BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional oleh Industri Obat Tradisional (Depkes RI, 2007). Di Indonesia hingga saat ini sebagian besar obat tradisional lokal berupa jamu (empiris), obat herbal terstandar sebanyak 38 produk dan fitofarmaka enam produk yang terdaftar di Badan POM (Badan POM, 2014). Agar produk obat bahan alam Indonesia dapat menjadi produk yang diandalkan dan diterima di semua kalangan, serta mampu bersaing secara global, maka mutunya harus ditingkatkan, keamanannya harus dibuktikan, serta khasiatnya harus diteliti dan dibuktikan secara ilmiah (Republika, 2010). Perkembangan obat tradisional cenderung mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah industri obat tradisional. Pada tahun 2009 jumlah IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) yang terdaftar sebanyak 951 dan IOT (Industri Obat Tradisional) sebanyak 67. Pada tahun 2010 jumlah IKOT yang terdaftar meningkat menjadi 1152 dan IOT sebanyak 98 (Kemenkes RI, 2011). Seiring dengan peningkatan industri obat tradisional, jumlah produk obat tradisional juga semakin bertambah. Dengan melihat jumlah tanaman di Indonesia yang berlimpah dan baru 180 tanaman yang digunakan sebagai bahan obat
1
tradisional oleh industri maka peluang bagi profesi kefarmasian untuk meningkatkan peran sediaan herbal dalam pembangunan kesehatan masih terbuka lebar. Standardisasi bahan baku dan obat jadi, pembuktian efek farmakologi dan informasi tingkat keamanan obat herbal merupakan tantangan bagi apoteker agar obat herbal semakin dapat diterima oleh masyarakat luas. Produk Fitofarmaka merupakan produk herbal yang paling tinggi tingkatannya setelah jamu dan obat herbal terstandar, karena telah melalui uji klinik pada manusia. Sampai saat ini belum ada perkembangan jumlah fitofarmaka yang diproduksi di Indonesia. Hal ini dikarenakan biaya penelitian sampai uji klinis tanaman obat menjadi fitofarmaka mahal. Informasi dari salah satu perusahaan yang memproduksi fitofarmaka mengemukakan untuk penelitian obat herbal sampai uji klinik pada manusia biayanya mencapai Rp 10-50 miliar. Sementara anggaran penelitian dari pemerintah untuk penelitian obat herbal maksimal sekitar Rp 60 juta. Fitofamaka produksi Indonesia sejak 2003 hingga kini baru Nodiar, Rheumaneer, Stimuno, Tensigard, X-Gra (Republika, 2013). Walaupun sudah ada regulasi jelas yang mengaturnya tetap saja penggunaan obat herbal oleh kalangan tenaga kesehatan masih kurang optimal. Hal ini karena terdapat beberapa kendala, misalnya sistem perundangan kesehatan, belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antar institusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia (Republika, 2010).
2
Fitofarmaka (clinical based herbal medicine) merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern, karena proses pembuatannya terstandar dan ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Uji klinik tersebut akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan fitofarmaka di sarana pelayanan kesehatan. Hal ini akan berhasil jika ada dukungan yang kuat dari tenaga kesehatan. Apoteker merupakan salah satu ujung tombak di pelayanan kesehatan terutama di Apotek. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dimungkinkan apoteker lebih leluasa dalam menjalankan profesinya di apotek, salah satunya adalah dalam pemilihan obat untuk konsumen. Kota Yogyakarta yang terkenal dengan julukan kota pendidikan terdapat empat perguruan tinggi swasta dan satu perguruan tinggi negeri yang mempunyai Fakultas Farmasi, sehingga tiap tahun jumlah apoteker di kota Yogyakarta makin bertambah, demikian juga jumlah apotek di kota Yogyakarta makin banyak, sehingga apotek di kota Yogyakarta makin ketat persaingannya. Dengan semakin banyak jumlah apotek, untuk dapat bersaing dan unggul dibandingkan apotek lain apotek tersebut harus mengutamakan kepuasan konsumen, antara lain dengan cara melakukan pelayanan informasi dan konseling obat. Oleh karena itu apoteker di apotek wilayah kota Yogyakarta dituntut untuk mempunyai pengetahuan mengenai berbagai komoditas yang dijual di apotek, salah satunya adalah komoditas obat tradisional, termasuk fitofarmaka. Dengan pengetahuan yang baik,
