Ketika Pembangunan Berwatak Brutal Indeks pembangunan manusia Papua tak bergerak naik, sementara tingkat kemiskinan masih tinggi. Benarkah kebijakan dan praktik pembangunan di Papua tak pernah menyentuh hak-hak dasar penduduk asli Papua? Hampir satu setengah dekade Otonomi Khusus untuk Papua bergulir. Puluhan triliun rupiah sudah digelontorkan. Namun, rupanya pembangunan di Papua tidak berkontribusi terhadap pemenuhan hak-hak dasar orang asli Papua. Mari kita mulai dari data-data indeks pembangunan manusia berikut. IPM dengan tiga variabelnya, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat, setidaknya bisa memberi gambaran umum tentang pencapaian pembangunan di Papua, utamanya dalam kerangka pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berdasarkan data BPS, pada 2013 IPM Papua tercatat 66,25. Papua Barat relatif lebih baik, yaitu 70,62. Angka ini merayap naik dibanding 2009. Lima tahun lalu IPM Papua tercatat masih 64,53 dan Papua Barat 68,58. Namun dibanding provinsi lainnya di seluruh Indonesia, IPM kedua provinsi ini menempati urutan yang paling buncit dan masih di bawah rata-rata IPM nasional. Bandingkan, misalnya, dengan IPM Daerah Istimewa Yogyakarta (77,37) dan Sulawesi Utara (77,36). Kedua provinsi tersebut menempati urutan kedua dan ketiga, di bawah DKI Jakarta yang menempati urutan teratas. Sementara rata-rata IPM nasional tercatat 73,81. Kendati begitu, data-data IPM di atas sesungguhnya belum benar-benar dapat menggambarkan realitas pembangunan manusia Papua yang sesungguhhnya. Apa pasal? Menurut Josie Susilo, kita harus harus berhati-hati dalam membaca IPM Papua. Jika membaca data-data IPM tersebut hanya selintas saja, demikian ungkap Josie, kita akan kesulitan mengetahui kondisi Papua secara lebih jelas. Meskipun data tersebut disajikan per kabupaten/kota, atau bahkan diderivasikan lagi per kecamatan. “Tapi kalau kemudian data itu ditempatkan pada masing-masing kabupaten/kota dalam peta Papua, maka kita akan dapat lebih jelas dalam melihat Papua,” ujar Josie. Dalam konteks nasional IPM Papua memang paling rendah. Tapi kalau kita lihat dalam konteks keseluruhan Papua itu sendiri, lanjut Josie, IPM-nya beragam, yaitu antara 47 sampai 66. Daerah dengan IPM di atas 60 umumnya kabupaten/kota yang berada di wilayah pesisir, seperti Jayapura, Nabire, Merauke, Sorong, Fakfak. “Sementara, kalau kita cermati, daerah yang berada di Pegunungan Tengah, rata-rata IPM-nya 50, bahkan kurang,” imbuh dia. Tak hanya itu. Josie mengatakan gambaran mengenai data IPM Papua ini akan menjadi lebih detail jika kita memasukkan variabel komposisi demografi. Sebab, dari sisi komposisi penduduk, kita akan melihat kondisi Papua yang berbeda lagi. Di beberapa kabupaten/kota yang berada di wilayah pesisir, dengan komposisi penduduk asli dan
pendatang 50:50, rata-rata IPM-nya lebih tinggi. Jayapura, kota yang lebih banyak penduduk pendatang ketimbang penduduk asli, mempunyai IPM paling tinggi. Sebaliknya, untuk kabupaten yang berada di wilayah pegunungan dengan komposisi penduduk lebih dari 90 persen orang asli Papua, rata-rata IPM-nya 50. “Dari sini, kita bisa mulai melihat agak lebih rinci. Untuk wilayah yang berpenduduk 90 persen orang asli Papua, IPM-nya lebih rendah,” timpal Josie. Tak pelak lagi, fakta-fakta tersebut menggambarkan pencapaian pembangunan yang dijalankan dalam kerangka kebijakan otonomi khusus (Otsus) yang sudah berlangsung sejak 2002. Merujuk pada UU Otonomis Khusus No. 21 Tahun 2001, kebijakan Otsus sendiri mengamanatkan tiga hal: perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan orang asli Papua. Namun dari data IPM di atas tampak jelas bahwa ketiga amanat tersebut belum terwujud dengan dengan baik. Masih menurut Josie, bukti di lapangan memang menunjukkan bahwa dengan menutup mata kita bisa menunjuk kampung apa saja yang ada di situ, rata-rata institusi pelayanan publik di sana tidak berjalan dengan baik. “Sekolah dan Puskesmas memang ada, tetapi guru dan dokternya tidak ada. Inilah yang menyebabkan IPM mereka rendah,” timpal Josie. Sebagai gambaran, mari kita tengok, misalnya, kondisi Kabupaten Deiyai di kawasan Pegunungan Tengah. Rasio guru-murid sekolah dasar di wilayah ini lumayan tinggi, yaitu 1:50,59. Artinya, satu guru harus menangani 50 orang murid. Di bidang kesehatan pun