga diri; 5) hubungan patron klien tidak sepenuhnya legal dan kontraktual; 6) relasi bersifat sukarela dan kedua pihak dapat keluar dari hubungan itu secara sukarela; 7) relasi patron-klien berlangsung antara individu dalam pola vertikal dan jarang berlangsung antara kelompok-kelompok korporatis yang terorganisir; 8) relasi patron klien didasarkan atas ketidaksamaan dan perbedaan akses kepada kekuatan ekonomi dan politik. Lihat, Eisenstadt dan Louis Roniger. Patron-client Relations as a Model of Structuring Social Exchange”. Comparative Studies in society and History, Vol. 22, No 1 (Januari, 1980), hal 49-50. Lihat Pula, Tesis F.A Jarong. 2012. Kairos dan Developmentalisme. ETD. Library: UGM 15 Lihat, Marcell Mauss. The Gift, Form and Functions of Exchange in Archaic Societies. London: Cohen and west. 1954; 16 Aktivitas lain dalam artian tidak hanya melalui jalur otoritas politik, akan tetapi melalui aktivitas ekonomi di luar skema patronase. Op.cit., hal 61
12 | P a g e
Menurut Robinson,17 Pembentukan aliansi diantara kelompok elit berkuasa dengan kelompok-kelompok bisnis pada dasarnya didukung oleh tiga kondisi yang saling terkait. Pertama, pemberian wewenang pengelolaaan anggaran dan sumber daya oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah memperoleh transfer fiskal dalam jumlah besar, dan sumber daya alam yang semula dimonopoli dan dikendalikan pemerintah pusat menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Kedua, kemandirian pengelolaan daerah terutama kebijakan pengembangan daerah. Penguasaan dan kewenangan mengatur sumberdaya memungkinkan pemerintah lokal menancapkan dominasi ekonomi dan sosial di masing-masing daerah. Dengan otoritas dan kewenangan otonom pemerintah lokal dapat bebas menjalin kerjasama dengan pengusaha lokal maupun nasional. Ketiga, elit daerah memiliki basis kekuatan politik teritorial dan sosial. Berpijak terhadap tiga kondisi di atas membuat pemerintah menjadi komponen yang paling dominan dalam mengendalikan pasar. Sehingga dalam praktiknya sering terjadi distribusi kekuasaan dari pemerintah terhadap kelompok atau aliansi pebisnis. Politik tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan proses distribusi sumberdaya di dalamnya. Bahkan proses-proses distribusi sumber daya dalam politik banyak dinilai lebih kontroversial daripada distribusi barang dalam pasar. Tidak dapat di pungkiri bahwa di negara-negara demokrasi terdapat kesepakatan (meskipun bukan dalam bentuk konsensus) bahwa pemilik kewenangan politik memiliki hak untuk melakukan distribusi sumberdaya lintas generasi melalui pemungutan pajak untuk pendidikan anak-anak maupun untuk melindungi masyarakat dalam kemiskinan melalui pengembangan sektor pariwisata. Selain itu, tidak dapat dipungkiri pula adanya kesepakatan pendistribusian sumberdaya melalui program-program kesejahteraan ataupun program peningkatan lapangan pekerjaan. Pada sisi lain, distribusi sumberdaya yang dilakukan untuk membangun hubungan Lihat, Hadiz, V, & Robinson R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Political Oligarchy in an age of market. London, etc: Routledge 17
13 | P a g e
