BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tantangan global Millennium Development Goals bidang sanitasi, saat ini dihadapkan pada kenyataan bahwa diperkirakan masih 2,6 miliar orang (40% dari populasi dunia saat ini) tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar, khususnya di Asia dan Afrika. Hygiene dan Sanitasi sangat penting diperhatikan, karena beberapa alasan mendasar, antara lain bahwa sekitar dua juta orang per tahun, kebanyakan dari mereka anak-anak, meninggal akibat penyakit diare. Hampir 90% dari jumlah tersebut diperkirakan terkait dengan kebersihan, pasokan air dan sanitasi yang buruk. Mereka yang tidak memiliki akses dan paling menderita karena sanitasi buruk, adalah masyarakat miskin (WSP-EAP. 2007). Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan
Rp.
265.000 per orang per tahun karena sanitasi yang buruk. Lebih dari 94 juta penduduk Indonesia (43% dari populasi) tidak memiliki jamban sehat dan hanya 2% memiliki akses pada saluran air limbah perkotaan.
Sebagai akibat dari
sanitasi yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Dampak kesehatan tahunan dari sanitasi yang buruk adalah sebesar Rp 139.000 per orang atau Rp 31 triliun secara nasional (WSP-EAP. 2007). Sementara tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan masalah air minum, higiene dan sanitasi masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006 menunjukkan 47% masyarakat masih berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka (Depkes RI, 2008). Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku masyarakat dalam mencuci tangan adalah setelah buang air besar 12%, setelah membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, sebelum memberi makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan makanan 6%. Sementara studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukkan 99,20% merebus air
1
untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli (Depkes RI, 2008). Kondisi tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di Indonesia. Data angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per seribu penduduk pada semua umur dan 16 provinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52. Diare, yang merupakan penyakit berbasis lingkungan, masih merupakan pembunuh nomor satu untuk kematian bayi di Indonesia dan menyumbang 42% dari penyebab kematian bayi usia 0 - 11 bulan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2010, di Indonesia, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Dampak buruk dari keadaan ini sangat dirasakan bagi kesehatan masyarakat maupun secara ekonomi. Sebagaimana hasil studi World Bank tahun 2007, kondisi ini berdampak kerugian secara ekonomi diperkirakan sebesar 2,3% dari Produk Domestik Bruto (Depkes RI, 2008). Kondisi diatas dapat dikendalikan melalui intervensi terpadu melalui pendekatan sanitasi total. Hasil studi WHO tahun 2007 (cit. Depkes RI, 2011) memperlihatkan
bahwa
intervensi
lingkungan
melalui
modifikasi
lingkungan dapat menurunkan risiko penyakit diare sampai dengan 94%. Modifikasi lingkungan tersebut termasuk didalamnya penyediaan air bersih menurunkan risiko 25%, pemanfaatan jamban menurunkan risiko 32%, pengolahan air minum tingkat rumah tangga menurunkan risiko sebesar 39% dan cuci tangan pakai sabun menurunkan risiko sebesar 45%. Tingginya angka kejadian penyakit berbasis lingkungan, khususnya diare, sangat erat dengan masih rendahnya akses sanitasi masyarakat. Laporan kemajuan Millenium Development Goals (MDGs) yang diterbitkan oleh Bappenas pada tahun 2010 mengindikasikan bahwa peningkatan akses masyarakat terhadap jamban sehat, tergolong pada target yang membutuhkan perhatian khusus, karena kecepatannya akses yang tidak sesuai dengan harapan. Dari target akses sebesar 55,6% pada tahun 2015, akses masyarakat pada jamban keluarga yang layak pada tahun 2009 baru sebesar 34%. Terdapat selisih 21% peningkatan akses dari sisa waktu 6 tahun (2009 - 2015).