tak jauh beda. Daerah tingkat dua yang berpenduduk 89.327 jiwa ini hanya memiliki 2 orang dokter, 22 bidan, dan 58 perawat. Dari segi sosial ekonomi, kabupaten ini memiliki jumlah penduduk miskin paling tinggi, yaitu 45,92 persen. Angka ini jauh melebihi ratarata tingkat kemiskinan di Provinsi Papua yang merupakan provinsi paling miskin di Indonesia, 30,5 persen. Kabupaten Deiyai tak sendirian. Di Kabupaten Yalimo rasio guru-murid mencapai 1:195. Sedangkan untuk tenaga kesehatan, wilayah kabupaten yang berpenduduk 54, 911 ini hanya mempunyai 10 dokter, 8 bidan, dan 58 perawat. Kondisi yang kurang lebih serupa juga terjadi pada beberapa kabupaten lain di Papua, seperti Dogiyai, Membramo Tengah, Puncak dan Waropen. Semua daerah tingkat dua ini tak mempunyai tenaga kesehatan dan pendidikan dalam jumlah yang memadai. Lompatan-lompatan pembangunan yang tak membumi Terhitung sejak proses integrasi pada 1963, setengah abad lebih sudah Papua bergabung dengan Indonesia. Selama itu juga pembangunan di Bumi Cenderawasih ini tak pernah menorehkan jejak yang berarti bagi penduduk asli Papua. Selama ini pembangunan di Papua hanya diterjemahkan dalam bentuk investasi dalam rangka pembangunan ekonomi yang meminggirkan orang asli Papua. Masalahnya klasik, memang. Akan tetapi, Bambang Shergi Laksono, Direktur Papua Center Universitas Indonesia, tetap melihat isu ini sebagai komponen pokok. Dia mencontohkan program MP3EI. Program pembangunan yang diluncurkan Bappenas pada 2011 ini meletakkan Papua sebagai lumbung pangan nasional bahkan internasional. Tapi kemudian dalam pelaksanaannya ini lebih diartikan sebagai pembukaan lahan bagi investor produsen pangan untuk memenuhi produsen global. Padahal, menurut
Bambang, akan lebih baik bila bingkai itu dikaitkan dengan pangan lokal dan kedaulatan pangan nasional. Terlebih jika mengingat selama ini Papua dikenal daerah penghasil sagu sebagai simbol pangan lokal. “Mengapa tidak ada institusi nasional yang meletakkan sagu sebagai produk pangan lokal yang mempunyai kontribusi nasional? Semuanya kembali kepada kemauan politik,” ujar Bambang. Akan tetapi, lanjut Bambang, dalam hal ini kita kalah dari negeri tetangga, Malaysia. Negeri Jiran itu sudah melakukan riset-riset unggulan untuk menemukan alternatif karbohidrat yang rendah kalori. Mereka menemukan sagu dan mulai mengembangkannya di Riau. Sebaliknya, kini hutan Papua tengah beralih menjadi tanaman monokultur dengan penanaman sawit. Itu hal yang ironis mengingat Papua punya kapasitas produksi dan bahan baku yang potensial. “Saya pikir sangat bernilai kalau kita mengoptimalkan potensi sagu sebagai pangan lokal yang berkontribusi terhadap pangan nasional,” ungkap dia. Bambang lalu bertutur tentang Papua pada dekade 1950-60an ketika pemerintah Belanda masih ada di sana. Saa itu, pemerintah kolonial berencana membangun perkebunan cokelat terbesar. Belanda kemudian memberikan rintisan perkebunan karet dan cokelat. Sebagai orang Papua juga diberi bekal keterampilan agar dapat beradaptasi dengan suatu organisasi perkebunan yang lebih modern. “Sekarang, mengapa potensi ini tidak dikembangkan?” Namun, Bambang menengarai bahwa pemerintah seringkali melaksanakan praktik pembangunan yang sesungguhnya tidak dimengerti oleh masyarakat. Dia mencontohkan pertambangan besar dan perkebunan sawit di Papua. Padahal, ketika zaman Belanda, Papua sudah diarahkan untuk mau mengolah potensi yang ada. “Jadi, dalam melihat Papua saat ini, masalah yang muncul adalah adanya lompatan-lompatan pembangunan yang tidak didasarkan pada suatu kapasitas lokal yang sifatnya historis.” Pembangunan minus pemberdayaan Tahun 2011, melalui PP No. 66 Tahun 2011 pemerintah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) untuk menggenjot pembangunan di Papua. Dengan kendali langsung di bawah presiden, pembangunan yang diinisiasi oleh UP4B berorientasi pada peningkatan kesejahteraan melalui penyelenggaraan program ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kebijakan afirmatif untuk orang asli Papua. Namun sayangnya, sejumlah pihak mencermati UP4B tidak berjalan maksimal. Menurut Cahyo Pamungkas, peneliti LIPI, penyebabnya antara lain karena pemerintah kurang serius, sehingga dana yang dialokasikan untuk Papua yang dibutuhkan UP4B, tidak termanfaatkan dengan baik. Selain itu, UP4B sendiri tidak memiliki pendekatan yang komunikatif dengan orang asli Papua. Mereka membuat rencana pembangunan tanpa melibatkan orang asli Papua secara memadai. Dan yang lebih parah lagi, menurut Cahyo, tidak ada pemberdayaan ekonomi bagi orang asli Papua. Sementara itu, UP4B menggenjot pembangunan infrastruktur untuk membuka keterisolasian Papua. Misalnya, membangun jalan tanah dari sungai-sungai di selatan Papua ke wilayah Pegunungan Tengah, dan pembangunan jalan dari timur ke utara dan
