BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir dalam suatu masa ketika kebebasan berserikat dan berkumpul terdistorsi secara sistemik oleh kekuasaan Orde Baru. Ketika PPP lahir, jangkar otoritarianisme dan korporatisme negara begitu kuat mencengkeram setiap organisasi politik dan organisasi massa. Partai Persatuan Pembangunan adalah cermin persatuan melalui penggabungan atau fusi dari empat partai politik Islam peserta Pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh K.H. Idham Khalid (NU), H.M.S. Mintaredja (Parmusi), H. Anwar Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), dan K.H. Masykur (NU), dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pemimpin partai untuk bersatu, bahumembahu, serta membina masyarakat agar dapat lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, melalui perjuangan partai politik.1 Sejarah perkembangan PPP sejak deklarasi fusi empat partai Islam tentu saja mengalami pasang-surut. Jika kita lacak, di era Orde Baru, PPP hanya dijadikan pelengkap penderita dalam bingkai Demokrasi Pancasila karena jika Demokrasi Pancasila dianggap sebagai demokrasi konsensus yang lahir dari bumi Indonesia, seharusnya PPP dan PDI ketika itu ikut berkuasa dalam menjalankan 1
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia ; Ideologi dan Program 2004 – 2009, Jakarta : Kompas. Halaman .88
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan Orde Baru. Akan tetapi, kedua partai tersebut hanya dijadikan sparing partner yang seolah-olah sudah dipastikan harus kalah. Keberadaan PPP (juga PDI) pada masa Orde Baru tidak lebih dari sekadar “aksesoris” dalam sistem Demokrasi Pancasila. Aspirasi umat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya disumbat dan dikekang dengan berbagai instrument hukum yang mendukung terhadap rezim otoriter. Intervensi Negara terhadap berbagai kehidupan masyarakat temsuk kedalam internal partai politik dapat dilakukan setiap saat. Akibatnya, partai politik tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya seperti yang diharapkan. Dari semua Pemilu yang diikuti, dukungan masyarakat terhadap PPP selalu mengalami penurunan. Selama di bawah kendali struktur politik Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan1997, dukungan masyarakat terhadap PPP menjadi fenomena yang menarik untuk ditelusuri. Demokrasi Pancasila yang dijadikan dalil dan dalih stabilitas politik untuk kelancaran pembangunan telah membelenggu aspirasi rakyat. Rakyat disuguhkan politik hegemonik dengan hanya menampilkan tiga orsospol saja. Dahsyatnya, politik hegemonik tersebut mewarnai rakyat mulai dari istana sampai ke tingkat RT/RW. Pada setiap penyeleggaran Pemilu, satu orsospol harus dimenangkan oleh pemerintah sebagai single majority, sedangkan dua orsospol lainnya (PPP dan PDI) hanya diposisikan sebagai penggembira panggung demokrasi. Pada masa Orde Baru, situasi
kondisi politik internal PPP dapat
dikategorikan kepada dua fase, yaitu fase berasaskan Islam (1977 – 1982) dan fase berasaskan Pancasila (1987 ,1992 ,1997). Kedua fase tersebut telah memberikan nuansa yang signifikan terhadap PPP dan psikologi para pendukungnya.
