BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Analgesik merupakan salah satu golongan obat yang paling sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, dan analgesik yang pemakaiannya terbanyak di Indonesia (bahkan di dunia) adalah parasetamol. Efektivitas parasetamol (senyawa derivat p-aminofenol) sebagai analgesik dan antipiretik dideskripsikan pertama kali pada tahun 1893. Parasetamol menunjukkan efikasi dan keamanan dari profil terapeutiknya, sehingga sejak tahun 1960 parasetamol dijual sebagai obat bebas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter (Aripin dan Choonara, 2009). Parasetamol merupakan obat pilihan dalam mengobati sakit kepala dan demam. Hampir 90% penduduk dunia pernah mengalami sakit kepala dan efektivitas parasetamol terbukti mampu mengobati 60% kasus sakit kepala dengan intensitas ringan sampai sedang (Ningrum, 2013). Parasetamol tidak memiliki efek samping gangguan gastrointestinal dan penghambatan fungsi platelet seperti yang dimiliki oleh analgesik golongan antiinflamasi non-steroid (AINS; non-steroidal antiiflammatory drug; NSAID) (Hinz dkk., 2008), sehingga parasetamol merupakan analgesik pilihan utama untuk mengatasi nyeri ringan sampai sedang. Meskipun parasetamol merupakan analgesik-antipiretik yang baik, parasetamol tetap tidak terlepas dari efek samping dan toksisitas seperti halnya pada obat-obat lain. Pada dosis terapi parasetamol relatif aman dan tidak toksik, tetapi pada penggunaan dosis besar secara tunggal atau dosis terapi dalam jangka waktu
1
2
lama dapat menimbulkan toksisitas. Toksisitas utama dari parasetamol adalah hepatotoksisitas, yang dapat menyebabkan kerusakan sel hepar dan dapat berkembang menjadi gagal hepar (Aripin dan Choonara, 2009). Modifikasi struktur dari p-aminofenol dapat dilakukan untuk menemukan senyawa derivat p-aminofenol yang memiliki aktivitas analgesik lebih poten daripada parasetamol. Banyak penelitian mengenai modifikasi struktur paminofenol telah dilakukan, seperti ditemukannya senyawa fenasetin, asetanilid, anisidin, dan lainnya; yang merupakan hasil modifikasi dari struktur p-aminofenol. Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Purnomo (2012) yang menginvensi senyawa 1,3-bis-(para-hidroksifenil) urea (HP2009) yang memiliki aktivitas biologis sebagai analgesik-antipiretik yang lebih poten dan memiliki efek hepatotoksik yang lebih rendah dibanding parasetamol. Dalam modifikasi struktur suatu senyawa, molecular docking dapat dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan aktivitas senyawa modifikasi dengan prekursornya. Molecular docking adalah metode yang digunakan untuk memahami dan memprediksi ikatan molekul pada reseptornya, menentukan tipe ikatan, dan memprediksi afinitas ikatannya (Morris dan Lim-Wilby, 2008). Nilai hasil docking (skor docking) dinyatakan dalam angka; semakin kecil atau semakin negatif skor docking maka semakin stabil ikatan molekul pada reseptornya, sehingga diperkirakan semakin poten efek dari senyawa tersebut sebagai obat (Purnomo, 2011). Salah satu senyawa derivat p-aminofenol, yaitu senyawa 4-[N-(4’hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
(C14H13NO3; BM 243,26 g/mol),
3
dapat dibuat dengan mereaksikan p-aminofenol dan vanillin dalam suasana asam. Berdasarkan uji in silico dengan metode Molecular Docking PLANTS, senyawa 4[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
memiliki
skor
docking
sebesar -75,0088; skor docking ini lebih kecil dibandingkan skor docking parasetamol yang bernilai -67,3820. Berdasarkan skor docking tersebut, diperoleh informasi bahwa senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol berikatan lebih stabil dengan reseptornya (enzim COX-2) dibandingkan parasetamol. Senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol ini masih berupa konsep dan baru diuji secara in silico, belum dilakukan sintesisnya dan belum diuji aktivitas analgesiknya secara in vivo. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini penulis melakukan sintesis senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2metoksifenol dan menguji aktivitas analgesiknya secara in vivo terhadap mencit jantan galur Balb/c terinduksi asam asetat.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah
senyawa
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
dapat disintesis dari p-aminofenol dan vanillin? 2.
Apakah
senyawa
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
memiliki aktivitas analgesik yang lebih poten dibandingkan parasetamol dalam mengurangi jumlah geliat mencit jantan galur Balb/c terinduksi asam asetat?
4
C. Tujuan Penelitian Mensintesis
dan
menguji
daya
analgesik
senyawa
4-[N-(4’-
hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol dalam menurunkan jumlah geliat mencit jantan galur Balb/c terinduksi asam asetat.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aktivitas analgesik dari senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol dibandingkan dengan parasetamol, sehingga untuk kedepannya senyawa 4-[N-(4’hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol dapat digunakan sebagai analgesik alternatif pengganti parasetamol.
E. Studi Pustaka 1.
Senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol 1.1. Retrosintesis Analisis retrosintesis atau ‘sintesis terbalik’ adalah proses pemutusan ikatan pada molekul senyawa menjadi bahan awal atau prekursor (starting material) yang sederhana dan tersedia secara komersial. Analisis retrosintesis merupakan suatu bentuk perencanaan sintesis, yang dapat dilakukan dengan diskoneksi (pemutusan ikatan) dan functional group interconvertion (FGI) (Carey, 2000). FGI adalah proses konversi suatu gugus fungsi menjadi gugus fungsi yang lain, dapat dilakukan dengan reaksi substitusi, adisi, eliminasi, oksidasi, reduksi, dan reaksi
5
lainnya. Analisis retrosintesis memberikan informasi mengenai starting material apa saja yang bisa digunakan untuk mensintesis senyawa target.
