BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada awal abad ke 20 istilah organisasi non pemerintah atau disebut sebagai Non Goverment Organization dan seterusnya disebut sebagai NGO mulai digunakan untuk membedakan antara badan-badan khusus pemerintah dengan organisasi swasta (Mosthasari, 2005). Pada akhir abad ke 20 perkembangan NGO semakin pesat. Saat ini diperkirakan ada sekitar 200.000 NGO di negara-negara berkembang (Nelson, 2007). Pada tahun 2014, NGO Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang merupakan organisasi non profit secara global tercatat memiliki anggota relawan sebanyak 80 juta. Pesatnya perkembangan NGO disebabkan oleh tingginya tingkat pluralisme di berbagai negara, kemajuan komunikasi, dan pemahaman HAM, serta keterlibatan donatur kaya dalam isu-isu sosial (Anon, 2007). NGO pada umumnya bergantung pada bantuan amal dan pelayanan sukarela dengan prinsip altruisme dan kesukarelaan. Oleh karena itu, NGO pada umumnya digerakkan oleh sumber daya manusia yang disebut sebagai relawan yang bekerja secara sukarela dan harus siap melaksanakan tugas kapan saja saat dibutuhkan. Banyak orang menjadi mudah untuk menolong orang lain apabila dalam kondisi yang benar-benar dibutuhkan, misalnya dalam kondisi perang dan bencana internasional yang terjadi sekali selama beberapa tahun. Pada kondisi
darurat tentunya kehadiran orang lain sangat diperlukan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Baron & Byrne (2005) bahwa dalam situasi darurat, siapa saja akan menawarkan diri untuk membantu dengan mengorbankan waktu, kemampuan, uang selama waktu tertentu. Namun, menjaga agar relawan tetap mau melakukan kerja sukarela sepanjang waktu merupakan masalah yang lebih sulit (Grube & Piliavin, dalam Baron & Byrne, 2005). Sekitar setengah dari mereka yang bekerja secara sukarela berhenti setelah satu tahun (Baron & Byrne, 2005). Hal ini juga terjadi pada salah satu NGO Palang Merah Indonesia (PMI) di Kota Surakarta. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan staf PPSDM PMI kota Surakarta, jumlah anggota relawan (Korps Sukarela) PMI kota Surakarta pada tahun 2015 adalah 984 orang. Setiap tahunnya PMI kota Surakarta merekrut anggota relawan baru rata-rata 300 orang, namun hanya sebanyak 70 % relawan yang aktif dalam kegiatan organisasi dan sisanya sudah tidak aktif lagi di dalam kegiatan relawan. Karakteristik anggota yang masih aktif adalah masih berstatus sebagai mahasiswa semester awal, dan biasanya berasal dari organisasi KSR Unit yang sudah lama berdiri seperti, KSR Unit Markas, KSR Unit PKU Muhammadiyah Surakarta, KSR Unit Poltekkes Surakarta, dan KSR Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta. Alasan beberapa relawan PMI tidak aktif lagi antara lain telah bergabung dengan organisasi lain yang lebih menarik, fokus pada akademik, ingin konsentrasi mengerjakan skripsi, lulus kuliah, kembali ke daerah asal dan telah bekerja. Padahal NGO seperti PMI membutuhkan relawan yang banyak dan mampu bertahan dengan organisasi dalam waktu tertentu guna
melakukan tugas-tugas pelayanan kemanusiaan sesuai tujuan organisasi organisasi. Relawan merupakan kelompok yang paling penting dari sebuah organisasi kerelawanan (Wright, Larsen & Higgs dalam Kiangura & Nyambegera, 2012). Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang tinggi untuk menjalani peran sebagai seorang relawan dalam mengabdi kepada masyarakat. Seorang relawan harus menunjukkan komitmen pada tugasnya, dapat bekerja sama dalam tim dan dapat bekerja dibawah tekanan (Himpsi, 2005). Jika seorang relawan tidak berkomitmen dengan tugasnya tentu akan merugikan berbagai pihak seperti tidak akan mampu memberikan pelayanan yang baik saat terjun di masyarakat dan akan menghambat kinerja organisasi. Komitmen relawan terhadap organisasi tempatnya bergabung disebut sebagai
komitmen
organisasi.