Universitas Sumatera Utara
Sesudah terjadinya fusi tahun 1973, Pemilu pertama yang diikuti PPP tahun 1977 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Partai yang membawa Panji Islam ini berhasil mendapat kepercayaan dengan perolehan suara 18.745.592 (29.29 %) suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Perolehan suara itu meningkat 2,17 % dari total perolehan partai-partai fusi (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) dalam Pemilu 1971.2 Alhasil, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil memperoleh 99 kursi atau 27,5 % untuk mendudukkan wakilnya di DPR dari sebelumnya yang hanya memliki 96 kursi (sebelum fusi terjadi). Keberhasilan ini menunjukkan konsoliditas kalangan elite partai dan soliditas para pendukungnya ketika menghadapi Pemilu dalam meraih simpati pendukung lain cukup terbangun dengan baik, walaupun dibayang-bayangi skenario politik pemerintah yang tidak ramah. Pada pemilu 1982, dukungan masyarakat mengalami penurunan sebesar 1,51 % dari Pemilu sebelumnya. Perolehan suara PPP pada Pemilu 1982 hanya 20,872,880 suara atau 27,78% dari 75.126.306 suara sah sehingga perolehan suara kursi DPR pun menurun sebesar 3 % atau 94 kursi (24.5%) dari 364 kursi yang diperebutkan. Jumlah perolehan kursi ini turun lima kursi dari jumlah kursi DPR hasil pemilu sebelumnya yang mencapai 99 kursi.3 Hilangnya lima kursi tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan kader-kader potensial PPP terhadap dinamika yang terjadi di tubuh internal. Diantaranya dipicu oleh ketidakpuasan kader-kader potensial yang tidak terakomodir baik karena penolakan terhadap Undang-Undang 2
Syafruddin Amir, 2007, Transformasi Energi PPP, Konsolidasi Menuju Partai Sejati, Bandung : Idea Publishing, hal. 29 3 Ibid., hal 31
Universitas Sumatera Utara
No. 2 Tahun 1980 Tentang Kedudukan Partai Politik dan Golkar dalam KPPS yang hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto maupun oleh kebijakan ketua umum H.J. Naro, pada pelaksanaan Mukramar I dan pada penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) untuk Pemilu 1982 serta kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak aspiratif dan akomodatif. Dalam menghadapi Pemilu 1987, hilangnya identitas keIslaman PPP merupakan suatu keterpaksaan imbas dari tindakan pemerintah Orde Baru yang memberlakukan Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.3 Tahun1975 tentang Partai dan Golongan Karya yang mewajibkan lambang Partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Munculnya Undang-Undang No.3 Tahun 1985 tersebut berimplikasi pada hilangnya identitas PPP yang pada awalnya menggunakan lambang Ka’bah harus berubah menjadi lambang bintang dan menanggalkan Islam sebagai asasnya dan selanjutnya secara terpaksa PPP harus berasaskan Pancasila. Sejak saati itu PPP seolah kehilangan identitasnya sebagai partai Islam sehingga posisinya tergantung-gantung tanpa akar.4 Berdasarkan hasil perhitungan suara Pemilu 1987 memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat terhadap PPP mengalami penurunan yang drastis yaitu 11,81 % dari perolehan pemilu 1982 atau 13.32 % dari perolehan suara pada Pemilu 1977. Pada Pemilu 1987 ini PPP hanya berhasil meraih dukungan sebasar 13.701.428 (15.97 %) suara dari 85.869.816 suara sah. Begitu juga perolehan kursi di DPR pun hanya memperoleh 61 kursi atau 15.25 % dari 400 kursi yang diperebutkan atau mengalami penurunan sebesar 9,23 % dari perolehan kursi hasil 4
Chozin Chumaidy, 2006, Etika Politik dan Esensi Demokrasi; Jejak Pemikiran Demokrasi Politik Indonesia, Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
Pemilu 1982.5 Selain karena hilangnya identitas Islam, anjloknya dukungan masyarakat terhadap PPP pada pemilu 1987 juga dipengaruhi oleh memuncaknya perbedaan persepsi (konflik) di tubuh internal partai yang tidak kunjung terselesaikan. Kepentingan politik beberapa kader potensial PPP yang berdekatan dengan basis kultural yang tidak terakomodasi telah berimbas pada larinya massa pemilih PPP dan lari kepada Golkar dan PDI. Pada Pemilu 1992 PPP memperoleh dukungan 16.624.647 suara atau 17,01 % dari 97.789.534 suara sah. Perolehan suara ini jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 1998 mengalami kenaikan sebesar 1.04 %. Begitu juga dengan perolehan kursi di DPR, perolehan suara PPP hanya dapat menghantarkan 62 kursi dari 400 kursi yang diperebutkan atau mengalami kenaikan sebesar 0.25 % dari perolehan kursi pada tahun 1987 dan mengalami penurunan 12 % dari perolehan tahun 1977. Sementara itu, Pemilu 1997 merupakan pemilu terakhir pada Orde Baru. Pada pemilu ini, PPP meraih 25.340.028 (22.43 %) atau naik 5.42 % dari Pemilu 1992 dan turun 6.86 % dari Pemilu 1977. Apabila dilihat dari perolehan kursi, PPP memperoleh 89 kursi (20.94 %) dari 425 kursi yang diperebutkan atau naik 5.44 % dari Pemilu 1992. Selain ditunjang oleh pembawaan kepemimpinan politik Buya Metareum yang sejuk, kenaikan perolehan suara ini juga menjadi fenomena tersendiri bagi PPP sehubungan dengan terjadinya konflik internal di tubuh PDI atas kepemimpinan Soerjadi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Kondisi tersebut mengakibatkan Megawati yang menjadi rival Soerjadi lebih memilih untuk memberikan dukungan suara kepada PPP sehingga 5