OH
OH
HO
H
N C
FGI
HO
H C
OH
NH C
+ H OCH3
OCH3 OH
OCH3
NH
OH
sinton 1
sinton 2
OH
H
O C
OH
OCH3 OH
NH2
p-aminofenol
vanillin
Gambar 1. Reaksi retrosintesis. Senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2metoksifenol dapat disintesis dari starting material p-aminofenol dan vanillin
Analisis
retrosintesis
dari
hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
senyawa dilakukan
4-[N-(4’dengan
melakukan FGI pada gugus imina (C=N). FGI dilakukan dengan reaksi rehidrasi atau pemberian air (H2O) kembali, sehingga gugus imina (C=N) berubah menjadi gugus hidroksi (-OH). Diskoneksi dilakukan pada ikatan C-N, yang akan menghasilkan 2 sinton seperti yang ditunjukkan pada
6
Gambar 1. Sinton 1 sintesis ekuivalen dengan p-aminofenol dan sinton 2 sintesis ekuivalen dengan vanillin. Berdasarkan analisis retrosintesis ini, senyawa
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
dapat
disintesis dari starting material p-aminofenol dan vanillin.
1.2. p-aminofenol Aminofenol merupakan hasil hidroksilasi dari anilin (Wilson, 2004). Aminofenol merupakan senyawa amfoter (dapat bersifat asam lemah atau basa lemah), tetapi sifat basanya lebih dominan. Aminofenol merupakan senyawa yang cukup reaktif karena dapat mengadakan reaksi pada gugus fenolik (gugus hidroksil pada cincin benzena) dan gugus amina aromatik (Mitchell dkk., 2003). Adanya gugus amina pada cincin benzena menurunkan keasaman gugus hidroksil pada aminofenol (Mitchell dkk., 2003), dan menurunkan aktivitas fisiologisnya (Wilson, 2004). Aminofenol memiliki 3 macam isomer berdasarkan posisi dari gugus amina dan hidroksil pada cincin benzena, yaitu 2-aminophenol (oaminofenol), 3-aminofenol (m-aminofenol), dan 4-aminophenol (paminofenol) (Gambar 2). Ketiga isoform aminofenol berbentuk kristal padat pada temperatur ruang (25°C) dan ketiganya bersifat sebagai iritan dengan bahaya toksisitas ringan sampai sedang (Mitchell dkk., 2003). Senyawa o-aminofenol lebih stabil di udara dibandingkan dengan maminofenol dan p-aminofenol yang mudah teroksidasi oleh udara (Mitchell dkk., 2003).
7
NH2
NH2
OH
NH2
HO OH
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Isomer aminofenol. Aminofenol memiliki 3 macam isomer berdasarkan posisi dari gugus amina dan hidroksil pada cincin benzena, yaitu (a) o-aminofenol, (b) m-amnofenol, dan (c) p-aminofenol
Senyawa p-aminofenol diketahui sedikit larut dalam air, larut dalam metil etil keton, larut dalam etanol absolut, dan tidak larut dalam benzena dan kloroform. Senyawa p-aminofenol memiliki titik didih sebesar 284°C dan titik lebur sebesar 189-190°C (Anonim, 1997). Senyawa p-aminofenol memiliki aktivitas analgesik dan antipiretik yang kuat dan merupakan senyawa aminofenol yang paling tidak toksik dibandingkan isoform lainnya. Meskipun demikian, p-aminofenol terlalu toksik untuk digunakan sebagai obat. Gugus amina aromatik bebas pada aminofenol menghasilkan aktivitas antipiretik yang kuat, tetapi juga kondusif dalam pembentukan methemoglobin (Pudjono dkk., 2011; Wilson, 2004). Selain itu, p-aminofenol merupakan agen nefrotoksik yang dapat menganggu fungsi tubulus proksimal ginjal (Mitchell dkk., 2003). Oleh karena itu, dalam penggunaan p-aminofenol sebagai obat perlu dilakukan
modifikasi
struktur
p-aminofenol
untuk
mengurangi
toksisitasnya. Modifikasi struktur p-aminofenol dapat dilakukan dengan asetilasi gugus amina (akan diperoleh parasetamol) atau dengan esterifikasi gugus fenol (diperoleh anisidin dan fenetidin) (Wilson, 2004).
8
Beberapa analgesik hasil modifikasi struktur anilin dapat dilihat pada Tabel 1. Purnomo
(2012)
menginvensi
senyawa
1,3-bis-(para-
hidroksifenil) urea (HP2009) (Gambar 3) yang merupakan modifikasi struktur dari p-aminofenol. Berdsarkan uji in silico dengan Molecular Docking PLANTS, senyawa HP2009 menunjukkan interaksi yang lebih stabil dengan enzim COX-1 maupun COX-2 dibandingkan parasetamol. Uji in vivo terhadap senyawa HP2009 menunjukkan aktivitas analgesik 1,96 kali lebih poten dibandingkan parasetamol, aktivitas antipiretik yang lebih poten, dan kurang hepatotoksik dibandingkan parasetamol (Purnomo, 2012). O
HN
OH
NH
OH
Gambar 3. Senyawa 1,3-bis-(para-hidroksifenil) urea (HP2009). Senyawa ini memiliki aktivitas analgesik lebih poten dan kurang hepatotoksik dibandingkan parasetamol (Purnomo, 2012)
9
Tabel 1. Beberapa analgesik hasil modifikasi struktur anilin (Wilson, 2004) R2 R1
N R3
Struktur Senyawa C-1
R1
R2
—H
—H
Nama
R3 —H C
—H
C-2
Anilin CH3
—H
Asetanilid O
—OH
C-3
—H
—H C
—H
C-4
—H
Formanilid O C
—H
C-5
p-Aminofenol H
C6H5
—H
Benzanilid O
—H
C-6
—H
C
Salisilanilid O HO
C
—H
C-7
CH3
—CH3
Eksalgin O C
—OH
C-8
CH3
—H
Asetaminofen O
C-9
—OCH3
—H
C-10
