Ketika Hati Tersenyum Note: This story is written in Indonesia language. I will gladly translate it into English language if there are foreign readers who are going to read this story.
oOo Chapter 1: Wanita Aneh Eloknya padi menjulang tinggi di hamparan sawah seluas satu hektar itu. Terasiring indah menghiasi di setiap sudutnya. Percikan pengairan jernih sejuk terasa. Seakan-akan menghisap seluruh ciptaan-Nya yang menghampiri. Hawa sejuk dan bau dedaunan mendayu-dayu laksana surgawi dunia. Sosok lelaki tua menghias pinggiran sawah dengan tunas-tunas segar. Senyuman menghiasi tatkala butiran peluh membasahi setiap sudut mukanya. Dengan berbekal topi khas petani dan pakaian sederhana, ia balut sawah itu dengan penuh kasih sayang tak ternilai harganya. Tampak seorang pemuda bernama Resha berdiri diseberang sawah sembari menikmati semua keindahan itu. Dengan berbekal kamera kuno pemberian wanita spesial, ia mencoba mengabadikan seluruh potret kehidupan itu. Tanpa ia sadari, ingatannya melayang-layang ke masa sepuluh tahun yang lalu. Ketika ia bertemu dengannya. *** -Sepuluh Tahun Yang Lalu“Hey Resha, apa kabar?” sapa seseorang di seberang kota. “Alhamdulillah baik, elu Jim?” “Gue baik juga, gue bosan nih di jakarta, elu mau nggak gue ajak jalan-jalan ke Palembang?” “Ide bagus nih, gue juga jenuh di bandung, bete, libur semesteran ga ada kerjaan. kapan rencana ke Palembang?”
“Kemungkinan tiga hari lagi, gue udah booking pesawat ke palembang nih. Elo mending sekarang ke rumah gue aja deh di Jakarta,” “Oke Jim, gue berangkat besok ke jakarta, gue langsung ke rumah loe aja ye, oke?” “Oke deh Resh, beres, yaudah gue tutup ye telponnya, bye” Resha menutup handphone-nya sembari melanjutkan makan siangnya yang sempat tertunda, karena percakapan kecilnya dengan temannya sewaktu SMA, Jimmy namanya. Resha dan Jimmy sama-sama lulusan SMA swasta di jakarta, walaupun Resha sudah tidak mempunyai orangtua, tetapi Jimmy dan keluarganya sudah menganggap Resha sebagai saudara sendiri. Baik saat senang maupun susah, mereka berdua selalu bersama-sama, layaknya saudara kandung. Sayangnya ketika lulus SMA, mereka harus berpisah, Resha mendapatkan beasiswa di Institut Teknologi Bandung, sedangkan Jimmy memasuki kampus bisnis swasta di jakarta. Resha bertubuh kurus, tinggi, dan sedikit berotot. Rambutnya berwarna hitam, klimis, dan rapi. Matanya agak sayu, berkacamata, dan berwarna coklat. Kulitnya cukup putih untuk ukuran lelaki indonesia. Ia selalu tersenyum dimanapun ia berada. Walaupun kedua orangtuanya sudah meninggal ketika ia masih menginjak SD, tetapi ia tetap tegar dan berusaha menggapai mimpi-mimpinya, menjadi seorang instalatir pabrik dan novelist profesional. Malam itu di kosannya yang sepi, Resha menyiapkan pakaian dan barangbarang yang akan ia bawa ke Jakarta, rencananya besok pagi-pagi ia akan menuju jakarta dengan menaiki kereta api. Teman satu kosnya yang bernama Atang ikut membantu menyiapkan barang-barang Resha. “Boy, kamu tega ninggalin gue sendirian di kos? Elu khan juga kudu kerja sambilan di toko seberang kosan bro?” tanya Atang memelas, seperti mau ditinggal kekasihnya.