3
mereka tidak akan menemui kesulitan dalam melakukan pelayanan informasi dan konseling obat. Persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka penting
untuk diketahui,
apoteker yang mempunyai persepsi yang positif terhadap kualitas fitofarmaka, diharapkan akan merekomendasikan
produk fitofarmaka ke konsumen yang
datang dan sebaliknya, bila apoteker mempunyai persepsi yang negatif terhadap kualitas fitofarmaka, dia cenderung tidak akan merekomendasikan produk fitofarmaka ke konsumennya. Persepsi apoteker yang positif terhadap produk fitofarmaka akan membantu mengoptimalkan penggunaan fitofarmaka dan berdampak positif pada pengembangan fitofarmaka, karena bila produk fitofarmaka mempunyai kontribusi pemasukan yang besar bagi pihak produsen, maka pihak produsen dalam hal ini Industri Obat Tradisional atau Industri Farmasi akan terdorong melakukan penelitian/pengembangan produk fitofarmaka yang lain.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengetahuan dan persepsi apoteker di apotek Kota Yogyakarta terhadap kualitas fitofarmaka? 2. Apakah ada pengaruh antara pengetahuan apoteker tentang fitofarmaka dengan persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka?
4
3. Apakah ada pengaruh antara persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka dengan niat untuk merekomendasikan produk fitofarmaka? 4. Apakah ada pengaruh antara pengetahuan apoteker tentang fitofarmaka dengan niat untuk merekomendasikan produk fitofarmaka?
C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah : Sumali (2014), Pengaruh Perceived Quality dan Push Strategy
terhadap
Rekomendasi Minyak Gosok SanHong Cap Pida. Penelitian ini meneliti pengaruh persepsi kualitas dan push strategy dengan niat rekomendasi pemilik toko obat ke konsumennya. Alkharfy (2010) meneliti Community pharmacists’ knowledge, attitudes and practices towards herbal remedies in Riyadh, Saudi Arabia. Penelitian ini meneliti pengetahuan, sikap dan praktek terhadap obat herbal pada apoteker komunitas di Riyadh, Arab Saudi. Duraz dan Khan (2011), Knowledge, Attitudes and Awareness of Community Pharmacists toward the Use of Herbal Medicines in Muscat Region. Penelitian ini meneliti pengetahuan, sikap dan kesadaran apoteker komunitas terhadap penggunaan obat herbal di Muscat Region, Oman. Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian pengetahuan, persepsi kualitas dan niat untuk merekomendasikan penggunaan fitofarmaka (studi pada apoteker di apotek kota Yogyakarta) belum pernah dilakukan.
5
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Pemerintah khususnya Badan POM dan Kementerian Kesehatan sebagai bahan masukan dalam upaya membuat kebijakan –kebijakan dalam pengembangan fitofarmaka. 2. Industri
Obat
tradisional,
penelitian
ini
diharapkan
memberikan
pemahaman tentang aspek- aspek yang menyebabkan apoteker di apotek merekomendasikan
produk
fitofarmaka,
sehingga
pertimbangan untuk
menyusun strategi pemasaran.
dapat
dijadikan
3. Penulis, menjadi sarana pembelajaran untuk mengetahui pengetahuan apoteker tentang fitofarmaka, persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka, serta pengaruhnya pada niat merekomendasikan fitofarmaka dan
inspirasi
peneliti lain untuk
melakukan
penelitian tentang
fitofarmaka. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Mengetahui gambaran pengetahuan dan persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka di apotek kota Yogyakarta. 2. Mengetahui pengaruh pengetahuan apoteker tentang fitofarmaka terhadap persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka. 3. Mengetahui pengaruh persepsi apoteker terhadap kualitas fitofarmaka dengan niat merekomendasikan produk fitofarmaka.
6
4. Mengetahui pengaruh pengetahuan apoteker tentang fitofarmaka terhadap niat merekomendasikan produk fitofarmaka.
7