Komitmen
organisasi
merupakan
derajat
keberpihakan identitas diri personil pada tujuan organisasi tertentu dan hasrat untuk memelihara keanggotaanya pada organisasi (Robbins, 2001). Salah satu komponen komitmen organisasi yang ditunjukan oleh Allen & Meyer (1990) adalah komitmen afektif. Komitmen afektif merupakan keterkaitan secara emosional, identifikasi, dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi. Individu dengan komitmen afektif yang tinggi akan tetap bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota (Allen & Meyer, 1990). Relawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dan bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut, bukan merasa berkewajiban terhadap organisasi (normative) atau takut mengalami
kerugian apabila meninggalkan organisasi (continuance). Seorang relawan perlu memiliki komitmen afektif dan terikat secara emosional agar bisa bertahan pada NGO dalam waktu tertentu, menerima nilai dan tujuan organisasi, serta kesungguhan bekerja untuk organisasi. Komitmen individu terhadap organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Melalui pendekatan multidimensional, Van Dyne & Graham (dalam Coetzee, 2005) menyebutkan faktor personal sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
komitmen
organisasi.
Beberapa
faktor
personal
yang
mempengaruhi antara lain sikap dan nilai serta kebutuhan intrinsik individu. Individu yang lebih teliti, bersikap ekstrovert dan mempunyai pandangan positif terhadap hidupnya (optimis) cenderung lebih berkomitmen. Individu yang berempati, mau menolong sesama juga cenderung lebih menunjukkan perilaku sebagai anggota kelompok organisasinya. Komitmen afektif merupakan salah satu komponen dari komitmen organisasi. Faktor yang diduga berhubungan dengan terjadinya komitmen afektif pada relawan adalah sikap optimis. Agar relawan bisa terikat secara emosional atau afektif maka seorang relawan harus bisa memiliki pikiran positif akan perbuatan yang dikerjakan sekarang akan berdampak pada hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Optimisme oleh Seligman (1991) diartikan sebagai suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Individu yang dihadapkan pada situasi buruk akan mempersepsikannya sebagai tantangan sehingga dia akan berusaha lebih keras. Orang yang optimis akan bersikap gigih terutama di bawah tekanan (Seligman,
2008). Lebih lanjut lagi, individu yang optimis akan mampu membuat atribusi positif menyangkut keberhasilan saat ini maupun keberhasilan yang akan datang (Luthans, Youssef, & Avolio 2007). Sikap optimis perlu dimiliki oleh relawan agar mampu bertahan dan berhasil menghadapi tekanan-tekanan serta kondisi buruk dalam organisasinya. Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan optimisme dengan komitmen afektif. Bressler (2006) melakukan penelitian mengenai hubungan antara harapan, optimisme, komitmen organisasi, dan intensi turnover pada prajurit tentara cadangan Amerika. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara harapan dan optimisme terhadap komitmen afektif. Tingginya level harapan, optimisme dengan komitmen afektif mendukung pemikiran bahwa tentara yang terikat secara emosional pada organisasi akan lebih suka bertahan pada organisasinya. Penelitian lain dilakukan oleh Deddy, dkk (2014) mengenai psychological capital yang di dalamnya terdapat dimensi optimisme, hope, self-efficacy, dan resiliensi terhadap komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masing-masing dimensi termasuk dimensi optimisme berkorelasi signifikan terhadap komitmen organisasi yang di dalamnya terdapat komponen komitmen afektif. Penelitian mengenai hubungan optimisme dengan komitmen afektif sudah banyak dilakukan dan ditemukan bahwa optimisme memiliki hubungan positif dengan komitmen afektif. Individu dengan tingkat optimisme tinggi akan lebih berkomitmen secara afektif dibanding individu dengan tingkat optimisme rendah. Selain optimisme, terdapat faktor-faktor lain yang diduga berhubungan
dengan komitmen afektif individu. Salah satu faktor tersebut adalah perilaku menolong sesama atau yang lebih dikenal sebagai perilaku prososial. Perilaku prososial merupakan suatu tindakan yang memiliki konsekuensi positif bagi orang lain, tindakan menolong sepenuhnya yang dimotivasi oleh kepentingan sendiri tanpa mengaharapkan sesuatu untuk dirinya (Watson, 1984). Seseorang dengan perilaku prososial akan bertindak menolong untuk menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu risiko bagi orang yang menolong (Baron & Byrne, 2005). Perilaku prososial inilah yang dimiliki relawan dimana mereka mau bekerja secara sukarela menolong orang lain, peduli, dan bertindak sesuai tujuan organisasi serta mampu berdedikasi penuh terhadap organisasi. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Schad (1994) yang menguji hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen organisasi dan keterlibatan jaringan komunikasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perilaku prososial berkorelasi signifikan dengan komitmen organisasi. Penelitian lain juga dilakukan oleh Muhtada (2009) untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dan komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi pada perawat yang didalamnya terdapat komponen komitmen afektif, komitmen normatif dan komitmen kontinuan berkorelasi positif dengan perilaku prososial. Selain itu