—OC2H5
—H
—H —H C
C-11
—OC2H5
Anisidin Fenaldin CH3
—H
Fenasetin O
C-12
—OC2H5
C
CHCH3
O
OH
—H
Laktilfenetidin C
C-13
—OC2H5
CH2NH2
—H
Fenakol
O C
C-14
—OC2H5
CH2OCH3
—H
Kriolin O
O
C
C-15 O
CH3
C
—H O
CH3
p-Asetosiasetanilid
10
1.3. Vanillin Vanillin (4-hidroksi-3-metoksibenzaldehid) merupakan senyawa aldehid fenolik dengan rumus molekul C8H8O3 (Gambar 4), dan memiliki berat molekul 152,15 g/mol. Titik lebur vanillin berkisar ±81°C; larut dalam solven air (1 g/100 ml), eter, kloroform, dan asam asetat. Vanillin memiliki gugus karbonil (aldehid) yang reaktif (Gambar 5a), memiliki hidrofobisitas yang berasal dari cincin aromatik (benzena) (Gambar 5b), dan mampu membentuk ikatan hidrogen (Gambar 5c) inter- maupun intramolekuler (Gambar 6). Vanillin dapat mengalami oksidasi secara perlahan apabila kontak dengan udara dan cahaya. Vanillin dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang 278 dan 308 nm (Kumar dkk., 2012). O C
H
OCH3 OH
Gambar 4. Vanillin
11
O
O C
H
C
OCH3
O H
C
OCH3
OH
OCH3
OH
(a)
H
OH
(b)
(c)
Gambar 5. Karakteristik kimia vanillin. Vanillin memiliki (a) gugus karbonil reaktif yang berasal dari aldehid, (b) memiliki hidrofobisitas yang berasal dari cincin aromatik benzena, dan (c) dapat mengadakan ikatan hidrogen karena adanya gugus fungsional aldehid, metoksi, dan hidroksil (Kumar dkk., 2012)
O C
O H
C
H
CH3
CH3
O
O H
O
O H O
H C
CH3 O O H
(a)
(b)
Gambar 6. Ikatan hidrogen vanillin. Vanillin dapat mengadakan ikatan hidrogen (a) intermolekuler maupun (b) intramolekuler (Kumar dkk., 2012)
12
1.4. Molecular Docking PLANTS (Protein-Ligand ANT System) Molecular docking merupakan suatu piranti lunak (software) yang banyak digunakan dalam hal-hal yang berhubungan dengan biologi molekuler dan desain obat berbasis komputer. Molecular docking merupakan suatu sarana yang digunakan untuk memahami dan memprediksi pengenalan molekul pada reseptornya secara struktural, menemukan tipe ikatannya dengan target, dan memprediksi afinitas ikatannya (Morris dan Lim-Wilby, 2008). Molecular docking biasanya dilakukan pada molekul kecil dan target makromolekul, umumnya disebut ligan-protein docking. Ligan umumnya merupakan molekul kecil seperti senyawa kimia dalam obat, yang nantinya akan berikatan dengan reseptor atau targetnya dalam tubuh. Reseptor umumnya merupakan suatu makromolekul seperti protein, DNA, atau RNA (Morris dan Lim-Wilby, 2008). PLANTS (Protein-Ligand ANT System) memiliki algoritme docking yang didasarkan atas optimasi stokastik yang disebut optimasi koloni semut (ant colony optimization; ACO). ACO diinspirasi dari perilaku semut dalam menggunakan jejak feromon (sebagai komunikasi tidak langsung) untuk menandai jalur yang ditempuhnya, dalam upaya menemukan jalan terpendek dari sarang menuju ke sumber makanan. Pada program PLANTS terdapat koloni semut buatan yang digunakan untuk menemukan ligan dengan konformasi yang menghasilkan energi terendah pada binding site. Koloni semut buatan ini meniru perilaku semut nyata
13
dalam menandai ligan dengan konformasi energi rendah menggunakan jejak feromon. Informasi dari jejak feromon buatan ini kemudian diubah dalam bentuk pengulangan (iterasi) untuk menghasilkan konformasi energi rendah dari ligan dengan probabilitas tertinggi (Korb dkk., 2007; Purnomo, 2011). Dalam molecular docking, besarnya afinitas ikatan antara ligan (senyawa) dengan reseptor protein dinyatakan sebagai skor docking. Skor docking dinyatakan dalam angka; semakin kecil atau semakin negatif skor docking maka semakin stabil ikatan molekul pada reseptornya, sehingga diperkirakan semakin poten efek dari molekul tersebut sebagai obat (Purnomo, 2011). Docking
dilakukan
pada
senyawa
4-[N-(4’-
hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol dan parasetamol terhadap Protein Data Bank (PDB) 6COX. PDB 6COX merupakan kompleks protein-ligan dari enzim COX-2 dengan SC-558 yang merupakan native ligand dari enzim COX-2 (Kurumbail dkk., 1996). Berdasarkan hasil molecular docking menggunakan piranti lunak PLANTS, senyawa 4-[N(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol memiliki skor docking yang lebih kecil daripada parasetamol dan SC-558 (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2metoksifenol memiliki afinitas ikatan dengan enzim COX-2 lebih baik dan lebih stabil dibandingkan parasetamol.
14
Tabel 2. Struktur molekul dan skor docking
Senyawa
Skor docking (docking score) terhadap 6COX.PDB
Parasetamol C8H9NO2; BM 151,16 g/mol CH3
HN
-67,3820
O
OH
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]2-metoksifenol C14H13NO3; BM 243,26 g/mol OH
-75,0088 N
OCH3 OH
Ligan natif (native ligand) SC-558 Br O H2N S
-72,1301
O
N HN F F F
15
2.