politik dengan perusahaan swasta maupun pemberian timbal balik. Hal demikian menunjukkan bahwa distribusi sumberdaya dalam politik pada satu sisi diterima secara luas oleh masyarakat universal, namun pada sisi lain juga dicela sehingga tidak sedikit pelakunya yang dihukum pidana. Pemerintah melalui program-program pemerintah sebagai upaya untuk mensejahterakan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai cara, baik secara sistemik maupun politik praktis. Cara yang dilakukan adalah upaya untuk mengukir citra baik sebagai tujuan utamanya. Sehingga pendistribusian berbagai sumber daya dilakukan untuk mendapatkan dukungan. Hal demikian menurut Stokes18 dikenal sebagai politik distributif karena adanya sumber daya yang didistribusikan. Oleh karena itu politik distribusi dalam hal ini akan cenderung akan menguntungkan pemerintah dan terutama aktor pelaksana programpemerintah dan pengusaha. Hal demikian dikarenakan aktor pelaksana lebih memiliki kontrol secara eksklusif dalam memanfaatkan keberhasilan program-program pemerintah. Hal ini di istilahkan sebagai political monopoli sementara lawan politiknya merupakan economics monopolist. Secara garis besar Stokes membagi dua penerapan politik distributif yaitu: programmatic dan non-programmatic. Penerapan politik distributif secara programatik berkaitan dengan pemanfaatan program pemerintah untuk meningkatkan elektabilitas. Penerapan ini didasarkan pada dua hal utama, yaitu: Sasaran distribusi yang dilakukan adalah publik dan kriteria formal dan distribusi haruslah benar-benar berbentuk sumber daya. Namun pada sisi lain terdapat pula penerapan politik distributif secara nonprogrammatic, yaitu: a. Unconditional partisan bias Penerapan politik distribusi ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pendistribusian
sumber
daya
pada
individu-individu
dalam
Stokes, Susan. 2013. Brokers, Voters and Clientalism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge University Press 18
14 | P a g e
masyarakat dapat meningkatkan dukungan individu kepada pejabat yang melakukan distribusi sumberdaya. Misalnya dalam bentuk hadiah yang langsung diberikan oleh pejabat atau elit.apabila distribusi sumber daya tersebut dilakukan dengan sasaran publik atau masyarakat secara kolektif, maka penerapannya di kenal sebagai istilah pork barrel. b. Clientism Penerapan
politik
distributif
dapat
pula
dilakukan
dengan
menawarkan keuntungan materi apabila masyarakat memberikan suaranya kepada kandidat. Berbeda dengan unconditional partisan bias maupun pork barrel yang tidak memberikan konsekuensi apabila penerima sumber daya tidak memilih kandidat bersangkutan, pada clientism terdapat adanya ketakutan apabila tidak memberikan suara pada kandidat yang telah mengalokasikan sumber dayanya. c. Patronage vs Vote and Turnout Buying Terdapat penerapat politik distribusi non-programmatik dengan sasaran anggota dari pejabat. Sementara itu ada pula upaya untuk mempengaruhi pendirian masyarakat. Selanjutnya, selain pola relasi politik distributif yang sering digunakan oleh pejabat pemerintah, pola lainnya adalah politik transaksional (Transactional Politics) yang juga sering dimaknai sebagai politik jual beli jabatan atau barang, atau juga sering disebut sebagai politik kesepakatan yang dibuat oleh elit birokrasi dengan elit lainnya. Politik transaksional sangatlah berbahaya dan sering melahirkan pemimpin dan politisi korup19 dan gayanya seperti racun yang sangat mematikan bagi demokrasi. Karena sifat dan pedoman terhadap nilai-nilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi. Realitas tersebut berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia itu adalah sarat dengan tukar-menukar jasa. Artinya, terdapat tukar menukar jasa antara politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dalam politik transaksional Lihat, Loebuis, Michello. 2014. Governing from Belows. Cambridge: Cambridge University Press 19
15 | P a g e
