1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada populasi dunia berumur dibawah 45 tahun (Werner & Engelhard, 2007). Penyebab terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan bermotor, terpeleset dan jatuh, sebagian besar (80%) cedera kepala ringan sedangkan cedera kepala sedang sekitar 10% dan sisanya 10% cedera kepala berat (Jagoda & Bruns, 2006). Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan disabilitas dan masalah sosioekonomi di India dan negara berkembang. Diperkirakan 1,5-2 juta orang terkena cedera kepala setiap tahunnya (Gururaj et al., 2005). Di Amerika diperkirakan terjadi 1,56 juta kasus cedera kepala, 290.000 pasien dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia pada tahun 2003 (Brown et al., 2006). Cedera kepala akan terus menjadi masalah yang sangat besar meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini (Perdossi, 2006). Data epidemiologi cedera kepala di Indonesia belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangunkusumo bahwa pada tahun 2004 didapatkan 367 kasus cedera kepala ringan, 105 kasus cedera kepala sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat, sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus cedera kepala ringan, 130 kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat (Akbar, 2008). 1
2
Epidemiologi cedera kepala di Yogyakarta didapatkan dari Instalasi Gawat Darurat RS Panti Nugroho pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005, didapatkan 56 kasus cedera kepala ringan (76%), 11 kasus cedera kepala sedang (15%), dan 7 kasus cedera kepala berat (9%) (Jovan, 2007). Menurut laporan tahunan Instalasi Rawat Darurat RSUP Sardjito tahun 2006, angka kejadian cedera kepala adalah sebesar 75% (Barmawi, 2007). Cedera kepala merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting dengan estimasi kejadian pertahun hampir 500 dari 100.000 populasi dan lebih dari 200 per 100.000 pasien rawat inap di Eropa setiap tahunnya (Styrke et al., 2007). Cedera kepala merupakan kondisi klinis yang heterogen baik penyebab, patologi, keparahan dan prognosisnya. Outcome dapat bervariasi terutama pada cedera kepala berat. Tingkat mortalitas cedera kepala berat diteliti oleh Coronado et al. (2011), selama tahun 1997-2007 di Amerika Serikat rata-rata setiap tahun terdapat 53.014 kasus kematian akibat cedera kepala berat atau sekitar 18,4 dari 100.000 populasi. Kematian akibat cedera kepala berat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Kematian akibat cedera kepala berat hampir sepertiga dari kematian akibat trauma pada umumnya (CDC, 2010). Cedera kepala berat memiliki tingkat mortalitas tinggi, oleh karena itu mengetahui prognosis cedera kepala berat menjadi sangat penting. Mengetahui prognosis adalah sangat penting, dapat untuk memberikan informasi mengenai perjalanan penyakit dan outcome penyakit (Hemingway et al., 2013).
3
Prognosis adalah landasan dari kedokteran klinis, karena semua diagnosis dan terapi bertujuan untuk memperbaiki prognosis pasien dan outcome (Lingsma et al., 2010). Menentukan prognosis merupakan bagian integral dari ilmu kedokteran. Perubahan dalam lingkungan pekerjaan / praktek telah memberikan dorongan untuk menentukan prognosis. Penentuan prognosis berguna untuk menentukan pilihan terapi yang berhubungan dengan konsekuensi pembiayaan dan efek samping obat (Alderman, 1993). Indikator prognostik yang diharapkan adalah yang murah dan mudah diperoleh (Goldwasser & Feldman, 1997). Trombosit adalah salah satu parameter pemeriksaan darah yang rutin diperiksa pada semua pasien rawat inap, sehingga semua pasien cedera kepala yang menjalani rawat inap di rumah sakit memiliki data jumlah trombosit dalam darahnya. Carrick et al. (2005) melakukan penelitian pada 184 pasien cedera kepala sedang dan berat dengan mengambil serial pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil bahwa trombositopenia terjadi pada 14% pasien penelitian dan 67% pasien penelitian yang meninggal mengalami trombositopenia. Trombositopenia pada fase akut cedera kepala dapat menjadi indikator keparahan cedera kepala dan menjadi prognosis pasien. Penelitian Tang et al. (2011) pada 163 pasien cedera kepala onset hari pertama dengan terapi non operatif mendapatkan hasil jumlah trombosit berkorelasi negatif dengan volume edema serebri, pasien penelitian yang mengalami penurunan jumlah trombosit mengalami kenaikan volume edema serebri. Jumlah trombosit berkorelasi positif dengan nilai