Rekristalisasi Padatan atau kristal yang diperoleh dari hasil reaksi umumnya tidak murni dan masih mengandung pengotor-pengotor (impurities), yang dapat berasal dari starting material dan reagen yang digunakan atau berasal dari produk samping hasil reaksi. Proses rekristalisasi secara umum terdiri dari empat tahap; pelarutan kristal hasil sintesis dalam pelarut yang dipanaskan, penyaringan larutan panas untuk menghilangkan partikel-partikel pengotor yang tidak larut, pendinginan filtrat untuk mengkristalkan senyawa kembali, dan pemisahan kristal yang terbentuk dari filtrat. Proses rekristalisasi diulang beberapa kali hingga diperoleh kristal yang benar-benar murni (Furniss dkk., 1989). Pelarut yang digunakan dalam rekristalisasi adalah pelarut yang dapat melarutkan kristal hasil sintesis, tidak bereaksi (inert) dengan senyawa yang akan dimurnikan, memiliki titik didih yang rendah, mudah dimodifikasi atau dikombinasikan, tidak toksik, tidak mudah terbakar, dan murah. Pelarut perlu memiliki titik didih yang rendah (low boiling point; low b.p.), sehingga mudah diuapkan untuk mendapatkan kristal murni yang kering. Beberapa pelarut yang sering digunakan dalam rekristalisasi adalah air (b.p. 100°C), metanol (b.p. 64,5°C), dan etanol (b.p. 78°C) (Furniss dkk., 1989). Arang aktif (carboadsorben) bisa digunakan untuk mengadsorbsi senyawa-senyawa pengotor dalam larutan, tetapi penggunaannya diusahakan sesedikit mungkin (1-2% dari bobot kasar kristal hasil sintesis). Penggunaan berlebihan dari arang aktif dapat menyebabkan senyawa yang dimurnikan ikut
16
teradsorbsi, sehingga mengurangi rendemen hasil. Penyaringan larutan panas dilakukan
menggunakan
kertas
saring.
Penyaringan
bisa
dilakukan
menggunakan corong Buchner untuk mempercepat proses penyaringan, dan perlu digunakan dua atau tiga lapis kertas saring. Kristal yang diperoleh dikeringkan di dalam oven untuk menguapkan secara sempurna pelarut yang masih tersisa pada kristal hasil penyaringan (Furniss dkk., 1989).
3.
Analisis kemurnian 3.1. Titik lebur Titik lebur adalah perbedaan temperatur yang menyebabkan suatu padatan (kristal) mulai meleleh hingga padatan tersebut meleleh seluruhnya menjadi cair (Furniss dkk., 1989). Temperatur titik lebur dari kristal murni adalah sama dengan titik bekunya. Panas yang diabsorbsi oleh 1 gram kristal ketika meleleh atau panas yang dilepaskan ketika cairan membeku disebut sebagai panas peleburan. Panas peleburan adalah panas yang oleh senyawa diubah menjadi energi molekul yang potensial untuk mengubah seluruh padatan menjadi cairan (Martin dkk., 1983). Kristal murni dari senyawa organik memiliki titik lebur yang pasti (definite) dan jarak leburnya sempit (tajam), yaitu tidak melebihi 0,5-1°C. Adanya pengotor (impurities) dapat memperlebar jarak lebur kristal dan menyebabkan kristal meleleh pada temperatur yang lebih rendah daripada temperatur kristal murni yang seharusnya. Oleh karena itu, titik lebur merupakan kriteria penting dalam menetapkan kemurnian suatu senyawa;
17
titik lebur yang tajam mengindikasikan kemurnian yang tinggi dari senyawa (Furniss dkk., 1989).
3.2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi merupakan suatu teknik yang digunakan untuk pemisahan senyawa organik maupun anorganik, menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) dalam sistemnya. Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling banyak dimanfaatkan dalam analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, maupun preparatif dalam bidang farmasi, industri, lingkungan, dan sebagainya (Gandjar dan Rohman, 2012). Di bidang farmasi, kromatografi digunakan untuk studi stabilitas dan kemurnian senyawa obat, juga untuk memonitor kadar obat dalam cairan biologis (Jaenchen, 1997). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) termasuk dalam kromatografi planar, sistemnya menggunakan fase diam berupa lapisan seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang dapat berupa lempeng kaca, alumunium, atau plastik. Fase gerak yang digunakan bergerak sepanjang fase diam secara menaik (ascending) atau menurun (descending) karena adanya pengaruh gaya kapiler pada fase diam (Gandjar dan Rohman, 2012). Pengembangan sampel dilakukan dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi oleh uap fase gerak. Fase gerak akan bergerak sepanjang lempeng fase diam secara ascending atau descending,
18
mengelusi analit-analit dalam sampel. Analit-analit dalam sampel akan terelusi dengan jarak elusi yang berbeda (terpisah) pada fase diam, dikarenakan adanya interaksi antara analit dengan fase diam dan fase gerak secara partisi dan/atau adsorbsi (Gandjar dan Rohman, 2012). Proses elusi menganut prinsip like dissolve like; analit yang memiliki polaritas dekat dengan fase diam akan berinteraksi lebih lama dengan fase diam dan analit dengan polaritas dekat dengan fase gerak berinteraksi lebih lama dengan fase gerak. Pada KLT fase normal, analit yang polaritasnya tinggi akan lebih tertahan pada fase diam dan analit yang polaritasnya lebih rendah akan terelusi lebih jauh oleh fase gerak, sehingga terjadi pemisahan antaranalit dalam sampel.
4.
Spektroskopi 4.1. Spektroskopi IR Hampir semua molekul yang memiliki ikatan kovalen, organik maupun anorganik, mengabsorbsi radiasi gelombang elektromagnetik di daerah panjang gelombang inframerah (infrared; IR), yaitu di daerah 2,5 µm hingga 25 µm. Radiasi IR berenergi lebih rendah daripada radiasi UVVis, menyebabkan terjadinya vibrasi (getaran) pada ikatan molekul tetapi tidak sampai menyebabkan transisi elektronik seperti pada radiasi UV-Vis. Puncak spektra IR dinyatakan dalam bilangan gelombang (cm-1) yang nilainya proporsional dengan energi dan kekuatan ikatan senyawa (Pavia dkk., 2009).