terdapat politik praktis berupa kesepakatan lelang jabatan atau upaya memperlancar jalannya pemilu. Munculnya sosok pejabat yang tidak jelas kredibilitasnya, kapasitan maupun kompetensinya yang justru juga sebagai ladang KKN sebagai upaya mengembalikan modal awal yang dikeluarkan seseorang dalam mengincar suatu jabatan. Dalam konteks berdemokrasi, suatu golongan akan mencari kawan untuk memuluskan jalannya. Namun di sisi lain suatu kelompok yang mempunyai kepentingan akan mencari kawan kepentingannya yang sejalan. Dalam politik transaksional yang paling membahayakan adalah terjadinya cost politics yang mahal.20 Bahwa dalam transaksi politik akan menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Artinya, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut tidak bisa dihindari, bahwa yang paling umum dalam praktek politik transaksional adalah pengajuan permohonan secara individual maupun kelompok dalam parlemen atau dalam lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan kedua belah pihak. Dalam melakukan transaksi politik biasanya dilakukan melalui beberapa saluran untuk mencapai kesepakatan dalam transaksional. Sejalan dengan hal itu, dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi
ekonomi
yang
dapat
mensejahterakan
politikus
dan
kelompoknya.21 Dalam bertransaksi, harga barang tidak mengenal ideologi, transaksi hanya ditentukan oleh besarnya harga yang disepakati bersama. sekalipun pembelinya adalah orang yang tidak dikenal dan bahkan musuh sekalipun. Puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber
kemakmuran,
melainkan
untuk
memperjuangkan
Lihat, Suyatna, Hempri. 2013. Dominasi Elit dalam Arena Pengembangan Industri Kecildi Era Desentralisasi. LP3ES V 32 2013 21 Epstein, David dan Sharyn O’Halloran. 1997. Delegating Powers: A Transaction Cost Politics Approach to Policy Making Under Separate Powers. Stanford: California 20
16 | P a g e
kepentingan publik.22 Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga negara yang mempunyai hak otoritas suara dalam pesta demokrasi. Boissevain
mengatakan
bahwa
transaksional
digunakan
untuk
menjelaskan hubungan pertemanan dan persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Pada kondisi tertentu, politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem. 23 Persaingan dalam hubungan transaksional hanya boleh berjalan apabila semua peraturan telah ditentukan, dipahami dan disetujui. Fokus dalam hubungan transaksional adalah perilaku yang bersifat pragmatis dan berada di luar peraturan yang sewajarnya.
F. Definisi Konseptual Dalam rangka memberikan arahan pada fokus studi ini, maka perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Selain itu definisi konseptual ini secara khusus sebagai acuan dasar dan panduan penulis dalam melakukan penelitian di lapangan. Secara umum definisi konseptual ini sebagai acuan umum pembaca lainnya agar memiliki konsepsi yang sama terhadap istilah-istilah kunci yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini. 1. Relasi merupakan bentuk hubungan antara dua aktor atau lebih yang berbeda dalam dunia politik maupun lainnya, dimana terjadi tukarmenukar kepentingan diantara yang berelasi. 2. Patronase dipahami sebagai hubungan yang bersifat resiprokal, saling menguntungkan dan bersifat kolutif antara pengusaha, politisipengusaha dan elit eksekutif. Dimana masing-masing pihak berelasi menjadikan public goods sebagai bagian barang atau jasa yang dipertukarkan. Lihat, Boissevain, Jeremy. Patronage in Sicily. New Series, Vol 1, No. 1 (Maret 1966), pp. 1833 23 Ibid. Hal. 32 22
17 | P a g e
3. Politik Distributif merupakan penerapan distribusi kekuasaan berkaitan dengan pemanfaatan program-program negara atau program
pemerintah untuk menaikkan
citra aktor
terhadap
masyarakat. 4. Politik Transaksional merupakan politik kesepakatan yang dibuat oleh elit birokrasi dengan elit lainnya dalam memanfaatkan sumberdaya ekonomi atau sosial sebagai politik jual beli jabatan, barang maupun jasa.