Banyak jenis program dan intervensi telah dicoba untuk meningkatkan akses pada fasilitas sanitasi ini, namun hasil yang dicapai belum secara bermakna dapat menyelesaikan persoalan. Lebih dari tiga puluh tahun, akses terhadap sanitasi di pedesaan tidak berubah. Berdasarkan Joint Monitoring Program WHO-UNICEF, akses terhadap sanitasi di pedesaan tetap pada angka 38 %. Dengan
laju
perkembangan seperti ini, Indonesia akan gagal untuk mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk Sanitasi (WSP, 2008). Menurut Devine (2009), pendekatan tradisional yang bertumpu pada intervensi fasilitas fisik belum berhasil secara signifikan meningkatkan cakupan sanitasi yang berkelanjutan. Strategi yang lebih menjanjikan telah berfokus pada menciptakan demand dan perubahan perilaku untuk perbaikan sanitasi sekaligus memperkuat ketersediaan produk dan dukungan layanan. Belajar dari pengalaman-pengalaman tersebut, kemudian dikenalkan metode Community Led Total Sanitation (CLTS). Metode ini melakukan pendekatan dengan menjadikan masyarakat sebagai subyek, dan dilakukan stimulasi kepada mereka untuk melakukan self assessment terhadap kondisi sanitasi pada komunitas mereka. Tahap selanjutnya adalah memicu mereka untuk berubah pada kondisi sanitasi yang lebih baik. Metode ini kemudian secara legal dituangkan dalam sebuah strategi nasional melalui sebuah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/MENKES/SK/IX/2008 Tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Strategi ini pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka memperkuat upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat, mencegah penyebaran
penyakit
berbasis
lingkungan,
meningkatkan
kemampuan
masyarakat, serta mengimplementasikan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar yang berkesinambungan dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 (Depkes RI, 2008). Perjalanan STBM di Kab. Lumajang dimulai ketika pada tanggal 5 Mei 2005 diterapkan metode CLTS (Community Led Total Sanitation) pada 4 desa uji coba di Kabupaten Lumajang. Uji coba CLTS ini berhasil menjadikan Desa Kenongo Kec. Gucialit, sebagai Desa pertama yang
berhasil mewujudkan status Open Defecation Free (ODF) pada September 2005. Selanjutnya pada tahun 2006 dibentuk Tim CLTS Kabupaten dan Kecamatan, yang didahului dengan pelatihan fasilitator. Dengan adanya fasilitator ini pemicuan dan gerakan di masyarakat lebih intensif dan terarah, sehingga pada tahun 2007 Kecamatan Gucialit mendeklarasikan diri sebagai Kecamatan ODF pertama di Kab. Lumajang. Pada tahun 2007 dilaksanakan program Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM)). Program TSSM merupakan satu paradigma baru dalam usaha memperbaiki sanitasi total berbasis masyarakat yang mengakomodasi metoda pemasaran sanitasi di dalam prosesnya. Aktivitas pemasaran sanitasi di dalam program TSSM terdiri dari tiga kerangka utama yaitu kerangka penciptaan demand, pengembangan supply produk dan jasa sanitasi serta lingkungan yang mendukung. Program ini menggunakan pendekatan CLTS sebagai salah satu metode Pemberdayaan Masyarakat. Penerapan program TSSM lebih difokuskan pada beberapa wilayah Kecamatan. Dengan program ini,
antara
lain
menjadikan
wilayah
Kecamatan
Senduro
berhasil
mendeklarasikan diri sebagai Kecamatan kedua yang berhasil ODF pada tahun 2008. Proses pemicuan tetap berlanjut sampai kemudian pada tahun 2009 Kabupaten Lumajang berhasil mendapatkan Otonomi Award dari Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) pada katagori Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) (Dinkes Kab. Lumajang, 2010). Momentum tersebut menggugah Pemerintah Kabupaten Lumajang untuk segera bergerak lagi dengan komitmen besar pada Bupati untuk mewujudkan Status ODF di seluruh wilayah Kabupaten Lumajang. Komitmen ini antara lain ditindak lanjuti dengan penerbitan Instruksi Bupati Lumajang Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Program STBM Dalam Rangka Mewujudkan Status Bebas Dari Buang Air Besar Sembarangan Di Kabupaten Lumajang. Program STBM diperkuat dengan pelaksanaan program marketing sanitasi sebagai salah satu usaha peningkatan supply sanitasi. Salah satu kegiatan yang dilakukan antara lain dengan melakukan pelatihan tukang terkait teknis
dan wirausaha berbagai pilihan sarana sanitasi. Dengan berbagai gerakan diatas pada Tahun 2010 dua Kecamatan berhasil mendeklarasikan diri sebagai Kecamatan ODF, masing-masing Kecamatan Padang (18 Mei 2010) dan Kecamatan Kedungjajang (23 Juni 2010). Kemudian pada tahun 2011 dua Kecamatan lain menyusul yaitu Kecamatan Pasrujambe (6 Desember 2011) dan Kecamatan Pronojiwo (12 Desember 2011), sehingga sampai dengan awal tahun 2012 terdapat 6 Kecamatan dengan 67 Desa berhasil ODF di Kabupaten Lumajang.