Syafruddin Amir. Op.Cit., hal. 33
Universitas Sumatera Utara
dalam menghadapi Pemilu 1997 muncullah trend “Mega Bintang”. Dengan demikian, kenaikan perolehan suara PPP ini sebagian besar merupakan tambahan dukungan dari massa pendukung Megawati dan sebaliknya bagi PDI sendiri hal ini merupakan kerugian besar dengan kehilangan suara 11.83 % yaitu hanya memperoleh 3.06 % suara yang sebelumnya (Pemilu 1992) mencapai 14.89 %.6 Melihat begitu banyak nya tekanan demi tekanan yang dialami PPP pada masa Orde Baru membuat PPP sebagai sebuah partai politik kurang berhasil menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat, sehingga perolehan suara massa semakin kecil dan menurun. Tentunya PPP sebagai sebuah partai politik yang ingin meraih kepentingannya harus berfikir ekstra keras dalam menghadapi kebijakan pemerintah Orde Baru yang secara terstruktur dan sistematis menghalangi eksistensi partai-partai politik di era tersebut. I.2. Perumusan masalah Berangkat dari pemaparan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: “Apa saja kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dalam membatasi ruang gerak partai-partai politik khususnya PPP pada era Orde Baru?.” I.3. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan untuk menghasilkan uraian yang sistematis dan tidak melebar, diperlukan adanya ruang lingkup penelitian atau sering disebut dengan pembatasan masalah. Maka 66
Ibid., hal. 41
Universitas Sumatera Utara
pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilihat pada masa Orde Baru kurun waktu 1966-1998, karena pada tahun-tahun tersebut mempunyai arti tersendiri dalam pergolakan partai politik di Indonesia. Setelah fusi terhadap partai-partai politik yang ada pada waktu itu sehingga mengubah dinamika politik di Indonesia dan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap partai-partai politik yang ada khususnya PPP. I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah penelitian, dan adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: “Untuk mengetahui bagaimana kebijakan yang dilakukan Pemerintahan Orde Baru terhadap partai-partai politik yang pada masa itu, khususnya kebijakan yang dilakukan terhadap PPP”. I.5. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat, baik itu untuk peneliti itu sendiri dan terlebih lagi untuk masyarakat luas. Untuk itu menurut penulis manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, tentunya penelitian ini dapat mengasah kemampuan penulis dalam membuat suatu karya ilmiah dan melatih penulis untuk membiasakan diri untuk membaca dan membuat karya tulis ilmiah. Melalui penelitian ini juga penulis dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang di teliti. 2. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah khazanah penelitian di bidang Ilmu Politik.
Universitas Sumatera Utara
I.6. Kerangka Teori Adapun teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah : 1.6.1 Teori Kebijakan Publik Dinamika persoalan-persoalan yang dihadapi pemerintah sedemikian kompleks yang diakibatkan oleh banyak faktor, maka bagaimanapun keadaan ini membutuhkan penanganan yang cepat, tepat dan akurat agar krisis yang dihadapi oleh pemerintah segera dapat diatasi, setidaknya hal tersebut bergantung pada persepsi pemerintah sendiri. Kondisi ini pada akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi negara lainnya berada pada pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Kebijakan yang diambil tersebut terkadang membantu pemerintah dan rakyat Indonesia keluar dari krisis, tetapi dapat juga terjadi sebaliknya, yakni membuat rakyat semakin sengsara dan beban negara semakin menumpuk. Maka dalam kaitannya, istilah kebijakan atau policy7 dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu, keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian inilah menjadi ciri khusus dari kebijakan publik dalam suatu sistem politik. Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam mendefenisikan kebijakan adalah bahwa pendefenisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu, dan mencakup pula arah atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan, hal ini
7
Budi Winarno dalam James Anderson, Public Policy Making, (Second ed, New York:Holt, Renehart and Winston, 1979), hal.4
Universitas Sumatera Utara
dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi.8 Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, seperti tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs) dan dampak-dampak kebijakan (outcomes). Seyogyanya apa yang dimaksudkan dalam sebuah kebijakan adalah apa yang disuarakan oleh rakyat yang disampaikan dari bawah ke atas (bottom up) dan bukan bersifat dari atas (top down) yang hanya melanggengkan kepentingan penguasa seperti halnya yang terjadi pada masa Orde baru. 1.6.2 Negara Orde Baru Orde Baru9 merupakan tatanan pemerintah Negara Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, yang bercorak otoritarian.10 Cita-cita utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara Murni dan Konsekuen. Rezim ini menobatkan dirinya sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim Orde Lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam perspektif penguasa rezim Orde Baru, Soekarno dianggap telah
8
Budi,winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta:Medpress, 2002, hal.16 Penamaan Orde Baru ini dapat dilihat dalam Herbeth Feith dan Lance Castle (Ed), Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965. Jakarta : LP3ES. 1998, hal.16-18 10 Moh. Mahfud, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1998, hal.196 9
Universitas Sumatera Utara
melakukan sejumlah penyelewengan dan melangar dasar Negara dengan konsep Nasakom yang mengikutsertakan komunis dalam pelaksanaan Pancasila. Misi utama penguasa Orde Baru adalah untuk meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa dan Negara, berdasarkan pada falsafah dan moral Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditunjukkan oleh UUD 1945. Rezim Soeharto berusaha melakukan koreksi total segala macam penyimpangan sejarah di masa lampau sejak tahun 1945 – 1965. Rezim ini juga berupaya memelihara dan malahan memperkuat hal-hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan rezim Soekarno untuk kebaikan bersama. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah laku menyangkut cita-cita kemerdekaan, dan implementasi UndangUndang Dasar 1945 dan Pancasila ditambah dengan analisi penyelewengan Soekarno terhadap Pancasila dan UUD 1945. Sikap mental dan tekad pemerintah Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12 Maret 1967. Soeharto mengatakan apa yang telah dicapai melalui siding istimewa MPRS adalah kemampuan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa secara murni dan konsekuen. Negara Orde Baru adalah Negara yang tampil secara otonom, mengatasi kelas-kelas lain yang ada di dalam masyarakat. Negara Orde Baru telah menjelma sebagai Negara organis yang kuat yang menjadikan drinya sebagai tempat
Universitas Sumatera Utara
bergantungnya organisasi-organisasi profesi atau fungsionalis. Proses penjelmaan Negara kuat Orde Baru didasarkan pada komitmen awal perjalanan Orde Baru untuk “membangun perekonomian” dengan disertai “pembangunan stabilitas nasional” yang dengan komitmen tersebut kemudian dilakukan political engineering atau penggalangan besar-besaran untuk membangun infrastruktur politik yang tidak boleh menyebabkan disintegrasi, sebab integrasi merupakan tuntutan mutlak bagi suatu upaya stabilitas nasional.11 Demikianlah, dua main stream pemikiran berpadu untuk membangun Orde Baru. Penyusunan GBHN yang pertama misalnya, dikerjakan oleh para teknokrat tanpa melibatkan wakil-wakil rakyat dalam MPRS. Memasuki PJP II, dalam Kabinet Pembangunan VI, era teknokrasi mulai bergeser dengan tampilnya para teknolog dengan tokoh Prof. Dr. Habibie. Banyak pengamat yang memandang bahwa era Wijoyonomics berganti menjadi habibienomics. Indikatornya adalah tampilnya para teknolog, seperti Habibie, Mar’ie Muhammad, J. Boedino, Ginanjar Kartasasmita, Soedarajat Djiwandono, dan beberapa insinyur untuk jabatan menteri lainnya. Negara selalu berusaha memperlemah segala macam kelas baik petani maupun borjuis dan tuan tanah. Negara bukan lagi sebagai panitia kecil pelaksanaan penghisap surplus, dan bukan sebagai wasit yang netral dari pengaruh-pengaruh kelas dominan tetapi negara menjadi ekspresi dari prospek spesifik formasi dan konflik kelas dan proses umum akumulasi modal.12 Negara dalam hal ini, memiliki otonominya sendiri dan bertindak atas nama semua kelas
11 12
Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 2000, hal. 124 Ibid., hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
sebagai penjaga tatanan sosial sebagai tempat menanam kepentingan-kepentingan kelas itu. Dan peranan negara dalam masyarakat menjadi sangat dominan.13 Setelah Orde Baru lahir pada tahun 1966 penataan dan pengukuhan telah dimungkinkan oleh :14 1) Pengusahaan
negara
menjadi
lembaga
yang
relevan
untuk
mempertahankan stabilitas perekonomian. 2) Diberikannya kesempatan kepada pasar untuk mengatur mekanisme perekonomian. 3) Dibukanya kesempatan kepada modal, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk giat dalam ekonomi. 4) Pengintegrasian kembali perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian internasional. Senada dengan yang pernah dikemukakan Alfian bahwa dengan terciptanya format politik baru pada tahun 1969/1971 telah tampil negara kuat Orde Baru.15 Farchan Bulkin juga mencacat bahwa : “dengan bakal seperti inilah maka pada awal 1970an telah tercipta beamstaat pasca kolonial Indonesia yang lebih kuat dibandingkan dengan negara-negara sebelumnya dengan akibat-akibat yang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu.”16 Jelas bahwa negara Orde Baru bukan sekedar instrumen teknis penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terkait konstitusi dan aturan hukum, objektif, dan apolitik seperti yang dibayangkan Weber, tetapi sebaliknya yang terlihat adalah mekarnya peranan negara cenderung melampaui batas-batas konstitusional, bahkan semakin dominan dalam mengatur berbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara terutama dalam mekanisme pengambilan 13