19
Ikatan-ikatan kovalen antaratom dalam suatu molekul mengalami vibrasi atau osilasi (oscillation). Apabila molekul tersebut dikenai radiasi IR, maka ia akan mengabsorbsi energi radiasi IR pada frekuensi tertentu, dan energi yang diabsorbsi akan meningkatkan amplitudo vibrasi dari ikatan-ikatan dalam molekul. Molekul yang mengalami peningkatan vibrasi ikatan disebut sebagai molekul dalam keadaan vibrasi tereksitasi (excited vibration state) (Fessenden dan Fessenden, 1982). Setiap jenis ikatan dalam molekul memiliki frekuensi vibrasional karakteristiknya masing-masing. Jenis ikatan yang sama dalam molekul yang berbeda memiliki frekuensi vibrasional yang berbeda, dan tidak ada dua molekul yang memiliki frekuensi vibrasional yang sama. Oleh karena itu, puncak-puncak yang muncul pada frekuensi tertentu pada spektra IR dapat memberikan informasi mengenai gugus fungsional atau jenis ikatan apa saja yang ada dalam molekul tersebut (Pavia dkk., 2009).
4.2. Spektroskopi 1H-NMR Proton Nuclear Magnetic Resonance (1H-NMR) adalah metode spektroskopi yang memberikan informasi mengenai jumlah atom hidrogen dalam suatu molekul (Fessenden dan Fessenden, 1982). Dalam spektroskopi 1H-NMR, atom-atom dikenai suatu medan magnet eksternal, yang besarnya dinyatakan sebagai H0. Bila molekul yang mengandung proton berada di dalam medan magnet eksternal, maka momen magnetik dari proton akan mengambil salah satu dari dua orientasi yang dimilikinya
20
terhadap H0, yaitu paralel (searah dengan H0) dan antiparalel (berlawanan dengan H0). Proton pada keadaan paralel lebih stabil (energi lebih rendah) dibandingkan pada keadaan antiparalel (energi lebih tinggi) (Fessenden dan Fessenden, 1982). Apabila suatu gelombang radio dengan frekuensi yang cocok dilewatkan pada molekul yang mengandung proton, maka momen magnetik proton pada keadaan paralel akan mengabsorbsi energi dari gelombang radio tersebut. Energi yang diabsorbsi digunakan oleh proton untuk mengubah orientasi spin (flip), dari yang semula pada keadaan paralel menjadi antiparalel yang berenergi lebih tinggi. Proton yang mengalami hal tersebut dikatakan mengalami resonansi magnetik nuklir. Besar energi yang diperlukan untuk beresonansi tergantung pada besarnya H0 yang diaplikasikan pada proton. Semakin besar H0, semakin sulit proton mengadakan flip, sehingga dibutuhkan radiasi berfrekuensi lebih tinggi (berenergi lebih tinggi) (Fessenden dan Fessenden, 1982). Proton-proton dalam satu molekul beresonansi pada frekuensi radio yang bervariasi, dan variabilitas inilah yang menjadikan spektra 1HNMR bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai jumlah atom hidrogen dalam suatu molekul dan menetapkan struktur molekul tersebut. Variabilitas frekuensi resonansi ini dikarenakan proton-proton dalam molekul dikelilingi oleh elektron, yang menyebabkan lingkungan kimia (magnetik) antarproton dalam molekul yang sedikit berbeda satu sama lain. Perputaran elektron mengelilingi proton akan menghasilkan medan
21
magnet lokal, disebut arus diamagnetik lokal (local diamagnetic current), yang arah dan besarnya melawan H0. Arus diamagnetik lokal yang dihasilkan oleh elektron ini memberikan perlindungan pada proton terhadap H0 yang diaplikasikan, disebut dengan perlindungan diamagnetik (diamagnetic shielding). Semakin besar densitas elektron
yang
mengelilingi proton, maka semakin kecil efek H0 yang dirasakan oleh inti atom. Hal ini menyebabkan inti atom berspin pada frekuensi yang lebih rendah dan mengabsorbsi energi radiasi radio pada frekuensi yang lebih rendah (Pavia dkk., 2009).
4.3. Spektroskopi 13C-NMR Spektroskopi 13C-NMR digunakan untuk mengetahui jumlah atom karbon non-ekuivalen, mengetahui tipe atom karbon, dan bentuk kerangka karbon suatu senyawa. Penetapan struktur senyawa lebih mudah dilakukan menggunakan spektroskopi
13
C-NMR dibandingkan
1
H-NMR, tetapi
umumnya kedua spektroskopi ini digunakan bersama untuk menetapkan struktur suatu senyawa. Spektra karbon muncul pada geseran kimia yang jauh lebih lebar (0-200 ppm) dibandingkan geseran kimia proton (0-12). Geseran kimia yang lebar pada spektra karbon menunjukkan bahwa atom karbon lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan proton. Geseran kimia yang lebar ini memungkinkan hampir seluruh atom karbon non-ekuivalen dalam senyawa memberikan puncak pada spektra, dan
22
puncak-puncak tersebut jarang mengalami tumpang-tindih seperti pada 1
H-NMR (Pavia dkk., 2009). Atom
12
C adalah isotop karbon yang paling melimpah di alam,
tetapi sayangnya atom ini memiliki nomor massa genap dan tidak memiliki spin inti (I=0), sehingga bersifat NMR inaktif. Atom 13C memiliki nomor massa ganjil dan memiliki spin inti (I=1⁄2), atom ini dapat beresonansi tetapi resonansinya jauh lebih lemah dibandingkan resonansi dari proton. Lemahnya resonansi atom
13
C disebabkan oleh dua hal; yang pertama
adalah sangat sedikitnya kelimpahan atom 13C di alam (1,08%), dan yang kedua adalah karena rasio magnetogirik dari atom
13
C lebih kecil
dibandingkan proton. Kedua hal tersebut menyebabkan atom
13
C
beresonansi pada frekuensi yang lebih lemah dibandingkan proton, sekitar seperempat lebih kecil daripada frekuensi resonansi proton. Kecilnya kelimpahan atom
13
C di alam menyebabkan hampir tidak pernah terjadi
coupling antara dua atom
13
C (homonuclear), sehingga hampir tidak
pernah teramati spin-spin splitting antara dua atom karbon tersebut. Meskipun begitu, atom
13
C dapat mengadakan coupling dengan proton
yang diikatnya dan memberikan spin-spin splitting heteronuclear antara atom 13C dengan proton tersebut (Pavia dkk., 2009). Terdapat dua tipe spektra karbon, yang pertama adalah spektra karbon yang memperlihatkan spin-spin splitting antara atom
13
C dengan
proton yang diikatnya; disebut spektra proton-coupled atau spektra nondecoupled. Tipe spektra yang kedua adalah spektra proton-decoupled,
23
merupakan spektra yang sudah dihilangkan interaksi atau coupling antara atom
13
C dengan proton (proton decoupling). Proton decoupling dapat
dilakukan dengan meradiasi seluruh proton dalam senyawa secara simultan pada frekuensi yang sesuai. Spektra proton-decoupled hanya memunculkan puncak-puncak singlet, sehingga terlihat lebih sederhana dan tidak ada puncak-puncak yang saling tumpang-tindih. Hanya saja, spektra tipe ini tidak memberi informasi mengenai jumlah proton yang terikat pada atom 13C, sehingga interpretasi spektranya menjadi lebih sulit (Pavia dkk., 2009).