G. Definisi Operasional Dalam rangka melihat bagaimana relasi politik dan bisnis dalam Pembangunan Pariwisata yang bertajuk rencanan reklamasi Teluk Benoa tahun 2013-2015, serta untuk memudahkan mengumpulkan data, maka definisi konsep dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan
dan
menjelaskan
gejala-gejala
yang
dapat
diuji
kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Elit eksekutif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berada di dalam pemerintahan eksekutif provinsi Bali dan memiliki kedudukan strategis untuk bisa melakukan manuver politik maupun membangun jaringan komunikasi politik dengan pihak-pihak lain yang ada dalam sistem pemerintahan eksekutif tersebut.24 2. Politisi-pengusaha adalah para anggota DPRD yang memiliki yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha yang bergerak dalam jasa konstruksi bangunan, hotel dan apartemen dan pengusaha yang bergerak dalam jasa penjualan lainnya. Dalam studi ini penulis tidak membatasi apakah pengusaha dalam bidang kecil atau besar. Selain Dalam studi ini penulis sengaja menggunakan term eksekutif dan birokrat. Hal ini dilakukan untuk mengatasi term birokrat yang tidak bisa menjelaskan luasnya cakupan pejabat pemerintah daerah yang memiliki wewenang penuh dalam mengatur dan mengelola pemerintahan di Provinsi Bali seperti Gubernur dan wakil Gubernur. 24
18 | P a g e
itu, profesi pengusaha di sini tidak dibatasi oleh masa, artinya baik anggota legislatif yang sebelumnya sudah memiliki profesi sebagai kontraktor atau ketika henda menjadi anggota legislatif baru mengembangkan usaha dalam bidang konstruksi dan bidang usaha lainnya. 3. Relasi dalam penelitian ini dilihat sebagi pola hubungan yang terjadi antara aktor birokrasi (jajaran eksekutif) dengan eksekutif (politisipengusaha), dan swasta (PT TWBI). Dimana secara praktisnya akan melihat bagaimana para penguasa dan pengusaha akan melakukan lobi-lobi politik terhadap elit legislatif dalam kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Relasi ini juga akan melihat bagaimana kedua belah pihak melakukan transaksi kepentingan, baik kepentingan politik maupun ekonomi baik secara formal maupun informal. 4. Patronase dipahami sebagai hubungan yang bersifat resiprokal dan saling menguntungkan. Dimana masing-masing pihak berelasi menjadikan public goods sebagai bagian barang yang dipertukarkan. Elit eksekutif memberikan dukungan dan penghormatan kepada politisi-pengusaha yang ditampilkan dalam berbagai bentuk seperti: pemberian
kewenangan
untuk intervensi
dan
mempengaruhi
kebijakan, menentukan pemenang tender, monopoli tender, dan lain sebagainya. Sebaliknya, politisi pengusaha memberikan fee dari proyek, memberikan dukungan politik dan ekonomi terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Pada periode dimana penguasa memiliki kewenangan memformulasikan kebijakan, merekalah yang memegang kontrol penuh atas distribusi akses pengelolaan sumber daya lokal. Memasuki fase transisi demokrasi terjadi pergeseran poros kontrol dimana akan tiba gilirannya penguasa mengambil peluang merebut kursi kekuasaan lewat investasi ekonomi mereka lewat investasiinvestasi lokal. 5. Politik Distributif akan dilihat penerapan distribusi kekuasaan berkaitan dengan pemanfaatan program-program negara atau program pemerintah. Dalam hal ini rencana reklamasi Teluk Benoa 19 | P a g e
sebagai tameng untuk mengukir citra Baik eksekutif dan legislatif sebagai upaya pemenuhan janji terhadap masyarakat di masa kampanye. 6. Politik Transaksional akan melihat bagaimana politik kesepakatan yang dibuat oleh elit birokrasi dengan elit lainnya dalam upaya meloloskan rencana Reklamasi; pengajuan permohonan secara individual maupun kelompok dalam parlemen atau dalam lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan kedua belah pihak. H. Metode Penelitian H1. Jenis Penelitian Peneliti mengkaji permasalahan dalam penelitian ini dengan metode studi kasus. Kajian dilakukan untuk mengetahui dan mengungkap pola relasi yang terjadi antara elit birokrasi, politisi-pegusaha dan pengusaha dalam kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Informan penelitian yang dipilih adalah representasi aparatur pemerintah Provinsi Bali yakni elit eksekutif yang terlibat langsung dalam proses kebijakan reklamasi Teluk Benoa, politisipengusaha di aras legislatif, dan pengusaha (PT Tirta Wahana Bali Internasional) dan institusi-institusi yang terkait dengan tema penelitian. Penelitian eksploratif merupakan bentuk dari penelitian kualitatif yaitu untuk menjelaskan dan mengungkap dinamika relasi politik dan bisnis dalam rencanan reklamasi Teluk Benoa tahun 2013-2015. Hakikat hubungan peneliti dan informan akan memberikan kepekaan dan lebih dapat merespon kegiatan secara bersama mengenai nilai-nilai yang diteliti.25 Metode ini juga mempermudah dalam menggambarkan fenomena relasi Politik dan Bisnis, serta memahami realita-realita politik dan bisnis yang memastikan diukur secara akurat. Berkenaan dengan pertanyaan penelitian ini akan berusaha menjelaskan
dan
menggambarkan
pola
relasi
politik
dan
bisnis
pembangunan pariwisata.