Ibid., hal. 106. Ibid., hal. 108. 15 Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, Indonesia Magazine No. 24, Jakarta : Yayasan Harapan Kita, 1974, hal.26 16 Ibid., hal. 16 14
Universitas Sumatera Utara
keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan politik. Tampaknya bahwa negara telah menjadi mesin politik yang aktif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Negara strukturalis klasik yang sering di klaim sebagai basis teoritiskonseptual negara modern dengan Bapak Pembangunannya Max Weber, selalu menganggap bahwa negara merupakan agen yang berhak melakukan monopoli. Penggunaan kekerasan fisik dan mampu memaksakan kehendaknya atas masyarakat, karena, negara memiliki kekuasaan otoritatif yang sah. Tugas utama negara adalah menjamin ketertiban masyarakat melalui agen-agennya yaitu : politisi, tentara dan birokrasi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lahirnya kepatuhan masyarakat terhadap negara. Besarnya peran negara terhadap masyarakat menyebabkan rapuhnya tingkat kemandirian politik masyarakat sehingga prakarsa dalam masyarakat seakan-akan menjadi tidak tumbuh. Lembaga Perwakilan Rakyat kurang berfungsi dengan baik karena lembaga ini kurang mempunyai kebebasan berpendapat. Sementara organisasi-organisasi politik yang berfungsi untuk menjaring caloncalon wakil rakyat pada hakekatnya bukan merupakan organisasi yang mandiri, baik secara finansial maupun secara intelektual. 1.6.2.1 Model-Model Kepolitikan Orde Baru Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum
Universitas Sumatera Utara
dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini dikemukakan model-model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut : a. Paham Integralistik Paham Integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan” bukan “bagian-bagian”.17 Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu diikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial) mengatasi kepentingan individual (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual).18 Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan
17
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta : Grafiti, 1994, hal.8 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal. 54
18
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak dikenal tirani mayoritas atas minoritas.19 b. Beamtenstaat Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber.20 Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey
21
memperkenalkan model
Beamtenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai” (Beamtenstaat), ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as efficient bureaucratic machine). c. Patrimonialisme Jawa Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson,22 William L. Liddle, dan Harold Crouch.
19
Ibid., hal. 55 Marsilam Simanjuntak, Op.Cit., hal. 247 21 Ruth T. Mc Vey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, dalam Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds), Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hal. 85 22 Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambridge, Mass : Center for International Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural Politics, Ithaca : Cornell University Press, 1976. 20
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachri Ali, dan Sartono Kartodirjo. Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan “penguasa” lain mengidentifikasikan kepentingannya. Hubungan tersebut berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” (advantage exchange) yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak. Dalam menjalankan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu (di rujuk pada kerajaan Mataram II) dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya nilai-nilai kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap dan tidak mempersoalkan legitimasi.23 Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu (Jawa), seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” (patronclient). Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan kultural menghasilkan dua proposisi :24 1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka perspektif daya tahan/kelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan 23
Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1972, hal 4-8 24 Manuel Kaiseipo, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Politik. No. 2 tahun 1987, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu struktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal.