“Hahaha, woles dong Tang, gue sudah ijin sama pemilik toko, untung pemiliknya baik sama gue. Elu mau ikut gue ke palembang?” ujar Resha sembari memasukkan handuk kedalam tasnya. “Ogah ah, gue mau pacaran sama teteh Anisa aja, ntar kalau di palembang gue Long Distance donk sama dia” jawab Atang tersipusipu. “hahaha, ada-ada aja elu Tang, pikiran lu pacaran melulu” kata Resha seraya merebahkan diri ke kasur, melepas lelah setelah mengepak barang-barang seperlunya. “Namanya aja lagi kasmaran boy, wajar dong, elu tuh kudu pacaran juga, biar ngerasain namanya kasmaran” tepis Atang sembari ikut merebahkan diri di kasur. Resha dan Atang mempunyai kasur yang terpisah, Atang di sebelah kiri, sedangkan Resha di sebelah kanan. “Gue masih pingin fokus kuliah Tang” jawab Resha singkat. *** Sejuknya hawa tatkala fajar merayap disela-sela pepohonan hijau, merasuk hingga ke sukma. Tersadar akan risalah fajar itu, Resha terbangun. Setelah tuntas menumpas belek dimatanya, ia lalu berjalan menuju kamar mandi. Atang yang masih terlelap dalam tidurnya itu mendengkur tak karuan. Setelah seluruh badan Resha wangi karena sabun dan sampo, ia lalu mengambil air wudhu dan bersiap untuk bersholat Shubuh. Ia melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul lima pagi, sedangkan kereta api akan meluncur dari stasiun hall ke gambir pada jam enam lebih sepuluh. Setelah ia tuntas menunaikan kewajibannya, tidak lupa ia menyabet sebatang rokok kretek favoritnya dari kotak bekas kartu nama. Ia suka mengoleksi bermacammacam rokok kretek maupun putih, yang paling ia sukai adalah rokok kretek, karena lebih berasa menurutnya. Rokok-rokok itu ia dapatkan dari pemberian teman-temannya sesama perokok, karena ia tak ingin membuang-buang uang hanya untuk membeli rokok yang tak
mengenyangkan. Setelah puas menghabiskan sebatang rokok, ia lalu menyabet tas ranselnya yang berwarna hitam itu. “Tang, gue pergi dulu ya, Assalamualaikum” ujar Resha sembari menuju pintu kamar. “Iye ati-ati ya Resh, Wa’alaikumussalam” Perjalanan dari kosan Resha ke stasiun Hall tidak begitu jauh, dan biasanya jika siang sedikit pasti akan macet. Untungnya kosan Resha bersebelahan dengan ITB, jadi mudah saja ia mengakses rute ke stasiun hall. Ia tinggal menaiki angkot Dago dengan ongkos dua ribu lima ratus rupiah setelah berjalan kearah timur menuju pertigaan rumah sakit Borrmeus. Setelah melakukan perjalanan selama tigapuluh menitan. Akhirnya Resha tiba di stasiun dan langsung menuju ke kereta api tujuannya, terlihat pengamen dan pedagang asongan lalu-lalang. Meskipun pedagang asongan itu terlihat kumal, tapi wajahnya selalu mengumbar senyum, bagai melupakan siksa dunia yang kejam. Dan pengamen yang selalu menjajakan suaranya walau pas-pasan. Setelah membeli sebungkus nasi dan memberi penghargaan kecil ke pengamen, Resha menduduki bangkunya di kereta. Perjalanan memakan waktu kurang lebih tiga jam. Resha lalu memakan nasi bungkus isi mie dan telor itu sembari menikmati indahnya pemandangan stasiun. “Permisi mas, boleh saya duduk disini?” tanya sosok wanita muda seumuran Resha. Bola matanya lentik, ditambah rambut panjang berwarna coklat yang terurai indah. Memakai jaket jeans, mini rok berkain jeans, dan sepatu jeans, semuanya serba jeans. Lipstik merah muda menghias tipis di bibirnya yang tebal. Dengan kulitnya yang kuning langsat itu, ia memamerkan pahanya. “Silahkan mbak” sahut Resha sedikit pelan, dengan senyum simpul ia mengijinkan wanita itu duduk di sebelahnya. Wanita yang melihat senyuman itu pun tak membalas senyuman, hanya berkata “terima kasih” seraya mendaratkan tubuhnya disamping Resha yang sedang mengutak atik handphone-nya.
Dimanapun Resha berada, jika ia menemukan inspirasi untuk dituangkan di novelnya yang belum jadi, pasti ia akan mencatat ide itu kedalam handphone-nya. Wanita yang terlihat dingin itu membuka sebuah kotak dan mengabadikan seluruh objek yang ada diluar maupun didalam jendela kereta itu, dengan sedikit menyenggol Resha, ia mendekatkan badannya ke jendela untuk mempotret pemandangan sawah kala itu. Resha sedikit terganggu dengan gerakan tubuh wanita yang kurang sopan itu seraya berdiri. “Mbak, silahkan kalau mau foto-foto diluar jendela, kita bisa tukar tempat” kata Resha sembari tersenyum, berusaha tidak menampakkan kesalnya. “Kamu terganggu dengan ulah saya? Kalau kamu terganggu saya pindah saja gak papa kok” sahut wanita itu ketus, membuat hati Resha semakin kesal. BERSAMBUNG