Mathieu & Zajac (1990) & Meyer dkk (2002) menyatakan bahwa tindakan sukarela seperti prososial dan komitmen afektif berkorelasi positif. Adanya komitmen afektif yang dimiliki seorang relawan terhadap organisasi diharapkan mampu menjadikan relawan bertahan pada organisasi dalam jangka panjang serta mau melakukan pekerjaan secara sukarela. Pentingnya menciptakan komitmen afektif relawan berarti bahwa penting juga bagi organisasi untuk meningkatkan optimisme dan perilaku prososial dalam diri relawan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap Kepala Bidang Sumber Daya Anggota Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta (KABID SDA KSR PMI Unit UNS) bahwa komitmen relawan terhadap organisasi penting agar bisa mengemban tugas dan tanggung jawab sebagai relawan, serta memiliki sense of belonging terhadap KSR UNS. Ia menambahkan bahwa rata-rata jumlah relawan yang masih aktif ditahun-tahun berikutnya setelah Pendidikan dan Latihan Dasar rata-rata sebanyak 50 %. Seorang anggota relawan perlu beradaptasi dengan sistem dan pergaulan di lingkungan KSR UNS, karena terdapat tekanan dan risiko yang akan dihadapi. Tekanan-tekanan tersebut disebabkan dari padatnya jadwal kegiatan, benturan kepentingan dengan anggota lain, sulit membagi waktu antara organisasi dan akademik, serta tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan. Kegiatan sebagai anggota relawan Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah Pendidikan dan Latihan Dasar, Pelatihan Kepalangmerahan, kegiatan kepanitian, pelatihan PMR (Palang Merah Remaja) binaan, penjagaan medis untuk kegiatan dalam maupun luar
kampus, rapat rutin, donor darah, senam sehat, work shop, pengadaan lomba PMR SMP dan SMA, dan masih banyak lagi. Menurut penjelasan KABID SDA KSR PMI Unit UNS, seorang relawan KSR harus optimis karena hal ini diperlukan untuk menghadapi tekanan-tekanan di KSR dan beradaptasi dengan sistem serta pergaulan di KSR. Selain itu, relawan KSR harus mampu melewati proses Pendidikan dan Latihan Dasar yang cukup berat, mencapai tujuan-tujuan bersama yang telah ditentukan diawal, mencapai target-target setiap kegiatan, melaksanakan kegiatan dalam keadaan apapun meskipun dengan risiko. Seorang relawan perlu memiliki niat untuk menolong sesama dan bermanfaat untuk orang lain serta tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Meskipun anggota baru KSR UNS tidak memiliki bekal ilmu menolong, di KSR UNS mereka akan difasilitasi materi pertolongan dan praktek langsung di lapangan. Berdasarkan fenomena dan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI kota Surakarta sebagai topik dalam kaitannya dengan optimisme dan perilaku prososial sebagai hal yang berhubungan dengan komitmen afektif. Pemilihan topik tersebut berdasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas bahwa optimisme merupakan ekspektasi terhadap hasil yang baik (Carver & Scheier, 2002), dan perilaku prososial merupakan tindakan menolong individu lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong, timbul karena adanya penderitaan yang dialami oleh orang lain yang meliputi saling membantu, saling menghibur, persahabatan, penyelamatan, pengorbanan, kemurahan hati, dan saling membagi (Sears, dkk 1994). Optimisme dan perilaku
prososial sangat penting ditanamkan pada relawan dan akan mempengaruhi berkomitmen afektif relawan terhadap organisasi. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan antara Optimisme dan Perilaku Prososial dengan Komitmen Afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah ada hubungan antara optimisme dan perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta? 2. Apakah ada hubungan antara optimisme dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta? 3. Apakah ada hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui adanya hubungan antara optimisme dan perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Mengetahui adanya hubungan antara optimisme dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta. c. Mengetahui adanya hubungan antara perilaku prososial dengan komitmen afektif pada Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai komitmen afektif dan masukan bagi bidang ilmu psikologi, khususnya psikologi industri dan organisasi.
b. Manfaat Praktis 1) Bagi Organisasi Korp Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret Surakarta Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada bagian manajemen relawan Korps
Sukarela
PMI Unit
Universitas
Sebelas Maret Surakarta pada khususnya dan organisasi non pemerintah lain pada umumnya akan pemahaman terhadap pentingnya meningkatkan komitmen afektif dengan cara meningkatkan optimisme dan perilaku prososial. 2) Bagi Relawan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi relawan khususnya anggota Korps Sukarela PMI Unit Universitas Sebelas Maret
Surakarta
untuk
memahami
peranan
komitmen
afektif
dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai relawan PMI. 3) Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian mengenai komitmen afektif dengan pengembangan variabel-variabel lain yang lebih kompleks dan penelitian dalam bidang psikologi industri dan organisasi pada umumnya.