4
Glasgow Outcome Scale (GOS), pasien penelitian yang mengalami trombositopenia juga mengalami penurunan nilai GOS. Sejalan dengan penelitian sebelumnya Salehpour et al. (2011) melakukan penelitian pada 52 pasien cedera kepala berat, mendapatkan hasil nilai median jumlah trombosit signifikan secara statistik rendah pada pasien yang meninggal. Jumlah trombosit pada saat masuk rumah sakit dapat digunakan sebagai prediktor outcome dan prognosis pasien cedera kepala berat. Hasil penelitian yang sedikit berbeda didapatkan MacLeod et al. (2003), jumlah trombosit dapat menjadi prediktor kematian pasien trauma pada analisis bivariat, sedangkan pada analisis multivariat tidak bermakna secara statistik. Wohlauer et al. (2012) menyebutkan bahwa disfungsi platelet dapat terjadi setelah trauma, sebelum dilakukan transfusi darah maupun pemberian infus. Data yang didapat pada penelitian tersebut dapat dijadikan dasar pemberian transfusi trombosit pada pasien cedera berat yang beresiko terjadi koagulopati. Trombosit berperanan penting dalam proses hemostasis yang terjadi pada pasien trauma, dalam hal ini pasien cedera kepala berat. Pasien cedera kepala berat mengalami perdarahan intrakranial sehingga menurunkan volume darah pada sirkulasi. Trombosit dalam darah juga menurun akibat volume darah berkurang dan akibat terpakainya dalam proses hemostasis. Penelitian tentang trombositopenia pada cedera kepala di Indonesia jarang dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan belum banyak ditemukan kepustakaan di Indonesia yang membahas mengenai hal tersebut, lebih khusus lagi di Daerah
5
Istimewa Yogyakarta. Penelitian mengenai trombositopenia pada cedera kepala berat yang dilakukan sebelumnya di negara lain masih mendapatkan hasil yang kontroversi. Dengan
alasan-alasan
tersebut
maka
perlu
dilakukan
penelitian
tentang
trombositopenia sebagai prediktor outcome pasien cedera kepala berat di RS Sardjito. Penelitian ini menitikberatkan trombositopenia yang terjadi pada pasien cedera kepala berat dengan outcome pasien. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Pengaruh trombositopenia pada penderita cedera kepala berat masih diperdebatkan. 2. Penelitian tentang trombositopenia sebagai prediktor kematian pada cedera kepala berat belum pernah dilakukan di Yogyakarta. C. Pertanyaan Penelitian Apakah trombositopenia merupakan prediktor kematian cedera kepala berat? D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui trombositopenia sebagai prediktor kematian cedera kepala berat.
6
E. Manfaat Penelitian Apabila trombositopenia dalam penelitian ini terbukti menjadi prediktor prognosis cedera kepala berat, maka akan memberikan manfaat bagi klinisi dalam menentukan prognosis kematian penderita cedera kepala berat sehingga dapat melakukan tindakan penanganan yang lebih tepat. Antara lain pemberian transfusi trombosit apabila diperlukan. F. Keaslian Penelitian Dari
hasil
penelusuran
didapatkan
beberapa
penelitian
mengenai
trombositopenia pada cedera kepala seperti yang tertera pada tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Tang et al. (2011)
Salehpour et al. (2011)
Carrick et al. (2005)
MacLeod et al. (2003) Penelitian ini
Metode Case control
Cross sectional
Cohort retrospective
Case control
Cohort retrospective
Hasil Trombositopenia pada pasien cedera kepala fase akut dapat menjadi indikator keparahan cedera kepala dan prognosis pasien Jumlah trombosit pada saat masuk rumah sakit dapat digunakan sebagai prediktor outcome dan prognosis pasien cedera kepala berat Trombositopenia signifikan secara statistik menaikkan rerata mortalitas pasien cedera kepala sedang dan berat Jumlah trombosit dapat menjadi prediktor kematian pasien trauma pada analisis bivariat