Gambar 1. Peta kecamatan ODF Kabupaten Lumajang tahun 2011 (Anonim, 2012)
Berdasarkan aspek geografis, mayoritas wilayah ODF di Kabupaten Lumajang berada pada kecamatan dengan karakteristik daerah dataran tinggi. Wilayah tersebut dicirikan, antara lain dengan akses pada air bersih yang relatif sulit karena faktor kedalaman sumber air tanah, juga terbatasnya aliran sungai yang melewati wilayah tersebut. Wilayah lain dengan akses pada air bersih relatif lebih mudah, dengan pendekatan yang sama, proses perubahan menuju wilayah ODF bergerak lebih lamban, dan hingga saat ini belum ODF.
Kenyataan ini berbeda dengan hasil penelitian Phaswana & Shukla (2005), bahwa faktor-faktor lingkungan yang bisa memotivasi orang untuk mengadopsi praktek kebersihan yang aman antara lain akses pada sumbersumber air bersih. Juga berbeda dengan penelitian Astuti dan Dwi (2009) bahwa faktor yang signifikan berpengaruh pada perubahan perilaku sanitasi serta kecenderungan perubahan kualitas jamban terhadap jangka waktu perubahan adalah pendapatan, jumlah keluarga, dan sumber air. Peningkatan akses yang cepat diatas tidak selalu diikuti oleh akses pada kualitas jamban improved. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, kualitas jamban hasil swadaya masyarakat sebagian belum memenuhi standar kesehatan. Jamban yang dibangun masyarakat sebagian merupakan tipe Cemplung dalam bentuk galian tanah tanpa pasangan batu bata atau semen, juga tanpa septic tank, sehingga belum mampu memutus mata rantai penularan penyakit dan bau yang tidak sedap, sebagai salah satu syarat jamban sehat. Kondisi ini antara lain disebabkan karena output penerapan metode CLTS tidak berorientasi pada kepemilikan jamban, namun pada akses. Menurut Frias (2008) terdapat beberapa faktor yang menghambat adopsi pada sanitasi yang baik meliputi penerimaan sosial buang air besar terbuka, ketidaksadaran manfaat kesehatan menggunakan jamban higienis, dan informasi yang salah tentang biaya instalasi dan pemeliharaan jamban higienis (Frias, 2008). Sementara berdasarkan jenis akses pada jamban di Kabupaten Lumajang s/d tahun 2012 terdapat beberapa data menarik berikut (Dinkes Kab. Lumajang, 2012) : 1.
Diseluruh Kabupaten, akses pada jamban improved tercatat 61.34%, akses pada jamban unimproved 7,86% , akses pada jamban sharing 11,25%, sedangkan praktik open defecation masih tercatat sebanyak 19,52%.
2.
Jumlah Desa ODF sebanyak 66 desa (32.20%) dari total 205 desa yang ada. Sedangkan di Propinsi Jawa Timur jumlah Desa ODF baru tercatat sebanyak 8.04%.