4.4. Spektroskopi Massa Spektrometer massa memiliki 5 komponen utama dalam instrumennya, yaitu inlet sampel (sample inlet), sumber ion (ion source), penganalisis massa (mass analyzer), detektor, dan sistem data. Sampel inlet berfungsi untuk memasukkan sampel ke dalam spektrometer massa yang bertekanan hampir vakum menuju ke sumber ion; di sana molekulmolekul sampel diubah menjadi ion fase gas dan terfragmentasi. Penganalisis massa akan memisahkan ion-ion (fragmen) sampel berdasarkan besar rasio mass-to-charge (m/z). Ion-ion yang telah dipisahkan akan dihitung jumlahnya oleh detektor dan hasilnya akan diproses oleh sistem data, menghasilkan output berupa spektrum massa (grafik fungsi antara jumlah ion terdeteksi dengan rasio m/z-nya) (Pavia dkk., 2009).
24
Metode ionisasi molekul oleh sumber ion sendiri secara umum dibagi menjadi dua, yaitu ionisasi elektron (electron ionization; EI) dan ionisasi kimia (chemical ionization; CI). Pada EI-MS (Electron IonizationMass Spectrometer), elektron berenergi tinggi yang dihasilkan dari suatu filamen ditembakkan ke molekul-molekul sampel, menyebabkan lepasnya elektron dari molekul, membentuk kation. Energi yang diperlukan untuk melepas elektron dari suatu molekul (energi ionisasi) berkisar antara 8-15 eV. Tetapi, pembentukan kation tidak efisien dan reprodusibel apabila energi ionisasi kurang dari 50-70 eV. Energi ionisasi pada EI adalah 70 eV (Pavia dkk., 2009). Sumber ion yang digunakan pada CI-MS (Chemical Ionization-Mass Spectrometer) berupa reagen-reagen pengionisasi yang akan mengionisasi molekul-molekul dalam sampel, dengan mekanisme transfer proton atau transfer elektron. Reagen pengionisasi yang sering digunakan pada CI-MS adalah metana, amonia, isobutana, dan metanol (Pavia dkk., 2009). Fragmen-fragmen ion yang terbaca oleh detektor akan muncul sebagai puncak dengan intensitas tertentu pada spektra massa. Struktur molekul dapat ditetapkan berdasarkan perkiraan ion-ion apa saja yang memberi puncak tersebut, dengan membandingkan harga m/z tiap puncak dengan tabel standar pada pustaka. Perkiraan ion-ion yang diperoleh kemudian dirangkai, membentuk struktur molekul senyawa yang paling mungkin (reasonable) berdasarkan spektra massa yang dianalisis.
25
5.
Nyeri Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak mengenakkan dan berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan (DiPiro dkk., 2008; Tjay dan Rahardja, 2002). Nyeri merupakan suatu perasaan pribadi dan ambang persepsi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang (bersifat subjektif). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal merupakan gejala dari suatu penyakit. Adanya rasa nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh, mengisyaratkan adanya gangguan di jaringan tubuh (Tjay dan Rahardja, 2002). Reseptor nyeri, disebut nosiseptor, terdapat di seluruh jaringan tubuh dan organ tubuh kecuali di sistem saraf pusat (Tjay dan Rahardja, 2002). Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, dan kimia terhadap nosiseptor melebihi nilai ambang nyeri dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri (Mutschler, 1986; Tjay dan Rahardja, 2002). Mediator nyeri terdiri dari ion kalium (K+), asetilkolin, histamin, serotonin, prostaglandin, bradikinin, leukotrien, dan senyawa P (DiPiro dkk., 2008). Mediator nyeri dapat menurunkan nilai ambang nyeri dan mengaktivasi nosiseptor (DiPiro dkk., 2008), juga merupakan vasodilator kuat dan dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, mengakibatkan radang dan udema (Tjay dan Rahardja, 2002).
26
6.