d. Negara Otoriter Birokrasi Rente Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan.25 Ciri-ciri negara otoriter birokrasi (OB) menurutnya adalah bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-down (dari atas ke bawah) dan menggunakan ideologi teknokratis-birokratis.26 Dalam otoriter birokratik rente, kaum borjuis tidak terbentuk dalam negara karena mereka mendapat fasilitas melalui hubungan personal dengan penguasa. Jelasnya, para elite negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa, para elite bertindak sebagai “rentenir” karena menyewakan jabatannya untuk kepentingan pengusaha, jabatan birokrasi bagi elite negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente.27 Intinya, dalam negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuis yang kuat akan tetapi yang muncul adalah kelompok
pengusaha yang tergantung
kepada fasilitias dan perlindungan negara. Negara OB rente mulai tumbuh dan
25
Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal.12 Ibid., hal. 13-14 27 Ibid., hal. 17 26
Universitas Sumatera Utara
menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan pada permulaan tahun 1970-an.28 e. Negara Kapitalis Rente (Rent Capitalism State) Model ini diperkenalkan oleh Olle Tornquist. Ia menekankan sifat “rente” dari model kepolitikannnya. Indonesia dan India adalah sebuah negara dengan pembangunan kapitalis tetapi menjadi rente karena digerogoti oleh perilaku dan kebijakan para pendukung rezim ini.29 Dalam model ini sifat otonomi relatif, negara didasarkan pada rasionalitas ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (demand) dengan kerugian sekecil-kecilnya (suply). Rasionalitas ekonomi ini membenarkan negara berbuat apa saja, termasuk yang tidak demokratis. Pola-pola patronase, bapakisme, nepotisme, dan lain-lain tidak dipermasalahkan, termasuk sistem proteksionisme, monopoli, dan pemberian fasilitas-fasilitas. Model negara kapitalis rente ini relatif otonom dan berhubungan dengan kaum berjuasi domestik dan internasional. f. Konsep Politik Birokrasi (Bureacracy Polity) Bureacracy Polity adalah bentuk sistem politik dengan kekuasaan membuat keputusan terletak sepenuhnya di tangan para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi. Di dalam bentuk birokrasi terjadi persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat dan elite militer. Elite ini, terutama adalah Presiden. Legitimasi pemimpin dalam bureacracy polity bukan berdasarkan otoritas tradisional (seperti penguasa 28
Ibid., hal. 59 Olle Tornquist, “Rent Capitalism, State and Democracy, a Theorical Proposition”, dalam Arief Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal. 29-50 29
Universitas Sumatera Utara
tunggal), melainkan otoritas legal. Jackson mengakui bahwa terjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto, tetapi hal itu terjadi secara konstitusional (melalui Supersemar, tap-tap MPRS, dan Pemilu) dan dalam beberapa hal dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi dan militer.30 Menurut Lance Castle, ada tiga ciri masyarakat politik birokratik : (1) lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; (2) lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi; dan (3) massa di luar birokrasi secara politiskonomis adalah pasif.31 I.6.3. Partai Politik Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan Negara pertama kali dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik (kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain.32 Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasian berdasarkan tujuan-tujuan kenegaraan. Tugas partai politik
30
Ibid., hal. 17 Dikutip dari Yahya Muhaimin. “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”, dalam Ahmad Zini Abrar (pen), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Solo : Ramadhani, 1990, hal 32 32 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 159 31
Universitas Sumatera Utara
adalah untuk menata aspirasi rakyat untuk dijadikan opini publik yang lebih sistematis sehingga dapat menjadi dasar pembuatan keputusan yang teratur.33 Sebagaimana halnya di Indonesia, kehidupan partai politik di Indonesia dapat dilacak secara samar sampai tahun 1908. Namun demikian, kehadiran Boedi Oetomo belumlah dapat dikatakan sebagai partai politik karena secara fungsional belum menunjukkan fungsi partai politik, yaitu merebut kekuasaan negara melalui persaingan pemilihan umum.34 Kehadiran organisasi secara politis baru dimulai ketika berdiri Sarekat Islam, yang secara berkesinambungan telah berfungsi di dalam proses mempengaruhi kebijakan dan mendidik para pemimpin dan kemampuan menambah anggota, atau dengan kata lain telah terjadi proses politik di dalamnya.35. Kelahiran Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang didirikan Syahrir serta didirikannya Sarikat Islam Merah oleh Sneevliet (selanjutnya menjadi PKI) yang merupakan pecahan dari Sarikat Islam pimpinan Tjokroaminoto merupakan perjalanan awal partai politik di Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, BP-KNIP terhitung mulai tanggal 30 Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak partai (multyparty), dengan pertimbangan bahwa “berbagai pendapat yang ada di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib”. Hal lain yang menjadi dasar pertimbangan
33
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hal. 115-166. 34 Nur Syam, “Kegagalan Mendekatkan Jarak Ideologi Partai Politik Pengalaman Indonesia Orde Baru”, dalam Jurnal IAIN Sunan Ampel, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1999) hal. 24 35 Nur Syam, ibid., hal. 24
Universitas Sumatera Utara
adalah “bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan masyarakat”36 Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945. Indonesia menganut sistem multipartai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai Politik yang berbasis Aliran/ideologi. Presiden Soekarno sebenarnya kurang suka terhadap model banyak partai. Di dalam pidatonya tanggal 28 dan 30 Oktober 1956 ia menyatakan untuk menguburkan partai-partai sebab banyaknya partai menyebabkan pertentangan dan konflik yang berkepanjangan. Soekarno menyebut hal itu sebagai "penyakit kepartaian". Banyaknya partai politik menjadi penyebab kekalutan di seputar sidang
Konstituante
yang
gagal
akhirnya
memaksa
Soekarno
untuk
menyederhanakan partai politik menjadi sepuluh partai pada tahun 1960.37 Pada masa Orde Baru, jumlah partai yang mengikuti pemilu 1971 ialah sebanyak sepuluh partai. Yaitu Golkar, PNI, NU, Murba, IPKI, PSII, Parkindo, Perti, Partai Katolik dan Parmusi. Kemudian setelah pemilu 1971 muncul begitu deras
ide-ide
untuk
menyederhanakan
partai
politik.