3.
Pada komunitas ODF, akses pada jamban unimproved sebanyak 13.20% dan akses pada jamban sharing 4,49%. Program Marketing Sanitasi yang mulai dikembangkan sejak tahun
2010, antara lain dimaksudkan untuk meningkatkan komponen supply setelah komponen demand meningkat pasca pemicuan pada kegiatan CLTS. Sebagaimana strategi program total sanitation and sanitation marketing, bahwa terdapat tiga komponen utama strategi pengembangan program sanitasi, disamping kedua komponen diatas juga peningkatan kemampuan pemerintah dalam menciptakan dan melaksanakan kebijakan yang dapat menunjang kesinambungan, efektifitas dan efesiensi program sanitasi pedesaan (WSP, 2009). Sasaran utama kegiatan marketing sanitasi selain pada keluarga yang belum akses pada jamban juga pada keluarga dengan jamban non improved dan jamban sharing. Sasaran tersebut mendapatkan informasi dan detail produk jamban sehat dari para sales force atau tenaga pemasaran yang bekerjasama dengan distributor dan penyandang dana. Mereka merupakan pemain-pemain utama marketing sanitasi ini. Dengan berbagai sinkronisasi pembagian peran ini, sampai dengan tahun 2012 hasil marketing sanitasi di Kabupaten Lumajang telah melahirkan 10 pengusaha dengan jumlah jamban sehat terbangun berjumlah 2.752 buah (Dinkes Kab. Lumajang, 2012). Hasil marketing sanitasi diatas, yang berhasil memasarkan dan membangun 2.752 jamban dalam waktu kurang dari dua tahun merupakan sebuah strategi menarik dalam bidang sanitasi. Namun yang menjadi catatan bahwa hasil tersebut baru 2.48% dari potensi pasar yang ada. Sasaran potensial untuk pemasaran jamban improved di seluruh Kabupaten sebanyak 38.62% dari total KK yang ada. Mereka merupakan kepala keluarga yang masih BABS atau masih akses pada jamban sharing atau jamban unimproved. (Dinkes Kab. Lumajang, 2012). Pada tahap awal kegiatan marketing sanitasi, beberapa strategi terlebih dahulu disiapkan, seperti pelatihan tukang, kerjasama dengan penyandang dana, pemanfaatan potensi lokal seperti toko bahan bangunan, serta
pemanfaatan fasilitator CLTS dan kader kesehatan sebagai sales force. Diantara beberapa strategi ini, beberapa pertanyaan belum pernah dilakukan penelitian, misalnya terkait mengapa seseorang memutuskan untuk mengadopsi sanitasi yang lebih baik. Pertanyaan khusus dalam kaitan ini adalah, bagaimana seseorang kemudian memutuskan untuk membeli paket jamban sehat, pada kegiatan marketing sanitasi ini. Ada banyak faktor budaya, pendidikan, ekonomi, kelembagaan, lingkungan dan psiko-sosial yang dapat memotivasi orang untuk mengadopsi praktek kebersihan yang aman (Phaswana & Shukla, 2005). Sementara menurut Devine (2009), komponen penentu perilaku sanitasi antara lain adanya peluang, kemampuan, dan motivasi. Pemasaran sosial dari jamban higienis diperlukan untuk mengubah penerimaan sosial terhadap buang air besar terbuka dan untuk merangsang permintaan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini terkait dengan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan adopsi jamban improved pada masyarakat di Kabupaten Lumajang dan bagaimana keterkaitannya pelaksanaan marketing sanitasi? C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan umum Secara umum, tujuan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi jamban improved pada masyarakat di Kabupaten Lumajang.
2.
Tujuan khusus a.
Mengeksplorasi dan mendiskripsikan pelaksanaan marketing sanitasi di Kabupaten Lumajang.
b.
Menganalisis hubungan faktor individu (aspek kebiasaan BAB, motivasi, pengetahuan jamban sehat, dan pengetahuan program marketing sanitasi) dan dengan adopsi jamban improved pada masyarakat di Kabupaten Lumajang.
c.
