BAHWA TUHAN MENCIPTAKAN INDONESIA KETIKA TERSENYUM Yani Haryanto, S. Kom Sukmono Fajar Turido, S. Ant (Diolah dari perjalanan lapangan dan berbagai sumber)
P E R J A L A N A N
Jalur Utara, jalan Provinsi beraspal menyusuri perbukitan. • Labuan Bajo – Ruteng : 120 Km, 5 jam kendaraan • Ruteng – Denge : 80 Km, 3 jam kendaraan
Jalur Selatan, jalan Kabupaten tatanan batu dan tanah menyusuri tebing laut. • Denge – Labuan Bajo : 100 Km, 5 jam kendaraan
Jalur Utara
Jalur Selatan
Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat. Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
• Bermula pada 1997, penelitian antropologi oleh Catherine Allerton, fotofoto kampung Wae Rebo dan Mbaru Niang (Rumah Bundar) kemudian menyebar ke seluruh dunia lewat kartu pos. • November 2011, Mbaru Niang Waerebo mendapat penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) kategori bangunan konservasi. • 27 Agustus 2012, mendapat UNESCO Award of Excellence pada AsiaPacific Heritage Awards for Cultural Heritage Conservation 2012 di Bangkok, menyisihkan 42 warisan budaya dari 11 negara di Asia.
• Penghargaan diberikan berdasarkan atas kriteria sebagai situs yang mencerminkan semangat lokal, kegunaan, kontribusi terhadap lingkungan sekitar dan keberlangsungan budaya serta sejarah lokal. Konservasi rumah adat Mbaru Niang berhasil mengatasi persoalan konservasi lingkungan dalam cakupan luas melalui tradisi lokal. Konservasi rumah adat tidak semata mempertahaan keberadaan rumah adat sebagai benda mati, tapi sekaligus menjaga keutuhan tradisi setempat.
• •
•
•
Sewa “Wae Rebo Lodge” : Rp. 200.000 Jasa guide atau porter : Rp. 150.000 – Rp. 250.000
Kunjungan turis ataupun peneliti asing sejak 2002: Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Taiwan, ataupun negara-negara Eropa lainnya. Turis Belanda yang paling banyak mengunjungi Wae Rebo. 2009, tercatat 480 pelancong ke Wae Rebo. 9 diantaranya orang Indonesia.
DIANTARA TEBING DAN RERIMBUN
• • •
Denge – Waerebo : 5 km Jarak Tempuh : 9 Km Elevasi : 30’
Generasi ke 18 Empo Maro, pendiri Wae Rebo.
Komplek Mbaru Niang mulai punah awal tahun 70-an akibat kebijakan perpindahan masyarakat pegunungan ke dataran rendah. Tu’a Golo (Kepala kampung) dan Tu’a Gendang (Kepala upacara adat) memutuskan agar warga tidak meninggalkan Wae Rebo.
Rata-rata, sekali dalam sehari, setiap warga berjalan kaki selama 6 jam.
Keluar dari dusun dan kembali membawa sesuatu, dijadikan bahan makanan cadangan atau bahan bangunan
Anak-anak Waerebo bersekolah di Denge. Tinggal di Denge dari hari Senin – Jum’at. Pada akhir pekan, naik ke Wae Rebo. Untuk masalah kesehatan, masih mengandalkan pengobatan tradisional (Air Jahe)
BERSELIMUT HALIMUN
Kampung Wae Rebo, berupa 7 Mbaru Niang. Pada ketinggian 1100 mdpl. Dihuni oleh 51 kepala keluarga, 212 jiwa. Satu niang dapat menampung enam hingga delapan kepala keluarga.
Rumah Gendang, rumah tempat gendang kecil warisan Maro disimpan. Dihuni 8 Kepala Keluarga, masing-masing mewakili 8 keturunan Maro.
Enam rumah lain dihuni oleh anggota dari 8 keturunan, yang ditetapkan secara musyawarah.
- Lutur : tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Pusat aktivitas dalam rumah. Kamar-kamar disekat mengililingi lingkaran. - Lobo (loteng) : menyimpan bahan makanan dan barang-barang seharihari.
- Lentar : menyimpan benih-benih tanaman pangan, benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. - Lempa Rae : menyimpan cadangan bahan pangan yang bisa digunakan dalam keadaan darurat karena gagal panen. - Hekang Kode : menempatkan sesaji untuk leluhur.
Diameter Alas :13 Meter Tinggi : 15 Meter
DETAIL KERANGKA DALAM RUMAH ADAT WAEREBO
Rangka atap bambu menunjukkan pola pembagian tanah pertanian. Berbentuk seperti jaring laba-laba yang berpusat ditengah.
Kayu worog, untuk tiang utama niang, berjumlah 9. Bisa ditebang setelah berukuran dua pelukan orang dewasa.
MENGHINDARI KEKERASAN, HIDUP BERSAMA ALAM
NEKA KEMONG KUNI AGU KALO
Tanah tumpah darah….. Delapan keturunan berasal dari satu nenek moyang. Hidup menyatu dengan alam, jauh dari budaya kekerasan. Terbuka dan toleran terhadap setiap tamu yang datang. Tanah atau hutan memiliki emosi dan perasaan. Sebelum bercocok tanam dan mencangkulnya, sebuah ritual harus dilakukan untuk meminta izin pada penunggunya. Agar tanah tidak tersakiti. Bercocok tanam harus rutin dilakukan, menurut sistem penanggalan yang sudah ditentukan, agar tanah tidak ‘menangis’ sedih. Tanah adalah bagian dari diri. Selayaknya manusia, harus dihormati. 7 kehidupan, bersama menjaga kesinambungan alam: - Golomehe - Ulu Wae Rebo - Regang – Hembol - Polo – Goloponto - Puntonao
PANGGUNG BUNDAR BERUSIA 1080 TAHUN? Dikisahkan dibangun dengan bantuan penunggu hutan. Berupa manusia gagah, mampu mengangkat batu besar dengan satu tangan. Masing-masing tangan dan kakinya memiliki jari berjumlah enam. Rambut sangat panjang dan parasnya rupawan. Setelah panggung ini selesai, tarian Caci digelar dengan diiringi tabuhan gendang (mBata).
Warisan lestari (living heritage) merupakan kekuatan budaya dalam membangun kemanusiaan. Menghargai alam dari lapisan yang paling esensial. Nilai yang diajarkan oleh alam sejak jaman nenek moyang. Mereka tuangkan dalam keseharian. Detail perilaku sederhana, namun merupakan kekayaan tak lekang zaman. Warisan budaya yang dengan tekun dijaga. Sebentang lukisan hijau berhias kabut melatari rumah adat tua berbentuk kerucut di pagi hari. Taburan bintang menjadi tayangan pembuka saat malam. Wae Rebo, hanya satu dari ratusan surga dunia di Nusantara yang memilih hidup tersembunyi. Tetap menjunjung tinggi ilmu bumi. Terselip diantara bilur bambu, dedaunan, embun, bau kopi, dan persahabatan.
MOHE WAE REBO!