Puncaknya
ialah
dilakukannya penyederhanaan partai politik menjadi tiga, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, telah menghantarkan gelombang reformasi politik untuk menata kehidupan politik yang demokratis. Perubahan undang-undang
partai
politik,
telah
mendorong
beragam
pihak
untuk
36 37
Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1984, hal. 190 Nur Syam, ibid., hal. 24
Universitas Sumatera Utara
menghidupkan kembali denyut nadi politik yang telah dilemahkan selama 32 tahun. Perkembangan partai politik di Indonesia ini merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Oleh karena itu, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang penting dalam sistem politik demokratis. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan.38 1.6.3.1. Partai Politik Dalam Rezim Orde Baru Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin
bahwa
rakyat
terlibat
penuh
dalam
merencanakan,
mengatur,
melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsifungsi kekuasaan. Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat, sebagai wujud bekerjanya demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuantujuan kenegaraan. Dengan demikian partai politik memainkan peran penghubung 38
Alfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991) hal. 25
Universitas Sumatera Utara
yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik demokratis. Kehidupan politik pada masa-masa Orde Baru tidak diwarnai pertarungan ideologis. Deideologisasi yang dianut Orde Baru didasari oleh anggapan bahwa ideologi merupakan penyebab utama ketidakstabilan politik. Kebijakan ini berujung pada penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalami kehidupan bermasyarakat. berbangsa, dan bernegara. sehingga asas atau ideologi partai tidak dikenal saat itu. Implikasinya, kehidupan politik
selama Orde Baru
menumbuhkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang dianggap tidak lebih sebagai alat kekuasaan negara. Parpol tidak lagi representatif menjadi penghubung masyarakat dengan pemerintah. Relasi antara partai politik dengan kekuatan politik yang lain tercermin di dalam bentuk-bentuk kerja sama yang dijalin atas dasar kesamaan sistem nilai yang melandasi cita-cita, visi, atau ideologi partai (platform) dan persaingan, serta pilihan bentuk dan derajat partisipasi dalam mempengaruhi jalannya pemerintahan melebihi kemampuannya menerapkan prosedur demokrasi di dalam mekanisnie internal Partai Politik. Hal ini berarti, signifikansi Partai Politik dalam mekanisme sistem politik demokratis bukan saja akan ditentukan oleh platform serta pilihan bentuk persaingan dan kerja sama yang ditampilkan, tetapi juga bergantung kepada kemampuan Partai Politik dalam menginternalisasikan cita-citanya sehingga
menjiwai
keseluruhan
aktivitas
partai
dan
kemampuannya
memasyarakatkan cita-cita tersebut kepada para anggota sehingga terbangun komitmen bersama untuk mewujudkannya melalui aktivitas partai.