dari barat ke selatan. “Tetapi pembangunan jalan ini melibatkan tentara. Ini yang menjadi kritikan,” ungkap Cahyo. Dalam perspektif aktivis Papua, keterlibatan tentara dalam UP4B merupakan satu hal yang menyakiti perasaan orang Papua. Selama ini, tentara menjadi simbol represif negara dan mereka tidak pernah mau melakukan dialog. Alhasil, jalan pun dibangun tanpa mempedulikan kepemilikan tanah-tanah ulayat yang mereka lalui. Akibatnya, pembangunan infrastruktur fisik di Papua berdampak pada peminggiran orang asli Papua. Meski begitu, Cahyo mengakui, terdapat beberapa program UP4B layak diapresiasi. Sebagai contoh, program pendidikan UP4B berhasil menyekolahkan anak-anak Papua yang lulus SMA untuk kuliah di PTN di luar Papua, memberikan beasiswa bagi anak-anak SMA yang tidak mampu, dan pemberian kuota khusus untuk anak Papua di Kepolisian, AKABRI, dan pilot. Namun semua program ini tidak maksimal karena tidak ada dana. Terusir di tanah sendiri Sementara itu, di tengah centang perenangnya kondisi Papua, wacana pemekaran terus bergulir. Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri tengah mengkaji rencana pemekaran dua provinsi baru di tanah Papua, diantaranya adalah pembentukan Provinsi Papua Tengah. Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, mengatakan, pemekaran di Papua tetap diperlukan untuk meningkatkan pemerataan kesejahteraan. Terlebih, lanjut Tjahjo, daerah Papua masih sangat luas. Tak hanya itu, pemerintah baru juga berupaya untuk mengintensifkan kembali program transmigrasi di Papua. Program yang diinisiasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini terkait dengan pembangunan kawasan perbatasan. Pemerintah menilai, program transmigrasi yang dilaksanakan di Provinsi Papua selama ini telah mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Sebagai contoh, beberapa kawasan transmigrasi beberapa kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pemerintahan, perdagangan maupun ekonomi, seperti Arso, Jagebob. Di atas kertas, kedua rencana program tersebut tampak indah dan membawa berkah bagi Papua. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan sebaliknya. Dalam pelaksanaannya transmigrasi akan mengambil tanah ulayat dan meminggirkan orang Papua. Ke depan, orang Papua akan semakin terancam dengan adanya transmigrasi. Mengenai kebijakan pemekaran baru, menurut Cahyo Pamungkas, hal tersebut justru bakal memecah belah kesatuan adat orang Papua. Berdasarkan UU Otsus, rencana pemekaran seharusnya melalui proses konsultasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa mendatang. Tetapi Kemendagri malah mengambil keputusan sepihak dan memaksakannya dari atas tanpa persejutuan dari rakyat Papua melalui wakil-wakilnya di MRPR dan DPRP. Hal yang sama pernah terjadi di era Presiden Megawati melalui Inpres No. 1 Tahun 2003 untuk pemekaran Provinsi Papua Barat. “Itulah mengapa orang Papua tidak menyukai kedua rencana pemerintah tersebut,” ungkap Cahyo. “Kalau melihat semua itu, kita jadi pesimis. Jokowi yang awalnya dipercaya dan mendapat dukungan orang Papua, tetapi sekarang menteri-menterinya seperti tidak searah dengan pemikiran pemimpin,” ungkapnya.
Alih-alih bakal meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan, pemekaran provinsi baru justru dinilai akan menghambat efektivitas pembangunan di Papua. Oleh karena itu, menurut Bambang, sebaiknya Papua tidak dipecah. Yang harus mendapat perhatian dan dikembangkan justru kapasitas mereka dalam melaksanakan pembangunan. Sedangkan dengan adanya pemekaran, energi mereka akan habis untuk melakukan konsolidasi politik. Dan hal ini, lanjut dia, akan terus menyita waktu pemerintah daerah ketimbang berpikir dan bekerja melaksanakan agenda-agenda yang lebih konkrit dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua.[]