25
Moleong, Lexy. J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung
20 | P a g e
Dalam konteks penelitian yang penulis lakukan, maka untuk mengetahui pola relasi yang terjadi antara penguasa, politisi-pengusaha dan pengusaha, penulis melakukan eksplorasi dan penafsiran terhadap data yang penulis dapatkan baik dari hasil wawancara mendalam maupun studi literatur terhadap para aktor yang menjadi objek penelitian penulis, serta menghubungkan dengan pengalaman-pengalaman para pemilik kewenangan. H2. Lokasi dan Objek Penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah di Provinsi Bali. Lokasi ini dipilih karena Bali merupakan salah satu penyumbang pendapatan pariwisata tertinggi di Indonesia, oleh karenanya sangat menarik bagi penulis untuk mengkaji politik dan bisnis, secara lebih komplek relasi kuasa antar elit dalam kebijakan reklamasi Teluk Benoa tahun 2013-2015. Objek penelitian dalam studi ini tentunya adalah elit eksekutif, politisi-pengusaha yang ada di parlemen dan pengusaha di luar pemerintahan (swasta). Hal ini dilakukan untuk mencari pandangan-pandangan yang berbeda tentang permasalahan yang menjadi fokus kajian. Lebih lanjut, selain informan kunci (elit terlibat dalam kebijakan Reklamasi Teluk Benoa) untuk mendapatkan data yang lebih kompleks dalam penelitian ini akan ditambahkan beberapa narasumber mendapatkan data adalah para akademisi yang ada di Universitas Udayana (UNUD) dan Universitas Warmadewa Denpasar, khususnya bagi mereka-mereka yang memberikan perhatian khusus tentang perkembangan dan dinamika politik yang terjadi di Provinsi Bali. Kemudian informan lain juga berasal dari unsur KPUD, Dinas Terkait dan Jurnalis Lokal. Para aktor yang berasal dari NGO lokal juga tidak luput untuk menjadi objek atau informan dalam menggali data untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang menjadi kajian penelitian. H3. Jenis Data Adapun dalam penelitian ini jenis data adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh di lapangan melalui
21 | P a g e
wawancara mendalam dan intensif yang dilakukan secara terbuka dan fleksibel, yang memungkinan informan mengelaborasi nilai dan sikap mereka dan memaknai tindakan mereka. Selain itu juga melalui pengamatan langsung peneliti selama berada di Pulau Dewata. Informan yang diwawancarai adalah Pejabat Pemerintah Provinsi Bali yang dianggap berhubungan dengan permasalahan penelitian, politisi-pengusaha yang ada di legislatif, kelompok pengusaha (TWBI) yang terlibat dalam proses kebijakan reklamasi Teluk Benoa, serta dinas-dinas yang terkait dengan penelitian. Selain itu informasi lainnya untuk mendukung data penelitian seperti, wartawan surat kabar Bali Pos dan akademisi Universitas Udayana. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku, makalah dan dokumendokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Dokumen tersebut berupa artikel, majalah, koran, notulensi maupun dokumen resmi serta rekaman video terkait fokus penelitian. Data yang paling banyak memberikan informasi adalah berupa berita-berita di koran dalam bentuk kliping tentang fenomena relasi kuasa negara dalam ranah politik lokal di Provinsi Bali. H.4 Teknik Pengumpulan Data dan Analisa Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian ini adalah mendapatkan data.26 Adapun dalam teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, pertama, wawancara mendalam (In depth interview) dengan proses tanya jawab secara langsung yang ditujukan kepada informan di dalam lokasi penelitian dengan menggunakan panduan dan pedoman wawancara berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara dilakukan terhadap informan penelitian.instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara dan ditujukan kepada para informan. Data-data yang digali dengan teknik wawancara adalah mengenai proses
penerapan
politik