Universitas Sumatera Utara
Gambaran Partai Politik dalam dunia ide, atau setidak-tidaknya seperti yang dicita-citakan para pendiri republik, berbeda dengan realitas kehidupan Partai Politik di era Orde Baru. Deideologisasi Partai Politik yang dijalankan Orde Baru telah memutuskan roh perjuangan Partai Politik dengan segenap cita-cita untuk membangun bangsa. Perkembangan Partai Politik di tanah air menjadi ahistoris. Partai ideologis termarginalisasi oleh arus pragmatisasi politik. Dalam buku-buku sejarah yang ditulis selama Orde Baru (1966-1998), partai politik digambarkan sebagai sosok yang asing, karena cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Upaya pemujaan diri yang berlebihan menyebabkan pemerintah Orde Baru terlalu terpaku kepada pertumbuhan ekonomi dan pemaksimalan pembangunan fisik dengan sarana hutang luar negeri. Partai-partai politik tidak berkembang, sekalipun jumlah kelompok oposisi terus bertambah secara diam-diam. Sesedikit apapun gerakan pembangkangan dilakukan, akibat-akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditebak dan ditanggung. Sebuah desa bisa saja ditenggelamkan dengan air bah, penduduk diusir dengan mendatangkan gajah, tuduhan tentang organisasi tanpa bentuk, sampai penangkapan dan penahanan, bahkan kematian yang tidak diduga. Aparatus negara berubah menjadi begitu menakutkan, bahkan hanya dengan modal uniform. Perbedaan pendapat berarti perlawanan atas pemerintah. Jika dilihat dari sistem kepartaian yang menjadi pertanyaan
adalah
dimanakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi yang ada? Sistem kepartaian Indonesia Orde Baru jelas bukan sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multipartai pun terdapat banyak ganjalan.
Universitas Sumatera Utara
Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang adapun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jelas
kurang
memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian Indonesia Orde Baru. Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu dapat diambil dari Afan Gaffar39 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party sistem), istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh La Palombara dan Weiner.40 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik itu41.
39
Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party Sistem (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992). hal. 36 40 Afan Gaffar, Ibid., hal 35-36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa yang disebutnya 'No-party Sistem". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah.Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam pemilu 1971 41 Afan Gaffar, Ibid, hal. 51-61
Universitas Sumatera Utara
Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.42 Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating mass) telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat pemerintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar. Kondisi
kepartaian
demikian,
ditambah
lagi
dengan
adanya
kecenderungan bahwa dalam politik pengambilan keputusan (the politics of policy making) hubungan yang bersifat pribadi (personal linkage) lebih menonjol daripada institusional Linkage,43 memungkinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol. Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab 42
Afan Gaffar, Ibid., hal. 37-38. Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional,"dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (Solo:CV Ramadhani), hal. 21
43
Universitas Sumatera Utara
elit kelompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain. Keharusan bagi Orde Baru untuk membangun citra diri sebagai rejim demokratis mengharuskannya untuk menerima ide tentang partai politik. Akibatnya, kehadiran PDI dan PPP bukannya dalam kerangka untuk merealisasi komitmen bangsa untuk menjadi sebuah sistem politik yang demokratis, tapi justru untuk memenuhi secara simbolik status Indonesia sebagai negara demokratis –karena punya partai politik dan parlemen– di mata internasional. I.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi pustaka. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.44 Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat dan hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki.
44
Bambang Prasetyo dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal., 42
Universitas Sumatera Utara
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui buku–buku ilmiah, serta bahan–bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 1.7.3. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif. Untuk analisis data kualitatif dilakukan pada data yang tidak bisa dihitung, bersifat monografis dan berwujud kasus-kasus (sehingga tidak dapat disusun kedalam suatu struktur klasifikatoris).45 Pengumpulan data yang dilakukan bersifat deskriptif adalah melalui bukubuku ilmiah, serta bahan–bahan tertulis lainnya. Setelah data-data terkumpul kemudian diamati secara mendalam dan selanjutnya disusun untuk diuraikan atau dijabarkan secara sistematis, sehingga data tersebut menjadi data yang teratur dan tersusun sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam pengumpulan sumber dilakukan melalui studi kepustakaan pada Perpustakaan Umum Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan FISIP USU dan Perpustakaan Daerah Kota Medan. Selanjutnya adalah melakukan interpretasi dalam arti merangkaikan faktafakta ataupun data-data lainnya menjadi suatu kesatuan pengertian. Pada akhirnya fakta-fakta dan data-data tersebut yang telah mempunyai makna tersebut dituliskan secara sistematis dalam suatu penelitian.
45
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, Jakarta : Granit, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
I.8. Sistematika Penulisan BAB I
: Pendahuluan berisikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka dasar teori atau pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: Dalam bab ini akan membahas PPP, sejarah berdirinya PPP, Perspektif Ideologi dan Program Partai, Cita-cita Politik dan Visi Partai, , Ideologi Politik Partai Persatuan Pembangunan, Platform PPP, Struktur Partai Persatuan Pembangunan
BAB III : Dalam bab ini memaparkan PPP di masa Orde Baru, kebijakankebijakan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP untuk mempersempit ruang gerak PPP sebagai sebuah partai politik yang ikut bersaing di era Orde Baru. BAB IV : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran . Daftar Pustaka
Universitas Sumatera Utara