Parasetamol Parasetamol, seperti yang dicantumkan dalam Drug Information Handbook for Perioperative Nursing (2006), memiliki nama lain asetaminofen, APAP, dan N-asetil-p-aminofenol; merupakan obat yang digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang dan demam (analgesik-antipiretik). Dalam Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), parasetamol memiliki rumus molekul C8H9NO2 dengan nama kimia 4’-hidroksiasetanilida dan memiliki bobot molekul (BM) 151,16 g/mol. Parasetamol memiliki struktur molekul seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Parasetamol merupakan senyawa sintetik non-opiat, derivat dari paminofenol, memiliki efek analgesik dan antipiretik (Purwanto, 2000; McEvoy, 2002). Dosis parasetamol sediaan oral atau rektal, untuk orang dewasa adalah 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg 3-4 kali sehari; tidak boleh melebihi 4 g/hari. Dosis untuk anak-anak adalah 10-15 mg/kgBB/dosis setiap 4-6 jam; tidak boleh melebihi 5 dosis (2,6 g) dalam 24 jam (AORN, 2006). Parasetamol umumnya diberikan peroral karena cepat diabsorbsi dalam saluran cerna (Tjay dan Rahardja, 2002). H N
CH3
O HO
Gambar 7. Parasetamol
27
6.1. Mekanisme aksi Parasetamol memiliki aktivitas analgesik-antipiretik, masingmasing aktivitas tersebut memiliki mekanisme aksi yang berbeda dan mempengaruhi bagian tubuh yang berbeda pula. 1) Analgesik Parasetamol sebagai inhibitor selektif enzim siklooksigenase2 (COX-2) dibuktikan oleh Hinz dkk. (2009), dalam studi in vitro dan ex vivo yang dilakukannya terhadap sampel darah manusia. Enzim prostaglandin H2 sintetase (PGHS) merupakan enzim yang berperan dalam memetabolisme asam arakhidonat menjadi prostaglandin H2 (PGH2) yang merupakan prekursor dari prostaglandin (PG) lain yang lebih spesifik. PGHS terdiri dari 2 isoform enzim COX-1 dan COX-2, dan memiliki 2 sisi aktif: sisi aktif siklooksigenase (COX) dan sisi aktif
peroksida
(POX).
Asam
arakhidonat
diubah
menjadi
prostaglandin G2 (PGG2) melalui jalur reaksi COX dan PGG2 diubah menjadi PGH2 melalui jalur reaksi POX (Gambar 8). Terjadinya reaksi COX membutuhkan radikal tirosin-385, dan pembentukan radikal ini bergantung pada pembentukan kation radikal protoporfirin IX (Fe4+ = OPP*+) pada reaksi POX (Gambar 9). Parasetamol bekerja dengan
menangkap
radikal
Fe4+
=
OPP*+,
menyebabkan
berkurangnya Fe4+ = OPP*+ yang ditransfer ke sisi aktif COX sehingga pembentukan radikal tirosin-385 terhambat (Anderson, 2008; Hinz dan Brune, 2012; Hinz dkk., 2009).
28
Parasetamol merupakan inhibitor selektif COX-2 karena hanya secara lemah menghambat COX-1, sehingga parasetamol tidak mengganggu fungsi platelet (Hinz dan Brune, 2012). Tetapi, parasetamol memiliki daya antiinflamasi yang kecil, lebih rendah dibandingkan NSAID (Pudjono dkk., 2011).
Membran fosfolipid Fosfolipase A2
PGHS-Sintase (Siklooksigenase)
Asam Arakhidonat Reaksi Siklooksigenase
NSAID Coxibs
Prostaglandin G2 Reaksi Peroksidase
Parasetamol
Prostaglandin H2 Prostasiklin (PGI2)
Tromboksan A2
Prostaglandin (PGE2, PGD2, PGF2n)
Gambar 8. Mekanisme pembentukan prostaglandin dari prekursor asam arakhidonat melalui jalur COX dan POX. Asam arakhidonat diubah menjadi prostaglandin G2 (PGG2) melalui jalur reaksi COX dan PGG2 diubah menjadi PGH2 melalui jalur reaksi POX. Parasetamol beraksi dengan menghambat jalur reaksi POX pada enzim COX-2 (Hinz dan Brune, 2012)
29
PGG2 (subtrat hidroperoksida)
Radikal Tyr385* Asam arakhidonat Reduksi cosubstrat (parasetamol)
parasetamol
e-
Radikal PGG2*
Peroksidase
Siklooksigenase
Gambar 9. Radikal tirosin-385 dan radikal kation protoporfirin IX (OPP* +) dalam pembentukan prostaglandin. Pembentukan radikal tirosin-385 bergantung pada pembentukan kation radikal protoporfirin IX (Fe 4+ = OPP*+) pada reaksi POX. Parasetamol bekerja dengan menangkap radikal Fe4+ = OPP*+, menyebabkan berkurangnya Fe4+ = OPP*+ yang ditranfer ke sisi aktif COX sehingga pembentukan radikal tirosin-385 terhambat (Anderson, 2008)
2) Antipiretik Parasetamol menurunkan temperatur tubuh pada penderita demam, tetapi tidak menurunkan temperatur tubuh pada keadaan normal (McEvoy, 2002). Parasetamol sebagai antipiretik bekerja di pusat pengatur panas (termoregulasi) yang berada di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran panas tubuh dan disertai keluarnya banyak keringat (Tjay dan Rahardja, 2002).
6.2. Toksisitas Keparahan kerusakan sel hepar akibat toksisitas parasetamol tergantung dari dosis parasetamol yang dikonsumsi (Vale, 2007). Pada
30
dosis terapi, parasetamol relatif aman dan tidak toksik. Ketoksikan parasetamol muncul pada penggunaan akut lebih dari 10 g dan pada penggunaan kronis 3-4 g sehari (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada
dosis
terapi,
60-90%
dari
parasetamol
mengalami
metabolisme dengan proses konjugasi (Vale, 2007), sekitar 60% dikonjugasikan dengan glukoronida dan sekitar 30% dengan sulfat (Aripin dan Choonara, 2009). Sebanyak 5-10% dari parasetamol mengalami oksidasi oleh enzim CYP2E1 menghasilkan metabolit toksik N-asetil-pbenzoquinonimin (NAPQI). NAPQI dengan cepat akan mengalami konjugasi dengan glutation, kemudian diekskresikan sebagai konjugat sistein dan merkapturat (Vale, 2007). Toksisitas utama dari parasetamol disebabkan oleh pembentukan NAPQI sebagai metabolit toksik parasetamol (Gambar 10) (Mutschler, 1986). Hepatotoksisitas parasetamol dapat menyebabkan kerusakan sel hepar, yang dapat berkembang menjadi gagal hepar (Aripin dan Choonara, 2009). Sel hepar bersifat nukelofilik (bermuatan negatif), sedangkan inti benzena dari NAPQI bersifat elektrofilik (bermuatan positif); keduanya dapat mengadakan ikatan yang akibatnya adalah kerusakan dari sel-sel hepar (Doerge, 1982). Ikatan antara NAPQI dengan sel hepar terjadi pada posisi ortho dari gugus fenol pada inti benzena NAPQI, dan ikatannya bersifat kovalen (Gambar 11) (Van de Straat, 1987).