patronase
dalam
kegiatan
pembangunan
pariwisata. Kedua, studi dokumen (documentations) yang dilakukan guna 26
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
22 | P a g e
mengungkap bukti-bukti nyata berbentuk dokumen, Surat Keputusan Gubernur, Peraturan Presiden dan laporan hasil kegiatan lainnya. Peneliti mengamati fenomena yang sebenarnya terjadi dilapangan dengan cara mengaitkan antara informasi (apa yang terjadi) dan konteks (hal-hal yang berkaitan di sekitarnya). Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif dan data yang diperoleh dianalisis berdasarkan teori Milles dan Huberman.27 Mereka menyatakan bahwa langkah-langkah dalam analisis data adalah reduksi data, display data, penarikan kesimpulan dan verifikasi. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemisahan, perbaikan dan penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Dalam penelitian ini langkah pertama adalah peneliti mencoba memilah dan memilih data dan informasi mana yang penting dan tidak penting sesuai dengan topik penelitian. Penyajian data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan penarikan kesimpulan. Data yang telah dipilih seperti data wawancara dan pengamatan langsung dianalisis isinya. Lebih dari itu, penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan matriks, tabel, diagram, grafik, jaringan dan bagan yang bertujuan untuk mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diperoleh. Untuk memperoleh validitas atau keabsahan data maka peneliti melakukan cross and ceck antara narasumber yang satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat, termasuk juga dalam telaah dokumen. Setelah data dan informasi sudah dianggap valid, peneliti mencoba menarik kesimpulan dari hasil temuan penelitian.Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan. Sehingga data-data yang ada teruji validitasnya. 27
Miles, Matthew B dan Huberman, A Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas Indonesia Press
23 | P a g e
I. Sistematika Penulisan Untuk menyajikan hasil penelitian yang sistematis dan mudah dicerna oleh pembaca, peneliti akan menyajikan hasil penelitian secara terstruktur dan sistematis sehinga mudah dipahami. Adapun secara keseluruhan, penyajian terdiri dari lima bab dimana masing-masing bab mempunyai bahasan yang berbeda. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang penelitian; rumusan masalah; tujuan penelitian; manfaat
penelitian;
kerangka
teoritis;
definisi
konseptual;
definisi
operasional dan metode penelitian. Bab II, Dimensi ruang dan aktor dalam kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Misi dalam Bab ini untuk memetakan aktor, secara lebih kompleks akan membahas proses advokasi elit-elit (aktor) yang berperan dalam pemerintahan eksekutif dalam rencana reklamasi Teluk Benoa, politisipengusaha yang menduduki jabatan publik di DPRD, serta pengusaha yang di luar pemerintahan dan turut berperan serta beraliansi dengan elit eksekutif maupun legislatif dalam kebijakan reklamasi teli benoa. Bab III, Setting Patronage dalam konteks revitalisasi berbasis reklamasi yang meliputi pembahasan tentang arena yang digunakan politisipengusaha, pengusaha dan penguasa dalam membangun jaringan patronase politik. Pola interaksi politik-bisnis: patronase politik yang dibangun oleh elit birokrasi yang terwujud dalam praktik politik formal dan informal. Bab IV, Menelusuri pola operasi kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Kepentingan-kepentingan di balik relasi kuasa antar aktor. Dalam bab ini akan mendiskusikan bagaimana dominasi para borjuasi lokal di Bali mempengaruhi kebijakan pembangunan pariwisata dan membentuk pola relasi diantara mereka dengan penguasa. Bab V merupakan kesimpulan dari hasil penelitian yang didapatkan dari lapangan. Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian.
24 | P a g e