Menganalisis hubungan faktor lingkungan (aspek keberadaan badan air dan akses air bersih) dengan adopsi jamban improved pada masyarakat di Kabupaten Lumajang
d.
Menganalisis hubungan faktor sosial ekonomi (aspek pendidikan dan
penghasilan)
dengan
adopsi
jamban
improved
pada
masyarakat di kabupaten Lumajang. e.
Menganalisis faktor paling dominan mempengaruhi adopsi jamban improved pada masyarakat di Kabupaten Lumajang.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan alternatif
program
dipilh
bagi
pemerintah
Kabupaten
untuk
lebih
meningkatkan cakupan akses sanitasi masyarakat. 2.
Bagi Dinas Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan untuk lebih mengembangkan strategi marketing sanitasi, sehingga dapat mempercepat status Open Defecation Free Kabupaten.
3.
Bagi Akademik Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan penelitian selanjutnya terkait marketing sosial bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan.
4.
Bagi Masyarakat Bagi pengelola marketing sanitasi, dapat dijadikan referensi untuk strategi pengembangan kegiatan. Juga memberikan wawasan bagi tenaga sales force di lapangan, sehingga pendekatan yang dilakukan kepada sasaran lebih efektif. Penelitian ini juga dapat dijadikan dasar bagi penyandang dana untuk melihat potensi nyata prospek pada bisnis sanitasi
5.
Bagi Penulis Manfaat utama penelitian ini bagi penulis, sebagai sarana aplikasi ilmu dan teori yang didapatkan selama masa perkuliahan, sekaligus sebagai sarana belajar untuk kemungkinan penelitian-penelitian selanjutnya di tempat kerja.
E. Keaslian Penelitian Paling tidak terdapat tiga penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya. Pada prinsipnya perbedaan dengan penelitian ini terletak pada tujuan, subyek maupun lokasi penelitian. Beberapa penelitian tersebut antara lain : Tabel 1. Penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor yang terkait dengan adopsi jamban improved pada marketing sanitasi No 1
Penulis Phaswana & Shukla (2005)
Judul Factors that could motivate people to adopt safe hygienic practices in the Eastern Cape Province, South Africa
Tujuan Menentukan faktor-faktor yang bisa memotivasi orang untuk mengadopsi praktek kebersihan yang aman.
Persamaan Pada faktorfaktor yang dapat memotivasi pada perilaku sanitasi.
2
Astuti & Dwi, (2009)
Analisis Efektivitas Program Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) dalam Merubah Perilaku Sanitasi (Studi Kasus di Desa Bukek dan Desa Terpak Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan).
Untuk melihat efektifitas program sosialisasi TSSM dalam merubah perilaku sanitasi, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku sanitasi serta kecenderungan perubahan kualitas jamban terhadap jangka waktu perubahan
Pada tema sanitasi total
Perbedaan Lokasi, metode, aspek yang diteliti (yang meliputi air bersih, air limbah, sampah, dan lain-lain) serta waktu penelitian Lokasi, metode, aspek yang diteliti pada efektifitas pelaksanaan program TSSM, baik aspek demand dan supply, sedangkan fokus penelitian ini faktor supply, juga waktu penelitian
No 3
Penulis Hasibuan, R.B (2009)
Judul Perilaku Masyarakat Tentang Buang Air Besar Sembarangan Pada Desa Yang Diberi dan Tidak Diberi Intervensi Gerakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Gumai Talang Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan.
Tujuan Untuk mengetahui perbedaan perilaku masyarakat tentang buang air besar sembarangan pada desa yang diberi dan tidak diberi intervensi gerakan sanitasi total berbasis masyarakat.
Persamaan Pada tema Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Perbedaan Lokasi, metode, dan aspek yang diteliti, yaitu fokus penelitian pada perubahan perilaku buang air besar (pada segala jenis jamban), bukan hanya pada faktor adopsi jamban improved. Juga pada waktu penelitian