31
HN
O
O
O
HN
CH3
N
CH3
-e , -H
-e , -H
-e , -H
-e , -H
O
O
.
OH
parasetamol
CH3
NAPQI
Gambar 10. Mekanisme pembentukan NAPQI dari parasetamol. Parasetamol mengalami reaksi oksidasi oleh enzim CYP2E1 membentuk NAPQI
HN
O
O
O
N
CH3
CH3
HN
CH3
+ protein
CYP2E1
kematian sel S-protein
OH
O
OH O
peroksida lipid (keseimbangan Ca terganggu)
HN
CH3
S-G OH
Gambar 11. Ikatan antara sel hepar dengan NAPQI. Ikatan kovalen terjadi antara protein sel hepar dengan posisi ortho dari gugus fenol pada inti benzena NAPQI
NAPQI dapat menyebabkan kerusakan sel hepar dengan dua mekanisme. Pertama, NAPQI dalam konsentrasi tinggi akan mengurangi jumlah glutation yang tersimpan dalam hepar, menyebabkan penurunan pertahanan sel hepar terhadap kerusakan oleh senyawa-senyawa oksidator.
32
Kedua, NAPQI sendiri merupakan senyawa oksidator kuat dan agen pengarilasi yang dapat menginaktivasi gugus sulfhidril dari enzim hepatosit (Vale, 2007) yang dapat menyebabkan nekrosis hepatoseluler (Aripin dan Choonara, 2009).
7.
Uji analgesik Nyeri sangat sukar didefinisikan dan diukur, karena itulah skrining rasa nyeri pada manusia sulit dilakukan. Meskipun demikian, beberapa studi telah dikembangkan untuk mengetahui dan mengukur besarnya rasa nyeri menggunakan hewan uji. Uji analgesik berguna untuk menguji secara kualitatif dan kuantitatif efek analgesik dari senyawa uji. Turner (1965) membagi uji analgesik menjadi dua metode, yaitu uji untuk analgesik narkotik dan uji untuk analgesik non-narkotik. Uji analgesik non-narkotik sendiri dibagi menjadi tiga metode, yaitu metode geliat, metode pododolorimeter, dan metode rektodolorimeter. a.
Metode geliat terinduksi zat kimia (writhing induced by chemicals) Pada metode ini, hewan uji (mencit) diberi suatu zat kimia yang dapat menginduksi rasa nyeri, menyebabkan hewan uji menggeliat karena kesakitan. Zat kimia yang dapat digunakan untuk menginduksi nyeri adalah fenilquinon, benzoquinon, dan asam asetat. Hewan uji diinjeksi dengan 0,1 ml senyawa uji secara subkutan, dan 20 menit kemudian hewan uji diinjeksi dengan salah satu zat kimia penginduksi nyeri secara intraperitoneal. Respon geliat dari hewan uji diamati dan dihitung selama
33
20 menit. Senyawa uji positif memiliki efek analgesik apabila dapat menurunkan frekuensi geliat dari hewan uji, dibandingkan dengan kelompok kontrol (diberi pelarut saline). b.
Metode pododolorimeter Metode ini menggunakan arus listrik sebagai perangsang nyeri pada hewan uji. Hewan uji (mencit) diletakkan dalam kandang beralas lempengan logam yang dapat menghantarkan arus listrik. Tegangan listrik yang menyebabkan hewan uji mencicit kesakitan (nilai kontrol) diukur setiap 10 menit selama 1 jam. Senyawa uji kemudian diberikan dan pengukuran dilakukan sama seperti sebelumnya. Senyawa uji positif memiliki efek analgesik apabila tegangan yang menyebabkan hewan uji mencicit lebih besar daripada nilai kontrol.
c.
Metode rektodolorimeter Hewan uji ditempatkan dalam kandang beralas lempeng tembaga yang terhubung dengan suatu kumparan induksi. Kumparan tersebut dihubungkan dengan sebuah elektroda tembaga berbentuk silinder yang dimasukkan ke dalam rektum. Prosedur kerja dan pengamatan sama seperti pada metode pododolorimeter. Voltmeter dengan sensitivitas 0,1 volt terhubung dengan kumparan induksi, berfungsi untuk mengukur tegangan listrik yang menyebabkan hewan uji mencicit. Tegangan listrik yang menyebabkan hewan uji mencicit (nilai kontrol) umumnya adalah 12 volt.
34
F. Landasan Teori Senyawa sintetik 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol merupakan salah satu senyawa derivat p-aminofenol. Berdasarkan analisis retrosintesis, senyawa ini dapat disintesis dari starting material p-aminofenol dan vanillin. Reaksi p-aminofenol dan vanillin membentuk senyawa 4-[N-(4’hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol diperlihatkan pada Gambar 12. OH
O HC
NH2
N
+
HC OCH3
OH
p-aminofenol
OH
vanillin
OCH3 OH
4-[N-(4'-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
Gambar 12. Reaksi pembentukan senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2metoksifenol
Senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol telah diuji secara in silico dengan metode Molecular Docking PLANTS, dan berdasarkan uji tersebut diketahui bahwa senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2metoksifenol memiliki afinitas ikatan dengan enzim COX-2 lebih baik dan lebih stabil dibandingkan parasetamol. Uji in vivo perlu dilakukan untuk membuktikan aktivitas analgesik senyawa 4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol yang lebih poten dibandingkan parasetamol.
35
G. Hipotesis 1.
Senyawa
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
dapat
disintesis dari starting material p-aminofenol dan vanillin. 2.
Senyawa
4-[N-(4’-hidroksifenil)karboksimidoil]-2-metoksifenol
memiliki
aktivitas analgesik yang lebih poten dibandingkan parasetamol dalam mengurangi jumlah geliat mencit jantan galur Balb/c terinduksi asam asetat.